II Korintus 4:11
Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini.
Pagi ini saya renungkan bagian ini dan indah sekali. Seringkali kita bilang pada diri kita sendiri atau nasihat pada orang lain bahwa krisis itu akan membentuk iman kita. Padahal krisis itu seringkali malah menghancurkan iman kita. Tidak jarang krisis-krisis yang kita alamai malah membuat kita kehilangan kontak dengan-Nya. Kita kehilangan nilai-nilai yang kita anut selama ini: kita gak suka "minum" jadi suka "minum", gak suka ngaco ngomongnya jadi demen ngomongin yang ngaco. Krisis malah tidak membuat kita berdoa tetapi malah membuat kita beroda alias ngeloyor sana-sini gak keruan. Krisis membuat kita gelisah, takut, cemas kering dan basah, nano-nano deh geliat perasaan kita.
Sebenarnya Tuhan hanya mengijinkan situasi penderitaan sebagai kawah candradimuka untuk memudahkan orang (atau malah menyulitkan bagi orang tertentu) untuk dibentuk oleh Allah sendiri. Krisis dipakai Tuhan untuk membuka selubung siapa kita sebenarnya. Orang itu kelihatan aslinya ketika ia berada dalam krisis. Seribu jubah bisa dipakai saat situasi "rumput hijau dan air tenang" tetapi tatkala krisis yang muncul justru kebangkrutan diri dan nilai muncur dari balik jubah kita. Tetapi tak mengapa, dengan demikian kita diajarkan untuk memandang siapa diri kita yang sebenarnya. Siapa kita. Dan jangan malu atau berat mengakui bahwa kita bangkrut secara iman dan karena itu meminta Tuhan menolong. Tanpa krisis kita tidak pernah tahu kualitas kita. Bukankah kita sering memandangi kualitas diri kita dari CV? Betul tetapi itu cuma sepenggal kualitas kognitif dan keterampilan yang mendatangkan uang gak lebih. Sementara sayang sekali bila kualitas manusia cuma dilihat dari kemampuannya untuk mendapatkan uang untuk makan, minum, kawin, beranak, berkeluarga, tawa derita, kemudian mati. Kualitas manusia lebih melampaui selembar (atau mungkin berlembar-lembar) CV. Karena justru dalam krisis kehidupan kualitas hidup asli kita terlihat. Dalam pandangan psikologi modern dikatakan sudah tidak zamannya lagi menyerahkan penilaian atas manusia berdasarkan IQ tetapi juga EQ dan berbagai Q-Q lainnya.
Dalam pandangan ayat ini Paulus mencoba mengajak kita untuk menunjukkan kualiatas kita sebagai orang percaya. Makin ditekan dan makin mengalami krisis, gambar Yesus tidak semakin kabur dari dalam hidup kita yang fana ini tetapi justru semakin nyata. Soalnya, sekarang banyak orang bermental instan dan tidak tahan ditekan sehingga mereka selalu menjadi bayi yang berteriak "ngek" dan minta susu langsung diantar. Padahal Tuhan sedang menyiapkan kita menjadi orang yang saat krisis walau tetap berteriak "ngek" namun sekalipun susu tidak cepat diantar ia tetap bersikukuh pada pendirian imannya bukan mempertanyakan kebijakan Tuhan seperti isteri Ayub. Benar juga apa kata-kata bijak "ketidaksabaran adalah cara daging, kesalahpahaman adalah cara Iblis".
Pagi ini saya teringat pada Karina yang hari ini berulang tahun dan terbaring kembali di RS Pertamina. Siang ini saya berencana menjenguknya. Krisis yang ia hadapi bukan baru sehari dua tetapi bertahun-tahun. Setahu saya mulai dari zaman Pdt. Herry sampai sekarang. Saya masih kagum pada semangat hidupnya dan justru itulah kualitas dirinya. CV-nya gak maju-maju karena sakit, tetapi kualitas diri makin terbentuk, Haleluya! Krisis menunjukkan bahwa dia adalah seorang pejuang bukan pengecut dan cengeng. Karena itu sekalipun merk krisis kita berbeda-beda baiklah kita tetap bisa memancarkan Kristus dalam derita kita.
Persiapkan hati dan diri kita dalam memasuki Perjamuan Kudus sedunia.
Daniel Zacharias
Bintaro Jaya
Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini.
