Ketika terjadi konflik horisontal dengan keluarga, tetangga, rekan kerja, dll maka hubungan kita sering terputus. Saya menggambarkan hubungan yang terputus itu dengan gambaran “membangun jembatan”. Jujur saja kita semua pernah mengalami apa yang disebut membangun jembatan dan menghancurkan jembatan. Menghancurkan jembatan terjadi saat kita memutuskan hubungan dan membangun jembatan adalah ketika berusaha membangun hubungan atau membangun kembali hubungan. Dalam kenyataannya seringkali terjadi beberapa kemungkinan:
KITA MEMBIARKAN JEMBATAN ITU HANCUR. Kita tidak berniat membangun jembatan hubungan karena kita merasa bahwa kita tidak lagi memiliki alasan untuk berhubungan dengan orang tersebut. Sebenarnya memang bisa saja karena satu dan lain hal kita tidak lagi berurusan dengan orang-orang tertentu. Namun dalam hal ini alasan yang telah dikemukakan di atas lebih mengandung kemarahan ketimbang kemungkinan lainnya. Prinsip ‘membiarkan jembatan itu hancur’ hanya akan membuat kita tidak dapat mengampuni orang lain dan kita membiarkan diri kita atau bahkan memelihara hidup kita tetap di dalam kemarahan (kita tidak merasa marah karena kemarahan itu lambat laut terpendam dan sebenarnya tidak hilang, tetapi bila terpicu ia akan muncul kembali).
KITA RAGU-RAGU MEMBANGUN JEMBATAN. Kita ingin membangun jembatan tetapi kita ragu-ragu karena: a. Bisa saja saya bangun dari seberang sini tetapi dia tidak mau membangun dari seberang sana; b. Bisa saja saya bangun dari dari seberang sini tetapi nanti malah dia hancurkan kembali. Niat membangun memang ada tetapi masih bergantung pada orang lain. Memang tidak sedikit orang yang berada di posisi ini. Bagi mereka upaya harus dimulai dari kedua belah pihak maka upaya membangun hubungan yang retak akan berhasil. Tetapi bila kita berada pada posisi ini, sekalipun kita sudah berniat, maka kita tidak ubahnya tetap berada pada posisi 1 yang membiarkan jembatan itu tetap hancur.
KITA MEMBANGUN JEMBATAN. Resiko dari membangun jembatan sudah dikemukakan pada posisi 2. Membangun jembatan memang membutuhkan biaya yang besar yang mencakup: mau rugi, mau merendahkan diri, mau menyangkal diri, ketulusan, memiliki kasih yang tak menuntut balas. Apapun resikonya baik jembatan dihancurkan kembali oleh orang yang kita ajak berdamai, atau dia membiarkannya, atau malah ditanggapinya dengan positif, pada prinsipnya kita harus tetap membangun jembatan itu lagi. Membangun jembatan memang tidak selamanya mendapat tanggapan positif dari seberang tetapi bukan berarti kita berhenti dan tidak ada kata sia-sia untuk orang yang hadir untuk membawa damai. Persoalannya sekarang bukanlah soal ‘mampu’ atau ‘tidak mampu’ tetapi ‘mau’ atau ‘tidak’. Mungkin sekarang kita sedang dilanda hal yang tidak menyenangkan dari sesama kita. Untuk menegur, mengkritisi dan mengingatkan memang tetap harus kita lakukan, tetapi itu tidak menghalangi kita untuk tetap membangun jembatan hubungan dengannya.
Daniel Zacharias
Tidak ada komentar:
Posting Komentar