31 Oktober 2007

Membangun Kembali Hubungan Yang Hancur!

Ketika terjadi konflik horisontal dengan keluarga, tetangga, rekan kerja, dll maka hubungan kita sering terputus. Saya menggambarkan hubungan yang terputus itu dengan gambaran “membangun jembatan”. Jujur saja kita semua pernah mengalami apa yang disebut membangun jembatan dan menghancurkan jembatan. Menghancurkan jembatan terjadi saat kita memutuskan hubungan dan membangun jembatan adalah ketika berusaha membangun hubungan atau membangun kembali hubungan. Dalam kenyataannya seringkali terjadi beberapa kemungkinan:

KITA MEMBIARKAN JEMBATAN ITU HANCUR. Kita tidak berniat membangun jembatan hubungan karena kita merasa bahwa kita tidak lagi memiliki alasan untuk berhubungan dengan orang tersebut. Sebenarnya memang bisa saja karena satu dan lain hal kita tidak lagi berurusan dengan orang-orang tertentu. Namun dalam hal ini alasan yang telah dikemukakan di atas lebih mengandung kemarahan ketimbang kemungkinan lainnya. Prinsip ‘membiarkan jembatan itu hancur’ hanya akan membuat kita tidak dapat mengampuni orang lain dan kita membiarkan diri kita atau bahkan memelihara hidup kita tetap di dalam kemarahan (kita tidak merasa marah karena kemarahan itu lambat laut terpendam dan sebenarnya tidak hilang, tetapi bila terpicu ia akan muncul kembali).

KITA RAGU-RAGU MEMBANGUN JEMBATAN. Kita ingin membangun jembatan tetapi kita ragu-ragu karena: a. Bisa saja saya bangun dari seberang sini tetapi dia tidak mau membangun dari seberang sana; b. Bisa saja saya bangun dari dari seberang sini tetapi nanti malah dia hancurkan kembali. Niat membangun memang ada tetapi masih bergantung pada orang lain. Memang tidak sedikit orang yang berada di posisi ini. Bagi mereka upaya harus dimulai dari kedua belah pihak maka upaya membangun hubungan yang retak akan berhasil. Tetapi bila kita berada pada posisi ini, sekalipun kita sudah berniat, maka kita tidak ubahnya tetap berada pada posisi 1 yang membiarkan jembatan itu tetap hancur.

KITA MEMBANGUN JEMBATAN. Resiko dari membangun jembatan sudah dikemukakan pada posisi 2. Membangun jembatan memang membutuhkan biaya yang besar yang mencakup: mau rugi, mau merendahkan diri, mau menyangkal diri, ketulusan, memiliki kasih yang tak menuntut balas. Apapun resikonya baik jembatan dihancurkan kembali oleh orang yang kita ajak berdamai, atau dia membiarkannya, atau malah ditanggapinya dengan positif, pada prinsipnya kita harus tetap membangun jembatan itu lagi. Membangun jembatan memang tidak selamanya mendapat tanggapan positif dari seberang tetapi bukan berarti kita berhenti dan tidak ada kata sia-sia untuk orang yang hadir untuk membawa damai. Persoalannya sekarang bukanlah soal ‘mampu’ atau ‘tidak mampu’ tetapi ‘mau’ atau ‘tidak’. Mungkin sekarang kita sedang dilanda hal yang tidak menyenangkan dari sesama kita. Untuk menegur, mengkritisi dan mengingatkan memang tetap harus kita lakukan, tetapi itu tidak menghalangi kita untuk tetap membangun jembatan hubungan dengannya.

Daniel Zacharias

Ketika Anda Terkepung Dari Segala Arah




















Buku Charles R. Swindoll yang berjudul Musa, yang sudah saya beli tahun 2002, saya baca lagi bagian-bagian tertentunya semalam. Ada satu bagian yang setelah saya baca ulang kembali memberkati saya, begini kutipannya:

"Ketika anda dikepung dari segala arah, satu-satunya tempat untuk memandang adalah keatas"
Ketika tidak ada tempat untuk melarikan diri di depan maupun di belakang; di kiri maupun di kanan, kita dipaksa untuk memandang ke atas. Ingatlah, orang Israel untuk pertama kalinya berseru kepada Tuhan ketika mereka mendapati diri mereka sedang dikepung dari berbagai penjuru. Seperti yang ditulis oleh Annie Johnson Flint ("Pressed Out of Measure"):

Ditekan keluar dari takarannya dan ditekan sampai ke semua arah
Ditekannya dengan begitu kuat hingga nampak melampaui kekuatan

Ditekan ke dalam tubuh dan ditekan hingga ke jiwa;
Ditekan ke dalam pikiran hingga gelombang pekat bergulung;

Ditekan oleh musuh-musuh, dan ditekan oleh teman-teman,
Ditekan oleh tekanan hingga hidup nyaris berakhir

Ditekan hingga mengasihi pekerja dan anak kita
Ditekan hingga mengethaui tidak ada penolong lain selain Allah

Ditekan ke dalam kemerdekaan di mana tidak ada tempat untuk bergantung;
Ditekan ke dalam iman untuk hal-hal mustahil

Ditekan hingga menjalani kehidupan di dalam Tuhan;
Ditekan hingga hidup dalam kehidupan Kristus yang berkelimpahan

Selanjutnya Swindoll dalam jurnal pribadinya menulis:


Ketika aku panik, aku lari
Ketika aku lari, aku kalah
Ketika aku kalah, Allah menanti
Ketika aku menanti, Dia berperang
Ketika Dia berperang, Dia menang
Dan ketika Dia menang, aku belajar.


****


Charles Swindoll, MUSA: Pria Berdedikasi dan Tak Mementingkan Diri Sendiri, Jakarta: Cipta Olah Pustaka, 2001, 322-323.

25 Oktober 2007

Ketika Kau Merasa Penting!

Suatu kali ketika kau merasa penting,
Suatu kali ketika egomu naik;
Suatu kali ketika kau menganggap
pastilah kaulah pemenang perlombaan "anak anjing";
Suatu kali ketika kau merasa bahwa ketidakhadiranmu
akan meninggalkan sebuah lobang yang tak terisikan,
Ikuti saja pelajaran-pelajaran sederhana berikut ini,
Dan lihat bagaimana ini akan merendahkan hatimu
Ambillah sebuah ember, isilah dengan air,
Letakkan tanganmu ke dalamnya
sampai pergelangan tanganmu
Sekarang tariklah tanganmu keluar secepatnya
dan lubang yang tersisa
Adalah ukuran seberapa dirimu akan terhilang
Kau dapat menciprat-cipratkan seluruh dirimu
sama seperti kau memasukinya
Dan menggoncangkan air yang begitu berlimpah,
Tetapi berhentilah dan kau akan menemukan dalam semenit,
Semuanya kembali lagi
tepat seperti semula.

(Unknown, dikutip oleh A. Dudley Dennison, Jr. , M.D. dalam Windows, Ladders, and Bridges (Grand Rapids: The Zondervan Corporation, 1976), hal. 113-114.

22 Oktober 2007

Mengelola Diri Sendiri

Bagi orang zaman sekarang, mengritik orang lain itu bukan hal tabu. Ada yang beralasan karena dia tidak suka melihat ada hal yang tidak beres, ada yang memang kerjaannya memang mengritik, atau semua alasan yang akhirnya menggandeng istilah "kasih", iya karena saya mengasihinya maka saya bla.. bla ..bla. Problem melihat kesalahan orang lain ketimbang melihat kesalahan diri sendiri adalah problem klasik yang jarang mau diakui oleh kebanyakan manusia. Manusia cenderung menolak untuk disalahkan. Ia lebih suka merasa benar dan membenarkan diri. Padahal ia bukanlah jenis manusia super yang gak bisa salah (dan memang jenis seperti itu gak pernah ada). Namun apapun yang dikemukakan di sini pada kenyataannya orang lebih suka mengembangkan "sistem pembelaan diri" tinimbang "sistem pengelolaan diri sendiri".

Bila kita ditawarkan mau tidak kita menasehati orang lain, mungkin jawaban kita "tidak" karena kita malu sama diri kita sendiri, atau kita malah bilang "ya" karena kita merasa lebih baik dan seolah punya kewajiban untuk menegur orang dengan alasan kasih. Kita terkadang tidak tahu spirit apa yang berada di balik keinginan untuk memperbaiki diri orang lain?

Mengelola diri sendiri sebenarnya butuh beberapa aspek:
1. Kesadaran bahwa hidup itu bukan hanya mengalir tetapi perlu juga dikelola.
2. Kerendahan hati untuk menyadari bahwa hidup kita perlu terus dikembangkan dan ditata.
3. Kelebihan-kelebihan yang kita miliki tidak menghentikan kita untuk tetap belajar mengelola diri dengan baik.
4. Pengelolaan diri adalah modal untuk kita bisa mengelola orang lain dan jangan dibalik.

Kelihatannya mulai hari ini saya harus lebih menatap diri sendiri, memperbaiki diri sendiri, menegur diri sendiri, mengoreksi diri sendiri, menyapa diri sendiri, memberi kesempatan buat diri sendiri, berdamai dengan diri sendiri, menyemangati diri sendiri, mendorong diri sendiri, menguatkan diri sendiri, memantapkan diri sendiri, mengisi diri sendiri, mengakui kelemahan diri sendiri, mengurusi diri sendiri, tetapi TIDAK HIDUP UNTUK DIRI SENDIRI!

Daniel Zacharias

20 Oktober 2007

Kecewa!

Sepertinya ini adalah pengalaman banyak orang dan semua orang pasti pernah mengalaminya. Kecewa bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab. Bayangkan, ketika ada orang yang sudah dipromosikan untuk jabatan tertentu ternyata batal, dan orang tersebut diganti oleh orang lain yang menurut perusahaan jauh lebih tepat. Atau seseorang yang belum sempat dipromosikan namun ingin sekali dipromosikan, dan tentu yang berkeinginan seperti ini pasti banyak juga di kantor kita, tetapi 2 minggu kemudian yang dipromosikan malah orang lain, atau malah orang yang selama ini jelas-jelas menentang dirinya. Pasti kalau kita jadi orang tersebut maka kita akan kecewa dan berusaha untuk menahan kekecewaan kita untuk tidak dilihat oleh orang lain apalagi oleh dia yang sedang naik daun.
Kekecewaan juga melanda kita ketika kita berpikir bahwa orang yang kita kasihi pun mengasihi kita ternyata adalah orang yang diam-diam menjelekkan kita atau dengan terang-terangan mengkhianati kita. Atau kita kecewa karena usul kita ditolak oleh panitia hari besar di gereja. Kita kesal dan jengkel karena usul yang sudah kita pikirkan baik-baik ternyata ditolak begitu saja tanpa diolah dulu. Kita juga kecewa karena orang yang kita harapkan datang di hari yang istimewa ternyata dia malah mengurusi hal lain yang menurutnya itu jauh lebih penting. Padahal diam-diam kita mengharapkan kedatangannya, sangat!

Ada juga yang kecewa karena produk yang dilihatnya di iklan ternyata dalam kenyataannya sangat merugikan. Dan yang tambah mengecewakan lagi ternyata pemasang iklan tidak bertanggung jawab untuk produk yangdipasangnya.

Sementara di beberapa tempat ada yang kecewa kepada Tuhan karena Ia tidak mengabulkan doanya seperti yang ia harapkan. Ada yang kecewa karena 25 tahun melayani hidupnya biasa-biasa saja sehingga ia harus 'melacurkan' prinsipnya untuk menjadi orang lain demi kata sukses yang diimpikannya.

Kalau ada yang kecewa seperti hal-hal di atas saya ingin mengatakan bahwa itu hal yang wajar namun jangan dibiarkan. Analoginya, jika jari anda teriris benda tajam maka ia akan berdarah. Itu hal yang wajar tetapi jangan dibiarkan. Kekecewaan adalah hal wajar namun jangan dibiarkan. Kekecewaan yang tertahan akan menimbulkan kefrustasian yang berkepanjangan atau malah menjadi semacam phobia atau semacam trauma.
Saya mengajukan dua saran:

1. Kekecewaan anda mesti ditumpahkan kepada Allah di dalam doa, sekalipun menurut anda, anda sedang tidak merasa enak atau nyaman dengan Dia.

2. Kekecewaan harus ditumpahkan kepada orang lain tetapi kepada orang yang tepat. Jangan sembarangan menceritakan kekecewaan kepada orang lain, mungkin orang itu tidak tepat, sebab bisa-bisa malah menambah kekecewaan kita menjadi semakin besar.

Salam

Daniel Zacharias

13 Oktober 2007

Agama dan Moralitas Publik

Masdar Hilmy

"The ideal is an ideal given by tradition" (Edward Shils, Tradition, 1980:32).

Pada sebuah seminar di Surabaya tahun 2003, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengungkap kegalauannya di seputar tidak berimbasnya ajaran agama bagi perbaikan kualitas kehidupan umat di ranah publik. Dikatakan dengan nada gundah, "jangan dikira Tuhan tidak marah ketika kita melanggar rambu-rambu lalu lintas!"

Mendengar ungkapan itu, saya mengernyitkan dahi sambil bergumam dalam hati, bagaimana mungkin Cak Nur mengetahui Tuhan bakal marah atas perilaku kita yang tidak tertib dan tidak taat hukum? Dari mana dia mengambil kesimpulan itu? Bukankah ketertiban, kedisiplinan, dan ketaatan kita terhadap peraturan publik merupakan refleksi keinginan manusia untuk maju, dan tidak tidak ada sangkut pautnya dengan peran Tuhan atau agama? Kalau ingin maju, ya, maju saja, "mengapa harus membawa-bawa agama segala?", protes saya dalam hati.

Tesis kaum esensialis
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial-politik, Cak Nur mungkin tergolong seorang esensialis yang memandang maju-mundurnya kualitas sebuah peradaban ditentukan oleh hadir-absennya nilai-nilai etik agama dalam ranah publik.

Dengan kegalauannya itu, Cak Nur secara sadar sedang meratapi absennya etos publik agama-agama sehingga masyarakat kita kurang menghargai nilai-nilai keadaban.

Argumentasi kaum esensialis berangkat dari dialektika kausalitas-resiprokal antara kesadaran beragama sebagai sesuatu yang laten dan peradaban sebagai sesuatu yang manifes.

Secara genealogis, keberadaan mazhab esensialisme diinspirasi oleh konstruk teoretis Weberian yang mengasumsikan budaya berbasis agama (religion-based culture) sebagai roh penting bagi sebuah peradaban. Kenyataan bahwa iklim demokrasi dapat tumbuh subur pada peradaban yang berbasis Protestan, misalnya, karena agama tersebut secara esensial tidak memusuhi prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam pandangan mazhab ini, kesadaran keberagamaan dan sistem keyakinan mengerangkai struktur terdalam kesadaran masyarakatnya yang menyediakan cetak biru bagi pola pikir dan perilaku masyarakat itu turun-temurun.

Belakangan, tesis esensialis Weberian diafirmasi sejumlah ilmuwan kontemporer seperti Edward Shils, Samuel P Huntington (melalui "benturan peradaban"), dan Francis Fukuyama (melalui tesis supremasi demokrasi liberal atas alternatif ideologis lainnya).

Memperkuat konstruk teoretis kaum esensialis ini, Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2003:64) menyatakan, "Culture does matter—indeed, it matters a lot. Historical religious traditions have left an enduring imprint on contemporary values". Artinya, budaya merupakan unit otonom yang menentukan hitam-putihnya kualitas sebuah peradaban. Dan, di balik entitas budaya ada system of beliefs yang salah satunya diilhami oleh agama.

Menolak esensialisme
Menggelitik untuk dipertanyakan secara kritis, betulkah rendahnya kualitas keadaban publik yang ditengarai Cak Nur disebabkan absennya moralitas publik dalam agama-agama kita? Atau, hal itu dikarenakan kita tidak mampu melakukan transformasi peradaban melalui substansiasi nilai-nilai publik dari ajaran agama?

Saya yakin, sebagian besar umat beragama di negeri ini akan meradang mendengar klaim-klaim esensialis terkait rendahnya moralitas publik kita. Sayang, secara apriori-apologetik kita sering menolak klaim-klaim itu seraya mengajukan klaim-klaim tekstual-normatif tandingan yang juga bersifat esensialis! Terlepas dari bias atau prejudice yang mungkin menghinggapi pikiran kaum esensialis, klaim-klaim mereka berangkat dari prosedur akademis yang teruji ketat disertai argumen sosiologis yang sulit terbantahkan.

Ungkapan Edward Shils sebagaimana dikutip di awal tulisan, dalam derajat tertentu, memiliki benang merah dengan tesis kaum esensialis. Sebuah masyarakat cenderung enggan melepaskan praktik budaya masa lalu hanya karena menganggap sistem budaya mereka sendirilah yang paling ideal. Sikap tertutup semacam ini hanya akan melahirkan sindrom superiority complex yang justru kontraproduktif bagi pelembagaan nilai-nilai agama sebagai moralitas publik.

Menyikapi klaim-klaim esensialis itu, kita sebaiknya bersikap terbuka sembari melakukan refleksi untuk menemukan solusinya. Berbagai bentuk moral hazards seperti tingginya angka kematian akibat kecelakaan di semua moda angkutan; tingginya laju perusakan lingkungan akibat pengabaian tata ruang, polusi udara, dan penggundulan hutan; tingginya indeks korupsi dan terjerembabnya bangsa dalam labirin krisis berkepanjangan menjadi indikasi paling sahih betapa masyarakat belum sepenuhnya mampu mengapresiasi pentingnya moralitas publik sebagai sebuah keharusan. Ironisnya, segala bentuk moral hazards itu justru terjadi di negeri yang mengklaim diri sebagai religius!

"Good and clean governance"
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik (Masdar Hilmy, "Mewarnai Ruang Publik", Kompas, 9/3/2006) yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).

Dalam konteks ini, kegalauan Cak Nur tentang tercerabutnya moralitas publik dari doktrin agama menjadi berasalan. Maka, kita layak melakukan otokritik dan refleksi: kontribusi positif apa yang dapat disumbangkan sistem ritus atau ibadah bagi peningkatan kualitas keadaban publik? Adakah shalat, puasa, dan zakat, misalnya, secara substansial terbukti memberi kontribusi bagi tegaknya prinsip good and clean governance dalam ruang publik?

Menggarisbawahi itu semua, sudah saatnya memberi bukti empiris kepada dunia bahwa keberagamaan kita bukan faktor yang terpisah dari prinsip good and clean governance dalam struktur kenegaraan kita. Kecuali jika kita hendak menolak tesis kaum esensialis bahwa etos keadaban publik tidak ada sangkut pautnya dengan doktrin atau ritus agama, maka lupakan saja peran agama dalam ruang publik!

Masdar Hilmy Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

12 Oktober 2007

Masa Kecil Babak 1 - 1970-1976

Gambaran masa kecil periode ini tidaklah begitu terekam jelas namun untunglah sudah ada teknologi fotografi yang merekam masa lalu. Periode tahun-tahun di atas adalah periode lahir sampai usia 6 tahun. Saat itu papa dan mama saya membawa kami pindah kontrakan sampai 3 kali: pertama di Gg. 2 Koja, Jln. Enim, dan Jl. Warakas (dulu disebut gang 1 luar). Ketiga tempat tersebut ada di Tg. Priok - Jakarta Utara. Berpindah-pindah kelihatannya sudah merupakan budaya keluarga kami.
Papa saya bernama Paul Samuel Zacharias dan mama saya Salomi Balukh. Keduanya berasal dari Bebalain -Loleh, Pulau Rote, NTT. Menurut kisah bahwa mereka meninggalkan Rote waktu mereka masih remaja di tahun 1958. Anak mereka 5 orang yakni: Daniel Petrus Zacharias (sekarang Pendeta jemaat di GKO Bintaro Tangerang), Johannes Alexander Zacharias (sekarang Teknisi Radio Sonora Jakarta), Geraldina Adriana Zacharias (sekarang Pendeta jemaat di GKO Sarijadi Bandung), Immanuel Adolf Zacharias (sekarang IT di Honda Wahana), dan Salmon Alexander Zacharias (sekarang Teknisi Radio Sonora Surabaya).

Masa kecil kami di periode itu adalah masa paling enak. Masa dimana kami benar-benar begitu diperhatikan oleh orangtua. Hampir permainan yang ada di toko papa kami berusaha (walau sebenarnya agak memaksa dirinya) membelikan buat kami. Di sisi lain ada Oom Abe yang bolak-balik luar negeri karena berlayar yang bisa bawakan kami mainan, coklat, dan sepatu.

Karena rumah kami adalah rumah kontrakan, jadi ruang bermain kami tidaklah lebar, dan teman kami adalah teman-teman seputar kontrakan yang ada. Di Gang 2 Koja kami tidak punya ingatan tentang masa kecil kami di sana karena kami masih sekitar 0-2 tahun, tetapi di jalan Enim saya ingat betul. Papa punya motor Jawa yang besar warna merah dan suaranya berderum-derum. Saya berdua dengan adik saya Johnny memiliki sepeda roda tiga yang juga berwarna merah dan itu sepeda pertamaku. Saya selalu duduk di depan dan Johnny selalu duduk di boncengan. Papa punya plat hitam yang memperdengarkan lagu-lagu tempo doeloe yang melekat keras di otak kami. Sedangkan kami punya radio kecil bulat yang sudah sejak dulu mendengar Radio Sonora. Tempat yang paling kami incar adalah belakang rumah di seberang rumah kami karena di sana ada kali dan ada perahu yang bisa menyeberangkan kami. Dulu kami memiliki fotonya entah sekarang ada dimana.

Omong-omong soal foto, papa saya itu hobby banget soal itu. Kemana saja kalau ada acara maka beliaulah yang jadi juru foto. Tidak heran sejak kami lahir dan tumbuh remaja selalu ada foto dari tahun ke tahun. Foto pertama saya adalah ketika saya berusia 1 tahun di sekitar tahun 1971 dan foto itu sudah foto berwarna.