Pagi ini saya renungkan bagian ini dan indah sekali. Seringkali kita bilang pada diri kita sendiri atau nasihat pada orang lain bahwa krisis itu akan membentuk iman kita. Padahal krisis itu seringkali malah menghancurkan iman kita. Tidak jarang krisis-krisis yang kita alamai malah membuat kita kehilangan kontak dengan-Nya. Kita kehilangan nilai-nilai yang kita anut selama ini: kita gak suka "minum" jadi suka "minum", gak suka ngaco ngomongnya jadi demen ngomongin yang ngaco. Krisis malah tidak membuat kita berdoa tetapi malah membuat kita beroda alias ngeloyor sana-sini gak keruan. Krisis membuat kita gelisah, takut, cemas kering dan basah, nano-nano deh geliat perasaan kita.
Sebenarnya Tuhan hanya mengijinkan situasi penderitaan sebagai kawah candradimuka untuk memudahkan orang (atau malah menyulitkan bagi orang tertentu) untuk dibentuk oleh Allah sendiri. Krisis dipakai Tuhan untuk membuka selubung siapa kita sebenarnya. Orang itu kelihatan aslinya ketika ia berada dalam krisis. Seribu jubah bisa dipakai saat situasi "rumput hijau dan air tenang" tetapi tatkala krisis yang muncul justru kebangkrutan diri dan nilai muncur dari balik jubah kita. Tetapi tak mengapa, dengan demikian kita diajarkan untuk memandang siapa diri kita yang sebenarnya. Siapa kita. Dan jangan malu atau berat mengakui bahwa kita bangkrut secara iman dan karena itu meminta Tuhan menolong. Tanpa krisis kita tidak pernah tahu kualitas kita. Bukankah kita sering memandangi kualitas diri kita dari CV? Betul tetapi itu cuma sepenggal kualitas kognitif dan keterampilan yang mendatangkan uang gak lebih. Sementara sayang sekali bila kualitas manusia cuma dilihat dari kemampuannya untuk mendapatkan uang untuk makan, minum, kawin, beranak, berkeluarga, tawa derita, kemudian mati. Kualitas manusia lebih melampaui selembar (atau mungkin berlembar-lembar) CV. Karena justru dalam krisis kehidupan kualitas hidup asli kita terlihat. Dalam pandangan psikologi modern dikatakan sudah tidak zamannya lagi menyerahkan penilaian atas manusia berdasarkan IQ tetapi juga EQ dan berbagai Q-Q lainnya.
Dalam pandangan ayat ini Paulus mencoba mengajak kita untuk menunjukkan kualiatas kita sebagai orang percaya. Makin ditekan dan makin mengalami krisis, gambar Yesus tidak semakin kabur dari dalam hidup kita yang fana ini tetapi justru semakin nyata. Soalnya, sekarang banyak orang bermental instan dan tidak tahan ditekan sehingga mereka selalu menjadi bayi yang berteriak "ngek" dan minta susu langsung diantar. Padahal Tuhan sedang menyiapkan kita menjadi orang yang saat krisis walau tetap berteriak "ngek" namun sekalipun susu tidak cepat diantar ia tetap bersikukuh pada pendirian imannya bukan mempertanyakan kebijakan Tuhan seperti isteri Ayub. Benar juga apa kata-kata bijak "ketidaksabaran adalah cara daging, kesalahpahaman adalah cara Iblis".
Pagi ini saya teringat pada Karina yang hari ini berulang tahun dan terbaring kembali di RS Pertamina. Siang ini saya berencana menjenguknya. Krisis yang ia hadapi bukan baru sehari dua tetapi bertahun-tahun. Setahu saya mulai dari zaman Pdt. Herry sampai sekarang. Saya masih kagum pada semangat hidupnya dan justru itulah kualitas dirinya. CV-nya gak maju-maju karena sakit, tetapi kualitas diri makin terbentuk, Haleluya! Krisis menunjukkan bahwa dia adalah seorang pejuang bukan pengecut dan cengeng. Karena itu sekalipun merk krisis kita berbeda-beda baiklah kita tetap bisa memancarkan Kristus dalam derita kita.
Persiapkan hati dan diri kita dalam memasuki Perjamuan Kudus sedunia.
Daniel Zacharias
Bintaro Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar