21 Oktober 2008

NUH: Suami Yang Menjadi Berkat

Kejadian 6:9-22

Awal Oktober 2008 yang lalu pakar pemasaran terkenal, Hermawan Kertajaya, mengangkat soal The Ark of Noah yang ditelusuri dengan pandangan universal dalam konteks bidangnya. Menarik juga ternyata kisah Nuh dapat menjadi inspirasi bagi sebuah bidang pemasaran.

Kisah Nuh memang bukan hanya terdapat dalam Perjanjian Lama tetapi juga terekam di kitab suci lainnya dan beberapa mitos seputar Babilonia.

Namun dalam bagian berikut ini kita melihat sisi Nuh sebagai pemimpin keluarga. Akhir-akhir ini tidak sedikit para pemimpin keluarga yang mengalami kegagalan yang akhirnya bukan menyelematkan keluarganya dari "air bah" tetapi malah menenggelamkannya. Ironis!

Sejak awal kehidupan manusia, Allah menciptakan keluarga dengan posisi sang ayah dan suami menjadi seseorang yang menerima kehendak Allah dan menjalankan kehendak Allah dalam keluarga. Dan Nuh adalah gambaran yang tepat buat contoh yang seorang ayah dan suami yang menjadi berkat.

Asal kata nama Nuh tidak begitu jelas. Tetapi banyak penafsir menghubungkan dengan kata nacham beristirahat, penghiburan. Nuh adalah generasi yang terakhir dari sepuluh Bapak Leluhur kuno dan pahlawan air bah. Dia adalah anak Lamekh yang berusia 182 tahun sewaktu Nuh lahir (Kej 5:28-29; Luk 3:36).

Di tengah kefasikan dan kejahatan yang merajalela saat itu (ayat 5), Kejahatan saat itu membuat Nuh kehilangan saudara-saudara kandungnya sendiri. Allah menemukan dalam diri Nuh seorang yang benar dan masih berusaha untuk berhubungan dengan-Nya. Kualitas yang dimiliki Nuh adalah bahwa ia adalah seorang yang benar (Kej 6:9), yang memiliki kebenaran yang bersumber dari iman (Ibr 11:7), dan ini terjadi karena ia mempunyai suatu persekutuan yang akrab dengan Tuhan, seperti dinyatakan dalam ayat 9.

Dia juga digambarkan sebagai orang yang hidup "tidak bercela di antara orang-orang sezamannya" (Kej 6:9) yang pada saat itu telah terpengaruh budaya Kainiah, hidup terbenam dalam taraf hidup moral yang rendah, dan kepada mereka dia memberitakan kebenaran (II Pet 2:5), biarpun ia tidak berhasil. Nuh hidup tidak bercela di antara orang-orang sezamannya, menunjukkan bahwa dia sekalipun sebagai seorang ayah dan seorang suami dan hidup di tengah-tengah situasi yang jahat, ia membuktikan dirinya setia kepada Allah dengan memisahkan diri dari kejahatan moral masyarakat di sekitarnya.

Nuh menyadari benar kalau dia adalah orang yang benar yang takut akan Allah dan tidak menyetujui pandangan dan kelakuan umum yang populer, Nuh adalah orang yang berkenaan kepada Allah (ayat 8; 7:1; Ibr 11:7; II Pet 2:5).

Nuh memiliki empat perkara yang luar biasa:

1. NUH ADALAH AYAH DAN SUAMI YANG MENJADI SALURAN DALAM MENERIMA KEHENDAK ALLAH

Nuh memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Ia menunjukkan kepada keluarganya bila ia adalah orang yang menjalin hubungan yang baik dengan-Nya. Ia tidak menjadikan dirinya seperti orang-orang yang hidup sezamannya. Ia tidak menjadikan dirinya sebagai pemberontak terhadap Allah sebaliknya ia menjadi karib Allah. Menerima kehendak Allah dipahami sebagai orang yang menerima firman Allah dan menyetujuinya. Peran seorang ayah dan suami adalah orang yang pertama-tama membuka hati dan telinganya bagi kebenaran Allah.

2. NUH ADALAH IMAM DAN NABI DALAM KELUARGA

Nuh memegang peran sebagai seorang imam ia mewakili keluarga di hadapan Tuhan, dalam peran nabi ia mewakili Allah di hadapan keluarganya.

3. NUH ADALAH AYAH DAN SUAMI YANG TIDAK SEKEDAR MENERIMA KEHENDAK ALLAH TETAPI MENJADI ORANG YANG PERTAMA DALAM KELUARGA YANG MENJALANKAN KEHENDAKNYA

Nuh tidak hanya menerima firman Allah tetapi ia juga menjalankan kehendak-Nya dalam keluarga. Dengan bertindak demikian ia tidak saja mendatangkan berkat bagi keluarganya tetapi ia juga memberikan perlindungan dan keselamatan dari ancaman air bah, dan memberikan masa depan yang cerah bagi keluarganya.

Tidak sedikit ayah dan suami di masa sekarang yang justru enggan menjalankan kehendak Allah dalam dirinya dan keluarganya, yang akibatnya sekalipun keadaan rumah tangganya tenang ia sementara sedang menyimpan 'bom waktu' yang suatu saat akan meledak. Sebab tidak ada orang yang hidup mengabaikan Allah yang dapat tenang hidupnya. Bagi Nuh menjalankan kehendak Allah jauh lebih penting daripada menjalankan kehendaknya sendiri.

Tidak terjadinya perwujudan peran ayah dan suami seperti yang ditunjukkan oleh Nuh dalam rumah tangga modern adalah karena banyak di antara mereka yang belum atau belum mau mengerti perannya. Mereka cuma mengerti perannya "menghasilkan anak" dan "memberi anak dan isteri makan, pakaian, dan pendidikan, lalu cukup". Peran ayah dan suami memberikan bimbingan rohani dan teladan rohani terabaikan.

4. NUH MEMILIKI WIBAWA KEBAPAAN ILAHI DAN BUKAN WIBAWA OTORITER

Dalam pengertian tertentu Tuhan telah mempercayakan kepada setiap suami dan ayah tanggung jawab untuk mewujudkan kepada manusia, pernyataan yang mendasar dari Alkitab, yaitu ke-Bapaan. Menjadi ayah dan suami yang sejati adalah gambaran yang paling sempurna tentang Allah yang dapat diraih oleh setiap pria.

Kesalahan terbesar pada masa kini adalah para ayah dan suami yang tidak mencerminkan Allah dalam hidupnya. Mereka tidak memiliki wibawa kebapaan ilahi dan menggantinya dengan wibawa otoriter atau wibawa kekaguman dari gaya pembiaran.

Nuh telah melakukan EMPAT HAL MENDASAR:
1. MENJADI SALURAN DALAM MENERIMA KEHENDAK ALLAH
2. IMAM DAN NABI DALAM KELUARGA
3. MENJADI ORANG YANG PERTAMA DALAM KELUARGA YANG MENJALANKAN KEHENDAKNYA
4. MEMILIKI WIBAWA KEBAPAAN ILAHI DAN BUKAN WIBAWA OTORITER

yang membuka jalan untuk keselamatan bagi keluarganya; dan menerapkan iman kepada keluarganya.

Ibrani 11:7: "Karena iman, maka Nuh--dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan--dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya;"
Bagaimana dengan keluarga kita? !

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Pendidikan Agama Kristen (PAK) Dewasa

A. Pengertian
Pendidikan Agama Kristen (PAK) untuk orang dewasa melalui gereja bermaksud untuk menolong orang dewasa membebaskan dirinya sendiri dari setiap kebergantungan kecuali kebergantungannya pada Yesus.[1] Gereja dipanggil melalui PAK untuk menolong orang dewasa menemukan Allah yang aktif dalam setiap peristiwa kehidupan, mempercayakan hidup mereka dalam tarafnya yang paling dalam untuk alasan ini, dan untuk merayakan dengan sukacita perbuatan Allah yang sempurna dalam Kristus dan berlangsung terus melalui Roh Kudus.[2]

B. Tujuan
Tujuan PAK untuk orang dewasa adalah agar semua pribadi menyadari Allah lewat penyingkapan diri-Nya, khususnya melalui kasih-Nya yang membebaskan sebagaimana yang dinyatakan dalam Yesus Kristus, dan kemudian mereka memberi respon dalam iman dan kasih--yang pada akhirnya mereka boleh mengenal siapa diri mereka dan apa arti hidup, bertumbuh sebagai anak-anak Allah yang berakar dalam persekutuan Kristen, hidup dalam Roh Allah dalam setiap hubungan, memenuhi panggilan pemuridan bersama di dunia, dan tinggal di dalam pengharapan Kristen.[3]

C. Sasaran
1. Tingkat Usia: 25-ke atas, dengan pembagian;
  • Masa Dewasa Dini: 25-40 tahun
  • Masa Dewasa Madya: 40-60 tahun
  • Masa Dewasa Lanjut (Lansia): 60-ke atas.[4]
2. Tugas perkembangan dan ciri-ciri yang hendaknya sudah dicapai:


2.a. Perkembangan Jasmani/Fisik [5]
  • Pada masa dewasa dini terjadi apa yang disebut dengan puncak efisiensi fisik yang terjadi pada usia pertengahan duapuluhan dan terjadi penurunan lambat laun hingga awal usia empatpuluhan.
    Pada masa dewasa madya terjadi perubahan fungsi fisik yang tak mampu berfungsi seperti sedia kala, dan beberapa organ tubuh tertentu mulai "aus".
  • Pada masa dewasa lanjut terjadi perubahan kondisi fisik ke arah yang memburuk dengan proses dan kecepatan yang berbeda-beda sesuai masing-masing individu. Dan pada masa ini keadaan fisik benar-benar semakin melemah dan tak berdaya sehingga harus bergantung pada orang lain.
2.b. Perkembangan Kognitif [6]

Pada tahap Formal Operasional
  • Pada tahap ini perkembangan intelektual dewasa sudah mencapai titik akhir puncaknya yang sama dengan perkembangan tahap sebelumnya (tahap pemuda). Semua hal yang berikutnya sebenarnya merupakan perluasan, penerapan, dan penghalusan dari pola pemikiran ini.
  • Orang dewasa mampu memasuki dunia logis yang berlaku secara mutlak dan universal yaitu dunia idealitas paling tinggi.
  • Orang dewasa dalam menyelesaikan suatu masalah langsung memasuki masalahnya. Ia mampu mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan dapat melihat akibat langsung dari usaha-usahanya guna menyelesaikan masalah tersebut.
  • Orang dewasa mampu menyadari keterbatasan baik yang ada pada dirinya (baik fisik maupun kognitif) maupun yang berhubungan dengan realitas di lingkungan hidupnya.
  • Orang dewasa dalam menyelesaikan masalahnya juga memikirkannya terlebih dahulu secara teoretis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisanya ini, orang dewasa lalu membuat suatu strategi penyelesaian secara verbal. Yang kemudian mengajukan pendapat-pendapat tertentu yang sering disebut sebagai proporsi, kemudian mencari sintesa dan relasi antara proporsi yang berbeda-beda tadi.

2.c. Perkembangan Psikososial [7]

Pada tahap Keintiman lawan Isolasi (20-30 tahun).

  • Dalam tahap ini pemuda siap dan ingin untuk menyatukan identitasnya dengan orang-orang lain.
  • Mereka mendambakan hubungan-hubungan intim-akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka harus berkorban.
  • Para pemuda dalam tahap ini untuk pertama kalinya mereka mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan genitalitas seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan mitra yang dicintainya.

Pada tahap Generativitas lawan Stagnasi (30-65 tahun).

  • Pada tahap ini orang dewasa melampaui dunia terbatas keluarga intimnya dan membuka diri terhadap dunia masyarakat luas, untuk memberikan sumbanganya yang berarti.
  • Pada tahap ini orang dewasa memasuki situasi antara rasa kebersamaan, sambil mengalahkan rasa kehilangan identitas.
  • Dan pada tahap ini orang dewasa memasuki taraf memelihara dan mempertahankan milik yang ada.

Tahap Integritas Ego lawan Keputusasaan (65-ke atas).

  • Pada tahap ini para lanjut usia (lansia) menghargai kontiunitas prestasi masa lampau dan melihat hidupnya yang berprestasi itu sebagai suatu langkah maju.
  • Orang dewasa pada tahap ini berdasarkan perkembangan-perkembangan sebelumnya mulai belajar menjadi bijaksana.

2.d. Perkembangan Pengambilan Keputusan Moral[8]

Tahap Pasca-Konvensional: Orientasi Azas Etika Universal.
Pada tahap ini orang dewasa meyakini bahwa semua yang baik dan tidak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri yang meluas dan universal.

2.e. Perkembangan Iman[9]
Tahap Kepercayaan Eksistensial Konjungtif (usia 25-45 tahun).

  • Pada tahap ini ditandai adanya keterbukaan dan perhatian baru terhadapa adanya polaritas, ketegangan, paradoks, dan ambiguitas, dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya.
  • Tahap Kepercayaan Eksistensial yang Mengacu pada Universalitas (usia 45-ke atas).
  • Pada tahap ini pribadi sudah melampaui tingkatan paradoks dan polarisasi, karena gaya hidupnya sudah langsung berakar pada kesatuan dengan "Yang Ultim".
  • Pada tahap ini pribadi sudah mampu meninggalkan atau melepaskan diri dari egonya.

D. Lingkungan dan Suasana Pembelajaran

1. Lingkungan
Randolph Crump Miller[10] menyatakan lingkungan pembelajaran PAK adalah:

  • rumah
  • sekolah umum
  • gereja
  • masyarakat

2. Pendidik:[11]

  • orang tua
  • guru
  • jemaat
  • masyarakat

3. Suasana Pembelajaran
Mengingat perkembangan kognitif orang dewasa menunjukkan bahwa mereka mampu membuat suatu analisa kritis dan suatu sintesa, juga secara perkembangan kepercayaan orang dewasa selalu menguji kembali semua keyakinan yang sudah diwariskan, maka dapat disebutkan di sini bahwa suasana belajar yang baik adalah suasana belajar yang kondusif. Artinya suatu suasana yang interaktif. Suasana di mana orang dewasa belajar aktif tanpa didikte oleh guru (guru memang tetap diperlukan) dan memberikan kesempatan buat orang dewasa untuk berpikir dan menganalisa bahan mensintesa sendiri.[12]

E. Materi Yang Sesuai

  • "Mempertahankan Rumah Tangga"
  • "Mempertahankan Keyakinan Diri"
  • "HAM Dalam Kacamata Orang Percaya Modern"
  • "Bagaimana Kuat Secara Iman Sekalipun Fisik Merosot"
  • "Mengisi Hari Tua Dengan Keintiman Dengan Allah dan Sesama"
  • "Menjadi Tua Yang Bijaksana dan Memberi Teladan".

F. Pilihan Metode

  • Yang perlu diperhatikan di sini bahwa semakin tua usia orang dewasa maka semua metode yang unsur psikomotoriknya tinggi dikurangi (pertimbangan fisik yang semakin lemah).
  • Sebenarnya metode-metode yang dapat dipakai adalah metode yang tidak berbeda jauh dengan metode yang dapat dilakukan oleh Pemuda, namun tetap dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kekuatan fisik orang dewasa, antara lain:
    · Ceramah
    · Panel
    · Tanya Jawab
    · Simposium
    · Brainstorming
    · Buzz Group
    · Studi Kasus
    · Diskusi
    · Forum
    · Wawancara
    · Peragaan peran
    · Seminar
    · Debat
    · Kelompok Melingkar
    · Induktif
    · Demonstrasi
    · Lokakarya
    · Kunjungan Lapangan

G. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan[13]

  • Orang dewasa belajar sebagai pribadi yang total, artinya dalam proses belajar orang dewasa senantiasa membawa pengalaman total masa lampaunya.
  • Orang dewasa belajar lebih efektif saat mereka menjadi partisipan yang aktif dalam pengalaman belajar.
  • Orang dewasa sangat dipengaruhi oleh hubungan antar pribadi yang ada dalam sebuah pengalaman belajar.
  • Seluruh pengalaman orang dewasa menyediakan pelajaran-pelajaran buat mereka sendiri.
  • Setiap orang dewasa adalah individu-individu dengan keunikan kapasitas, kemampuan, minat, kebutuhan, perhatian, dan kesempatan masing-masing.
  • Orang dewasa cenderung membuat menerima nilai-nilai dan sudut-sudut pandang dari pribadi-pribadi dengan siapa ia memiliki hubungannya yang signifikan.
  • Orang dewasa belajar tidak pernah lengkap sampai ia timbul dalam sebuah tindakan yang sebenarnya (sesuai).
  • Saat seorang dewasa telah belajar dengan efektif, hal ini akan merangsangnya untuk pelajaran selanjutnya dan itu akan menjadi motivasi diri bagi pelajaran baru.
  • Guru dalam belajar memainkan peran yang penting dalam pembelajaran orang dewasa.

[1] William F. Case, "Adult Education in the Chuch". Marvin J. Taylor, penyunting. An Introduction to Christian Education (Nashville, New York: Abingdon Press, 1966), 205.
[2] Ibid.
[3] Ibid., 208.
[4] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1997), 246.
[5] Ibid., 253, 326, 330,386-88.
[6] Jean Piaget, Antara Tindakan dan Pikiran (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 64-65; bd. William Crain, Theories of Development ( Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1992), 121, 128-29;; F. J. Monks, et. al., Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1998), 224.
[7] Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: Gramedia, 1989), 212-18; Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, Teori-teori Psikodinamik (Klinis) (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 152-56.
[8] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 233; Ronald Duska & Mariellen Whelan, Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1982), 61.
[9] James W. Fowler, "Tahap-tahap Kepercayaan Eksistensial", A. Supratiknya, penyunting, Teori Perkembangan Kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 34-37.
[10] Randolph Crump Miller, Education for Christian Living, edisi kedua (New Jersey: Prentice Hall, 1963), 99-164.
[11] Ibid.
[12] Ali Imron, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996), 38.
[13] Case, op. cit., 209-10.




Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Pendidikan Agama Kristen (PAK) Pemuda


A. Pengertian
Pendidikan Agama Kristen (PAK) untuk Pemuda bermaksud sebagai suatu usaha terencana untuk mempertemukan pemuda dengan Kristus melalui Injil, sehingga mereka mampu melihat diri sendiri sebagai pribadi yang sementara berkembang dalam segala hal, sekaligus memiliki tanggung jawab untuk medewasakan iman dan kasih, dan mampu merespon serta mengung-kapkannya dalam relasi dengan Allah dan sesama, maupun dalam keterlibatannya di dalam gereja.[1]

B. Tujuan
PAK Pemuda menolong para pemuda dan pemudi menyadari pengungkapan diri Allah dan mencari kasih dalam Yesus Kristus dan meresponnya dalam iman dan kasih, dan sampai akhirnya maka mereka boleh mengenal siapa mereka dan apa makna situasi kemanusiaan mereka yang bertumbuh sebagai putra-putri Allah yang berakar dalam paguyuban Kristen, hidup dalam Roh Allah dalam segenap hubungan-hubungan, memenuhi tugas kemuridan bersama dalam dunia, serta tinggal dalam pengharapan Kristen.[2]

C. Sasaran
1. Tingkat Usia: 18-25 tahun (Pemuda)
2. Tugas perkembangan dan ciri-ciri yang hendaknya sudah dicapai:

2.a. Perkembangan Jasmani/Fisik [3]

Pada masa ini terjadi perubahan-perubahan fisik dan psikologis pada waktu-waktu yang dapat diramalkan. Dan puncak efesiensi fisik biasanya dicapai pada usia pertengahan dua puluhan. Pada masa ini dapat dikatakan sebagai usia reproduktif.

2.b. Perkembangan Kognitif [4]
Pada tahap Formal Operasional
  • Pada tahap ini perkembangan intelektual pemuda mencapai titik akhir puncaknya. Semua hal yang berikutnya sebenarnya merupakan perluasan, penerapan, dan penghalusan dari pola pemikiran ini.
  • Pemuda sudah mampu memasuki dunia logis yang berlaku secara mutlak dan universal yaitu dunia idealitas paling tinggi.
  • Dan pemuda dalam menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya. Ia sudah mampu mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.
  • Pemuda juga sudah mulai mempelajari bahwa sebuah konstruksi teoritis atau sebuah visi utopis hanya memiliki nilai dari relasi bagaimana hal itu tersusun dalam kenyataan.
  • Pemuda juga sudah mampu menyadari keterbatasan baik yang ada pada dirinya maupun yang berhubungan dengan realitas di lingkungan hidupnya.
  • Pemuda dalam menyelesaikan masalahnya juga memikirkannya terlebih dahulu secara teoretis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisanya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian secara verbal. Yang kemudian mengajukan pendapat-pendapat tertentu yang sering disebut sebagai proporsi, kemudian mencari sintesa dan relasi antara proporsi yang berbeda-beda tadi.

2.c. Perkembangan Psikososial


Pada tahap Keintiman lawan Isolasi [5]

  • Dalam tahap ini pemuda siap dan ingin untuk menyatukan identitasnya dengan orang-orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan intim-akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka harus berkorban.
  • Para pemuda dalam tahap ini untuk pertama kalinya mereka mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan genitalitas seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan mitra yang dicintainya.[6]

2.d. Perkembangan Pengambilan Keputusan Moral[7]


  • Pada tahap ini tindakan benar cenderung dimengerti dari segi-segi hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh masyarakat.
  • Ada kesadaran yang jelas bahwa nilai-nilai dan opini pribadi itu relatif dan oleh karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai kesepakatan bersama.

2.e. Perkembangan Iman

Tahap Individual-reflektif [8]

  • Tahap ini ditandai dengan lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan dan nilai (religius) lama. Pemuda mulai menyadari bahwa seluruh sistem keyakinan, pandangan hidup, nilai dan komitmennya harus ditinjau kembali, diperiksa secara kritis, diganti, atau disusun ulang agar dapat menjadi sebuah sistem pemikiran dan arti relevan yang lebih eksplisit.
  • Pemuda mulai dapat berefleksi dari kesanggupannya sendiri sebagai subyek yang aktif, kritis, dan kreatif. Dengan kata lain otoritas yang awalnya berada di luar dirinya, maka dalam tahap ini justru berada di dalam dirinya sendiri.

D. Lingkungan dan Suasana Pembelajaran
1. Lingkungan
Randolph Crump Miller[9] menyatakan lingkungan pembelajaran PAK adalah:

  • rumah
  • sekolah umum
  • gereja
  • masyarakat

2. Pendidik:[10]

  • orang tua
  • guru
  • jemaat
  • masyarakat

3. Suasana Pembelajaran:

  • Mengingat perkembangan kognitif pemuda menunjukkan adanya kemungkinan mereka membuat suatu analisa kritis dan suatu sintesa, juga secara perkembangan kepercayaan pemuda berani menguji kembali semua keyakinan yang sudah diwariskan, maka dapat disebutkan di sini bahwa suasana belajar yang baik adalah suasana belajar yang kondusif. Artinya suatu suasana yang interaktif. Suasana di mana siswa belajar aktif tanpa didikte oleh guru dan memberikan kesempatan buat siswa untuk berpikir dan menganalisa sendiri.[11]

E. Materi Yang Sesuai
Pada tahap ini Pemuda diajarkan pokok-pokok seperti:

  • "Hakekat hidup Kristiani dan Implikasinya"
  • "Seks dan Pernikahan"
  • "Tritunggal"
  • "Kekudusan Hidup Kristiani"
  • "Kepemimpinan Kristen"
  • "Peranan Pemuda dalam Gereja"
  • "Makna Persahabatan dan Pernikahan"
  • "Mengambil Keputusan Secara Mandiri"
  • "Apakah Mengikut Yesus Adalah Keputusan Yang Benar?"
  • "Apakah Pergi ke Gereja Merupakan Keharusan?"
  • "Jodoh di Tangan Siapa?"
  • "Apakah Iman dan apakah Gereja itu?"
  • "Apakah aku sudah bertumbuh dan berbuah dalam iman?"
  • "Apa wujud pertumbuhan kerohanianku?"
  • "Aku, gereja, dan agama-agama lain"
  • "Aku, gereja, dan gereja-gereja lain".

F. Pilihan Metode-metode
Pada tahap ini Pemuda hampir dapat dikenakan metode-metode yang lebih banyak dari tahap sebelumnya dan hampir semua metode dapat dikenakan pada Pemuda, antara lain:

  • Ceramah
  • Panel
  • Tanya Jawab
  • Simposium
  • Brainstorming
  • Buzz Group
  • Studi Kasus
  • Diskusi
  • Forum
  • Wawancara
  • Peragaan peran
  • Seminar
  • Debat
  • Kelompok Melingkar
  • Induktif
  • Demonstrasi
  • Lokakarya
  • Kunjungan Lapangan
  • Kamp Kerja

G. Hal-hal Lain Yang Juga Perlu Diperhatikan [12]

  • Pelayanan PAK Pemuda harus menjadi salah satu komitmen utama gereja.
  • Pemuda sendiri harus terlibat dalam setting pelayanan dan implementasinya.
  • Pelayanan PAK Pemuda harus didasarkan pada rumusan teologi yang jelas, termasuk sebuah konsep dari hakekat dan tujuan gereja dalam masyarakat kota maupun desa.
  • Pelayanan PAK Pemuda haruslah fleksibel.
  • Pelayanan PAK Pemuda dapat dimungkinkan menjadi sebuah pelayanan yang tersebar: di luar gereja itu sendiri.
  • Gereja harus belajar mendengar lebih dalam dan akurat sebelum bertindak dan berbicara.
  • Respon gereja pada dunia kaum muda terletak pada kemampuannya untuk mengenal kehidupan yang sebenarnya di mana semua manusia dipanggil.
  • Pelayanan PAK bagi Pemuda harus sungguh-sungguh ekumenis.

[1] Lewis Joseph Sherrill, The Struggle of the Soul (New York: The MacMillan Company, 1963), 131-32; lih. David Ng, Youth in the Community of Disciples (Valley Forge, PA: Judson Press, 1984), 21-22; bnd. Allen J. Moore, "The Church's Young Adult Ministry," Marvin J. Taylor, penyunting, An Introduction to Christian Education (New York: Abingdon Press, 1966), 197-98.
[2] "The Objective of Christian Education for Senior High Young People," The National Council of Churches of Christ in the U. S. A., 1958, sebagaimana dikutip dalam David Ng, Youth in the Community of Disciples (Valley Forge, PA: Judson Press, 1984), 21-22.
[3] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1997), 246-53.
[4] Jean Piaget, Antara Tindakan dan Pikiran (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 64-65; bnd. William Crain, Theories of Development ( Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1992), 121, 128-29; lih. F. J. Monks, et al., Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), 224.
[5] Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: Gramedia, 1989), 212-13; Erik H. Erikson, "Youth: Fidelity and Diversity", Erik H. Erikson, penyunting, Youth: Change and Challenge (New York: Basic Books, 1963), 8-9; bnd. Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, Teori-teori Psikodinamik (Klinis) (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 152-53.
[6] Moore, op. cit. 199, Ross Synder sebagaimana dikutip Moore menggu-nakan istilah yang berbeda dengan Erikson. Ia memakai kata Memiliki lawan Isolasi (Belonging vs. Isolation). Baginya istilah ini lebih dalam maknanya dari kata intimitas (Belonging is more than being with another, …"creating a co-personal world").
[7] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 233; Ronald Duska & Mariellen Whelan, Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1982), 61.
[8] James W. Fowler, "Tahap-tahap Kepercayaan Eksistensial", A. Supratiknya, peny. Teori Perkembangan Kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 189-201.
[9] Randolph Crump Miller, Education for Christian Living, edisi kedua (New Jersey: Prentice Hall, 1963), 99-164.
[10] Ibid.
[11] Ali Imron, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996), 38.
[12] Moore, op. cit., 200-01.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

20 Oktober 2008

Pendidikan Agama Kristen (PAK) Remaja


A. Pengertian
Robert L. Browning mendefenisikan upaya PAK Remaja sebagai suatu upaya menolong para remaja "menjelajahi seluruh medan hubungan-hubungan", mengalami selaku remaja "dalam terang Injil", menemukan kepribadian yang tepat, dan menerima tanggung jawab bagi makna dan nilai yang menjadi jelas bagi mereka ketika mereka mengidentifikasikan diri mereka sendiri dengan tujuan dan misi gereja dalam dunia.[1]

B. Tujuan
Di mata Browning tujuan PAK Remaja seharusnya sama dengan tujuan total gereja. Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa tujuan PAK Remaja adalah mengasuh para remaja dalam paguyuban Kristen sehingga mereka dapat mendengar Injil dan mengalami maknanya, menyadari kasih Allah hidup mereka, dan meresponnya dalam iman dan kasih.[2]

C. Sasaran
1. Tingkat usia: 13-18 tahun (remaja).
2. Tugas perkembangan dan ciri-ciri yang hendaknya sudah dicapai:

2.a. Perkembangan Jasmani/Fisik
  • Pada masa ini remaja mengalami kematangan organ seks tetapi belum berfungsi secara penuh.[3]
  • Akibat perkembangan fisik ini (khususnya dari segi seksual) akan berdampak pada hubungan "kasualitas" yang berjalan dari aspek fisik ke aspek psikososial.[4]

2.b. Perkembangan Kognitif
Tahap operasi formal (11-15 tahun); Pada tahap ini remaja diharapkan telah mencapai kematangan intelek di mana ia sudah mampu berpikir jauh melampaui dunia real dan keyakinan sendiri dan sudah mulai mampu berpikir ilmiah (hipotetis-deduktif) dan sistematis serta tidak lagi sekedar meniru orang lain.[5]

2.c. Perkembangan Psikososial
Tahap Identitas lawan Kebingungan Peran (12-19 tahun); Pada tahap ini diharapkan remaja sudah dapat menentukan identitasnya yang jelas mengingat pada tahap ini remaja rentan sekali terhadap pengaruh luar demi sebuah "kesetiaan" atau "pengabdian" melalui konfirmasi ideologi-ideologi dan afirmasi dari kawan-kawan.[6]

2.d. Perkembangan Pengambilan Keputusan Moral[7]

  • Tahap Orientasi Anak Baik; Pada tahap ini remaja biasanya melakukan perbuatan baik yang digerakan oleh keinginan-keinginan agar diterima dan disetujui oleh orang lain.

  • Tahap Orientasi Hukum dan Ketertiban; pada tahap ini perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

2.e. Perkembangan Iman[8]
Tahap Kepercayaan Sintetis-Konvensional (usia 12-17 tahun); pada saat ini remaja membentuk pandangan hidupnya melalui apa yang dipercayai oleh keluarganya sendiri, ke arah pandangan dari luar.

D. Lingkungan dan Suasana Pembelajaran
1. Tempat:
- Gereja (Kelas Remaja)
- Sekolah
- Rumah
- Masyarakat

2. Pendidik:
- Guru Sekolah Minggu Remaja/Jemaat
- Guru Agama Kristen
- Orang tua
- Masyarakat

E. Materi Yang Sesuai

  • Untuk remaja yang sedang bertumbuh secara fisik berkenaan dengan masa pematangan seksual perlu diajarkan pokok "Seks Dalam Pandangan Alkitab".
  • Remaja yang dari segi psikososial sementara sedang bertarung secara ideologis dengan berbagai macam tokoh dan isme sehingga perlu diperkenalkan mengenai Ajaran-ajaran Yesus dan tokoh Yesus sendiri dalam bahasa remaja dan bila perlu dibandingkan dengan tokoh-tokoh seperti Marthin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, atau Mother Theresa.
  • Perlu juga diajarkan mengenai "Li" (Cofucius) atau "Arete" (Plato) masing-masing sebagai Terang dan Garam dunia guna melawan kekaburan peran dalam gereja.

F. Metode:

  • ceramah
  • tanya jawab
  • seminar
  • diskusi

G. Hal-hal Lain
1. Gereja atau sekolah harus belajar melihat segi-segi pengajarannya melalui kacamata remaja.[9]
2. Gereja harus menempatkan suatu tujuan yang jelas mengenai peran remaja dalam gereja mengingat krisis identitas sedang melanda usia ini.

[1] Robert L. Browning, "The Church's Youth Ministry", Marvin J. Taylor, Penyunting, An Introduction to Christian Education (New York: Abingdon Press, 1966), 181.
[2] Ibid., 182.
[3] Elizabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), 209-11.
[4] F. J. Monks, et al., Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), 265.
[5] William Crain, Theories of Development (New Jersey: Prentice Hall, 1992), 119-21.
[6] Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), 212; Calvin S. Hall & Gardner Linzey, Teori-teori Psikodinamik (Klinis) (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 151.
[7] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 232.
[8] A. Supratiknya, Teori-teori Perkembangan Kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 30-32; bnd. Charles M. Shelton, SJ., Spiritualitas Kaum Muda (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 57-59.
[9] op. cit. Robert L. Browning, 184.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

11 Oktober 2008

Pendidikan Agama Kristen (PAK) Anak

A. Pengertian
Pendidikan Agama Kristen (selanjutnya PAK) untuk anak digambarkan sebagai sebuah proses yang menolong setiap anak untuk menempati setiap level perkembangannya sampai pada kepenuhannya, dan juga dalam menghadapi soal hidupnya dalam sebuah konteks konsep Kristen dan nilai dan tuntunan kesaksian dari mereka yang lebih dewasa dalam iman. Juga sebagai persiapan untuk hidup pada masa yang akan datang, yakni kehidupan pada masa sekarang yang sedang menuju pada sebuah kapasitas yang paling penuh dari jenjang usia dan dalam hadirat Allah.[1]

B. Tujuan
Pada akhirnya anak dibawa pada penggenapan diri dan kedewasaan dalam iman Kristen yang dicirikan melalui:
  1. penerimaan pribadi akan Yesus Kristus sebagai juruselamat dan Tuhan,
  2. dewasa dalam pengambilan keputusan dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Kristiani yang sudah terinternalisasi, serta
  3. kebenaran, kekudusan yang sejati, dan mencapai kepenuhannya dalam meneladani Kristus.[2]

C. Sasaran
1. Tingkat usia: 0-12 tahun (anak)
2. Tugas perkembangan dan ciri-ciri yang hendaknya sudah dicapai:

Perkembangan Jasmani/Fisik

  • Masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia 2 tahun sampai anak matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria.[3]

  • Pertumbuhan selama awal masa kanak-kanak berlangsung lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan masa bayi. Namun boleh dibilang semua anggota-anggota tubuh walaupun masih dalam ukuran kecil sudah ada dan mulai dapat berfungsi.[4]

  • Sedangkan pada akhir masa kanak-kanak merupakan pertumbuhan yang lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun sebelum anak secara seksual menjadi matang pada saat mana pertumbuhan berkembang pesat.[5]

Perkembangan Kognitif:

  • Stadium Sensomotorik (0-18 atau 24 bulan) [6]. Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensomotorik ini, intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulus sensorik. Pada usia ini yang berlangsung adalah kegiatan bergaul dengan dunia lingkungan, dengan memakai pancainderanya untuk menangkap segala sesuatu yang bergerak di sekitarnya.

  • Stadium Pra-operasional (2-7 tahun)[7]. Anak pada stadium ini sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak sudah mulai meniru dan dapat dikatakan kalau tahap ini adalah tahap permulaan pemikiran kognitif walaupun belum sistematis dan kurang logis.

  • Stadium Operasional Konkrit (7-11 tahun)[8]. Pada masa usia sekolah ini, anak mempunyai kapasitas mental untuk mengatur dan menghubungkan pengalaman dalam suatu kesimpulan, memahami pembagian ruang, waktu, membuat kategorisasi, menilai, mengerti hukum sebab-akibat dan sebagainya. Pada masa ini anak sangat menggemari aturan main yang mengatur kegiatan bersama. Aktivitas logis tertentu dilakukan hanya dalam situasi yang konkrit.[9]

  • Tahap Operasi Formal (11-15 tahun). Di sini anak memasuki taraf kematangan intelek di mana ia mampu berpikir jauh melampaui dunia real dan keyakinan sendiri, yakni memasuki dunia abstrak. Inilah awal berpikir hipotetis-deduktif, yang merupakan cara berpikir ilmiah. Anak mampu memakai pendekatan sistematis untuk memecahkan problem, dengan tidak hanya sekedar meniru dari orang di sekitarnya.

Perkembangan Psikososial[10]:

  • Tahap Kepercayaan Dasar lawan Kecurigaan Dasar (0-2 tahun)
    Pada tahap ini anak sangat tergantung pada pribadi yang mengasuhnya, dengan kontak dengan pengasuh akibatnya terkembanglah kemampuan untuk percaya pada orang lain.

  • Tahap Otonomi lawan Rasa Malu dan Ragu-ragu (2-4 tahun)
    Sasaran pokok dari tahap ini ialah mengembangkan rasa otonom dan kesadaran akan eksistensi yang tak bergantung di masa anak dapat memaksakan kehendak bebas dan otonominya berlawanan dengan otonomi orang tua.

  • Tahap Inisiatif lawan Rasa Bersalah (4-6 tahun)
    Anak dengan kesanggupan indrawi, motorik, dan kognitif yang sudah berkembang merasa diri cukup kuat untuk mengusahkan, menyelidiki, dan mencoba segala hal.

  • Tahap Kerajinan lawan Rasa Rendah Diri (6-11 tahun)
    Dalam periode sekolah ini anak akan mengembangkan rasa kerajinan, daya konstruksi, dan semangat kegiatan untuk mendapat pengakuan dari orang lain.

Perkembangan Pengambilan Keputusan Moral[11]

Tahap Pra Konvensional (4-10 tahun)

  • Tingkat I: Orientasi Hukuman dan Ketaatan
    Suatu tindakan menurut aturan dinilai baik, jika tidak menimbulkan kesakitan atau ketakutan.

  • Tingkat II: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan
    Perbuatan yang menurut aturan adalah baik jika memuaskan hati. Nilai-nilai hidup dinilai secara fisik dan pragmatis.

Tahap Konvensional (10-13 tahun)

  • Tingkat III: Orientasi Relativis-Instrumental
    Perbuatan baik adalah yang menyenangkan dan dapat diterima oleh orang lain.

  • Tingkat IV: Orientasi Hukum dan Keadilan
    Perbuatan yang baik adalah melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

Perkembangan Iman[12]

  • Tahap Kepercayaan Elementer Awal (0-3 tahun)
    Belum ada ciri-ciri nyata dalam imannya, namun taraf ini merupakan basis dari perkembangan rasa-percaya, keberanian, harapan, dan kasih, pada tahap berikutnya.

  • Tahap Kepercayaan Intuitif-Proyektif (3-7 tahun)
    Anak berada dalam dunia fantasi dan imitasi dari cerita-cerita yang disampaikan oleh orang dewasa yang dekat dengannya.

  • Tahap Kepercayaan Mistis-Harafiah (8-11 tahun)
    Anak memasuki taraf di mana ia mengambil-alih cerita-cerita, kepercayaan serta tradisi dari persekutuan di mana ia menjadi anggotanya, sebagai bagian dari dirinya.

D. Lingkungan dan Suasana Pembelajaran

Tempat
RC. Miller mengemukakan tempat PAK bagi anak, antara lain:
a. Rumah
b. Sekolah Umum
c. Masyarakat
d. Gereja[13]

Siapa Pendidiknya[14]:
a. Di rumah adalah orang tua.
b. Di Sekolah Umum adalah guru.
c. Di Masyarakat adalah Masyarakat sendiri.
d. Di Gereja adalah Jemaat.

Materi Yang Sesuai[15]
a. Usia 2-3 Tahun

  • Tentang Allah:
    “Allah Mengasihi Aku"
    "Allah Menjaga Aku"

  • Tentang Yesus:
    "Yesus Mengasihi Aku"

  • Tentang Keluarga:
    "Allah Memberi Orang Tua"
    "Aku Harus Menaati Orang Tua"

b. Usia 4-5 Tahun

  • Tentang Allah:
    "Allah Mengasihi Aku dan Orang Lain"
    "Allah ada di mana-mana"

  • Tentang Yesus:
    "Yesus mengasihiku dan Ia adalah sahabat terbaiku"
    "Yesus ingin semua anak mengasihi-Nya"

  • Tentang Keluarga:
    "Allah memberikan keluarga untuk memperhatikan dan mengajarku"

c. Usia 6-7 tahun

  • Tentang Allah:
    "Allah Mengasihiku dan Keluargaku dan Teman-temanku"
    "Allah ingin kita berdoa dan membaca Alkitab"

  • Tentang Yesus:
    "Yesus adalah Anak Allah"

  • Tentang Keluarga:
    "Orangtua adalah Pemimpin dari Allah bagi kita di dunia"

d. Usia 8-9 tahun

  • Tentang Allah:
    "Allah berkuasa, bijaksana, dan ada di mana-mana"

  • Tentang Yesus:
    "Yesus adalah Anak Allah dan Juruselamat"

  • Tentang Keluarga:
    "Orang tua punya aturan untuk saya untuk ditaati, tetapi mereka juga harus punya aturan Allah untuk diikuti”.

e. Usia 10-11 Tahun

  • Tentang Allah:
    "Allah adalah Roh, Ia ada di mana-mana, tetapi rumah-Nya ada di Surga"

  • Tentang Yesus:
    "Yesus menunjukan pada kita bagaimana hidup bagi Allah, sebab kesempurnaan Yesus adalah contoh bagi semua manusia"

  • Tentang Keluarga:
    "Rumahku dan keluargaku adalah bagian dari rencana Allah bagi ku".

F. Pilihan Metode-Metode[16]
1. Metode Memberi Teladan
2. Metode Membaca
3. Metode Berbagi Pengalaman
4. Metode Percakapan
5. Musik dan Nyanyian
6. Melihat Gambar

Perlu juga diperhatikan bahwa dari segi Perkembangan Iman maka usia 3-7 tahun (Tahap Intuitif-Proyektif) dan usia 8-11 tahun (Tahap Mistis-Harafiah) sangat dipengaruhi oleh cerita jadi metode yang baik adalah Metode Cerita.[17]

G. Hal-hal Lain

  1. Prioritas-prioritas yang perlu diperhatikan adalah tetap memelihara keseimbangan kedudukan tiap-tiap tugas perkembangan dalam aplikasi penyajian materi.
  2. Akibatnya Unsur-unsur tersebut di atas sangat mempengaruhi materi yang dipilih.

[1] Carrie Lou Goddard, "The Christian Education of Children," Marvin J. Taylor, penyunting. An Introduction to Christian Education (New York: Abingdon Press, 1966), 175.
[2] Donald M. Joy, "Why Reach and Teach Children?". Robert E. Clark, et.al, penyunting. Childhood Education in the Church (Chicago: Moody Press, 1986), 19.
[3] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), hal. 108.; Diane E. Papalia & Sally Wendkos Olds, Human Development (Medison: McGraw-Hill Book Company, 1981), 91, 188, 189.
[4] Ibid., 110.
[5] Ibid., 148.
[6] F. J. Monks, et al., Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hal. 218; William Crain, Theories of Development, edisi ketiga (New Jersey: Prentice Hall, 1992), hal. 104; bnd. N. K. Atmadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 218.
[7] Ibid., 221.
[8] Ibid., 222-23.
[9] Ibid., N. K. Atmadja Hadinoto, bnd. Crain, 102.
[10] Erik H. Erikson, Childhood and Society (New York: WW. Norton & Company, 1963), 247-261; Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), 208-18; bnd. Calvin Hall & Gardner Lindzey, Teori-teori Psikodinamik (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 142-49.
[11] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 81-82; Ronald Duska & Mariellen Whelan, Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1982), 231-34.
[12] James W. Fowler, Stages of Faith (San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1981), 117-73; bnd. A. Supratiknya, peny. Teori Perkembangan Kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 27-30.
[13] Randolph Crump Miller, Education for Christian Living, edisi kedua (New Jersey: Prentice Hall, 1963), 99-164.
[14] Ibid.
[15] V. Gilbert Beers, Family Bible Library (Nashville: Southwestern, 1971), 10, 14-15, 18-19, 22-23, 26-27.
[16] V. Gilbert Beers, "Teaching Theological Concepts to Children". Robert E. Clark, et.al, penyunting. Childhood Education in the Church (Chicago: Moody Press, 1986), 363-79.
[17] Ruth Beam, "Storytelling for Children". Robert E. Clark, et.al, penyunting. Childhood Education in the Church (Chicago: Moody Press, 1986). Bd. Mary Elizabeth Mullino Moore, Teaching from the Heart (Minneapolis: Fortress Press, 1991), 136-38.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

10 Oktober 2008

Meluruskan Pemahaman Tentang PAK dan PWG

Dr. Andar Ismail, Th.M [1]

I. Pendahuluan
Sejak tahun 50-an gereja-gereja di Indonesia mengenal dua istilah baru, yaitu PAK (Pendidikan Agama Kristen) dan PWG (Pembinaan Warga Gereja). Itu belum berarti bahwa pengertian di balik kedua istilah itu telah dipahami secara benar. Orang cenderung mengasosiasikan PAK dengan Sekolah Minggu, anak kecil atau pelajaran agama di sekolah. Pengertian PWG pun dipahami secara keliru. Orang mengerti bahwa PWG adalah kursus untuk menjadi “pendeta mini” yang pandai memimpin renungan.

Untuk memahami PAK dan PWG serta memahami perbedaan dan persamaannya, baiklah kita menelusuri jejak asal usul PAK dan PWG. Untuk maksud ini kita dapat menoleh ke belakang ke zaman Reformasi abad 16, atau lebih jauh ke zaman Gereja Purba abad 1, atau lebih jauh ke zaman lahirnya sinagoge pada abad 5 SM atau ke zaan lahirnya filsafat pendidikan oleh Sokrates pada abad 4 SM. Tetapi dalam tulisan ini penelusuran jejak akan dimulai dari dekat yaitu dari awal abad 20.

II. Catatan Singkat Perkembangan PAK Abad 20
PAK sebagaimana yang kita kenal sekarang ini mulai mendapat bentuk sistematikanya pada konvensi th. 1903 di Chicago yang melahirkan Religious Education Assocaioation. Duapuluh tahun kemudian menyusullah pembentukan International Council of Religious Education[2].
Sebenarnya pemikiran tentang prinsip-prinsip teori PAK sudah dirintis beberapa puluh tahun sebelumnya oleh Horace Bushnell (1802-1876), pendeta di Hartford yang adalah lulusan Yale.

Pemikiran Bushnell timbul sebagai reaksi terhadap theologia yang sedang dominan di gereja-gereja Puritan di negara-negara bagian New England pada zaman itu yakni theologia yang sangat menekankan transendensi Allah di satu pihak dan antropologi theologis yang pesimis di lain pihak. Mereka membesar-besarkan kekuasaan Allah dan serentak mengecil-ngecilkan potensi manusia. Manusia digambarkan sebagai mahluk yang betul-betul celaka dan tidak mempunyai daya apa-apa kecuali menjadi penerima anugerah Allah yang pasif. Theologia seperti ini sejalan dengan metode yang transmissive seperti kebangunan rohani. Akibatnya pada zaman itu kebangunan rohani menjadi mode di New England. Baik anak kecil maupun orang dewasa ditakut-takuti dengan hukuman Tuhan lalu didesak untuk lahir kembali dan bertobat.[3]


Bushnell menentang pemahaman Injil yang sempit seperti itu, lalu ia mengemukakan sejumlah tesis dalam bukunya Christian Nurture. Ia berkata:

What is the true idea of Christian Education? That the child is to grow up a Christian, and never know himself as being otherwise. In other words, the aim, effort, and expectation should be, not as is commonly assumed, that the child is to grow up in sin to be converted after he comes to a mature age; but that he is to open on the world as one that is spiritually renewed, not remebering the time when he went through a technical experience but seeming rather to have loved what is good from his earliest years.[4]

Tesis lainnya berbunyi: “This is the very idea of Christian Education, that it begin with nurture or cultivation”.[5] Untuk zaman sekarang tesis seperti itu tidak mempunyai keistimewaan. Namun untuk akhir abad yl. Di mana belum dikenal Psikologi Perkembangan, Didaktik serta Metodik yang modern, maka tesis seperti itu adalah suatu terobosan baru.

III. Beberapa Asumsi dan Implikasi Tesis Bushnell

1. PAK berdiri di atas antropologi theologis yang optimis yang berkeyakinan bahwa tiap orang dilahirkan dengan kodrat yang baik dan bahwa kodrat yang baik itu dapat ditumbuhkan terus karena manusia mempunyai potensi untuk berpikir baik dan menghasilkan produk yang baik. George Albert Coe (1862-1951) yang mewarnai theologia dan teori PAK selama 50 tahun dalam abad ini mengatakan bahwa manusia dilahirkan sebagai gambar dan rupa Allah, sebab itu manusia dapat menjadi kandidat untuk karakter yang baik. Tugas PAK adalah mendorong dan menopang pertumbuhan ke arah kemungkinan yang baik itu.[6]

2. PAK berasumsi bahwa kepercayaan yang matang bukan timbul secara mendadak seperti pada akhir suatu kebaktian kebangunan rohani, melainkan tumbuh dalam proses jangka panjang sejalan dengan tumbuhnya perkembangan jiwa orang ybs. Sasaran dalam percaya bukanlah pertobatan melainkan pertumbuhan. Bushnell meletakkan salah satu dasar PAK yaitu bahwa tugas gereja bukanlah menciptakan suasana emosional sehingga orang bertobat di muka umum, melainkan menolong orang bertumbuh dalam sedikit demi sedikit sehingga iman itu berbuah dalam kehidupan. Mengulas tesis Bushnell itu, berkatalah Groome:

The attitude of revivalistis toward Christian formation was that, because of human depravity, children could not grow up as Christians but could only come to the faith by being “born again”. It was on this spesific point that Bushnell began his criticisms of the revival movement and of the whole conversion syndrome.[7]

Menopang tesis Bushnell ini Coe berkata: “… the constant aim of elementary religious education should be to make conversion unnecessary.”
[8]

3. PAK berasumsi bahwa iman bisa mandeg berputar-putar di situ juga, atau sebaliknya dapat berkembang ke tahap-tahap yang lebih matang dan lebih luas wawasannya. Asumsi ini digarap oleh William Clayton Bower yang meneliti hubungan antara perkembangan kepribadian dengan perkembangan kepercayaan.[9] Rintisan Bower pada awal abad ini di bidang PAK ternyata sekarang ini dikristalisasi oleh dunia psikologi dengan munculnya teori perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, teori perkembangan moral oleh Lawrence Kohlberg, teori perkembangan kepribadian oleh Erik Erikson dan teori perkembangan kepercayaan oleh James Fowler. Keempat teori itu langsung digunakan oleh didaktik dan metodik PAK.

4. PAK berasumsi bahwa tujuan iman bukanlah hanya untuk keselamatan pribadi nara dirik, melainkan supaya nara didik dalam persekutuan umat percaya berupaya menciptakan tatanan masyarakat yang ciri-cirinya sudah diperlihatkan oleh Yesus Kristus. Di dalam tujuan PAK terkandung suatu idealisme sosial. Coe menyebut idealisme itu “democracy of God”. Ia berkata, “Granted this socisl idealism as the interpretation of the life that now is, the aim of Christian education becomes this: Growth of the young toward and into mature and efficient devotion to the democracy of God, and happy self-realization therein.[10]

5. Pada konvensi 1903 hadir juga John Dewey, filsuf dan teoris pendidikan skuler aliran progresif, sebagai nara sumber yang memberi masukan. Itu menunjukkan bahwa sejak awal PAK terjalin dengan ilmu pendidikan sekuler. Coe berkata, “… both the processes and with those of so-called secular education. The relation is more than intertwining; they are branches of the same tree, they partake of the same sap.[11] Sebab itu hasil-hasil baru yang ditemukan oleh riset Ilmu Pendidikan dan Keguruan abad ini dimanfaatkan oleh PAK, misalnya cara membuat tujuan instruksional berdasarkan taxonomi kognitif, afektif tahun 60-an.[12]

6. PAK bukan berorientasi pada bahan, melainkan pada nara didik. Itu berarti bahwa PAK bukan bermaksud menjejali doktrin agama dan isi Alkitab. Pelajaran agama bukanlah pewarisan sejumlah doktrin kepada generasi berikut sebagai harta mati yang tidak boleh diubah melainkan pembuka kesempatan kepada generasi itu untuk mengembangkan iman yang menjawab persoalan kontemporer.[13] Inti kerugma adalah tetap, yakni bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Penyelamat, namun penjabaran kerugma itu menjadi didache terletak di tangan tiap generasi. Pendidikan agama yang mewariskan agama secara otoriter akan menghasilkan generasi katak beragama di bawah tempurung. Kemungkinan lain adalah bahwa pendidikan agama semacam itu akan menimbulkan effek boomerang, yaitu generasi yang kelak malah akan berbalik dan menolak agama.

IV. Catatan Singkat Perkembangan PWG Abad 20
PWG yang kita kenal sekarang ini di Indonesia mulai dikristalisasi pada th. 1945 di Eropa Barat. Pada Perang Dunia II sejumlah pemikir warga gereja yang ditahan rezim Nazi merasa prihatin bahwa umat Kristen kurang berhasil menjadikan diri relevan di tengah penderitaan manusia. Mereka mempelajari Alkitab dan menyadari bahwa mereka adalah garam dunia, tetapi di manakah garam itu ketika orang membeo dan membebek pemerintah diktatorial dan ketika satu bangsa memusnahkan bangsa lain. Seusai perang warga gereja ini berkumpul. Sebagai hasilnya lahirlah pada tahun 1945 pusat pembinaan warga gereja Institut Kerk en Wareld di Driebergen, Belanda, dbp. Hendrik Kraemer (1888-1965). Beberapa bulan kemudian menyusu pembentukan pusat pembinaan warga gereja Evanglische Akademie Bad Boll di Jerman dbp. Eberhard Muller. Pusat-pusat pembinaan warga gereja itu menghimpunkan kelompok-kelompok warga gereja untuk mendalami suatu masalah tertentu yang aktual dalam masyarakat, menyorotinya dari terang Firman Tuhan, dan mempelajari langkah jalan keluar yang dapat ditempuh oleh warga gereja di jalan hidupnya masing-masing.[14]

Sebenarnya kelahiran pusat-pusat pembinaan warga gereja pada tahun 1945 adalah ibarat telur yang menetas setelah dierami. Telurnya sendiri sudah keluar dua dasawarsa sebelumnya. Tepatnya telur itu keluar dari benak Joseph H. Oldham (1874-1969), warga gereja bukan-pendeta di gereja Anglikan Skotlandia. Bersama dengan Visser 't Hooft ia mempersiapkan konperensi sedunia tentang Church, Community and State di Oxford, Inggris, th. 1937. Dalam rangka persiapan konperensi itu, yang sebenarnya merupakan reaksi menentang munculnya pemerintah-pemerintah totaliter di Eropa, Oldham menulis beberapa tesis tentang warga gereja. Salah satu tesisnya berbunyi:

It is the members of the church, who discharge the responsibilties of the common life in a countless variety of occupations and in an infinite multiplicity of daily acts and decisions, that are the leaven which leaven the lump. In this faithful, silent witness, they are fulfilling the priestly function of the church.[15]

Keunikan tesis Oldham adalah bahwa ia memandang peranan warga gereja bukan untuk pekerjaan di dalam gereja melainkan untuk pekerjaan di luar gereja. Pada waktu itu para pemikir tentang peranan warga gereja, misalnya John Mott, melihat peranan warga gereja hanya sebagai alat untuk kepentingan gereja. Tetapi menurut Oldham pentingnya warga gereja adalah justru untuk kehidupan dan pekerjaannya di tengah masyarakat. Mengenai uniknya tesis Oldham, berkatalah Kraemer:

This approach of Dr. Oldham was quite new, because for the first time it was not the mobilization of active laymen for various purposes considered quite apart from the church, simply for its effectiveness, as Dr. John R. Mott had done in his organizing of Laymen’s Missionary Movements, but a viewing of the laity as an expression of the church and its calling and function in the world.[16]

V. Beberapa Asumsi dan Implikasi Tesis Oldham
1. PWG lahir dari pemahaman ekklesiologis yang secara expressis verbis merumuskan tempat organis warga gereja dalam hakekat dan missi gereja. Oldham memperlihatkan ekklesiologinya ketika berkata bahwa gereja mempunyai aspek ganda. Sebagai aspek pertama gereja adalah “a society organized for the specific purposes of worship, teaching, preaching and pastoral ministry.” Aspek kedua, gereja adalah “a society of men and women who have been given a new understanding of life and have undergone a change which effects their whole outlook and behavior and must color every action of their lives[17] Oldham lalu mensinyalir bahwa sejauh ini aspek pertamalah yang terlalu dominan. Ia berkata, It is the first and more restricted of these conceptions which tends to dominate our thinking and consequently to determine and limit our practice. Thus the church has become clericalized in the thinking of both clergy and laity.”[18]

2. PWG berasumsi bahwa ciri-ciri gereja yang sejati sebagaimana dirumuskan oleh Calvin adalah kurang lengkap. Calvin mengatakan bahwa ciri gereja adalah pelayanan Firman secara benar dan pelayanan sakramen secara benar.[19] Kalau hanya itu ciri gereja, maka warga gereja adalah obyek belaka. Warga gereja menjadi subyek kalau notae ecclesiae Calvin itu tidak dilengkapi dengan ciri yang lain, yakni kesaksian melalui perbuatan oleh warga gereja dalam hidup sekulernya. Hal itu diperlukan supaya paham ekklesiologi kita, kata Oldham, jangan mengarah kepada suatu disastrous ecclesiasticizing of the church, so that it becomes primarly an affair and interest of the clergy … rather than a community of redeemed men and women joyfully serving God in the ordinary concern of the common life.[20]

3. PWG berasumsi bahwa konsepsi yang tinggi tentang warga gereja bukan berarti konsepsi yang rendah tentang jabatan pendeta. Kelahiran PWG bukanlah untuk memperjuangkan status yang lebih tinggi bagi warga gereja lalu mengurangi arti jabatan pendeta. Peranan warga gereja adalah di garis depan, dan untuk itu dibutuhkan pembekalan oleh pendeta dari garis belakang. Keduanya saling menopang. Oldham membayangkan wadah PWG di mana pendeta dan warga gereja saling belajar, bukan di mana pendeta mentransmisikan suatu kebenaran yang otoritatif. Berkatalah Oldham,”It is necessary that Christian ministers should set themselves deliberately to learn as well as to teach. From the laity may be learned lessons of life that find no place in the curriculum of the theological college”.[21] Berbicara tentang konsepsi pendeta dan konsepsi warga gereja, Hans-Ruedi Weber menegaskan, “A high doctrine of the laity does not exclude, but rather demands, a new high doctrine of the clergy.”[22]

4. Adanya PWG bukanlah untuk menghasilkan warga gereja yang banci, yaitu ½ warga gereja biasa dan ½ pendeta. Orang sering mengira bahwa warga gereja yang baik adalah mereka yang banyak meninggalkan pekerjaan duniawinya lalu aktif dalam pekerjaan rohani. Padahal yang dibutuhkan adalah warga gereja yang justru di dalam dan melalui pekerjaan duniawinya bersaksi tentang Tuhan Yesus. Di sini ada lagi salah paham. Orang mengira bahwa bersaksi adalah memberi renungan di kantor tempat kerjanya atau sering menyebut “Puji Tuhan!” Padahal yang diperlukan adalah kesaksian tanpa kata namun penetratif, yaitu bersaksi melalui sikap dan perbuatan misalnya menunjukkan kerja yang bermutu dan jujur, tidak minta disuap dan tidak menerima hadiah yang bersifat menyuap. Warga gereja yang rajin dalam soal rohani tetapi berperilaku tidak kristiani dalam dunia, pekerjaannya termasuk apa yang disebut Hoekendijk sebagai warga gereja yang schizofren. Berkatalah Hoekendijk:

…it betrays something of the layman’s professional disease: schizophrenia. It leads to a split between the world of Sunday and the world during the rest of the week … a clericalized layman is unsuited for the apostolate; he has become a curch-domesticated laymans, tamed and caged by the church – one who has betrayed his own trade and has become unfaithful to the earth.[23]

5. Itu bukan berarti bahwa PWG mengecilkan ari keaktifan warga gereja di dalam kegiatan domestik gereja. PWG pun mempunyai lapangan kerja yang mengkader dan memampukan warga gereja untuk menjadi pelayan pekerjaan gereja. PWG menyadari perlunya keseimbangan antara kesaksian di kehidupan sekuler dan pelayanan di dalam gereja. Tidak ada polarisasi antara keduanya.