Di sekitar tahun 1974-an, Papa mulai ganti motor ke Suzuki warna kuning. Jarang sekali saya lihat Suzuki kuning di zaman itu. Ketika itu kami sudah tinggal di Gg. 1 Luar. Di depan rumah kami ada kali selebar 5 m yang terhubung dengan jembatan kayu. Kadang-kadang kami main di depan rumah sambil duduk mancing yang umpannya genteng pecah. Adik kami yang ketiga sudah lahir yaitu Ina dan itu pertama kali dan satu-satunya punya adik perempuan. Ina di masa kecil suka sekali makan tanah, tetapi setelah besar gak lagi. Di sebelah rumah kami ada pohon tebu yang manis dan tidak jarang jari-jari kami sering gatal terkena buluh batang tebu.

Di depan rumah kami ada sebuah Gereja Tua dan juga ada sekolah Budi Utomo yang kelak saya bersekolah di situ sampai kelas 3 SD. Pemilik sekolah itu adalah Pdt. Pandie dan anehnya gereja di depan itu namanya GEREJA MASEHI INJILI di TIMOR. Gereja itu akhirnya tutup setelah Pdt. Pandie meninggal dan setelah banyak keributan di dalam gereja. Di depan gereja itulah saya pernah lihat adik saya Johnny tercebur di air dan sempat lihat dia tenggelam karena airnya bening dan untung banyak orang yang menolongnya sehingga ia selamat. Sedangkan di sebelah kanan rumah kami ada Kel. Paulus Manana dari Flores yang anak-anaknya adalah teman main kami, entah mereka semua sudah ada dimana? Ada keluarga Sunda, kami memanggilnya bu Ato, yang sangat baik terhadap kami yang sekarang rumah mereka masih di situ tetapi saya sudah lama tidak menjumpai keluarga tersebut.

Mama kami adalah orang yang sabar tapi cerewet. Tidak jarang komando untuk pulang ke rumah selalu ia teriakan ketika kami asyik bermain. Teriakannya selalu membuat kami kesal karena itu berarti kami harus meninggalkan teman-teman. Pengalaman saya terantuk tawon merupakan pengalaman yang tidak enak. Sudah bengkak jempol ini dimarahi pula oleh mama tanpa henti. Belum lagi berkelahi dan menusuk telinga salah seorang teman dengan kikir membuat saya kena hukum tak kenal ampun. Tetapi mama selalu menampilkan kami berdua, saya dengan Johnny, berpakaian seragam bila ke gereja. Kami selalu ke gereja dengan mama, papa jarang ke gereja.

Di belakang rumah kami tinggalah Kel. Oom Abe dan tante Tien de Fretes (tante Tien adik papa saya). Mereka termasuk keluarga berada yang kesemua anak-anaknya bersekolah di Strada, sekolah yang bagus di zaman itu, dan sayang orangtua saya tidak sanggup menyekolahkan saya di tempat itu. Anak-anak tante Tien yang adalah sepupu-sepupi saya adalah teman yang paling enak diajak bermain, bahkan kami masih akrab sampai saat ini sekalipun kami berjauhan. Saya sebut mereka: Adri, Herry, Nona, dan Mama. Kesemuanya, kecuali Adri, sudah menikah dan memiliki anak. Di rumah mami Tien (biasa kami memanggilnya) lagu-lagu Skeeter Davis dan yang sebangsanya selalu dipasang tiap pagi. Tidak jauh dari kami tinggal ada keluarga Jonas Zacharias yang kontrak di seberang rumah agak ke kiri sekitar 50 m dari rumah kami. Mereka tinggal di bawah tiang listrik besar. Waktu itu anak pertama dan kedua mereka lahir di situ yakni Diana dan Gabriel Zacharias.

Tempat bermain yang paling enak adalah di rumah Opa Amu Zacharias (kami menyebutnya opa kompleks) dan di Nenek Mia (di Gg. 101). Tempat itu adalah tempat liburan sekolah. Bergantian tiap tahunnya. Jarak satu dengan lainnya cuma terpaut beberapa ratus meter saja. Sebutlah di rumah Opa Kompleks ada Abe, Vecky, dan Mimi. Sedangkan di Gg. 101 ada Oom Denny dan Sem. Opa waktu itu masih kerja di Samudra Indonesia sehingga setiap pagi taxi Blue Bird sudah nongkrong di depan rumah.

Kami juga sering nginap di Nenek Rawabadak (Nenek Lisa Sereh yang tinggal di wilayah Rawabadak) di sana ada Too Tutu dan Ferry. Juga salah satu tempat favorit di rumah Yos Sereh yang berjarak cuma 10-20 m dari situ. Jika nginap di Rawabadak yang selalu dipasang adalah lagu Koes Plus dan The Mercys.

Satu malam rumah kami hampir kemalingan, rumah kami bagian teralisnya sudah dilinggis, dan papa biasanya menyimpan kaleng obat nyamuk bekas di taruh di atas jendela berderet, dan semua kaleng itu sudah dibuang di kali depan rumah kami. Rupanya mereka sudah mengincar TV Sharp Merah Black-White kami. Hampir setiap malam rumah kami penuh dengan orang yang mau nonton TV. Waktu itu masih pakai petromaks dan TV harus nonton dengan Accu. Jadi kalau Accu habis berarti kami tidak nonton TV selama 3 hari. Tetapi untunglah ada seorang kepala keamanan yang namanya Pak Abbas memergoki kawanan maling itu sehingga mereka lari tunggang-langgang.

Papa punya soundsystem dan loudspeaker yang bagus saat itu walau merknya tidak terkenal, Primo, tetapi barang itu cukup lama bersama-sama keluarga kami.

Nyaris kehidupan 0-6 tahun tidak beranjak dari Tanjung Priok. Tidak seperti anak saya sekarang, Ezra dan Adventia ,yang belum usia 2 tahun saja sudah terbang ke Ambon dan hampir tiap bulan ke Bandung. Masa kecil saya tidak pernah kemana-mana dan yang paling dinantikan adalah bila ke Jakarta Fair di Monas naik motor dengan papa lewat Ancol sore-sore. Biasanya selalu ada Es Diamond untuk itu.

Sayang ingatan itu tidak banyak, jadi belum banyak yang bisa diceritakan, mudah-mudahan lain kali kalau ada yang teringat maka bahan ini akan diedit seperlunya.

Daniel Zacharias

11 Oktober 2007

Dosa Membuat Kita Dungu

Semalam saya membaca Renungan Harian dan tertulislah kalimat: "Dosa membuat kita dungu". Saya renungkan kalimat ini dan memang benar sekali. Karena dosa Adam jadi seorang pesakitan yang bersembunyi padahal biasanya ia begitu akrab dengan Allah. Gara-gara dosa mengintip dan Kain membiarkannya ia dengan bodohnya membunuh adik kandungnya sendiri dan kemudian menyengsarakan dirinya dengan perasaan bersalah yang tidak ada habisnya. Karena dosa kemudian kita melihat bagaimana Daud seorang pahlawan, raja, penyair, jatuh dalam strategi busuk yang bertentangan dengan kapasitasnya. Karena dosa maka Salomo yang kaya karena diberkati Allah malah memakai kekayaannya untuk menyembah dewa-dewa yang dibenci Allah. Karena dosa manusia jadi bersikap kurang ajar kepada Allah dan sesama. Karena dosa manusia jadi salah bersikap terhadap Allah dan terhadap sesama. Karena dosa manusia tidak jelas menangkap sinyal Allah sehingga mereka menciptakan dewa-dewi sebagai kompensasinya.

Karena dosa kadang-kadang kita jadi tidak transparan, tidak jujur, dan serba sembunyi-sembunyi. Karena dosa anak-anak muda terlanjur menyerahkan keperjakaan dan keperawanannya tidak pada tempat dan waktunya. Karena dosa orang mengambil milik orang lain. Karena dosa para isteri berkencan dengan laki-laki yang bukan suaminya malah dengan bodoh membiarkan dirinya dihamili. Karena dosa maka para pria meninggalkan isterinya atau membuat isterinya dimadu dan memakai berbagai alasan untuk membenarkan nafsu binatangnya. Karena dosa para orangtua lebih memikirkan kepentingan dirinya ketimbang anak-anaknya. Dan karena dosa tidak jarang anak-anak yang menelantarkan orangtuanya dengan alasan yang masuk akal dan demi kelangsungan dan kemajuan hidup.

Karena dosa orang tidak menghormati Allah, orang yang lebih tua, orang yang dituakan. Datang ke gereja mengurusi urusan sendiri dan tidak menganggap kehadiran Allah sama sekali. Ngobrol seenaknya atau malah datang dan pergi seenaknya. Orang jadi bodoh sehingga menghormati manusia pun pilih-pilih. Orang hanya dihormati bila ia punya kelebihan dan uang, dan bila tidak memiliki apa-apa maka ia dengan bodoh diperlakukan semena-mena oleh orang yang sebenarnya bodoh pula. Orang bodoh berpikir dengan status dan jabatannya ia bisa memperlakukan orang lain, menganggap orang lain dengan sembarangan. Padahal itu juga adalah sebuah kebodohan alias kedunguan!

Karena dosa maka agama yang satu menganggap agamanya yang paling benar, dan kemudian dengan alasan agama dapat membunuh orang yang berbeda atau menindasnya. Orang beragama menindas? Jangan heran karena itulah kedunguan orang yang menanggap dirinya benar tetapi ternyata bertindak bodoh. Dan ada yang tambah dungu yaitu banyak orang menganggap dapat menghapus kesalahan dan dosanya sendiri dengan perbuatan baiknya.
Dosa membuat orang jadi bertindak di dalam ketidakmengertian walau sebenarnya ada juga yang dia mengerti. Dosa membuat orang tidak berdaya. Dosa membuat orang jadi bukan dirinya sendiri. Dosa membuat ia berkelakuan tidak benar. Sehingga ia terlihat benar-benar dungu di mata orang.

Tetapi jangan salah, dosa membuat orang juga menjadi salah pandang dan salah penilaian. Sekarang kawin cerai kata orang biasa, apalagi kawin dan cerai hanya untuk bisa mengawini kawan zinahnya. Dan kata orang ini hal biasa itupun sebenarnya adalah kebodohan. Kalau orang tidak ikutan mencuri pada saat menduduki jabatan itu dibilang bodoh. Heran ya orang sekarang berbuat baik malah jadi kelihatan bodoh, dan orang yang berbuat keliru dibilang wajar dan semua orang juga berbuat demikian. Itulah dosa membuat segalanya terbalik.
II Korintus 5:17: "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang".

Roma 6:12-13: 12 Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.13 Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.

Mari kita keluar dari kedunguan kita dan biarlah Kristus saja yang bertindak, karena hanya Dia yang sanggup memulihkan kita, Amin!


Daniel Zacharias

09 Oktober 2007

Menjadi Manusia Itu Tidak Gampang!

Menjadi manusia memang bukan keinginan setiap orang. Sebab seseorang tidak pernah bermimpi menjadi manusia. Tahu-tahu ia sudah dilahirkan dan kemudian bertumbuh dewasa. Bagaimana manusia belajar menjadi manusia tidaklah mudah. Terlalu banyak nasihat dan ajaran yang berlatar belakang budaya dan agama memberi masukan untuk maksud tersebut. Malah di sisi lain ada nasihat agar tidak mencari petunjuk dari luar diri tetapi bertanya pada diri sendiri. Namun, rasa-rasanya sangat aneh menanyakan bagaimana cara memakai radio dengan bertanya pada radio itu sendiri. Setidaknya kita harus bertanya pada siapa yang membuat radio tersebut. Persoalan justru bertambah rumit ketika hampir setiap orang memiliki asumsi yang berbeda tentang siapa yang menciptakan mereka. Malah tidak sedikit yang akhirnya berperang karena perbedaan-perbedaan tersebut.

Untuk bersikap obyektif rasa-rasanya tidaklah mungkin. Sebab keyakinan di dalam diri tidak pernah bersifat obyektif, begitu kata seorang pakar. Sehingga lagi-lagi kita akan kembali kepada keyakinan pribadi tetapi tidak menyerahkannya pada jawaban pribadi. Kita setuju dengan asumsi bahwa kita bertanya kenapa kita ada dan kenapa kita diciptakan bukan kepada diri sendiri tetapi kepada siapa yang menciptakan kita.

Dalam keyakinan saya, saya percaya bahwa belajar bagaimana menjadi manusia harus saya tanyakan kepada Sang Pencipta. Dan saya membaca Kitab Suci sebagai petunjuk-Nya untuk menjadi manusia bukan seperti yang saya inginkan tetapi yang seperti Pencipta saya inginkan.

Yang kemudian terlontar adalah bagaimana mungkin saya menjadi pribadi bukan seperti yang saya inginkan? Bukankah sulit menjadi pribadi seperti yang orang lain inginkan? Rupa-rupanya pertanyaan itu diajukan tanpa memahami bahwa Sang Pencipta bukan manusia yang tidak tahu apa-apa. Ketika Ia menciptakan saya dan anda, Ia sangat tahu bahwa menjadi seperti yang Ia inginkan adalah merupakan pencapaian kehidupan manusia yang sejati. Namun tidak sedikit pencapaian itu dikacaukan dengan nafsu, ambisi, kelemahan, dan keterbatasan manusia.

Pertanyaan mendasar bagi kita sekarang adalah apakah dapat disebut bahwa kita telah menjadi manusia karena kita mengikuti petunjuk-Nya dan kita tidak dapat disebut sebagai manusia saat kita menolak petunjuk-Nya?

Apakah karena kita berwujud dan memiliki eksistensi maka otomatis kita disebut manusia? Apakah karena kita diakui keberadaannya oleh sesama atau memiliki relasi dengan sesama maka kita dapat diakui sebagai manusia?

Menjadi manusia itu persoalan filosofis religius atau eksistensial?

Saya berpikir maka saya ada - Cogito ergo sum?

Lalu bagaimana menjadi manusia yang seharusnya dan yang sebenarnya?

Daniel Zacharias

08 Oktober 2007

Working With Your Heart

Ada orang yang bekerja dengan kepandaian dan pengetahuannya (head), ada pula yang mengandalkan koneksinya. Namun semua itu tidak menjamin bahwa mereka dapat menikmati pekerjaannya, sampai mereka bekerja dengan hatinya (heart). Selain bisa menikmati yang dikerjakan, bekerja dengan sepenuh hati hasilnyapun akan maksimal.
Ketika kita bekerja dengan hati, kemauan kita akan lebih kuat. Pikiran kita akan semakin tajam, sehingga akan lebih produktif dibanding bekerja tanpa hati. Dorongan hatilah yang menggerakkan pikiran, kemauan dan tindakan kita. Bagaimana bekerja dengan hati? Mulailah dengan lima langkah berikut ini:



1. Tetapkan tujuan dalam hati.Banyak tujuan yang bisa kita temukan ketika bekerja, mungkin untuk mendapatkan uang, pengalaman, posisi atau gengsi dan beberapa tujuan lainnya. Namun dalam persaingan bisnis yang ketat dan di tengah kesulitan akibat berbagai krisis, mereka yang bekerja digerakkan oleh tujuan-tujuan mulia yang lahir dari hati nurani, seringkali bertahan dan meraih sukses.


2. Temukan kepuasan dalam hati.Kepuasan finansial, kepuasan karir dan kepuasan-kepuasan lain yang bersifat fisik, tidak ada habisnya sehingga seringkali membuat orang lupa diri dan terjebak dalam penyimpangan-penyimpangan bisnis yang akhirnya menimbulkan persoalan besar. Pencarian kepuasan batin atau hati akan menjaga seseorang melakukan cara-cara yang benar dan aman dalam berbisnis.


3. Bekerja dengan ketetapan hati yang teguh. Halangan terbesar dalam bekerja adalah kondisi mental hati kita. Kurang antusias, kalah sebelum berperang, perasaan kurang mood dan berbagai kondisi mental yang melemahkan lainnya akan menjadi penghalang kesuksesan kita. Jika kita yakin terhadap motivasi hati kita yang bersih dan yakin dengan tujuan-tujuan mulia dalam hati kita, maka apapun halangannya akan dapat kita atasi dengan ketetapan hati yang teguh.


4. Bangun team dengan kesehatian.Tidak ada orang yang bisa sukses maksimal dengan bekerja sendirian. Bekerjasama dengan team maka kita dapat mencapai hasil lebih maksimal. Team yang kuat, utuh solid dan kompak, hanya bisa diwujudkan melalui kesehatian satu sama lain.
5. Bekerja dengan sepenuh hati.Apapun yang dikerjakan dengan sepenuh hati, keseriusan, fokus dan totalitas akan menghasilkan kualitas prima. Kesuksesan selalu diraih oleh mereka yang bekerja dengan segenap hatinya.



Jakoep Ezra, MBA, CBACharacter Specialistwww.powercharacter.com

Mencari Sosok Berintegritas

Senin, 08 Oktober 2007
KOMPAS - Opini

Rhenald Kasali

"Jika mencurigai seseorang berbohong, berpretensilah seakan-akan memercayainya; Kebohongan akan terungkap dengan sendirinya dan topeng akan terbuka." Arthur Schopenhauer (1788–1860)

Kata-kata mutiara itu mengingatkan pada cara kerja berbagai panitia seleksi yang mencari sosok berintegritas untuk masuk komisi-komisi independen.
Berbagai cara dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, memeriksa, mengendus jejak, hingga mewawancarainya. Wawancaranya pun dilakukan secara terbuka sehingga catatan-catatan negatif setiap calon menjadi tontonan publik.
Orang berintegritas tidak berbohong meski catatan negatifnya bukan masalah kecil. Apa yang diucapkan itu adalah yang dilakukan, begitu pula sebaliknya. Namun, selalu saja ada satu-dua yang berbohong. Kebohongan ini sebenarnya bisa dibaca, tetapi tidak mudah menemukan bukti-bukti. Kalaupun ada, kita hanya menemukan "bukti katanya" dari orang yang mengaku pernah mendengar. Namun, bukti otentik biasanya jarang didapat.
"Bukti-bukti katanya" menjadi masalah besar. Di satu sisi menimbulkan ketidakpercayaan, di sisi lain tidak semua anggota panitia seleksi (pansel) memercayai bukti itu. Itu karena selain bukti negatif, orang-orang itu juga punya catatan positif. Namun, berpretensi baik, seperti kata Arthur Schopenhauer, bisa membuka topeng seseorang. Hanya saja, jarak waktunya tak dalam genggaman waktu yang dimiliki pansel. Semua bisa terjadi setelah mereka terpilih.

Mitos orang baik
Adakah orang yang kita inginkan benar-benar baik? Jika mencari yang berintegritas saja, kiranya kita semua mempunyai calon. Namun, kita tidak mencari orang yang hanya jujur, tetapi juga mempunyai keberanian, mau memberantas korupsi, dan cerdas. Masalahnya, orang- orang cerdas belum tentu mau memberantas korupsi, juga sebaliknya.
Bergulat dengan perubahan, bangsa ini membutuhkan pemimpin. Dia bukan sekadar manajer biasa yang bekerja dengan sistem dan memelihara keseimbangan. Yang dicari adalah orang yang berani membongkar belenggu dan menanamkan nilai-nilai baru. Karena itu, Michael Angelo pernah mengatakan, "every act of creation must be started by the act of destuction".
Orang seperti itu tentu bisa dibaca dari rekam jejaknya. Semakin banyak belenggu dan tradisi yang dibongkar, semakin tidak populer dan banyak musuhnya. Yang pernah belajar leadership tentu ingat kalimat Paul Newan, "If you don’t have enemy, you don’t have character".
Seperti itu pula kita membaca surat-surat bernada amat negatif yang diajukan masyarakat terhadap nama-nama yang lolos uji integritas. Selalu ada orang yang gigih mengajukan bukti-bukti yang terkesan lengkap. Setelah ditelusuri, ada bagian yang dapat diterima, tetapi tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan. Sebagian informasi justru bertentangan. Kiranya seperti itulah pemimpin perubahan, kian berani, kian banyak musuhnya. Prof Komaruddin Hidayat mengatakan, "Hanya mobil yang tak pernah keluar garasilah yang tak ada cacatnya." Namun, pemrotes selalu berkilah, "Kalau sudah banyak yang tidak senang, perannya tidak efektif?"
Ada semacam rasa tidak nyaman bagi sebagian orang saat nama-nama tertentu masuk dalam list. Pansel bisa saja salah memilih, tetapi tidak bisa bekerja dengan persepsi. Jam terbang, pengalaman, dan ilmu pengetahuan berperan besar. Hanya karena kenal, atau mereka menjadi wistleblower, belum berati orang itu mampu menjadi sosok yang dicari.
Pengalaman di dunia bisnis menunjukkan tidak mudah mencari "orang baik". Selalu ada paradoks, antara pemimpin "kuat" (tetapi menyakitkan) dan pemimpin "baik" (tetapi tidak menyumbang keuntungan). Hal ini juga terjadi dalam mencari pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mitos "orang baik" menjadi perdebatan panjang. Seolah dengan membuang yang disangka jahat (koruptor), pasti didapat orang baik (antikorupsi).
Sebenarnya orang baik dan orang jahat selalu ada di mana-mana. Manusia bisa menjadi baik dan jahat karena karakter dan lingkungannya. Namun, orang tidak otomatis menjadi sesuatu karena persepsi. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap persepsi. Ini bukan sekadar komitmen ucapan (say believe), tetapi tindakan (do believe) yang hanya didapat dari ujian. Dan suka atau tidak, ujian tidak ada di tempat bersih, tetapi di lembaga-lembaga kotor. Itulah sebabnya "orang baik" yang berasal dari lingkungan baik-baik hanya mitos. Seperti kata Plato, "hidup yang tidak teruji tidak bernilai." Maka, yang penting bukan hanya prosesnya, tetapi juga rekam jejak dan pelembagaannya.

Rekam jejak
Abraham Lincoln pernah mengatakan, "A man’s character is like a tree and his reputation like it’s shadow; The shadow is what we think of it; The tree is the real thing." Rekam jejak membantu kita memahami the real thing, yaitu pohon atau jati diri seseorang yang terbentuk dari apa yang dilakukan bertahun-tahun.
Sayang, rekam jejak di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan "pohon" seseorang. Penelusurannya belum dapat dilakukan secara terbuka dengan data-data akurat. Terlebih lagi, banyak data diperoleh melalui pihak ketiga dan laporan masyarakat yang bersifat undercover, confidential, dan tidak tertutup datang dari kalangan "sakit hati". Data itu perlu dibaca dengan penuh kehati-hatian.
Alih-alih mendapat pohon (karakter dan leadership), yang diperoleh hanya bayangan (reputasi), yang bentuknya bisa bermacam-macam. Apalagi seorang change maker, kesannya bisa seperti monster. Orang-orang yang terusik akan berupaya mati-matian menimbulkan impresi jahat.
Pengalaman sejarah yang memalukan tidak boleh terulang dalam pemilihan sosok berintegritas. Dalam sejarah kemerdekaan, yang tidak suka dengan tetangganya melaporkan orang itu sebagai pejuang untuk ditahan dan disiksa kompeni (Belanda). Dalam sejarah pembubaran PKI, lagi-lagi banyak fitnah "sakit hati" ditaburkan sehingga terlapor dibinasakan tentara. Kehati-hatian adalah wisdom, bukan "kurang berani". Untuk memilih pemberani, pansel harus punya nyali, termasuk saat diolok-olok. Oleh karena itu, pengecekan silang menjadi penting dan dilakukan berkali-kali. Pengalaman empiris menemukan, amat mungkin topeng integritas satu-dua orang baru terbuka setelah ia terpilih seperti kata Arthur Schopenhauer.
Karena jarak antara cross-check dan pengumuman amat pendek, proses berikut di DPR menjadi amat penting. Meski DPR memakai lensa politik, integritas tidak dapat dijadikan alat tawar-menawar. DPR yang diawasi media tentu punya kemampuan menyaring yang lebih baik. Kalaupun tidak didapat, proses kelembagaan masih bisa menjadi tumpuan.
Kelembagaan antikorupsi
"Mitos orang baik" dalam proses seleksi bisa berakibat buruk jika amat dipercaya. Dalam banyak kasus, mitos ini mengakibatkan manusia lupa membangun institusinya, berakibat "orang baik" menjadi "jahat" karena lembaganya lemah.
Hampir semua komisi independen yang hanya mengandalkan pemimpin hasil seleksi, yang didukung jajaran birokrasi, mengalami guncangan integritas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY) hanya dua contoh. Komisi lainnya tidak berarti terbebas dari masalah. Mereka menghadapi masalah administrasi perkantoran, laporan keuangan, pengawasan, perekrutan pegawai, pengadaan barang, kepemimpinan kolektif, tata nilai (corporate culture), dan sebagainya.
Maka seleksinya tidak sekadar merekrut orang, tetapi membentuk tim yang mutlak harus ada perekat. Dalam bahasa kepemimpinan, kombinasi reptilia (penyerang, penyidik) dengan mamalia (yang memelihara organisasi) perlu menjadi pertimbangan. Setelah terbentuk, agenda pertamanya bukan menangkap penjahat, tetapi membangun dan menata kembali organisasi. Agar tidak terperangkap, manajemen harus diserahkan kepada profesional. Jadikan komisioner sebagai pemimpin perubahan.
Lembaga yang kuat menyumbang lebih dari 75 persen keberhasilan sebuah misi. Pada lembaga yang kuat, orang-orang "jahat" dapat dibentuk menjadi baik. Sebaliknya, pada lembaga yang manajemennya lemah, orang-orang "baik" dapat berubah menjadi "jahat".

Rhenald Kasali Salah Seorang Anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK, 2007

Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada


KOMPAS - Fokus
Sabtu, 06 Oktober 2007

Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ
Atheisme dimulai dengan kesulitan bahasa. Dan, jika kita membaca buku Christopher Hitchens, God is Not Great, kita akan tahu: ada juga salah sangka.
Atheisme tak datang dari kecerdasan semata-mata, tapi juga dari kaki yang gemetar dan tubuh yang terdesak. Kegamangan kepada agama yang sedang tampak kini mengingatkan suasana sehabis perang agama di Eropa di beberapa dasawarsa abad ke- 16. Agama nyaris identik dengan kekerasan, kesewenang- wenangan, dan penyempitan pikiran. Dari sinilah lahir semangat Pencerahan: terbit karya Montaigne dan Descartes, buah skeptisisme yang radikal. Doktrin agama diletakkan di satu jarak.
Kini berkibarnya "revivalisme", terkadang dalam bentuk "fundamentalisme", dan tentu saja bercabulnya kekerasan menyebabkan reaksi yang mirip: buku Hitchens terbit di dekat The End of Faith oleh Sam Harris (tahun 2004). Juga The God Delusion karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi. Satu kutipan oleh Dawkins: "Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama."
Namun, agaknya bukan karena waham bila dalam masa tiga dasawarsa terakhir ada "gerak" lain yang cukup berarti: mendekatnya filsafat ke iman. Dalam gerak "pascamodern" ke arah Tuhan ini diangkat kembali pendekatan fenomenologis Heidegger yang mendeskripsikan "berpikir meditatif", atau lebih khusus lagi, "berpikir puitis", yang lain dari cara berpikir yang melahirkan metafisika dan ilmu-ilmu.
Bersama itu, ada kritik Heidegger terhadap "tuhan menurut filsafat", atau tuhan dalam metafisika—yang baginya harus ditinggalkan. Dengan meninggalkannya, kata Heidegger, manusia justru akan lebih dekat ke "Tuhan yang ilahi" (göttlichen Gott).
Mungkin dengan itu kita bisa memahami Derrida: ia menyebut diri atheis, tapi juga mengatakan "tetapnya Tuhan dalam hidup saya" yang "diseru dengan nama-nama lain".
Jelas gerak "menengok kembali agama" itu bukan gerak kembali kepada asas theisme yang lama. Dalam Philosophy and the Turn to Religion, Hent de Vries mengikhtisarkan kecenderungan itu dalam sepatah kata Perancis yang mengandung dua makna: kata á Dieu ’ ke Tuhan’ atau adieu ’selamat tinggal’, "satu gerakan ke arah Tuhan, ke arah kata atau nama Tuhan", yang juga merupakan ucapan "selamat tinggal yang dramatis kepada tafsir yang kanonik dan dogmatik… atas pengertian ’Tuhan’ yang itu juga".

Syahadat Nurcholish Madjid
Tampak, tak hanya ada satu makna dalam nama "Tuhan". Bahkan, sejak berkembang pendekatan pascastrukturalis terhadap bahasa, kita kian sadar betapa tak stabilnya makna kata.
Kata Tuhan hanyalah "penanda" (signans) yang maknanya baru kita "dapat" tapi dalam arti sesuatu yang berbeda dari, misalnya, "makhluk". Beda ini akan terjadi terus-menerus. Sebab itu, pemaknaan "Tuhan" tak kunjung berhenti.
Penanda itu tak pernah menemukan signatum atau apa yang ditandainya. Signatum ("petanda"?) itu baru akan muncul nanti, nanti, dan nanti sebab kata Tuhan akan selamanya berkecimpung dalam hubungan dengan penanda-penanda lain.
Maka, tiap kali "Tuhan" kita sebut, sebenarnya kita tak menyebut-Nya. Saya ingat satu kalimat dari sebuah sutra: "Buddha bukanlah Buddha dan sebab itu ia Buddha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Buddha" atau "Tuhan" yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata itu, kita pun akan sadar pula tentang Sang "Buddha" dan Sang "Tuhan" yang tak terwakili oleh kata itu.
Agaknya itulah maksud Nurcholish Madjid ketika menerjemahkan kalimat syahadat Islam dengan semangat taukhid yang mendasar: "Aku bersaksi tiada tuhan selain Tuhan sendiri". Dengan kata lain, nama "Allah" hanyalah signans, dan tak bisa dicampuradukkan dengan signatum yang tak terjangkau. Jika dicampuradukkan, seperti yang sering terjadi, "Allah" seakan-akan sebutan satu tuhan di antara tuhan-tuhan lain—satu pengertian yang bertentangan dengan monotheisme sendiri.
Di abad ke-13, di Jerman, Meister Eckhart, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, berdoa dengan menyebut Gottes (tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). Yang pertama kurang-lebih sama dengan "pengertian" tentang Tuhan, sebuah konsep. Yang kedua: Ia yang tak terjangkau oleh konsep. Maka, Eckhart berbisik, "aku berdoa… agar dijauhkan aku dari tuhan". Di tahun 1329 Paus Yohannes XXII menuduhnya "sesat". Ia diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan.
Masalah bahasa itulah yang membuat akidah dan teologi jadi problematis. Teologi selamanya terbatas—bahkan mencong. Jean-Luc Marion mengatakan teologi membuat penulisnya "munafik". Sang penulis berlagak bicara tentang hal-hal yang suci, tetapi ia niscaya tak suci. Sang penulis bicara mau tak mau melampaui sarana dan kemampuannya. Maka, kata Marion, "kita harus mendapatkan pemaafan untuk tiap risalah dalam teologi".

"Satu", Zizek, dan ontologi Badiou
Theisme cenderung tak mengacuhkan itu. Theisme umumnya berangkat dari asumsi bahwa dalam bahasa ada makna yang menetap karena sang signatum hadir dan terjangkau—asumsi "metafisika kehadiran".
Ini tampak ketika kita mengatakan "Tuhan yang Maha Esa". Bukan saja di sana ada anggapan bahwa makna "Tuhan" sudah pasti. Juga kata esa menunjuk ke sesuatu yang dapat dihitung. Jika "tuhan" dapat dihitung, Ia praktis setaraf dengan benda. Ketika kita mengatakan "Tuhan itu Satu", kita sebenarnya telah menyekutukan-Nya.
Justru di situlah atheisme bermula. Slavoj Zizek mencoba membahas ini dengan menggunakan tesis ontologis Alain Badiou. Dalam tulisannya yang menawarkan sebuah "teologi materialis" dalam jurnal Angelaki edisi April 2007, Zizek mengatakan, "Satu" adalah pengertian yang muncul belakangan.
Zizek mengacu ke Badiou: "banyak" (yang juga berarti "berbagai-bagai") atau multiplisitas adalah kategori ontologis yang terdasar. Multiplisitas ini bukan berasal dari "Satu" dan tak dapat diringkas jadi "Satu". Lawan multiplisitas ini bukan "Satu", tapi "Nol"—atau kehampaan ontologis. "Satu" muncul hanya pada tingkat "mewakili" —hanya sebuah representasi.
Monotheisme tak melihat status dan peran "Satu" itu. Tak urung, monotheisme yang menghadirkan Tuhan sebagai "Satu" memungkinkan orang mempertentangkan "Satu" dengan "Nol". Maka, orang mudah untuk menghapus "Satu" dan memperoleh "Nol". Lahirlah seorang atheis. Tepat kata Zizek ketika ia menyimpulkan, "atheisme dapat bisa terpikirkan hanya dalam monotheisme".
Namun, memang tak mudah bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi Ibrahimi untuk menerima "teologi materialis" Zizek. Umumnya tak mudah bagi para pemeluk Islam, Kristen, dan Yahudi menerima argumen ontologis Badiou yang menganggap "Satu" hanya sebuah representasi meskipun dengan demikian mereka telah memperlakukan Tuhan sama dan sebangun dengan representan-Nya—satu hal yang sebenarnya bertentangan dengan dasar taukhid Surah al-Ikhlas dalam Al Quran, yang menegaskan "tak suatu apa pun yang menyamai-Nya".
Kaum monotheis memang berada dalam posisi yang kontradiktif. Apalagi, bagi mereka, Tuhan yang Satu itu juga Tuhan yang personal.
Syahdan, Emmanuel Levinas mengkritik keras Heidegger. Kita tahu, acap kali Heidegger berbicara dengan khidmat tentang Sein (Ada). Sein (Ada) adalah yang menyebabkan hal-hal-yang-ada muncul ber-ada. Bagi Levinas, dengan gambaran itu Sein (Ada) seakan-akan mendahului dan di atas segala hal yang ada (existents). Artinya, dalam ontologi Heidegger, Ada menguasai semuanya. Bagaikan "dominasi imperialis".
Tampaknya Levinas menganggap Heidegger—pemikir Jerman yang pernah jadi pendukung Nazi itu—berbicara tentang Ada sebagai semacam tuhan yang impersonal. Juga ketika Heidegger menyebut Yang Suci (das Heilige).
Menurut Levinas, ini menunjukkan kecenderungan "paganisme". Tanpa mendasarkan Ada dan Yang Suci dalam hubungan interpersonal, Heidegger telah mendekatkan diri bukan ke "bentuk agama yang lebih tinggi, melainkan ke bentuk yang selamanya primitif".
Levinas—yang filsafatnya diwarnai iman Yahudi—tampaknya hanya memahami agama dengan paradigma monotheisme Ibrahimi. Tentu saja itu tak memadai. Bukan saja Levinas salah memahami pengertian Ada dalam pemikiran Heidegger. Ia juga tak konsisten dengan filsafatnya sendiri, yang menerima Yang Lain sebagaimana Yang Lain, tanpa memasukkannya ke dalam kategori yang siap.
Padahal, dengan memakai iman Ibrahimi sebagai model, Levinas meletakkan keyakinan lain—Buddhisme dan Taoisme misalnya—dalam kotak. Apabila baginya agama lain itu "primitif", itu karena tak sesuai dengan standar Kristen dan Yahudi. Ia menyimpulkan: di ujung "agama primitif" ini tak ada yang "menyiapkan munculnya sesosok tuhan".
Levinas tak melihat, justru dengan tak adanya "sesosok tuhan" dalam "agama primitif", atheisme jadi tak relevan. Dengan kata lain, persoalannya terletak pada theisme sendiri. Saya teringat Paul Tillich.
Teolog Kristen itu menganggap theisme mereduksi hubungan manusia dan Tuhannya ke tingkat hubungan antara dua person, yang satu bersifat "ilahi". Dari reduksi inilah lahir atheisme sebagai antitesis. Maka, ikhtiar Tillich ialah menggapai "Tuhan-di-atas-Tuhan-dalam- theisme".

Tuhan "Tak Harus Ada"
Kini suara Tillich (meninggal di tahun 1965) sudah jarang didengar. Setidaknya bagi saya. Tapi, niatnya menggapai "Tuhan-di-atas-Tuhan-dalam-theisme" dan ucapannya bahwa Tuhan "tidak eksist"—sebab Ia melampaui "esensi serta eksistensi"—saya temukan reinkarnasinya dalam pemikiran Marion.
Marion, seperti Heidegger, menafikan tuhan kaum atheis yang sejak Thomas Aquinas (dan secara tak langsung juga sejak Ibnu Rushd, dengan dalil al-inaya dan dalil al-ikhtira'-nya) dibenarkan "ada"-nya dengan argumen metafisika. Baginya, Tuhan yang dianggap sebagai causa sui, sebab yang tak bersebab, adalah Tuhan yang direduksi jadi berhala: Ia hanya jadi titik terakhir penalaran tentang "ada". Ia hanya pemberi alasan (dan jaminan) bagi adanya hal ihwal, jadi ultima ratio untuk melengkapi argumen. Tapi, di situlah metafisika tak memadai.
Sebab Tuhan bukanlah hasil keinginan dan konklusi diskursus kita. Tuhan benar-benar tak harus ada (n’a justement pas á être). Ia mengatasi Ada, tak termasuk Ada. Ia mampu tanpa Ada. Bagi Marion, Tuhanlah yang datang dengan kemerdekaannya ke kita karena Kasih-Nya yang berlimpah, sebagai karunia dalam wahyu.
Di momen yang dikaruniakan itu kita bersua dengan manifestasi les phénomènes saturés, ’fenomena yang dilimpah-turahi’. Di hadapan fenomena dalam surplus yang melebihi intensiku itu, aku mustahil menangkap dan memahami obyek—kalaupun itu masih bisa disebut "obyek". Bahkan, aku dibentuk olehnya.
"Fenomena yang dilimpah-turahi" itu juga kita alami dalam pengalaman estetik ketika melihat lukisan Matisse, misalnya: sebuah pengalaman yang tak dapat diringkas jadi konsep. Apalagi pengalaman dengan yang ilahi, dalam wahyu: hanya dengan aikon kita bisa menjangkau-Nya.
Aikon, kata Marion, berbeda dengan berhala. Berhala adalah pantulan pandangan kita sendiri, terbentuk oleh arahan intensi kita. Sebaliknya pada aikon: intensi kita tak berdaya. Yang kasatmata dilimpah-turahi oleh yang tak-kasatmata, dan aikon mengarahkan pandanganku ke sesuatu di atas sana, yang lebih tinggi dari aikon itu sendiri. "Aikon" yang paling dahsyat adalah Kristus. Marion mengutip Paulus: Kristuslah "aikon dari Tuhan yang tak terlihat".
Di sini Marion bisa sangat memesona, tetapi ia tak bebas dari kritik. Dengan memakai wahyu sebagai paradigma "fenomena yang dilimpah-turahi", Marion—seperti Levinas—berbicara tentang "agama" dengan kacamata Ibrahimi. Bagaimana ia akan menerima Buddhisme, yang tak tergetar oleh wahyu dari "atas", melainkan pencerahan dari dalam?
Bagi Marion, berhala terjadi hanya ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai "kehadiran". Tapi, mungkinkah teologi yang ditawarkannya sepenuhnya bebas dari tendensi pemberhalaan?
Dengan pandangan khas Katolik, ia bicara tentang aikon. Tapi, bisa saja aikon itu—juga Tuhan—di-atas-Ada yang diperkenalkannya kepada kita, sebagaimana Gottheid yang hendak digayuh Eckhart—merosot jadi berhala, selama nama itu, kata itu, dibebani residu sejarah theisme yang, jika dipandang dari perspektif Buddhisme Zen, tetap berangkat dari Tuhan yang personal, bukan dari getar Ketiadaan.
Di sinilah kita butuh Derrida. Marion mengira "Tuhan-Tanpa-Ada" yang diimbaunya bisa bebas dari sejarah dan bahasa, tapi dengan Derrida kita akan ingat: kita selamanya hidup dengan bahasa yang kita warisi, dari tafsir ke tafsir. "Tuhan" tak punya makna yang hadir.
Maka Yudaisme, misalnya, cenderung tak menyebut Nama-Nya; dalam nama itu Tuhan selalu luput. "Dieu déja se contredit", kata Derrida: belum-belum Tuhan sudah mengontradiksi diri sendiri.
Maka, lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa. Dengan kata lain, hidup dengan janji: kelak ada Makna Terang yang akan datang—betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran.
Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.


Jakarta, 27 September 2007
GOENAWAN MOHAMAD Penyair, Pendiri Majalah Tempo

06 Oktober 2007

Dunia Buku Petualangan

Humaniora - KOMPAS
Sabtu, 06 Oktober 2007

Tia Setiadi

"Sebelum melakukan petualangan fisik—dalam hidupku, setidaknya—ada petualangan bersama buku-buku. Buku-buku itu menuturkan kepadamu dunia yang maha luas, namun sungguh tercakup. Penuh dengan kemungkinan-kemungkinan."

Itulah pengakuan Susan Sontag, seorang esais dan novelis perempuan terkenal Amerika Serikat dalam sebuah esai memukau: Homage to Halliburton, yang terhimpun dalam buku Where The Stress Fall. Dalam esai ringkas tersebut, Sontag mengisahkan ihwal pertautannya dengan buku. Pada umur tujuh tahun, ia membaca Book of Marvels, buku yang merekam pengembaraan Halliburton ke tempat-tempat yang menakjubkan dan menantang: Tembok Besar China, Grand Canyon, Masjid Biru di Isfahan, Lhasa, Delphi, Taj Mahal, dan banyak lainnya. Hallington menyebut tempat-tempat itu sebagai "mukjizat". Dan, gadis kecil itu pun terpesona. Di benak gadis kecil itu, menjadi petualang dan penulis seperti Halliburton merupakan suatu proses menjalani hidup dengan rasa serba ingin tahu yang tak pernah berkesudahan, dengan energi dan kegairahan yang melimpah. Pikiran itu begitu kuat tertanam dalam diri Sontag kecil, bahkan hingga jauh pada kemudian hari. Puluhan tahun kemudian, Sontag mengunjungi sendiri tempat-tempat ajaib yang dipaparkan dalam Book of Marvels dan dia pun menjadi penulis terkenal.

Perihal seberapa jauh buku- buku karya Halliburton telah memengaruhinya untuk bermimpi menjadi seorang penulis, dengan takzim Sontag menyatakan: "Ketika aku mengenang kembali kini, betapa besarnya pengaruh buku-buku Halliburton kepadaku pada masa-masa awal riwayat bacaku, aku melihat betapa kata "petualang" telah menyusup, mengharumi, dan menghasut lahirnya impianku untuk menjadi seorang penulis; sebab apakah penulis itu selain seorang petualang mental?"

Bocah dari Jawa Tengah
Dalam waktu yang tidak terpaut jauh dengan saat Sontag pertama kali membaca Book of Marvels, nun di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, juga ada seorang anak lelaki yang mengalami hal yang hampir serupa. Anak lelaki itu memang terbiasa ikut bermain bersama teman-teman sebayanya, namun ia merasa ada sesuatu yang berbeda antara dirinya dengan anak-anak lainnya. Dan, beda itulah yang membuatnya sudah mulai berpetualang dengan buku-buku, dan tak bisa kembali lagi selamanya. Hanya saja, "Waktu itu, dia tak tahu bahwa khayalan- khayalannya menggelikan kawan sepermainannya. Ketika untuk beberapa lama, sambil bermain bola, dibayangkannya padang- padang prairie, meskipun yang mengitarinya tidak lebih dari lapangan rumput bekas pabrik di mana sebatang randu tua tegak dan pohon-pohon mangga melebat." Bagi anak laki-laki itu, yang di kemudian hari menuliskan petualangan kreatifnya dalam Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang, "Bukan suatu perbuatan bodoh jika seseorang meminjamkan buku terjemahan Treasure Island kepada rombongan ketoprak amatir desa, yang sedang sibuk mencari sebuah kisah seru setelah mementaskan Damarwulan…." Anak lelaki itu kini telah menjadi salah seorang penyair dan esais terkuat Indonesia, dan juga telah menjadi seorang "petualang". Dialah Goenawan Mohamad. Sejauh mana petualangan yang telah dilakukan Goenawan, bisa kita simak, di antaranya, dalam puisi-puisinya. Kalau kita membaca Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad (1961-2001), kita akan digamit oleh Goenawan untuk berpetualang ke tempat-tempat jauh; ke Sarajevo, Berlin, Hiroshima, Nanking, Praha, dan tempat- tempat lainnya.
Maka, begitulah anak lelaki dari kota kecil Batang yang "punya khayalan-khayalan yang menggelikan bagi kawan-kawan sepermainannya" dulu itu, yang sekarang telah menjadi "petulang mental" sekaligus "petualang fisik" yang mengagumkan.

Keterbatasan Kant
Yang sangat mencengangkan, menurut saya—barangkali juga terasa agak ganjil—adalah kisah petualangan Immanuel Kant. Syahdan, pada suatu masa dalam kehidupan Kant yang tak terlalu berbahagia, dia pernah menjadi guru besar geografi. Padahal—astaga!—Kant sama sekali tak pernah melihat gunung seumur hidupnya. Bahkan, dia sama sekali tak pernah melihat lautan, yang sebetulnya hanya berjarak sekitar dua puluh mil dari tempat tinggalnya.
Perjalanan fisik yang dilakukan Kant tak pernah melewati batas-batas kota kecilnya, di Konigsberg. Dan, untuk perjalanan ini, Kant sudah memiliki jadwal waktunya sendiri. Dengan jaket abu-abu dan tongkat di tangannya, Kant akan muncul dari balik pintu rumahnya dan berjalan ke arah sebuah jalan setapak yang dihiasi pohon-pohon linden. Inilah yang disebut dengan "Philosopher’s Walks", dan semua orang tahu persis bahwa saat itu jam menunjukkan angka setengah empat tepat. Kant memang selalu menggunakan waktu tersebut untuk berjalan-jalan, pada musim apa pun.

Ajaibnya, kendati petualangan fisik Kant sangat terbatas, Kant mampu memberikan kuliah-kuliah geografi dengan penggambaran yang sedemikian cerdas, memukau dan hidup, hingga mampu membuat seluruh pendengarnya membayangkan tempat-tempat yang dipaparkannya. Dari mana Kant beroleh pengetahuan geografi yang menakjubkan itu, tanpa berkelana secara fisik? Dari buku-buku.

Kant seorang petualang mental yang sangat ulung. Dari caranya berbicara dan risalah-risalah yang ditulisnya, orang akan segera tahu betapa Kant telah melakukan perjalanan yang begitu jauh melalui wilayah-wilayah etika dan epistemologi yang penuh onak. Bahkan, melampaui Ultima Thule (jarak terjauh) logika yang berbahaya hingga menembus lorong ilmu yang paling gelap dan paling jauh dari peradaban, yakni metafisika.

Kisah tentang Sontag, Goenawan, dan Kant di atas meneguhkan kenyataan yang tak terbantahkan ini: pentingnya buku-buku dalam pembentukan kepribadian seseorang. Sedihnya, di Indonesia, kini, buku-buku boleh dibilang telah menjadi spesies yang langka. Yang saya maksud ialah buku-buku yang mampu memberikan kedalaman dan efek kesegaran bagi jiwa.
Buku-buku yang menginterogasi keyakinan-keyakinan kita yang sudah usang. Yang mempertanyakan, yang menggugat, yang mengajak kita berkelahi dengan kedunguan sendiri, yang menantang kita untuk bertualang ke tempat-tempat, yang bahkan belum terpetakan, mungkin tanpa "jalan pulang".

Yang membeludak dan laku hanya buku-buku yang sekadar pantulan dari realitas televisi kita. Buku-buku yang disebut Sontag dengan tepat sebagai bookscreen, yaitu buku-buku tentang seks, tentang menjadi jutawan dengan cara instan, tentang manajemen, tentang gosip, dan seterusnya. Ya, buku-buku "sejati" sangat langka di Indonesia. Padahal, ah, izinkan saya mengutip Sontag lagi di penghujung tulisan ini, masih dari buku Where The Stress Fall, tapi dari esai A Letter to Borgers.

"Jika buku-buku musnah, sejarah akan musnah dan umat manusia juga akan musnah … buku-buku bukan cuma penjumlahan dari mimpi-mimpi dan ingatan kita, tapi juga memberikan kepada kita model transendensi diri. Banyak orang yang mungkin berpikir bahwa membaca hanyalah sejenis pelarian: pelarian dari dunia riil sehari-sehari ke dunia imajiner, yaitu ’dunia buku-buku’. Tapi, buku-buku lebih dari itu: buku-buku adalah jalan untuk menjadi manusia yang ’penuh seluruh’."

Tia Setiadi
Penikmat Buku

05 Oktober 2007

Doa Pelayan Buat Jemaat-Nya

Selamat pagi,
Apa kira-kira doa Pendeta/Gembala serta Penatua/Diaken terhadap jemaatnya? Agar mereka diberkati? Agar mereka sehat-sehat saja? Agar mereka diberi pekerjaan yang baik? Diberi jodoh (bagi yang belum kalau yang sudah yah tahu diri lah)? Diberi solusi bila sedang menghadapi masalah? Rasanya semua telah dikerjakan oleh para pendeta di GKO.

Cuma pagi ini ada yang bagus untuk kita renungkan bersama dan saya sudah praktekkan mulai pagi ini yaitu menggunakan doa Paulus dalam Efesus 3:14-21 yang bunyinya:

14 Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa,
15 yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya.
16 Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu,
17 sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.
18 Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,
19 dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.
20 Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita,3:21 bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin.
(bagian bold saya tambahkan)


Menurut saudara ada berapa pokok doa Paulus dalam perikop ini? Tiga! Yah benar ada 3 apa saja itu?

Pertama, Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.

Kedua, Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan.

Ketiga, Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.

Dalam doksologinya Paulus mengakui bahwa Allah dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan. Amin!

Bagaimana kalau ketiga doa di atas dipersonalisasikan ke dalam doa kita terhadap jemaat dan doa jemaat terhadap pelayan sehingga menjadi demikian, contoh saya pakai GKO Bintaro Jaya:

Pertama, Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan Jemaat GKO Bintaro Jaya oleh Roh-Nya di dalam batin mereka, sehingga oleh iman mereka Kristus diam di dalam hati mereka dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.

Kedua, Aku berdoa, supaya Jemaat GKO Bintaro Jaya bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan.

Ketiga, Aku berdoa, supaya Jemaat GKO Bintaro Jaya dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.

Kata-kata Jemaat GKO Bintaro Jaya dapat kita ganti dengan nama jemaat lain sesuai tempat penugasan masing-masing atau menggantinya dengan nama pelayan mis: Pdt. Silat Lidah, atau Pnt. Cah Bodho, atau Dkn. Pinter Keblinger misalnya. Biarlah kita tidak hanya paham maknanya tetapi juga mempraktekan firman Allah.

04 Oktober 2007

KRISIS TIDAK MEMBENTUK SESEORANG TETAPI MEMUNCULKAN SIAPA DIA SEBENARNYA


II Korintus 4:11
Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini.


Pagi ini saya renungkan bagian ini dan indah sekali. Seringkali kita bilang pada diri kita sendiri atau nasihat pada orang lain bahwa krisis itu akan membentuk iman kita. Padahal krisis itu seringkali malah menghancurkan iman kita. Tidak jarang krisis-krisis yang kita alamai malah membuat kita kehilangan kontak dengan-Nya. Kita kehilangan nilai-nilai yang kita anut selama ini: kita gak suka "minum" jadi suka "minum", gak suka ngaco ngomongnya jadi demen ngomongin yang ngaco. Krisis malah tidak membuat kita berdoa tetapi malah membuat kita beroda alias ngeloyor sana-sini gak keruan. Krisis membuat kita gelisah, takut, cemas kering dan basah, nano-nano deh geliat perasaan kita.

Sebenarnya Tuhan hanya mengijinkan situasi penderitaan sebagai kawah candradimuka untuk memudahkan orang (atau malah menyulitkan bagi orang tertentu) untuk dibentuk oleh Allah sendiri. Krisis dipakai Tuhan untuk membuka selubung siapa kita sebenarnya. Orang itu kelihatan aslinya ketika ia berada dalam krisis. Seribu jubah bisa dipakai saat situasi "rumput hijau dan air tenang" tetapi tatkala krisis yang muncul justru kebangkrutan diri dan nilai muncur dari balik jubah kita. Tetapi tak mengapa, dengan demikian kita diajarkan untuk memandang siapa diri kita yang sebenarnya. Siapa kita. Dan jangan malu atau berat mengakui bahwa kita bangkrut secara iman dan karena itu meminta Tuhan menolong. Tanpa krisis kita tidak pernah tahu kualitas kita. Bukankah kita sering memandangi kualitas diri kita dari CV? Betul tetapi itu cuma sepenggal kualitas kognitif dan keterampilan yang mendatangkan uang gak lebih. Sementara sayang sekali bila kualitas manusia cuma dilihat dari kemampuannya untuk mendapatkan uang untuk makan, minum, kawin, beranak, berkeluarga, tawa derita, kemudian mati. Kualitas manusia lebih melampaui selembar (atau mungkin berlembar-lembar) CV. Karena justru dalam krisis kehidupan kualitas hidup asli kita terlihat. Dalam pandangan psikologi modern dikatakan sudah tidak zamannya lagi menyerahkan penilaian atas manusia berdasarkan IQ tetapi juga EQ dan berbagai Q-Q lainnya.

Dalam pandangan ayat ini Paulus mencoba mengajak kita untuk menunjukkan kualiatas kita sebagai orang percaya. Makin ditekan dan makin mengalami krisis, gambar Yesus tidak semakin kabur dari dalam hidup kita yang fana ini tetapi justru semakin nyata. Soalnya, sekarang banyak orang bermental instan dan tidak tahan ditekan sehingga mereka selalu menjadi bayi yang berteriak "ngek" dan minta susu langsung diantar. Padahal Tuhan sedang menyiapkan kita menjadi orang yang saat krisis walau tetap berteriak "ngek" namun sekalipun susu tidak cepat diantar ia tetap bersikukuh pada pendirian imannya bukan mempertanyakan kebijakan Tuhan seperti isteri Ayub. Benar juga apa kata-kata bijak "ketidaksabaran adalah cara daging, kesalahpahaman adalah cara Iblis".

Pagi ini saya teringat pada Karina yang hari ini berulang tahun dan terbaring kembali di RS Pertamina. Siang ini saya berencana menjenguknya. Krisis yang ia hadapi bukan baru sehari dua tetapi bertahun-tahun. Setahu saya mulai dari zaman Pdt. Herry sampai sekarang. Saya masih kagum pada semangat hidupnya dan justru itulah kualitas dirinya. CV-nya gak maju-maju karena sakit, tetapi kualitas diri makin terbentuk, Haleluya! Krisis menunjukkan bahwa dia adalah seorang pejuang bukan pengecut dan cengeng. Karena itu sekalipun merk krisis kita berbeda-beda baiklah kita tetap bisa memancarkan Kristus dalam derita kita.

Persiapkan hati dan diri kita dalam memasuki Perjamuan Kudus sedunia.

Daniel Zacharias
Bintaro Jaya

03 Oktober 2007

Mengapa Hal Sederhana Dibuat Rumit?

Biasanya langsung ada reaksi untuk judul ini: kalau memang rumit mengapa harus begitu disederhanakan? Soal kita sekarang adalah bolak-balik antara yang teoritis dan pragmatis sebagai bagian kecenderungan manusia diakui atau tidak. Bagi yang teoritis dia tidak akan pernah puas bila tidak membedah dari berbagai segi dan kemungkinan dan merasa akan kehilangan kehebatannya ketika ia ditanya bagaimana prakteknya. Dia bangga banget bila gara-gara kerumitan yang dia ciptakan orang jadi bingung atau malah tersesat. Dengan kata lain dia sedang menunjukkan kehebatannya terhadap lawan bicaranya. Tetapi orang-orang semacam ini biasanya lambat dalam aksi tetapi cepat menyambar dengan komentar mereka yang serba tajam tetapi jelimet. Kutip mengutip (tanpa melakukan verifikasi yang bertanggung jawab terhadap teks yang dikutip tetapi cuma mengikuti alur logika) menjadi budaya dalam pembicaraan minum teh mereka. Banyak kaum akademisi lebih suka memilih sikap ini karena tradisi pembentukan alam pikir mereka sudah begitu.

Sedangkan yang pragmatis cenderung tidak suka berbasa-basi dengan berbagai suguhan teoritis, dia langsung pada penerapananya. Sehingga orang-orang seperti ini cenderung bergerak cepat dan langsung pada sasaran. Mereka lebih percaya akan pengujian lapangan ketimbang kutip-mengutip yang belum tentu pas dengan alam pikir dan alam terap dari bahan-bahan pikiran itu. Rasanya orang-orang semacam ini yang membuat Paulo Freire keluar dari pakem teori pendidikan kebanyakan orang. Karena langsung berurusan dengan lapangan yang sangat kontekstual ia malah menjadi sasaran kutipan. Tetapi tetap saja di ruang kelas gaya Freire jarang diikuti dan kembali ke bentuk konvensional. Freire hanya jadi bahan ajar tidak lebih. Kagum pada Freire tidak berarti melaksanakan teorinya.

Freire membuat pendidikan yang kelihatan rumit menjadi lebih dicerna dan dimanfaatkan rakyat senegerinya. Mengapa yang sederhana terlalu dibuat rumit. Kerumitan terkadang tidak rumit pada dasarnya. Saya jadi ingat kata Andar Ismail, dosen saya, bahwa kita mesti menjadi step down yang menurunkan tegangan 220.000 volt menjadi 22o volt. Bagi Andar buatlah pokok yang sulit menjadi mudah dicerna jangan mempersulit bahkan untuk hal yang sederhana.

Kita tidak menyangkali bahwa banyak hal rumit di dunia bahkan di negeri ini. Tetapi kerumitan itu biasanya dimulai dari berbagai hal sederhana yang diselewengkan yang akhirnya berdampak pada hal-hal kompleks seperti pita kaset kusut. Korupsi misalnya mengapa begitu rumit ditelaah padahal itu merupakan natur manusia berdosa yang tidak pernah puas kalau tidak menjalankan dosanya. Persoalan selalu diarahkan pada peraturan dan undang-undang serta penyadaran moral, padahal urusan natur benang kusut ini adalah urusan ilahi. Membuat sistem tidak menghentikan hanya menghalangi atau memperlambat orang mencuri. Membuat sistem tidak berarti akar natur manusia berdosa dalam diri manusia menjadi terpenjara dan terpasung. Sederhana sekali bahwa dalam keberdosaan manusia Allah menganugerahkan pembebasan melalui karya soteriologis-Nya dalam Kristus. Kemanusiaan Kristus jadi barang debat, tetapi kealahan-Nya tidak membuat Dia relatif bagi dunia sebenarnya. Tetapi masih banyak orang yang ingin merumitkannya, padahal Dia datang dengan berbagai perumpamaan untuk menyerderhanakan yang rumit sebenarnya.

Daniel Zacharias

02 Oktober 2007

Inkonsistensi

Seorang guru seperti Yesus memiliki satu kelebihan yakni berpikir dan bersikap konsisten. Ketika Ia menghadapi cobaan dari para rohaniawan di zaman-Nya perihal kasus wanita yang tertangkap berzinah, Yesus mencoba mempertentangkan antara apa yang disebut dengan sikap konsisten dan tidak konsisten alias konsistensi dan inkonsistensi. Hal itu jelas terlihat ketika orang yang membawa dan mendakwa wanita itu ditantang dengan pernyataan: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Rupanya logika mempertentangkan antara konsistensi vs. inkosistensi terbaca oleh lawan bicaranya. Tak heran batu yang sudah dipersiapkan untuk hukum rajam batal dipergunakan sebagaimana digambarkan Mel Gibson dalam "The Passion of the Christ" sebagai batu-batu yang terlepas dari tangan dan menghujam tanah.

Mengapa saya sebut konsistensi vs. inkosistensi? Jelas, bahwa ketika batu-batu itu berjatuhan ke tanah, dan wanita pezinah itu bebas dari hukum raja, menunjukkan bahwa ternyata mereka tahu bahwa mereka yang siap menghukum dalam kategori berzinah ternyata adalah mereka yang siap dihukum dalam kategori dosa lainnya. "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa" adalah kalimat yang meminta pendengarnya melalukan otokritik untuk melakukan konsistensi. Artinya kalau seseorang konsisten melawan dosa makan ia harus melawan dosa di segi manapun. Jadi jangan ia melawan dosa korupsi tetapi diam-diam ia mempraktekan dosa perselingkuhan. Diam-diam menentang perjudian tetapi diam-diam masih mempercayai hal-hal yang berbau klenik sebagai penjaga kehidupan rumah tangganya.Yesus tidak bermaksud melemahkan sebuah hukum--karena tidak seorang pun manusia yang tidak berdosa--tetapi maksud-Nya disini adalah agar mereka yang menjalankan kebenaran jangan diam-diam melakukan kejahatan. Jangan sampai kehidupan mereka mempraktekan kebenaran dan kejahatan bersama-sama. Maksud Yesus adalah jangan ada orang yang berteriak "maling teriak maling", atau seseorang bermaksud mencuci tangan kita agar bersih tetapi tangannya sendiri berlumuran oli bekas.

Problem di dalam negara kita sekarang adalah pandai melempar kritik, menyalahkan orang, menuduh orang, sambil menganggap diri benar dan sempurna. Seringkali pendemo yang turun ke jalan berteriak tegakan keadilan tetapi saat yang sama ia seolah punya alasan yang 'benar' untuk memancing emosi polisi dan melawan otoritas. Mereka meneriakan ketidakadilan tetapi disisi lain mereka melukai hati orang lain. Ketika ada anggota polisi yang mulai bertindak tegas maka mata masyarakat menjadi tidak jeli karena yang kemudian menjadi tumpuan caci maki adalah anggota keamanan. Stasiun televisi seolah mendapat sebuah liputan khusus dan turut memaki polisi. Padahal kalau kita semua turun ke jalan kita semua pasti tahu dan jangan pura-pura jadi bodoh! Ketika perbuatan anarki demonstran sebagai aksi dibalas dengan reaksi oleh polisi maka kita dengan naifnya menyalahkan mereka yang membuat reaksi bukan pembuat aksi yang memalukan. Kita lalu membuat alasan karena polisi punya kode etik dan orang yang berdemonstran seolah "tidak punya" atau "dibuang agar benar-benar tidak punya" kode etik dan bisa bertindak semaunya.

Saya prihatin pada semua hal di negara ini. Ketika para penegak hukum meringkus A dan B. Ternyata dalam kenyataan selanjutnya para anggota penegak hukum sendiri teringkus dan tersandung persoalan yang sama. Sekali lagi inkosistensi terjadi di sekitar kita.Mengapa kita tidak belajar untuk konsisten yang meliputi:
1. Konsisten bertindak benar bukan hanya di depan orang tetapi juga tatkala tak ada orang.
2. Konsisten bertindak benar ketika yang dihadapi dan dibela bukan karena seiman, segolongan, sesuku, dan sebangsa saja.
3. Konsisten bertindak benar ketika kita bukan hanya merasa benar di sektor kehidupan tertentu lalu bisa seenaknya berbuat semaunya di sektor kehidupan pribadi kita lainnya.
4. Konsisten bertindak benar dan tidak bergantung pada perasaan dan situasionil.

Saya mulai belajar konsisten mulai dari diri saya sendiri. Saya ingin HIDUP BAIK, kemudian HIDUP LEBIH BAIK, dan akhirnya MENJADI YANG TERBAIK. Kiranya Tuhan menyertai saya.

Daniel Zacharias

Terima Dulu Atau Buang Dulu?

Yakobus 1:21
"Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu".


Terima dulu atau buang dulu? Jawabannya yah buang dulu! Lihat urutan dalam kalimatnya di Alkitab. Sebelum kita menerima firman Allah dalam hidup kita maka segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang bercokol dalam hati kita yang kemudian meluap dalam pikiran dan perbuatan kita itu dibuang. Caranya? Buatlah komitmen untuk benar-benar melawan semua hal jahat yang pernah memenjarakan kita selama ini, dan minta Roh Kudus menolong kita.

Tidak sedikit orang mau menerima firman tetapi tidak mau membuang kejahatan akibatnya benih firman itu seperti jatuh di jalan dan disambar burung, atau kalau sempat tumbuh juga kalau tidak di tanah berbatu, yah di tanah yang penuh semak duri, maka semua saat teduh, perenungan, dan kotbah yang kita dengar menjadi sia-sia. Menerima firman harus dengan lembut hati! Yang membuat kita tidak bisa menerima firman Allah dengan lembut hati adalah karena hati kita masih dikuasai oleh ketidakpercayaan, menertawakan janji Tuhan, kedagingan, kejahatan, pikiran penuh nafsu. Tuhan menghargai orang yang mempercayai-Nya dan menghargai firman-Nya (Maz 112:1-10).

Buatlah komitmen untuk membuang kejahatan dari hati kita, karena firman Allah tidak bersatu dengan kejahatan dalam diri kita. Terang tidak dapat bersatu dengan gelap!

Soal "buanglah" itu bukan bagian Allah, tetapi BAGIAN KITA. Ia memerintakan kita untuk membuangnya bukan Dia. Hal itu berarti bahwa Allah merasa kita sanggup untuk melakukannya.

Buang dulu atau terima dulu? Udah tahu masih nanya juga .... lakukan deh sekarang, Tuhan memberkati.