VI. Catatan Penutup
Perbedaan yang langsung tampak antara PAK dan PWG adalah golongan usia nara didik yang hendak dijangkau. PAK menjangkau segala golongan usia dari balita hingga manula, karena itu dikenal istilah PAK Pemuda atau PAK Dewasa; sedangkan PWG menjangkau hanya golongan usia dewasa.

a) Walaupun ada beberapa perbedaan antara PAK dan PWG namun yang mencolok adalah persamaannya. Baik PAK maupun PWG adalah usaha pendidikan gereja yang mempunyai kriteria dasar pendidikan yaitu:intensional, berarah tujuan, direncanakan dan disengaja
b) mempunyai nilai-nilai, menolong nara didik mengkoreksi dan meningkatkan nilai-nilai hidup;
c) melibatkan usaha untuk mengetahui dan mengerti, lalu usaha untuk melihat relasi antara apa yang diketahui dan dimengertinya tentang hal yagn satu dengan yang lain;
d) terjadi dalam proses jangka waktu yang panjang;
e) terjadi sebagai hasil interaksi yaitu belajar (interaksi antara pelajar dengan apa yang dipelajari) dan mengajar (interaksi antara pengajar, pelajar dan bahan pelajaran);
f) menyangkut dan menimbulkan hasil positif dalam hubungan dengan dirinya dan hubungan dengan dunia di luar dirinya;
g) menyangkut dimensi kognitif, afektif dan votif;
h) menyangkut pertumbuhan stadium perkembangan jiwa nara didik.[24]
Persamaan lainnya adalah bahwa baik PAK maupun PWG adalah usaha pendidikan gereja yang bertujuan menolong warga gereja bertumbuh dalam iman kristiani sehingga mampu merelasikan iman itu dengan kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Persamaan itu tampak jika kedua rumusan berikut ini dibandingkan:

The objective of Christian education is to help person to be aware of God’s self-disclosure and seeking love in Jesus Christ and to respond in faith and love – to the end that they may know who they are and what their human situation means, grow as children of God rooted in the Christian community, live in the Spirit of God in every relationship, fulfill their common discipleship in the world, and abide in the Christian hope.[25]

Laity formation must help the Christian to know God in relation to his/her daily life, and to understand the world in which he/she lives … equip a Christian to understand his/her faith and his/her worship as related to social, cultured and economic structures … Laity Formation aims not only at the training of the individual lay person, but also at the development and radical renewal of the Christian community for its worship of God and its service to the world.[26]

1. Dari perbandingan yang dilakukan oleh tulisan ini, ditarik kesimpulan bahwa PAK dan PWG adalah ibarat dua binatang yang berasal dari dua tempat yang berbeda dan disebut dengan nama yang berbeda, namun sebenarnya kedua binatang itu sama. PWG adalah indentik dengan PAK Dewasa. Apa yang di Belanda di sebut vormingswek, di Amerika disebut Adult Christian Education atau Continuing Education.

2. PAK dan PWG mempunyai missi yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan lapangan dan zaman. Di Indonesia seakrang ini, PAK dan PWG mempunyai missi menjembatani jurang antara ibadat dengan praktek hidup. Di Indonesia sekarang ini kehidupan beragama tumbuh subur. Tempat ibadat dipenuhi umat. Tetapi kehidupan beragama cenderung hanya bersifat ritual. Di satu pihak orang rajin beribadat, tetapi di lain pihak penyalahgunaan wewenang, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, materialisme dan egoisme belum tersentuh oleh kehidupan beragama. Persepsi keberagamaan lebih menekankan bakti ritual di alam rohani dari pada bakti riil dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Kehidupan beragama lebih berorientasi vertikal dari pada horisontal. Kepekaan spiritual ternyata tidak atau belum disertai kepekaan sosial. Kalau pendidikan agama berjalan ke arah ini, maka pendidikan agama merosot menjadi indoktrinasi belaka dan umat akan menjadi munafik dan fanatik.[27]

3. Pelajaran agama di sekolah hanyalah salah satu bagian kecil dari PAK, namun pelajaran agama di sekolah adalah lapangan kerja PAK yang besar karena ia menjangkau massa yang sangat luas. Dalam jangka waktu panjang pelajaran agama di sekolah dapat membuahkan hasil atau sebaliknya merupakan kegagalan besar. Hal itu bergantung pada para penyunting dan pengarang bahan kurikulum pelajaran agama di sekolah. Apakah mereka memprodusir bahan kurikulum yang menimbulkan minat nara didik sesuai dengan stadium perkembangan jiwa golongan usia, ataukah mereka hanya menjejali satuan pelajaran dengan ayat hafalan. Selanjutnya keberhasilan atau kegagalan itu juga tergantung dari para guru agama yang menggunakan bahan kurikulum itu. Apakah mereka berbekal didaktik dan metodik dan mengajar dengan baik. Guru agama dan bahan pelajaran agama di sekolah bagi banyak nara didik adalah perkenalan yang pertama dengan agama Kristen. Mereka bisa mendapat kesan yang baik dan merasa tertarik dengan kepercayaan Kristen, atau sebaliknya pelajaran agama menjadi momok.

4. Peranan Pendeta dalam PAK/PWG
Keempat kitab Injil menunjukkan bahwa pekerjaan utama Tuhan Yesus bukanlah berkhotbah atau menyembuhkan orang sakit, melainkan mengajar. Sebutan yang paling banyak digunakan untuk Tuhan Yesus adalah didaskalos yaitu guru. Tuhan Yesus sendiri menyebut diri-Nya guru. Tetapi banyak pendeta di gereja setempat kurang merasa dirinya sebagai guru dan kurang mengetahui bagaimana caranya berfungsi sebagai guru. Padahal keberhasilan atau kegagalan PAK/PWG di gereja setempat banyak tergantung dari faktor visi dan kecakapan pendeta ybs. Sebagai guru. Visi dan kecakapan seorang pendeta tentang PAK/PWG dimulai ketika ia masih duduk di bangku sekolah theologia. Karena itu jikalau mata-mata kuliah PAK di STT Jakarta dianggap enteng, maka sudah bisa diduga kelak program PAK/PWG di gereja di mana ia akan menjadi pendeta pun akan mengembang sebagai barang enteng tanpa bobot.


[1] Pidato Dies Natalis ke-55 STT. Jakarta, 27 September 1989, oleh Dr. Andar Ismail, Th.M.,
[2] William Bean Kennedy, “Christian Education Through History”, in An Introduction to Christian Education, ed. Marvin J. Taylor (Nashville: Abingdon, 1980), 28.
[3] Elmer L. Towns, “Horace Bushnell” in A History of Religious Educators, ed. Elmer L. Towns (Grand Rapids: Baker, 1975), 278-287.
[4] Horace Bushnell, Christian Nurture (New Haven: Yale University Press, 1967), 4.
[5] Ibid., 20.
[6] George Albert Coe, Education in Religious and Morals (New York: Revel, 1904), 33-64.
[7] Thomas H. Groome, Christian Religious Education (San Fransisco, 1980), 116.
[8] George Albert Coe, A Social Theory of Religious Education (New York: Arno, 1969), 181.
[9] William Clayton Bower, Moral and Spiritual Values (Lexington: University of Kentucky Press, 1952).
[10] Coe, A Social of Religious Education, 55.
[11] As quoted in Harold William Burgess, An Invitation to Religious Education (Birmingham, Al.: Religious Education Press, 1975), 60.
[12] Benjamin Bloom, ed., Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: Cognitive Domain (New York: David McKAy, 1956) and David R. Kratwohl, Benjamin Bloom and Bertram B. Masia, Taxonomy of Educational Objectives, Handbook II: Affective Domain (New York: David McKay, 1964).
[13] Sophia Lyon Fahs, Today’s Children and Yesterday’s Heritage (Boston: Beacon, 1952), 15-18.
[14] Hans-Ruedi Weber, “A New Movement Begins” in Centres of Renewal for Study and Lay Training (Geneve: WCC, n.d.) 5-7.
[15] Joseph H. Oldham, “The Function of the Church in Society”, in The Church and Its Function in Society, ed. W. Visser 't Hooft and Joseph H. Oldham (London: George Allen and Unwin, 1937), 203.
[16] Hendrik Kramer, A Theology of the Laity (Philadelphia: Westminster, 1958), 33.
[17] Oldham, Ibid., 154-55.
[18] Joseph H. Oldham, The Oxford Conference, Official Report (Chicago: Willet Clerk, 1937), 35.
[19] John Calvin, Institutio, 4.1.9
[20] Oldham, “Functions”, 156.
[21] Ibid., 199.
[22] Hans-Ruedi Weber, Salty Christians (New York: Seabury, 1969), 17.
[23] J.C. Hoekendijk, The Church Inside Out, trans.: Isaac Rottenberg (Philadelphia: Westminster, 1966), 89.
[24] T.T. Ten Have, Vormig Handboek voor Social-Cultureel Vormingswek met Volwassenen (Groningen: Wolters, 1965).
[25] The Objective of Christian Education for Senior High Young People (New York: National Council of Churches, 1958), 14-15.
[26] Laity Formation (Geneva, WCC, 1966), 10.
[27] Bandingkan dengan sinyalemen di tajuk rencana Kompas, 20 Juli 1989.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb