29 Februari 2008

Gegabahnya Orang Membuat Pernyataan Iman (1)

Belakangan ini ada kecenderungan orang terlalu gegabah dalam membuat pernyataan iman. Kecenderungan ini sebenarnya bukan barang baru dan sudah lama terjadi, namun belakangan ini dengan semakin ‘gampangnya’ orang bolak-balik Alkitab, memberi komentar terhadap ayat Alkitab, atau bahkan dalam memberi sanggahan terhadap sebuah kotbah atau pengajaran, maka hal itu jadi semakin menguat. Ada semacam mental ‘asal beda’ yang melatari pemberian tanggapan bukan atas dasar kejernihan analisis dan keobyektifan mengolah pikiran dan pendapat serta kebesaran hati menerima perbedaan dan kebenaran dari lawan bicaranya. Perdebatan melalui berbagai cara dan media hanya semakin memperkeruh

Pernyataan iman tersebut nyaris mirip menjadi sebuah yel-yel dari kuis televisi. Pernyataan tersebut kerap diambil dari ayat Alkitab dan diberi penekanan sepenuhnya yang membuat pengertian nas tersebut jadi dipaksakan.

Sebagai contoh: “Tuhan adalah Gembalaku takkan kekurangan aku” (Maz. 23:1). Tidak sedikit kotbah atau tafsiran yang lebih menitikberatkan pada kata “takkan kekurangan”. Penekanan yang berlebihan pada kata tersebut akan menjadikan nas ini lebih didorong ke arah bahwa Allah “akan selalu” mencukupi kebutuhan manusia (jasmani/rohani), dan adakalnya dikaitkan secara langsung melulu pada soal pemenuhan kebutuhan ekonomi belaka. Tak salah sebenarnya, bila kita membandingkan bagaimana seorang gembala domba tak pernah menelantarkan domba gembalaannya, dengan Allah yang sedang menganalogikan diri-Nya dengan Gembala dengan jaminan yang sama: “takkan kekurangan”. Fokus yang tidak seimbang pada soal pemenuhan kebutuhan (jasmani/rohani) akan membuat orang lupa akan bagian sebelumnya yang cukup menentukan yaitu: “TUHAN ADALAH GEMBALAKU.”

Kita tidak akan sampai pada “takkan kekurangan aku” jika kita tidak menempatkan Allah sebagai Gembala. Karena ketika ada orang yang merasa Tuhan adalah Gembalanya dan hidup habis-habisan, terikat persoalan keuangan, didera berbagai masalah, dan dengan naifnya ia mengatakan itu ujian dari Tuhan. Padahal disisi lain hal itu bisa saja terjadi karena ia tidak pernah menempatkan Allah sebagai Gembala.

“Tuhan adalah Gembalaku” di sini tidak berarti kita digiring oleh diri kita sendiri, persoalan kita, kekuatiran kita, kegembiraan kita, tetapi Allah yang menggiring kita.

Daniel Zacharias

21 Februari 2008

Sibuk Untuk Tuhan Atau Sibuk Dengan Tuhan?

Lukas 10:38-42

Dari kisah kakak beradik ini dapat ditarik banyak pelajaran. Salah satu pelajaran yang sama-sama kita lihat adalah kata "kesibukan". Baik Marta maupun Maria sama-sama memiliki fokus kearah Kristus, dan kedua-duanya punya konsentrasi dan kesibukan yang sama-sama mengarah kepada Kristus, tetapi Yesus berkata: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya". Apa maksud perkataan-Nya itu?

Marta sibuk melayani, tentunya bukan melayani diri sendiri atau melayani orang lain, tetapi melayani Yesus sebagai tamu istimewa mereka. Sedang Maria hanya menemani Yesus untuk bicara. Etisnya memang Maria membantu Marta bukan duduk ngobrol. Tetapi di sini Yesus sedang berbicara sesuatu yang lebih hakiki ketimbang sebuah etika penerimaan tamu. Kehadiran-Nya di dunia memang berbudaya tetapi tidak berarti Ia terikat atau bahkan terbelenggu oleh budaya. Baginya budaya hanya alat untuk mencapai misi-Nya. Mengedepankan budaya dengan kehilangan inti berita sama artinya membuang air mandi bayi dengan bayinya sekaligus.

Di titik inilah kita diperhadapkan kepada dua keadaan: seperti Marta yang sibuk BAGI atau UNTUK Tuhan atau seperti Maria sibuk DENGAN Tuhan. Keduanya berbeda. Karena sibuk untuk Tuhan berarti melakukan sesuatu untuk Tuhan tetapi ia belum tentu berada dan punya waktu bersama Tuhan (sekalipun Ia Mahahadir), sedangkan sibuk dengan Tuhan berarti ada sebuah waktu dan kesempatan bagi kita untuk bersama dengan Dia. Untuk sementara kita tidak diganggu dan bila ada yang menganggu kita bisa mengatakan bahwa "maaf saya sedang sibuk". Kelihatannya beberapa orang akan menilai ini sebagai sebuah dualisme ekstrim. Tetapi saya menyarankan agar kita jangan tergesa-gesa untuk memberi penilaian tetapi renungkan kembali bagaimana Kristus menegur Marta dengan harapan ia punya sedikit waktu DENGAN Kristus. Apakah ini ekstrim? Saya rasa tidak! Tetapi bagi mereka yang merasa telah bekerja atau melayani dan dengan terburu-buru bahwa mereka sedang sibuk dengan Tuhan, saya pikir itu juga kebablasan.

Tidak sedikit panitia natal, pesta rohani, kkr, atau apapun namanya yang berbulan-bulan menyiapkan acara, dan para hari H-nya mereka menjadi Marta yang sibuk ini dan itu dengan Handy Talkie di tangan bolak-balik tidak keruan dan mereka tidak ikut bernyanyi apalagi mendengar kotbah dan berdoa bukankah itu nasibnya sama dengan Marta?

Khusus bagi para pelayan, bahwa kesibukan kita yang luar biasa dalam mengerjakan pekerjaan Tuhan tidak sama artinya bahwa kita sedang sibuk dengan-Nya, tetapi sebenarnya kita sedang sibuk untuk-Nya. Ah, bukankah itu sama saja? Maaf, tidak sama, kalau sama, maka saya percaya Marta pasti tidak ditegur-Nya.

Daniel Zacharias

19 Februari 2008

When Fathers Refuse To Eat: The Trope of Rejecting Food and Drink in Biblical Narrative

Publication: SEMEIA
Author: Diane M. Sharon


ABSTRACT
Aaron is silent following the deaths of his sons Nadab and Abihu during their priestly consecration described in Leviticus 10. in the aftermath of their deaths, Aaron does not eat the cultically prescribed priestly meal, but instead makes a burnt offering out of the priestly offering he and his fellow-priests are meant to eat (Lev 10:16-20). in spite of the silence of both Aaron and the text, his character and state of mind may be illuminated by examining Aaron's actions in the light of other texts in which other similar refusals occur. We find that these intertextual readings resonate in the reader's understanding, adding significant dimensions to the spare characterization of Aaron in this text. David refuses to eat while the child he conceives with Bathsheba lies critically ill. instead of mourning even more deeply when the child dies, David washes, anoints himself, and eats heartily. David's behavior when he hears of his son's death shocks the servants-and the reader. David's character coalesces in the mi nd of the reader who understands David's present actions in light of what has gone before, and what is to come. This article examines the premise that the trope of refusing food and drink is a powerful narrative tool in the Hebrew Bible. By means of intertextuality and reader response, two case studies are examined in some detail, yielding insights into this subtle technique of biblical characterization.

Here I address two troubling texts that deal with fathers responding to the deaths of their sons. Aaron's sons, Nadab and Abihu, are snuffed out on the day of their dedication to service in the sanctuary in Leviticus 10; David's child with Bathsheba dies in accord with Nathan's imprecation in 2 Samuel 12. in both of these narratives, the fathers do not demonstrate grief following the deaths of their sons. The absence of overt expressions of grief and mourning in these texts, the apparent ability of both fathers to proceed with business as usual after the loss of a child, is troubling to the modern reader. [1]

Small features in these terse narratives may bear a disproportionate burden of meaning. The text relies on the nuance of language, the subtlety of allusion, to convey the broad spectrum of intense human experience that makes up its content. Such features demand to be identified and then read within the wider biblical context. Here I shall examine the element of food, taken or refused, that occurs in each of these texts. How does this apparently minor detail enrich our understanding of character and context? What does it mean when food is rejected or eaten unexpectedly, when cultic meals are refused, when the narrative reverses our expectations of fasting and feasting?

In both Leviticus 10 and 2 Samuel 12, there are expectations by other characters regarding Aaron's and David's participation in meals. In both of these narratives, these expectations are violated. After his sons are killed, Aaron refuses to partake in a consecrated meal, though Moses had earlier commanded him to eat. After his child's death, David approaches his meal with gusto, though his servants expect him to refuse to eat at all. I will look first at Aaron's story, and then at David's.

Leviticus 10:1-20
In Lev 10:1-20, where a ritual meal is not eaten, the scene is the consecration of the priesthood in the newly dedicated tabernacle. Two of Aaron's sons are incinerated by divine fire while offering incense during the ceremony. After the priestly consecration, Aaron and his fellow priests are supposed to share a cultic meal, the minha or gift offering, usually consisting of grain in some form. However, in the aftermath of the deaths of Nadab and Abihu, Aaron makes a burnt offering out of the cultically prescribed priestly offering he and his fellow-priests are meant to eat (10:16-20).

Moses, vigilant against any further irregularities, challenges Aaron about this discrepancy. Aaron's stated reason is that he was wary, in the aftermath of the day's disaster, of making an unintentional error, and so took what he perceived to be the safer course of making a burnt offering to God out of the priestly repast. Moses is satisfied with Aaron's explanation.

Earlier, Moses had commanded Aaron not to grieve or put on the usual signs of mourning for his sons, but to continue the consecration without pause (Lev 10:6-7). Cultic and communal requirements transcend Aaron's personal needs.

Aaron had silently acceded to Moses' command to continue. His only divergence from the prescribed routine is his refusal to eat the minha offering, the priestly meal, which he makes instead into a burnt offering. Aaron's only reference to the day's personal disaster is the expression, [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] "Look what happened to me," in explaining to Moses his decision to make a burnt offering out of the minha Aaron's private grief is ignored by the text as secondary to the public consecration of the priesthood. However, dimensions may be added to our understanding of Aaron's character and state of mind by focusing for a moment on Aaron's action, and by reading this abstention from a cultic meal in light of other such abstentions in the Hebrew Bible.

I begin by looking for other occasions of abstention from cultic meals in biblical narrative, in order to derive meaning from linguistic, stylistic, and thematic correspondences among such texts. [2]

Three other instances of cultic meals refused are Hannah's abstention from the family sacrifice during the pilgrimage festivals (1 Sam 1:1-8); [3] David's abstention from Saul's table during the Feast of the New Moon (1 Sam 20:5-7,24-29); and Jonathan's abstention from eating during the same event (1 Sam 20:34). In each case, the person holding back from participation is doing so in a distressed state of mind: Hannah is brought to tears by Peninnah's nasty teasing about her barrenness (1 Sam 1:6); David feels persecuted by his king (1 Sam 20:1-3); and Jonathan storms away from the feast in a rage after a murderous attack by Saul (1 Sam 20:34).

Aaron is likewise in a distressed state of mind: his sons have just been consumed by the God he serves, and he has been prohibited from expressing his grief (Lev 10:6-7). Aaron's situation is structurally analogous to Hannah's and David's, although the plots of these narratives differ widely. Like Hannah, Aaron is mourning for children God has withheld from him, although Aaron's grown sons are gone forever and Hannah will soon receive the gift of a child that she asks of God. Like David, Aaron is suspicious of a sovereign who has turned against him, although Aaron's sovereign is divine, and David's is all too human. Like Jonathan, Aaron is enraged at betrayal by a revered guardian, although Aaron's guardian is the exacting God whose demanding ritual he administers, and Jonathan's is his father the King.

In Leviticus 10, Aaron is commanded to remain silent. [4] He must sublimate his personal feelings to the welfare of the community so as not to desecrate the seven-day consecration. Nevertheless, Aaron abstains from the meal, even the ritually important, divinely commanded cultic meal of priestly consecration. When read in the light of analogous episodes, Aaron's tersely reported gesture bears the germ of his intense distress.

The wider context of biblical literature is the literature of the nations surrounding Israel, especially in the millennia preceding and contemporary with the probable formation of biblical traditions. Examination of these literatures reveals that the trope of eating or not eating is not confined to biblical literature. Refusing to eat as a signal of a troubled spirit also occurs in the wider context of ancient Near Eastern literature. There, as in the Bible, it is sometimes followed by a resumption of eating once the spirit is soothed. Such reassurance following despair occurs in the biblical example from 1 Samuel 1, where Hannah initially refuses to eat during the family ritual meal (1:7-8). Following her prayer and the blessing by Eli the priest, however, she eats and is no longer sad (1:18b).

In the Hittite myth of Ullikumi (Hoffner: 52-61), near the end of Tablet One, the sun god visits Tessub to warn him of the mortal threat represented by Ullikumi, and refuses to eat or drink the banquet offered by his host, who sees the sun god coming and prepares a banquet to greet him. The sun god refuses to sit in the chair, touch the table set for him, or touch his lip to the cup. Tessub asks him why. There is a break in text as Tablet One ends, but the sun god apparently tells him of the potential challenge, because at the beginning of Tablet Two Tessub reassures the sun god that he will take care of the matter. Tessub urges the sun god to eat and drink with enjoyment, which he does, and then he returns to the sky.

Another Near Eastern example, this one from late Egyptian literature, is the Tale of Setne-Khamwas II (Lichtheim: 90-94). In this narrative, the refusal to eat or drink signals to the wise man and his son that the Pharaoh is troubled. Following reassurance, the three men banquet merrily.

In both the Hittite and the Egyptian examples, eating and not eating are used to express the mental and emotional states of the characters, as they are in the biblical examples. In the Hittite and Egyptian tales, as in Hannah's story in 1 Samuel 1, the healing of the troubled spirit results in the return of appetite. In Leviticus 10, however, Aaron is not so comforted. The absence of this concluding amelioration may be another clue that, finally, Aaron is not reconciled to the deaths of his sons. In Leviticus 10, Aaron's gesture is twofold. First, he chooses not to eat. Second, the meal he refuses is cultic; thus, in rejecting this meal, Aaron is also refusing to share a meal with the God whose fire has consumed his sons. [5]

The ancient Near Eastern idea that sacrifice is a meal for the deity resonates throughout the Bible, most explicitly in Numbers 28:2: [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] "Command the Sons of Israel and say to them, 'My offerings, the food [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] for my fire-offerings, my pleasing aromas, take care to offer to me in the appointed time.'" A sacrifice such as the [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] or sin offering, prescribed in Leviticus 10, in which part of a sacrifice is eaten by the priest and part is reserved for the deity, may thus be said in some sense to be a meal "shared" by the priest with the deity. This is the offering Aaron does not make. Instead, Aaron offers an [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] or burnt offering, that is completely consumed by fire. It is devoted entirely to God and not shared at all by the human participant(s).

Like Aaron in Leviticus 10, Hannah, David, and Jonathan in the other biblical examples also refuse to eat at the table with their tormentors. Both in his refusal to eat and in his metaphorical refusal to share a meal with the God who took the lives of his sons, Aaron is expressing his grief and rage in the only way that is left to him--in the silent eloquence of symbolic gesture. Aaron's emotions legitimately may be imagined to reflect those of Hannah, David, and Jonathan in their analogous refusals: bereavement over missing progeny; wariness in the face of subversion by a trusted sovereign; rage at the treachery of a beloved guardian. Reading Aaron's refusal to eat the cultic meal in light of its resonance with other similar refusals thus adds poignant dimensions to the spare characterization of Aaron in this text.

2 SAMUEL 12:1-23
David's character and its subsequent development within the David narrative are elucidated, as was Aaron's in Leviticus 10, by means of the seemingly minor feature of David's eating behavior in episodes surrounding the birth and death of his first child with Bathsheba. An analysis of this episode in light of other analogous texts will prove fruitful.

One outcome of David's adulterous coupling with Bathsheba is her pregnancy (2 Sam 11:5). This pregnancy is the trigger for David's downfall on several levels, leading David from adultery to murder. Even for kings, adultery is a capital crime, and David attempts to cover up the evidence of that adultery, Bathsheba's pregnancy during the prolonged absence of her husband. David Marcus has suggested that David's concern to provide legitimacy for this child's paternity is one reason for the king's recall of Bathsheba's husband Uriah from the battlefront, and his several attempts to trick Uriah into sleeping under his own marital roof in 2 Sam 11:6-13 (see esp. 166; for other readings see Steinberg: 188-222; Bal: 10-33). Marcus suggests that Uriah's insistent refusal may be a clue that he suspects what David is up to and refuses to cooperate with the king.

When David fails to persuade Uriah to cooperate in giving even the appearance of cohabiting with his wife, the king effectively signs Uriah's death warrant in 2 Sam 11:14-25 by ordering him into the thickest fighting at the front. By eliminating Bathsheba's husband, David opens a way that he himself can espouse Bathsheba and claim the child. After her husband's death and a suitable period of mourning, Bathsheba marries David and bears the child (2 Sam 11:26-27).

David's court prophet Nathan delivers an oracle of condemnation (2 Sam 12:1-14): the sword shall not depart from David's house, his concubines will be taken carnally by another in broad daylight, and the child that is born to him will die. Before the end of David's story, every one of these predictions comes to pass.

When the baby falls critically ill, David fasts and sleeps upon the bare ground, apparently in supplication for the child's recovery (see 2 Sam 12:22). David's refusal of food as he prays for the life of the smitten child is one of several occurrences in Hebrew Bible narrative in which fasting is an act of supplication. Fasting is associated with supplication in Nineveh's appeal for a divine reprieve in Jonah 3; in Esther's preparation to appear unsummoned before Ahasuerus in Esther 4; in the Babylonian king's appeal for Daniel's well-being in the lion's den in Daniel 6; and in Ezra's petition for divine protection on his pilgrimage of return to Jerusalem in Ezra 8, his plea for divine forgiveness when he finds out about the foreign wives in Israel's midst, and his determination to correct this transgression in Ezra 9-10.

There are also many examples of supplication without fasting. David's prayer for mercy after his transgression in ordering a census in 2 Samuel 24 is almost exactly paralleled by the account in 1 Chronicles 21, and fasting is not mentioned in either. During the dedication of the Temple in parallel accounts in 1 Kings 8 and 2 Chronicles 5-6, Solomon's appeal to God for future mercy when the people are in need is framed in a prayer, and the means for conmunicating the people's distress to God is also by means of prayer. Fasting is not mentioned in these supplications.

Hezekiah successfully petitions for divine aid twice, and fasting is not mentioned in either case. First, in 2 Kgs 19:1-4 and the parallel account in Isaiah 36-37, Hezekiah is dismayed by the coercive rhetoric of the Rabshakeh. Hezekiah and his chief scribes and priests rend their clothes and don sackcloth. The king also offers an effective letter-prayer (2 Kgs 19:14-20), and the danger is averted. [6] Prayer, in combination with weeping, is also effective in securing an extension on his life, when Hezekiah falls ill as reported in 2 Kgs 20:1-6. Clearly, although it occurs several times, fasting is not required in the Hebrew Bible in order to make divine supplication. Therefore, when fasting does occur, it invites further analysis.

A final example of fasting is an ambiguous melding of the imagery of supplication and grief. Nehemiah fasts, weeps, prays, and sits in mourning for days when he hears about conditions in Jerusalem (Neh 1:4). Is his reaction one of grief or supplication? Here, there is a blurring of the lines between mourning and petition, as there is in the imagery of prophetic poetry. [7] The traditional gestures of grief precede a long prayer which ends Nehemiah 1 with a plea for divine support for "your servant's success" [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] 1:11), most likely in making his petition to the Persian potentate for a leave from the king's service that is the subject of the following chapter, Nehemiah 2. Like Ezra's plea for a safe pilgrimage to Jerusalem noted earlier, Nehemiah's request is favorably received (see Greenstein).

Since supplication does not require the element of fasting, and since it occurs both with and without fasting on many different occasions in biblical narrative, David's refusal to eat as part of his vigil of supplication for the child's life may have a literary function beyond its association with the cluster of gestures signaling supplication. I believe that David's refusal to eat functions here to draw the reader's attention to significance dwelling in the stark contrast between David's fasting and his behavior after the death of the child.

When the child dies after seven days (2 Sam 12:18), the servants fear to inform David, concerned that he will react even more drastically to the baby's passing than he did to the child's illness. But instead of mourning even more deeply upon the death of the child, David astonishes his servants by washing and anointing himself and eating. He replies matter-of-factly to their exclamations of surprise that while the child was sick, it was worth appealing to God in the hope of changing the divine mind, but now that the child is irreversibly dead, fasting is of no use since nothing can bring the child back to life (2 Sam 12:21-23).

David's behavior foreshadows that of Jehu in 2 Kings 9, who sits down to a meal after Jezebel is pushed to her death, and only when he is finished inquires about her burial arrangements. Just as Jezebel's death and the ignominious disposition of her remains fulfill an oracle and signal payment of the price God exacts for her transgressions, so the death of this child signals for David the fulfillment of an oracle and payment of the price of his sins.

Although sitting down to a meal immediately following the news of a death appears callous, in David's defense it is fair to note that fasting is not a normative expression of grief in the Bible. [8] The first mention of fasting in connection with a death in the Hebrew Bible is the seven-day fast observed by the men of Jabesh-Gilead after their daring rescue, cremation, and burial of the remains of Saul and Jonathan (1 Sam 31:13). No other mourning practice by them is mentioned.

Following this precedent, David makes a practice of fasting in public mourning for the deaths of his political enemies, a gesture that on occasion appears to win him the approbation of the people. When David hears of Saul's death (2 Sam 1:11-12) he and his men rend their clothes, lament and weep, and fast until evening for Saul and Jonathan and all the fallen warriors. David then slays the messenger who claims to have killed Saul and Jonathan (2 Sam 1:15-16), and intones his famous lament as reproduced in 2 Sam 1:19-27.

David also fasts following the murder of Abner, commander of the troops of Saul's house, in 2 Sam 3:28-39. David declares his innocence in the shedding of Abner's blood by David's commander Joab, and utters an imprecation upon Joab and his house as a consequence. David orders all the troops to rend their clothing, don sackcloth, and make public lament. David himself walks behind the bier and intones a lament for Abner, reproduced in 2 Sam 3:33-34. In spite of the urging of his men to eat after the funeral, David vows to fast until sundown in honor of the fallen Abner. In this case, at least, David receives the approval of the troops for this mourning practice, which also appears to be taken as evidence of David's innocence of the deaths (2 Sam 3:36-37).

However, David does not fast for his many private griefs. When David's son Amnon is slain in vengeance by his half-brother Absalom (2 Sam 13:36-39), the priests, the court, and David weep bitterly, and the text reports that David recovers from his grief. No fasting is mentioned. When David's son Absalom is slain, so ending his rebellion, David is inconsolable. The text repeatedly reports in 2 Sam 19:1-5 that David wails, laments, covers his face, and cries out loud. No fasting is mentioned here, either. Thus, when David eats following the death of his and Bathsheba's child in 2 Samuel 12, he is not violating accepted mourning practices. However, the absence of any other signs of grief may lead some readers, including David's incredulous servants, to wonder.

Feasting and fasting are important elements throughout the stories of David, and examining some of these shed valuable light on David's character and relationships. For example, there are several episodes in which accepting or rejecting food functions symbolically as the acceptance or rejection of love and loyalty. Several of these episodes occur during David's retreat from Jerusalem, and involve the love and loyalty of fathers and sons, and the reverse, in 2 Samuel 16-19.

Questionable loyalty, and even betrayal, are evident in two incidents involving David's relationship with the rival house of Saul. Ziba, servant of Mephibosheth the lame son of Jonathan, greets David with supplies to be eaten and drunk by David's retinue (2 Sam 16:1-4). David questions Ziba about his master's whereabouts, Ziba denounces Mephibosheth, and David accepts his accusation at face value, without investigation or verification: Ziba is granted all his master's property, and Mephibosheth is effectively dispossessed. Second, David encounters Shimei ben Gera, whose offering is a negative one of hurled stones, dirt, insult, and execration (2 Sam 16:5-13). Calling David a man of bloodshed and a wicked man ([LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII]), his accusation concerns David's usurpation of the throne of Saul. Abishai ben Zeruiah offers to slay Shimei but David restrains him with the first of a two-part refrain connecting this text with 2 Sam 19:16-40, David's return to Jerusalem: "What has my [business] t o do with you, sons of Zeruiah" ([LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII], 2 Sam 16:l0a, and compare 19:23a). David does not feel in a position to take action against a partisan of his rival's house when the king is fleeing from a mortal threat by his own son (2 Sam 16:11).

Unconditional love and loyalty mark David's relationship with his own supporters expressed in the medium of food and provisions. This is evident in a single encounter related in 2 Sam 17:27-29. As he reaches Mahanaim, David is greeted by a coalition headed by Barzillai the Gileadite. Beyond the minimum provision required for a fleeing troop, his loyal subjects present to the king foods and furnishings fit for a royal feast in a royal abode, thereby affirming their loyalty to David's kingship even in retreat. [9] Barzillai's name is noted last of the three listed benefactors in this citation, but in 2 Sam 19:32-40 he is the only one of the three mentioned, and the text is careful to note there that it is for his loyal generosity here at Mahanaim that he is offered a reward.

Taken together, these narratives illustrate the importance of food refused or accepted, and with the final resolution make a pattern of contrasts: betrayal (of Mephibosheth by Ziba) and loyalty (to David by Barzillai and his co-benefactors), conditional and unconditional generosity, David's family relationships (symbolized by his son's rebellion) and David's political heritage (exemplified by the two encounters with partisans of the house of Saul). The text in 2 Sam 19:16-40 directs the reader to read the encounters of David with Ziba, Shimei, and Barzillai in terms of one another by bringing all three together to form a literary inclusio with the narrative beginning in 2 Samuel 16. First, Shimei pleads for forgiveness, Abishai makes his offer and David his formulaic restraining response--David's retribution upon Shimei is pressed upon Solomon upon the son's accession (1 Kgs 2:8-9). The reading of Shimei and Ziba as public threats to David's house by partisans of the house of Saul is affirmed in 1 Kgs 2:36-4 6. Shimei's ultimate elimination is taken by the narrative as the final end to any threat to Solomon's security upon the throne (1 Kgs 2:45-46).

Next, the lame Mephibosheth counters Ziba's accusation, pleading incapacity to come out and greet David upon his earlier retreat. Forbearing to decide which of the two is faithful and which disloyal, David splits Mephibosheth's holdings between master and servant. Is David remiss in not investigating further? Is he wise in recognizing a no-win situation? David's ambivalent relationship to the house of Saul and to the house of Jonathan is epitomized by this episode (Marcus, 1986:163-71).

An intertextual reading of this narrative evokes two other biblical occasions when a king is asked to judge between disputants: Solomon, in a case involving two women and a child to be nurtured in 1 Kings 3; and an unnamed Northern king, in a dispute involving two women and a child to be eaten in 2 Kings 6 (Lasine, 1991:27-53). In each of these three judgment narratives a king is asked to resolve a dispute between two rivals. At one end of the spectrum is Solomon's wise judgment in the case of the two women claiming the same child (1 Kgs 3:16-28), in which Solomon's decision to split the child reveals the true mother. At the other end broods the horror of the unresolved Northern parody of the king's judgment, the case of the cannibal women (2 Kgs 6:26-30), in which the king makes no judgment at all. Instead, he walks away from the bizarre case in disgust, vowing angrily to get even with Elisha, whom he holds responsible for the drought that has brought the women to the point of cannibalism. Where on the spec trum defined by these extremes does David's judgment fall? Is he as wise as Solomon to effect this distribution of property, or is he as helpless as the hapless Northern king, who walks away from judgment cursing the prophet whose pronouncements he blames for this unspeakable turn of events?

Barzillai's unadulterated loyalty is recognized next. Returning measure for measure, the king rewards Barzillai's gift of royal provisions with an offer of perpetual attendance at the king's table in Jerusalem. Barzillai declines this reward in favor of his son, thereby anticipating the closing of the circle of fathers and sons implicit in the entire David narrative. These relationships are highlighted in the account of David's son's rebellion first with reference to David and Absalom in the need for flight at all, and then with reference to Saul and Jonathan as is implicit in the Ziba/Mephibosheth encounter which is finally resolved in 1 Kgs 2:36-46 by David's son Solomon's elimination of Shimei and the security of his rule over a united kingdom.

The themes of loyalty and betrayal and the relationships between fathers and sons are also entwined with fasting and feasting in the story of David and Bathsheba's child. A clue to the literary significance of the eating events in the text of 2 Samuel 12 is the language surrounding David's preparations for his meal. [10] The series of words for washing, anointing, and eating is used together elsewhere in accounts of banquets throughout the biblical text. Seeing that series of banquet expressions in this context where mourning is expected draws the reader's attention to the eating act, associating it linguistically with feasting and festivities. This linguistic association heightens the con textual dissonance inherent in the reversal of conventional expectation expressed explicitly in this text by the servants in reaction to David's shocking behavior.

One possible result of the reversal of conventional expectation of the king's eating or not eating as expressions of grieving or not grieving is to mirror the reversal of other conventional expectations in these chapters. Many conventions have been flouted by this king: the sacrality of marriage, respect for human life, the expected sequence of marriage/conception/childbirth. The reversals surrounding eating or not eating serve as a literary device linking these ideas rhetorically, inviting the reader to look at other reversals suggested by the text, and allowing a deeper comprehension of the significance of what has ocurred in terms of what is to come.

From a literary point of view, the dead child is the product of the forbidden adulterous union, and thus its symbol. With the death of the child, David puts behind him any guilt or shame for what he has done. He picks himself up off the ground and washes his hands of the grime and the crime simultaneously. That done, he can ask after his dinner (2 Sam 12:20). David's ability to cease grieving the instant he hears his son has died shocks the servants- and, perhaps, the reader.

In my opinion, David's lack of emotion upon the loss of his child is extraordinary; even in tragic circumstances where one is helpless at the loss of a child, one experiences grief, rage, loss, guilt. Although other readings are certainly possible, from at least my own reader response perspective David's pragmatism and rationality under these circumstances are deeply revealing of the flaws in his private character. David has demonstrated before that he is capable of cold-blooded acceptance of death. His pragmatic acceptance of the death of this child resonates with his pragmatic condemnation to death of Uriah. Has David learned nothing from Nathan's parable?

We, who know what is to come, hear in David's laconic acceptance of this child's death a raw contrast with the inconsolable cry of the grieving father, [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] "O my son Absalom, Absalom my son, my son!" in 2 Sam 19:1, 5. David laments, "If only I could have died [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] in your stead" (2 Sam 19:1). In these wrenching cries of a bereft father, we hear the intertextual connection between Absalom's death and the death of the unnamed child of adultery. When the child's death is predicted in 2 Sam 12:14b, the baby's demise appears to be a mitigation of the prescribed punishment: David himself deserves death on account of his sins of adultery and murder. Instead, in recognition of David's remorse, his son is doomed to die in David's place.

The reader--and David--believe that the son referred to is the child of adultery, the trigger for Uriah's murder. Indeed, that baby is born and does die, as we have seen. But this child's death is not the end of it. Reading intertextually, we understand the ambiguity--and the irony--in Nathan's curse. We hear in David's restrained acceptance of the nameless child's death a heart-wrenching contrast with his grief for Absalom. We see that David, God's chosen anointed, is not to escape his punishment, but is to bear the full weight of his transgression. The appropriate punishment for David's offense is his own death. Instead, his son's life is forfeited--not the baby whose death David brushes off once hope for recovery is gone, but the agonizing death years later of David's beloved son Absalom. The punishment is finally fulfilled in the father's cry (2 Sam 19:1): [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] "I would gladly have died in your stead, Absalom, my son, my son!"

SUMMARY AND CONCLUSION
As noted at the start of this analysis, neither Aaron nor David exhibits either grief or lament following the deaths of their sons in the two texts under examination. However, as intertextual analysis has shown, this apparent similarity masks the completely different underlying emotional states of the two fathers. Read in light of analogous texts, Aaron's is a state of unexpressed misery and rage at the death of his sons. David, on the other hand, appears initially to be in a state of naive indifference to the death of his infant, a state that will turn into painful anguish in the aftermath of tragedy to come.

Refusal to eat, or a reversal of the expected elements of fasting or feasting, are employed as sensitive and nuanced literary signposts in several episodes of Hebrew Bible narrative. My discussion represents but a small sampling of how intertextual readings, and reader response approaches, may be applied alone or together to elements of everyday life embedded in biblical narrative. This analysis suggests ways that such apparently marginal details as eating or fasting can point to richer interpretations of tersely reported biblical episodes. In themselves and in resonance with analogous texts, these tropes work subtly to color the interpretation of events of which they are a part, and to enhance character development. Rather than taking these mundane details for granted, sensitive readers can use them as clues suggesting subtle counterpoints to the surface message, or reinforcement and enrichment of the meaning of the biblical text.

(1.) A literary reading of these texts yields a richer picture of the characters of Aaron and David as fathers, and also provides insights into the larger biblical function of each of these texts. Recent literary scholars of the Bible have noted that the Bible is a laconic document, sparing in both physical and emotional description. Conroy, Bar-Efrat, and Sternberg, among others, have drawn attention to the spareness of Hebrew narrative, and to the fact that all reported events, even the most apparently ordinary, are of literary significance when they occur in the Hebrew Bible.

(2.) See Fishbane (1979:xii, 12, and passim), where he defines this approach to reading texts as "intertextual." Among other modem studies of biblical texts applying an intertextual approach, cf. Exum and Chines; Fewell; Fishbane (1985); Savran. This literary approach is important to our interpretations, and other works on intertextuality will be cited throughout this work.

(3.) The Hebrew syntax of this section (the use of the yqtl verb form in a narrative context) describes an ongoing or repeated event: they would go up to worship, Peninnah would afflict Hannah, Hannah would cry and not eat. The transition to the occasion that is the focus of the story in 1 Sam 1:9 does not state explicitly that Hannah again abstained from this ritual meal. However, the notation in 1:18b that she left (Eli's presence) and ate implies that she had not done so before but, her heart eased by the old priest's blessing, she does so now.

(4.) This is the traditional interpretation of the verbal root [LANGUAGE NOT REPRODUCIBLE IN ASCII] in the Hebrew text. For an alternate suggestion, see Levine.

(5.) For the ancient idea underlying sacrifice in the Near East that the offering is a meal for the divinity, see, for example, Oppenheim, esp. the section entitled "Care and Feeding of the Gods," 183-98; van Driel, esp. 159-62; Hallo, 1987:3-14; 1983:1-18.

(6.) For possible ancient Near Eastern parallels to this incident, see Halo 1976:209-24.

(7.) My discussion here necessarily excludes prophetic poetry, where fasting is so well known in its association with supplication that mention of the one evokes the other, as in Joel 1:14 and 2:15-17. It is interesting that most examples of supplication that include the element of fasting come from later biblical literature, and that the element of fasting is absent in supplication accounts earlier in the biblical texts. It is tempting to speculate that the convention in literary prophecy associating fasting and supplication might account for this phenomenon- confirmation must await future work.

(8.) See the expanded discussion of this phenomenon in the revised and expanded book based upon the author's dissertation (Sharon: forthcoming).

(9.) On banquet language in the Bib]e and in ancient Near Eastern literature, see Lichtenstein 1968; 1979, esp. 145-56.

(10.) On sequence of actions and language relating to banquet, see Lichtenstein, 1979:136-60.

WORKS CONSULTED
Bal, Mieke 1987 Lethal Love: Feminist Literary Readings of Biblical Love Stories.
Bloomington: Indiana University Press.
Bar-Efrat, Shimon 1989 Narrative Art in the Bible. JSOTSup 70. Sheffield: Almond.
Conroy, Charles 1978 Absalom, Absalom! Narrative and Language in 2 Samuel 3-20. Analecta Biblica. Rome: Pontifical Biblical Institute.
Driel, G. van 1969 The Cult of Assur. Assen: Van Gorcum. Exum, J. Cheryl, and David J. A. Clines, eds. 1993 The New Literary Criticism and the Hebrew Bible. JSOTSup 143. Sheffield: JSOT.
Fewell, Danna Nolan, ed. 1992 Reading Between Texts: Intertextuality and the Hebrew Bible. Literary Currents in Biblical Interpretation. Louisville: Westminster/John Knox.
Fishbane, Michael 1979 Text and Texture: Close Readings of Selected Biblical Texts. New York: Schocken. 1985 Biblical Interpretation in Ancient Israel. Oxford: Oxford University Press. Greenstein, Edward L. 1995 "Autobiographies in Ancient Western Asia." CANE 2421-32.
Halo, William W. 1976 "The Royal Correspondence of Larsa: I. A Sumerian Prototype for the Prayer of Hezekiah?" AOAT 25:209-24. 1987 "The Origins of the Sacrificial Cult: New Evidence from Mesopotamia and Israel." Pp. 3-14 in Ancient Israelite Religion: Essays in Honor of Frank Moore Cross. Ed. Patrick D. Miller, Jr., Paul D. Hanson, and S. Dean McBride. Philadelphia: Fortress.
Halo, William W., James C. Moyer, and Leo G. Perdue, eds. 1983 Scripture in Context II: More Essays on the Comparative Method. Winona Lake, Ind.: Eisenbrauns.
Hoffner, Harry A., Jr. 1990 Hittite Myths. SBLWAW. Atlanta: Scholars. Lasine, Stuart 1991 "Jehoram and the Cannibal Mothers (2 Kings 6:24-33): Solomon's Judgment in an Inverted World." JSOT 50:27-53.
Levine, Baruch A. 1993 "Silence, Sound, and the Phenomenology of Mourning in Biblical Israel." JANESCU 22:89-106.
Lichtenstein, Murray H. 1968 "The Banquet Motif in Keret and in Proverbs 9." JANESCU 1:19-31. 1979 "Episodic Structure in the Ugaritic Keret Legend: Comparative Studies in Compositional Technique." Ph.D. diss., Columbia University.
Lichtheim, Miriam 1980 Ancient Egyptian Literature, Volume III: The Late Period. Berkeley: University of California Press. Marcus, David 1986 "David the Deceiver and David the Dupe." Prooftexts 6:163-71.
Oppenheim, A.L. 1964 Ancient Mesopotamia: Portrait of a Dead Civilization. Chicago: University of Chicago Press.
Savran, George W. 1988 Telling and Retelling: Quotation in Biblical Narrative. Bloomington: Indiana University Press.
Sharon, Diane M. 1995 "The Literary Functions of Eating and Drinking in Hebrew Bible Narrative with Reference to the Literatures of the Ancient Near East." Ph.D. diss., The Jewish Theological Seminary of America. Forth-coming Patterns of Destiny: Narrative Structures of Foundation and Doom in the Hebrew Bible. Winona Lake, Ind.: Eisenbrauns.
Steinberg, Meir 1985 The Poetics of Biblical Narrative: Ideological Literature and the Drama of Reading. Bloomington: Indiana University Press.

18 Februari 2008

Memandang Janji Tuhan

Yesaya 51:1-5
1 Dengarkanlah Aku, hai kamu yang mengejar apa yang benar, hai kamu yang mencari TUHAN! Pandanglah gunung batu yang dari padanya kamu terpahat, dan kepada lobang penggalian batu yang dari padanya kamu tergali.
2 Pandanglah Abraham, bapa leluhurmu, dan Sara yang melahirkan kamu; ketika Abraham seorang diri, Aku memanggil dia, lalu Aku memberkati dan memperbanyak dia.
3 Sebab TUHAN menghibur Sion, menghibur segala reruntuhannya; Ia membuat padang gurunnya seperti taman Eden dan padang belantaranya seperti taman TUHAN. Di situ terdapat kegirangan dan sukacita, nyanyian syukur dan lagu yang nyaring.
4 Perhatikanlah suara-Ku, hai bangsa-bangsa, dan pasanglah telinga kepada-Ku, hai suku-suku bangsa! Sebab pengajaran akan keluar dari pada-Ku dan hukum-Ku sebagai terang untuk bangsa-bangsa.
5 Dalam sekejap mata keselamatan yang dari pada-Ku akan dekat, kelepasan yang Kuberikan akan tiba, dan dengan tangan kekuasaan-Ku Aku akan memerintah bangsa-bangsa; kepada-Kulah pulau-pulau menanti-nanti, perbuatan tangan-Ku mereka harapkan.

Janji Tuhan terhadap Sion sangat menghiburkan. Karena refleksinya dengan iman dapat dikenakan pada pergumulan gereja masa kini. Pada ayat 3 janji Tuhan dinyatakan:

  • Tuhan menghibur Sion
  • Menghibur segala reruntuhannya
  • Membuat padang gurunnya seperti taman Eden
  • Membuat padang belantaranya seperti taman Tuhan.
  • Di situ terdapat kegirangan, sukacita, nyanyian syukur dan lagu nyaring.

Sion yang ternoda karena penjajahan bangsa kafir dan pembuangannya mendapatkan suara sejuk dari Allah untuk pemulihannya. Penghiburan diberikan Tuhan buat mereka yang hancur lebur karena kesalahan mereka sendiri tetapi kemudian bertobat. Pemulihan selalu datang dari Allah, dan pemulihan selalu mendatangkan damai sejahtera (Ibr. Shalom). Padang gurun dan belantara diubah Allah. Situasi ekonomi, politis, keamanan yang terlanjur berantakan diubah Allah menjadi situasi yang lebih kondusif sehingga dari situasi itu akan tumbuh ucapan syukur dari bangsa Israel yang telah mengalami pemulihan yang sempurna dari Allah.

Namun Shalom bukan akhir dari segalanya, karena setelah Israel dipulihkan masih ada pesan ilahi yang datang kepada mereka yakni agar mereka memperhatikan firman Allah, mereka memasang telinga kepada sabda Allah, dan mereka akan mendengar pengajaran dan hukum Allah yang kemudian menjadi terang buat bangsa lain. Ternyata kesejahteraan yang dimiliki bangsa yang dipulihkan Allah bukan dipergunakan untuk sekedar ‘menggendutkan perut sendiri’ tetapi lebih pada cara Allah memelihara bangsa-Nya dalam rangka mengerjakan rencana-Nya yang mulia melalui mereka.

Keselamatan melalui Israel yang membebaskan itu ternyata diperuntukan kepada bangsa lain sebagai bagian dari janji Allah kepada Abraham (bnd. ayat 1). Allah tetap menginginkan bangsa-bangsa lain juga merasakan bagian dari keselamatan yang Ia sediakan.

Janji Allah bukan hanya monopoli Sion tetapi juga gereja-Nya sebagai Sion Rohani. Biarlah gereja-Nya menjadi alat-Nya membawa terang keselamatan serta memberkati berbagai bangsa dengan berbagai keyakinan dan kelakuan!

Daniel Zacharias
dapetza@cbn.net.id

Membaca Arah Zaman (1)

II Timotius 3:1-9

Kearah mana sejarah manusia sedang berjalan? Kepada kondisi macam apakah peradaban manusia sedang mengarah? Kepada kerohanian macam apakah kekristenan sedang melangkah? Menanyakan hal-hal tersebut sama artinya kita sedang berusaha memetakan perjalanan arah sejarah kehidupan manusia. Orang Kristen yang tidak mau atau bahkan tidak mampu membaca arah zaman pasti akan digilas oleh zaman atau malah menjadi korban keganasan zaman. Orang tersebut dengan mudah dipengaruhi, diarahkan, dibentuk, diubah, dan pada akhirnya digeser oleh zaman. Sedangkan orang Kristen yang mau dan mampu membaca arah zaman akan mawas diri sehingga ia tidak membiarkan dirinya dengan mudah dipengaruhi, diarahkan, dibentuk, diubah, apalagi digeser oleh zaman. Senada dengan itu Kristus pernah mengatakan:

Matius 16:2-3
2 Tetapi jawab Yesus: "Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, 3 dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak.

Perkataan Kristus tersebut rupanya meminta kita benar-benar belajar untuk membaca tanda-tanda zaman yang jika Ia sandingkan dengan membaca cuaca ada semacam kemiripannya. Tentu yang dibaca adalah gejala-gejala yang mengarah kepada berbagai kemungkinan yang jauh lebih kena. Membaca gejala awal dari sebuah cuaca akan membantu kita melihat kejadian apa yang paling mungkin terjadi pada hari tersebut, demikian pula dengan membaca gaya hidup dan gaya pikir manusia di zaman sekarang ini kita dapat memperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, apalagi Alkitab turut memberikan gambaran awal dari keadaan tersebut.

II Timotius 3:1
1 Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar.

Rasul Paulus menyatakan kepada kita bahwa kita sedang menuju “masa yang sukar”(Yun. Karioi Khalepoi) pada hari-hari terakhir (Yun. Eskhatais hemerais). Kalau Paulus masih hidup mungkin di mimbar-mimbar gereja ia akan mengatakan, “camkanlah orang Kristen, zaman ini akan semakin sulit untuk saudara jalani”. Kesukaran yang dinubuatkan Paulus bukan terletak pada perubahan iklim, alam, ekonomi, atau politik global walau hal tersebut juga memang menyulitkan manusia kontemporer. Nubuat tersebut lebih difokuskan kepada sifat dan sikap manusia yang cenderung semakin: EGOIS (berpusat pada diri sendiri), MATERIALIS (berpusat pada kekayaan), dan HEDONIS (berpusat pada kenikmatan dan kebahagiaan duniawi). Paulus dalam tulisannya kepada Timotius mengatakan:

II Timotius 3:2
2 Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama,
3 tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik,
4 suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.


Sifat EGOIS tampak ketika Paulus mengatakan “manusia akan mencintai dirinya sendiri” (ayat 2) atau tepatnya menjadi pencinta diri (Yun. Philautos). Juga sifat MATERIALIS “hamba uang” (ayat 2) atau tepatnya menjadi “pencinta harta atau uang” (Yun. Philarguros). Sedangkan HEDONIS digambarkan Paulus dalam ayat 4: “lebih menuruti hawa nafsu” atau tepatnya “pencinta nafsu” (Yun. Philedonos) lebih daripada “menuruti Allah” atau tepatnya “pencinta Allah atau orang yang mengasihi Allah” (Yun. Philoteos). Menarik untuk kita simak kembali bagaimana Paulus disini memainkan kata "pencinta" untuk beberapa sebutan.

Tiga kondisi dasar manusia inilah yang berkembang dalam perilaku-perilaku negatif lainnya. Dalam pembahasan selanjutnya akan diterangkan perilaku-perilaku tersebut satu-persatu.

Waktu renungan ini ditulis saya baru saja menyaksikan tayangan berita dari Metro TV tentang aliran Dana Bank Indonesia sebesar Rp 100 miliar yang dipergunakan secara tidak sah dengan menggunakan istilah-istilah teknis (desimnasi, sosialisasi, dana bantuan hukum) untuk mengaburkan makna korupsi menjadi seolah sebuah pengeluaran resmi karena sudah dibicarakan secara resmi oleh para pejabat di lingkungan Bank Indonesia. Dan aliran dana yang sudah mengalir dari tahun 2003 tersebut sudah melibatkan beberapa pejabat di lingkungan BI, anggota DPR, para penasihat hukum, bahkan para jaksa penyidik!

Berita tersebut mengandung unsur-unsur yang disebutkan Alkitab mereka melakukan hal-hal tersebut karena ada kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan (egosentris), dan memakan atau mengorupsi biaya yang tidak kecil (materialis), karena dorongan-dorongan ketidakpuasan materialisme pribadi dan kelompok untuk lebih memperoleh keinginan-keinginan lebih lainnya (hedonis).

Mari kita sendiri tidak mengarahkan telunjuk kepada mereka tetapi juga mengarahkan kepada diri kita sendiri dalam menilai apakah kita sendiri sudah belajar untuk menghadapi dan mengatasi ketiga hal tersebut dengan iman dan tindakan yang bijaksana?

Daniel Zacharias
dapetza@cbn.net.id

13 Februari 2008

Teologi Di Persimpangan Jalan: Way of Thinking atau Way of Living?

John Stott pernah menulis pemikiran bila teologi itu setidaknya berjalan dalam satu urutan bahwa teologi bukan saja way of thinking tetapi juga adalah way of living.[i] Bagi saya ini sebuah ungkapan kembar yang saling melengkapi, dan tanpa salah satunya teologi tidak dalam kondisi seimbang atau malah disebut pincang. Mengapa?

Tidak sedikit orang yang paradigmanya sudah terjajah dengan konsep pincang ini. Begitu bicara tentang kata ‘teologi’ bagi yang mereka bereaksi ekpresif (kecuali yang apatis) akan muncul dua kemungkinan:

  • Kemungkinan pertama, orang tersebut begitu menentangnya karena dianggap produk akal. Sehingga semua bentuk atau istilah gerejawi yang berbau teologi harap disingkarkan dari hadapan mereka. Mereka memberikan penilaian sedemikian karena mereka kaget ketika harus menghadapi kenyataan bahwa mereka yang memakai akal mereka di dalam gereja justru malah menanamkan kelemahan iman dan lebih percaya kepada pertimbangan dan logika manusiawi.
  • Kemungkinan kedua, orang tersebut malah memujanya, karena ini merupakan tempat sekaligus kesempatan untuk ekspresi dari isi kepala sebagai bagian dari tantang jawab berbagai pertanyaan yang berangkat dari kerinduan mencari kebenaran atau karena didorong rasa penasaran belaka.

Tidak bisa dipungkiri bahwa jemaat kita dijalari sikap-sikap demikian. Dan akibat langsung yang terasa adalah bahwa tidak jarang yang satu akan menuding kutub lainnya tanpa sadar bila apa yang mereka ajukan itu masih dalam jalur yang tidak tepat. Sebab soalnya sebenarnya tidak terletak pada pada teologi sebagai way of thinking (WoT) tetapi pada saat teologi menjadi way of living (WoL). Keprihatian saya justru terletak pada beberapa hal berikut:
1. Ketidakmampuan kita membahas WoT membuatnya tetap seperti itu tanpa mengetahui apa implikasi riilnya dalam hidup umat. Dan kita bilang kepada umat, "ini hal rumit kamu tidak bisa memahaminya". Padahal sebenarnya adalah bahwa kita tidak bisa menerapkannya karena terlalu asyik dengan pesona wacana teologis.
2. WoT sering dianggap final ketika kita bisa membuktikan atau menerangkan sebuah misteri alkitabiah, padahal kemudian umat kebingungan ketika akan menerapkannya dalam keseharian. 3. Adanya jurang pemisah yang begitu lebar antara memahami kebenaran Alkitab dan melakukannya. Seringkali sebuah teologi diterima dan dirasa cukup ketika memiliki referensi ratusan buku, mendapat pengakuan dari berbagai denominasi, atau malah diturunkan dari masa ke masa. Padahal di titik tersebut teologi baru mewujud dalam sebuah pernyataan dan tulisan dan belum operasional dalam hidup umat.
4. Teologi dianggap sebagai bahan perdebatan. Dan mereka yang memenangkan perdebatan merasa memiliki teologi yang benar atau jauh lebih tepat tanpa merasa harus mewujudkan apa yang diyakininya dalam perilaku sehari-hari. Saya melihat bagaimana orang-orang di beberapa milis dengan gagahnya membela kebenaran (yang diyakini) dan dengan gampangnya melecehkan lawan debat atau bicaranya sebagai mereka yang keliru dan tidak berpandangan sejenis mereka.

Saya malah melalui tulisan ini melakukan semacam otokritik:

a. Agar saya berhenti mengkhotbahkan dogma atau barang sejenis yang sarat dengan pengajaran (historis, filosofis, dogmatis) yang pada gilirannya hanya memunculkan doksologi dan anggukan kepala tanpa perubahan mendasar dalam diri.
b. Agar saya berhenti mendebat ajaran yang cuma pada sebuah kepuasan logis atau atas dasar kebenaran apologetis sementara saya tidak mengalami perubahan atau menikmati teologi apologetis itu dalam keseharian. Perdebatan yang terkadang asal bicara dan asal kutip terkadang hanyalah sebuah ketrampilan membaca, menghafal, dan mengutip tetapi tidak tahu cara menafsirkannya.
c. Agar ada semacam kesinambungan antara apa yang saya kotbahkan dengan apa yang lakukan. Tidak sedikit gereja-gereja mengajarkan pengajaran-pengajaran yang luar biasa, misalnya soal persatuan, soal solidaritas, soal kedaulatan Allah, soal manusia gambar Allah, tetapi setelah turun ke lapangan mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka penuh dengan dokumen dan penerjemahan berbagai artikel bahkan buku tetapi tidak melakukan apa-apa. Mereka yang benar-benar membela manusia sebagai Imago Dei dan secara apologetis menghadapi The Origin of Species dari C. Darwin, dalam kenyataannya masih terpancing dan terlibat mempertebal perbedaan suku dan ras dalam komunitas gerejanya. Betapa tidak konsistennya gereja berbuat demikian.
d. Ajaran yang cuma mengandalkan ketebalan karya atau keantikan waktu hanyalah sebuah museum yang cuma menjadi kenang-kenangan tetapi tak dapat memberi jawab dalam kenyataan sehari-hari. Berkiblat di salah satu sumbu Calvinisme atau Arianisme menunjukkan mereka cuma melanjutkan tradisi yang tidak cerdas dan kreatif. Kalau pun memang mereka lebih canggih paling tidak hanyalah dari segi peralatannya namun dari segi paradigmanya hanya berganti sampul saja (apa bedanya dengan bus PPD?).

Bagi saya teologi yang bertanggung jawab adalah teologi yang mengubah pikiran (budi) dan operasional mengubah hidup seseorang dan menghidupi kehidupannya.

Ketika saya pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “Hadirat Allah Tempat Pikiran Seseorang Diubahkan”, maka tidak sedikit mereka yang merasa diberkati tetapi juga ada beberapa gelintir orang yang bersikap nyinyir. Malah menghubungkan perubahan seperti Hitler dan sejenis juga karena ada di hadirat Allah. Betapa naifnya reaksi tersebut, itu terjadi karena mereka yang telah bersikap demikian tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya pengertian itu tidak bisa dipahami sembarangan atau dipukul rata begitu saja. Kenyinyiran dan sikap merendahkan orang lain adalah bentuk dari ketidakkonsistenan antara WoT dan WoL. Kristus sendiri menyuruh orang untuk melihat buahnya bukan akalnya walau Ia memerintahkan kita untuk mengasihi-Nya dengan segenap akal budi kita. Buah itu tak lain dan tak bukan adalah WoL.

Doa:
Ampuni saya Tuhan bila saya sempat terlibat cara-cara rendah seperti itu, biarlah di kemudian hari saya menjadi orang yang memahami teologi dan menerapkannya secara bertanggung jawab dan riil di tengah masyarakat sekarang dan di sini. Dan biarlah di dalam milis ada berbagai orang yang lebih mengedepankan kebenaran perdebatan ketimbang kebenaran praktek hidup sehari-hari.


Daniel Zacharias
Bintaro Jaya
http://dapetza2007.blogspot.com/

[i] John R.W. Stott, “A Theology: A Multidimensional Discipline” dalam Donald Lewis & Alister McGrath, peny., Doing Theology for the People of God (Downers Grove: IVP, 1996).

11 Februari 2008

Manusia Dan Keterpurukan Dunia

Dunia sedang terpuruk? Bukankah dunia justru sedang kencang-kencangnya mengalami kemajuan? Teknologi sebagai penemuan manusia sedang hebat-hebatnya berdemonstrasi menunjukkan kecanggihannya. Tetapi bagaimana dengan kondisi manusia itu sendiri? Apakah kemajuan pengetahuan dan penemuan manusia berbanding lurus dengan kemajuan iman dan moral manusia? Apakah orang yang maju secara teologi itu otomatis juga maju secara iman?

Kemajuan teknologi belakangan ini memang semakin canggih. Lihat saja kemajuan teknologi kedokteran, komunikasi, transportasi, dunia pendidikan, peralatan elektronik bahkan militer. Ada sebagian orang yang bersyukur dengan adanya kemajuan ini tetapi tidak sedikit yang was-was dan malah menyesali kemajuan-kemajuan yang terkadang mendatangkan perubahan yang merugikan banyak orang. Lihat saja bagaimana industri di dunia ketiga dalam melakukan penghematan biaya tenaga kerja yaitu dengan menciptakan robot-robot canggih yang menggantikan pekerjaan manusia dengan ketelitian dan kecermatan lebih tinggi dari manusia. Bahkan di pintu tol Pasteur Bandung seseorang mendapatkan tiket tol bukan dari tangan petugas tol tetapi dari mesin penyedia tiket tol yang membaca kehadiran mobil yang mendekatinya melalui sensor yang ada. Namun jika kita membenci teknologi dan perkembangannya itu sama saja dengan melakukan bunuh diri. Kemajuan pada galibnya harus diakui bukan untuk ditolak dan ditakuti. Tetapi teknologi tetaplah teknologi. Di samping ia menjadi alat ukur kemajuan peradaban dan perkembangan manusia ia juga menjadi alat ukur bagi kecanggihan berpikir ala manusia modern atau malah postmodern dan tidak lebih. Sebab teknologi tidak dapat sebagai alat ukur bagi kemajuan moral dan iman seseorang, akibatnya teknologi dapat saja melunturkan peran agama serta budaya manusia. Karena tidak sedikit manusia yang sudah merasa canggih dengan berbagai penemuan menjadi kebablasan dengan menganggap bahwa semua penemuan itu pasti dapat menjawab kebutuhan terdalamnya sebagai manusia.

Alkitab menggambarkan bahwa gambaran tentang manusia secara umum di akhir zaman makin makin terlihat kerusakannya. Akar dari semua yang membuat manusia makin terpuruk jauh dalam II Timotius 3:2: “manusia akan mencintai dirinya sendiri”. Kaidah emas yang dipergunakan Yesus untuk mengingatkan bahwa kita harus mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri sendiri diubah total menjadi kita hanya mengasihi diri kita sendiri saja tanpa mempedulikan orang lain. Yesus rindu agar kita membangun relasi bukan sebagai manusia sosial budaya dan politik saja tetapi juga sebagai manusia rohani yang berelasi dalam terang kasih-Nya. Seharusnya makin maju manusia yang kemudian ikut terkembang adalah unsur rohaninya, namun dalam kenyatannya pemahaman intelejensia manusia berlari seperti kijang tetapi pemahaman rohaninya berlari seperti penyu. Semakin maju manusia ternyata sulit untuk menciptakan hubungan dengan sesama malah sebaliknya manusia semakin mencintai dirinya sendiri atau bersikap individualistis.

Kecintaan terhadap diri bukan merupakan masalah yang kecil, karena kecintaan semacam itu (yang lebih pada pemahaman hedonis dan pemuasan diri sendiri) bisa nyata dalam berbagai perilaku sebagaimana tercatat dalam II Timotius 3:1-9:

  • Menjadi hamba uang
  • Mereka akan membual dan menyombongkan diri,
  • Mereka akan menjadi pemfitnah,
  • Mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih,
  • Tidak mempedulikan agama,
  • Tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai,
  • Suka menjelekkan orang,
  • Tidak dapat mengekang diri, garang,
  • Tidak suka yang baik, suka mengkhianat,
  • Tidak berpikir panjang,
  • Berlagak tahu,
  • Lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.

Dalam kaitannya dengan kehidupan ibadah, orang-orang tersebut masih berada dalam gereja tetapi sesungguhnya:

  • Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.
  • Sebab di antara mereka terdapat orang-orang yang menyelundup ke rumah orang lain dan menjerat perempuan-perempuan lemah yang sarat dengan dosa dan dikuasai oleh berbagai-bagai nafsu,
  • Yang walaupun selalu ingin diajar, namun tidak pernah dapat mengenal kebenaran.
    mereka menentang kebenaran.
  • Akal mereka bobrok dan iman mereka tidak tahan uji.

Melihat kenyataan ini hendaknya kita tidak ikut larut dalam keterpurukan perilaku manusia akhir zaman. Kesalahan tidak terletak pada teknologi dan segala kemajuannya. Yang salah terletak pada ketidakmampuan manusia memilah antara yang berkenan kepada Allah dan yang merupakan kemajuan manusia. Teknologi jangan diduelkan dengan agama tetapi diduetkan. Teknologi kita pakai untuk melayani Allah dan sesama bukan sebaliknya kita mengorbankan Allah dan sesama demi kemajuan teknologi.

Pada pembahasan selanjutnya akan saya jelaskan masing-masing karakter manusia di akhir zaman tersebut! Tuhan memberkati kita semua!

Daniel Zacharias (dapetza@cbn.net.id)

06 Februari 2008

Tabrakan Pendapat

… kualitas kerohanian seseorang yang tinggi tidak menjadikani ia selalu sependapat dengan orang lain …

Baru-baru ini saya baru saja membaca kembali beberapa buku yang melukiskan judul di atas. Buku pertama adalah Atheis karya Louis Leahy yang secara filosofis membabat habis atheisme Sigmund Freud. Hal ini memancing saya untuk terus menelaah Freud. Dalam karyanya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Sekelumit Sejarah Psikoanalisa, Freud malah mem-babat habis pendapat murid-muridnya yang membelot seperti C.G. Jung dan Adler.
Tabrakan-tabrakan pendapat semacam ini kelihatannya tidak hanya kita jumpai dalam buku-buku dari nama-nama tertentu saja, tetapi juga pada buku-buku lain dan tokoh-tokoh lainnya juga. Tabrakan-tabrakan pendapat tersebut muncul dari adanya suatu "perbedaan" dari pendapat-pendapat satu sama lain. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh banyak faktor. Baik itu sekedar sentimen ataupun yang berdasarkan argumen. Mungkin pokok yang pertama (sentimen) kurang diterima sebagai sanggahan yang bersifat ilmiah dan orang lebih cenderung mengakui pokok yang kedua (argumen). Namun apakah sanggahan yang bersifat sentimen itu benar-benar tidak bersifat ilmiah? Dan apakah semua yang berdasar argumen otomatis bersifat ilmiah?

Pada dasarnya pengaruh “tabrakan” ini senantiasa memancing perdebatan. Akan ada di antara kedua kubu tersebut murid-murid (baca: pengikut) dan juga unsur-unsur fanatisme. Yang satu mempersalahkan yang lain, dan yang lain kembali menyanggah sambil menyalahkan yang satu. Kritik tajam atau unsur-unsur mempersalahkan sama sekali tidak merubah posisi tetapi sebaliknya memperkokoh keduanya dan pertentangan di antara keduanya semakin tajam. Kedua klaim tersebut saling berebut perhatian dan terus-menerus melakukan publikasi melalui literatur-literatur propaganda. Dan anehnya keduanya tetap diakui dan diikuti oleh dunia dan tidak pernah kehilangan pengikut.

Dewasa ini tabrakan pendapat sering ditanggapi positif maupun negatif. Dianggap negatif karena pendapat yang datang kemudian mendapat tanggapan oposan karena dapat membahayakan pendapat yang sudah ada. Akibatnya setiap pendapat oposan harus dicegah. Sedangkan dinyatakan positif bila tabrakan pendapat itu membuktikan adanya suatu kedinamisan dan kemajemukan suatu pandangan dalam memandang suatu konsep atau gagasan secara obyektif.

Hegel, ratusan tahun yang lalu, telah menunjukkan pentingnya faktor oposan. Tabrakan tidak dilihat sebagai perusak dalam dialektikanya. Rumusannya mengenai Tesis tidak pernah dianggap puas dan obyektif sebelum dipertemukan dengan lawannya yakni Antitesis. Antitesis menciptakan adanya suatu ekuilibrium-ekuilibrium, sehingga balancing of the truth diberi sedikit kemungkinan. Akibatnya dari tabrakan (pertemuan yang kreatif) antara tesis dan antitesis adalah suatu Sintesis. Sintesis menjadi hasil yang diharapkan lebih obyektif dan yang sudah teruji. Namun Hegel juga tidak pernah puas dengan Sintesis yang sudah ditemukan, karena akhirnya Hegel sendiri juga melihat bahwa apa yang sudah menjadi Sintesis pada akhirnya akan menjadi Tesis kembali karena dia bertemu dengan antitesis-antitesis baru. Kapan ini akan berakhir? Only God Knows! Namun kita tidak perlu berprasangka buruk dulu dengan adanya ini. Karena dengan senantiasa hadirnya antitesis-antitesis akan senantiasa membantu kita melihat segala penemuan dengan lebih sedikit terjamin keobyektivitasannya.

Pada sisi yang lebih positif dan lebih obyektif, sebaiknya kita mau melalui proyeksi yang lebih lebar memandang sebuah persoalan. Perbedaan pendapat menunjukkan bahwa seseorang tidak berada di dalam pendapat kita. Tetapi itu tak berarti dia berada di seberang kita atau sementara melawan kita. Seringkali kita secara emosionil mengatakan bahwa orang yang tak sependapat dengan kita berada di seberang kita dan melawan kita. Padahal ini tidak selamanya benar! Orang mungkin tidak berada di posisi kita tapi itu tak berarti dia di seberang kita, mungkin ia justru di sebelah kita. Mungkin pendapatnya agak sedikit “bergeser” dari pendapat kita. Ia mungkin melihat sisi lain yang kita tidak lihat. Atau dengan kata lain bila ada sebuah obyek yang punya sisi-sisi (faktor-faktor) yang jamak dan kita hanya melihat satu atau dua sisi (faktor) saja dari sekian banyak sisi (faktor) dan orang-orang lain yang tidak sependapat dengan kita itu justru melihat sisi (faktor) lain itu yang tentunya pandangannya berbeda karena ia berdiri di posisi yang lain. Dan bila kita tidak saling menyalahkan dan mencoba bersabar untuk melihat ada kemungkinan untuk menggabungkan pendapat-pendapat yang berbeda maka kita akan melihat bahwa perbedaan bukan untuk memecah tetapi menuju pada sebuah pengayaan (enrichment).

Jika orang Mesir di suruh menyimpulkan iklim bumi tanpa melihat dari iklim tropis dan iklim orang-orang yang berada di daerah dingin, maka ia dengan enteng akan mengatakan bahwa iklim bumi itu senantiasa panas sebagaimana negerinya dan itu berarti akan memancing perdebatan dari belahan bumi yang lain. Tapi bila ia mau mendengar seruan dari belahan bumi yang lain, tentunya ia akan tahu (dan tentu ia tidak sebodoh itu) bahwa iklim bumi tidak sesederhana yang ia lihat dan pikirkan dalam konteksnya. Kita memang akan mengatakan betapa naifnya orang Mesir itu. Tapi itulah yang justru terjadi pada kita. Kesimpulan yang kita ambil dari sebuah pengamatan terkadang tidak lengkap tetapi kita telah memutlakannya dan bahkan kita telah menutup pintu untuk kemung-kinan-kemungkinan koreksi atau untuk melengkapi, dan ketika ada orang mencoba menampilkan sesuatu yang sedikit berbeda dengan kita.

Kemajemukan pendapat dalam dunia ini seringkali justru belum dapat diterima padahal tidak selamanya kebenaran itu bersisi tunggal. Hal ini sering terjadi di dalam dunia iptek, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan hankam. Bila kita mencoba meneropong gereja Tuhan maka seringkali gereja-gereja sekarang berpandangan sempit dan cenderung eksklusif. Tak jarang hal itu dipicu oleh pandangan dari para gembala, atau pemimpin-pemimpin jemaat yang ber-wawasan sempit dan belum memiliki kemampuan mengamati dan menyimpulkan perkara-perkara yang dilihatnya secara obyektif. Perlu sebenarnya kita menanyakan pada orang-orang seperti ini apakah kebenaran itu mutlak muncul hanya dari mereka, gereja mereka, pengajaran mereka, mulut mereka, tingkah laku mereka, pelayanan mereka, dan doa-doa mereka? Mereka sudah mencoba untuk bersifat "oikumenis" dengan mencemplungkan diri ke dalam sebuah persekutuan gereja-gereja yang oikumenis. Namun kenyataan bercerita lain. Gereja-gereja suku yang “menguasai” (maaf penggunaan kata ini dapat saja memancing perdebatan tetapi itulah yang terlihat, terdengar dan teraba) lokal tertentu bila didatangi oleh aliran gereja yang "tidak sama benderanya" maka dengan sinis mereka menolak dengan alasan tidak seazas dan mulai menjelekan pelayan dan pelayanan kerohanian tamu tersebut. Rupa-rupanya sikap oikumenis yang mereka kembangkan malah tidak terbukti sama sekali. Ikut sertanya mereka dalam sebuah persekutuan gereja yang bersifat oikumenis baik dalam tingkat nasional maupun internasional rupa-rupanya hanya untuk menunjukkan mereka cukup "gaul" dalam kehidupan bergereja, namun tidak sama sekali menunjukkan bahwa mereka cukup oikumenis. Sikap oikumenis tidak otomatis muncul karena keanggotaan mereka di PGI dan WCC, tetapi sikap menerima kemajemukan dengan lebih terbuka dan jujurlah yang sebenarnya menunjukan hakekat itu. Dan itu harus diperjuangkan dan tak pernah berhenti.

Anehnya sikap lebih toleran terhadap agama lain dapat mereka kembangankan. Sikap menerima pluralisme belum mampu secara merata mereka lakukan. Sikap menerima kemajemukan dengan pandangan yang terarah pada sesama gereja kita sebut sebagai sikap pluralis ke dalam sedangkan terhadap sesama agama lain kita sebut sebagai sikap pluralis keluar. Mereka lebih menghargai sikap pluralis ke luar ketimbang sikap pluralis ke dalam. Melihat gejala yang tidak seimbang dan aneh ini tentunya sangatlah tidak beralasan bila kita melihat sikap pluralis keluar itu sebagai sikap yang menerima kemajemukan secara obyektif. Karena untuk ke dalam saja ia tidak mampu maka yang ke luar tentunya bukanlah suatu sikap pluralis sejati tetapi lebih dari sebuah sikap politis (yang mungkin merupakan suatu ketakutan yang diterjemahkan pada sikap segan dan sungkan). Kenyataan ini hendaknya tidak membuat kita tersinggung bila kita merasa isi kepala kita tidak cukup sempit.

Sikap menerima perbedaan pendapat tentu tidaklah senaif yang kita purbasangkakan. Untuk menerima perbedaan pendapat kita harus mampu punya rambu-rambu yang kritis dan untuk menolak perbedaan itu pun harus dikaji secara kritis pula. Bisa saja perbedaan pendapat itu mencelakakan kita tetapi bisa juga justru memperkaya kita. Sadar atau tidak sadar setelah membaca lembaran-lembaran ini kita tidak secara otomatis mampu menerima perbedaan pendapat bahkan masih terus akan senang mendengar suara-suara gemuruh dari tabrakan pendapat yang bersilangan di udara. Atau bahkan tulisan ini menimbulkan perdebatan baru dan itulah makna dan konsekwensi dari suatu sikap yang tidak buru-buru menerima atau bahkan menolak pendapat yang berbebda dengan pendapat dengan kita.

Selama pendapat kita selalu mendapat perdebatan, maka kita harus menyadari bahwa mungkin memang ada yang tidak menyukai pendapat kita, namun bisa juga ada yang sependapat dengan kita mungkin dari sisi (faktor) yang berbeda. Perjuangan untuk menerima pendapat yang pluralis sedang berada dalam konteksnya karena saat ini dunia pun semakin plural. Sulit dan tidaklah mungkin kita mengadakan "penyeragaman" (kata ini tidak begitu disukai oleh Pastor Drost) pendapat, dan kita sendiri tidak dapat atau bahkan tidak mungkin menghindari ke-bhinekaan dalam segala hal dan bentuk.

Daniel Zacharias

05 Februari 2008

Global Warming: Global Warning!!!

Alam memang memiliki hukumnya sendiri. Sekalipun manusia memiliki kekuasaan untuk mengeksplorasi (bahkan mengeksploitasi) alam, tetapi itu tidak berarti bahwa manusialah yang mengatur hukum alam. Hukum alam bahkan tidak mengikuti hukum manusia. Alam punya hukum yang disebut keseimbangan. Keseimbangan yang terganggu maka dampaknya adalah gangguan pada alam, dan selanjutnya tidak dapat kita bayangkan apa akibatnya pada manusia.

Bila melihat mendengar dan membaca berbagai laporan tentang penipisan lapisan ozon maka rasanya bulu kuduk ini bisa bergidik. Mengapa? Karena hanya hitungan tak lebih dari 25 tahun maka kondisi bumi ini akan semakin memanas dan tak tahulah awak yang bakal terjadi. Tetapi kita harus ingat bahwa penipisan ozon itu sangat bergantung pada aktivitas manusia yang sudah terlanjur hidup bergantung pada teknologi yang boros energi dan tidak ramah lingkungan. Sulit sekali mengendalikan kendaraan yang memiliki emisi yang ramah lingkungan. Hampir lebih banyak kendaraan diatur lebih kepada kenyamanan berkendara dan kecepatan yang lebih prima. Tidak sedikit angkutan-angkutan kota yang berasap hitam dan pedih di mata masih berseliweran dengan bebas padahal racun timbal sudah ditebar ratusan bahkan ribuan kilometer setiap harinya dari berbagai kendaraan yang tidak lulus uji emisinya.

Belum lagi pembalakan liar yang sama sekali tidak peduli pada kelestarian lingkungan. Berbagai peristiwa longsor di berbagai tempat di negeri ini memberi sinyal kepada kita bahwa itulah akibatnya bila keseimbangan alam dirusak secara tidak bertanggung jawab.

Banjir di Jakarta bukan semata membangun dam dan mempersalahkan pemerintah karena lambat menangani soal banjir. Bagi saya soalnya bukan itu, sebaiknya jangan menggeser isu yang sebenarnya:
a. Hampir kebanyakan banjir di Jakarta terjadi karena saluran air dari jalan raya tidak tahu harus lari kemana. Air selalu mencari tempat rendah, dan bila yang paling rendah adalah jalan itu sendiri, maka ia akan menggenangi jalan tersebut sehingga jalanan berubah fungsi menjadi "empang elit". Para perancang bangunan kurang memiliki perhitungan yang matang terkait dengan dampak lingkungan terlebih bila musim hujan.
b. Beberapa masyarakat juga kewalahan menangani air yang terhambat karena perbuatan masyarakat yang belum peduli terhadap kebersihan. Kali dan sungai masih dianggap sebagai "tempat sampah berjalan". Ketidakpedulian warga terhadap hal ini turut menyumbang peristiwa banjir di Jakarta.
c. Daerah resapan air berubah menjadi lahan bisnis yang nyaris tandus. Lihat saja ada banyak sekali mal di Jakarta ini, mari kita hitung:
1. Di Jakarta Pusat ada Atrium Senen dan Kemayoran City.
2. Di Jakarta Timur ada Pulo Gadung Trade Centre, Cibubur Junction.
3. Di Jakarta Utara ada Mal Kelapa Gading, Mal Artha Gading, Megamall Pluit, Sunter Mall, WTC, Mall Mangga Dua.
4. Di Jakarta Selatan ada Cilandak Town Square, Pondok Indah Mall 1 dan 2, Senayan City, Plaza Senayan, Senayan Trade Centre, Mall Semanggi, Poins Square.
5. Di Jakarta Barat ada Mall Taman Anggrek, Citraland, Mall Puri Indah,
belum lagi berbagai pembangunan apartemen-apartemen yang melahap habis daerah resapan air.
d. Bertumpuknya semua kegiatan di Jakarta tanpa adanya pemerataan pembangunan di pelosok negeri ini membuat wajah Jakarta menjadi ruwet, macet, polusi terparah, kumuh, dan semrawut. Kota Jakarta tidak ramah lingkungan. Memang ada paru-paru kota seperti di Monas dan di Senayan, juga di perempatan Lebak Bulus, dan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tetapi hal itu tidak seimbang dengan apa yang sudah menjadi polusi besar-besaran di kota ini.
e. Belum lagi pemakaian bahan plastik dan karet yang benar-benar sulit dihindari bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa lepas dari "tas kresek" tersebut.

Menyaksikan semua ini membuat saya teringat akan nas Alkitab dalam Markus 16:15: Lalu Ia berkata kepada mereka: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk". Hal ini tidak dimaksudkan bahwa kita mengkotbahkan hewan dan tumbuhan. Tetapi maksudnya adalah bahwa kehadiran manusia bukan hanya membawa kabar dan tindakan sukacita buat sesamanya tetapi juga buat alam. Kristus menebus manusia dari dosanya, dan alam turut ditebus dari semua kerakusan manusia. Mahluk hidup di dunia perlu menerima shalom Allah dalam pengertian dan perilaku yang berbeda. Kehadiran manusia yang melestarikan dan menjaga keseimbangan alam akan memberikan angin sejuk "kabar baik" bagi lingkungan, namun sebaliknya kedatangan manusia yang dikuasai kerakusan dan keserakahan akan menghembus angin ketandusan padang gurun yang menyengat dan membawa kabar buruk serta kehancuran. Pekabaran Injil harus dipahami holistik. Pekabaran Injil bukan sekedar memberitakan peristiwa penyelamatan rohani, tetapi juga merupakan penyelamatan dunia dari kerakusan manusia.

Earth Summit di Rio de Janeiro beberapa belas tahun lalu melahirkan semboyan: "Think Globaly, Act Locally", mengingatkan kita beberap hal:
a. Berpikir global berarti paradigmanya bukan sekedar berada di dalam pagar rumah tetapi mencakup kepentingan dunia dan bersama. Pemanasan Global bisa jadi adalah Peringatan Global!
b. Bertindak lokal menunjukkan bahwa kita tidak bisa sekaligus menangani semua persoalan global tanpa masing-masing kita membangun kesadaran dan bertanggung jawab di atas konteks lokal masing-masing. Tanamlah pohon di rumah, di lingkungan gereja, di sekolah. Juga tempat-tempat perbelanjaan hendaknya menanami lingkungannya.

Kelihatannya kita sebagai orang percaya benar-benar harus ikut terlibat untuk memikirkan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan kita. Penebusan Kristus yang menjadi pemberitaan kita harus menjangkau bukan hanya roh kita tetapi juga terhadap lingkungan dimana hidung kita menarik nafas dengan lapang, terhadap terhadap kicauan burung dan jengkerik yang kita dengar, terhadap "ijo royo" yang kita tatap dari lambaian daun-daun pepohonan.

Menghindari pemanasan global memang sulit, tetapi mengantisipasi dan memperlambatnya masih merupakan tanggung jawab manusia. Waspadailah karena Pemanasan Global bisa jadi adalah Peringatan Global.

Daniel Zacharias

Kasih Menembus Batas

Yohanes 17:21
“Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”

Yesus mengatakan “supaya semua menjadi satu” tidak dalam pengertian Ia sedang mengupayakan sebuah keseragaman (uniform) tetapi sebuah kesatuan (unity), yang memang berangkat dari perbedaan-perbedaan. Fokus utama pembicaraan Yesus saat itu terarah kepada murid-murid-Nya yang datang dari berbagai orientasi, berbagai kemampuan, berbagai fokus hidup, berbagai jenis emosi yang berbeda-beda. Persatuan di antara mereka di zaman itu dan persatuan di antara gereja-gereja kita di zaman sekarang memang tidak akan pernah meniadakan perbedaan-perbedaan, namun yang perlu mendapat catatan bagi kita adalah bahwa perbedaan-perbedaan bukan alasan bagi mereka yang dulu pernah hidup dan kita yang hidup sekarang ini untuk tidak bersatu di zaman masing-masing. Perbedaan bukanlah kutuk bagi gereja tetapi sebenarnya adalah sebuah anugerah, tetapi sayangnya banyak gereja tidak tahu bagaimana menangani “anugerah Allah yang kaya ini” ini.

Batas-batas yang muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, namun jangan pula dilihat secara negatif sehingga dipergunakan secara keliru pula. Tidak sedikit dari gereja yang memandang batas-batas itu dengan negatif, akibatnya tidak sedikit gereja pula yang memandang perbedaan sebagai alat:
1. Untuk menarik diri (karena merasa tidak cocok);
2. Atau untuk mendominasi (karena merasa paling benar)

Di Belfast, Irlandia, seperti dituturkan Anthony de Mello, Imam Katolik, Pendeta Protestan, dan rabbi Yahudi terlibat dalam debat teologi yang sengit. Tiba-tiba malaikat Tuhan tampak di antara mereka dan berkata: “Tuhan menyampaikan berkat. Ajukanlah satu permohonan damai dan permohonan itu akan dikabulkan oleh Yang Mahakuasa.” Pendeta Protestan berkata: “Biarlah semua orang Katolik lenyap dari pulau Indah ini. Lalu damai akan berkuasa.” Imam berkata: “Jangan ada satu orang Protestan tinggal di bumi suci Irlandia ini. Ini akan mendatangkan damai kepada pulau ini.” “Dan bagaimana engkau rabbi?” kata malaikat, “Apa engkau tidak punya permohonan sendiri?” “Tidak,” kata rabbi. “Perhatikanlah permohonan dua tuan ini saja dan aku akan senang sekali!”

Berkaca pada kisah di atas, maka bila gereja berada dalam posisi-posisi semacam ini maka gereja sedang kehilangan Doa Yesus dalam diri mereka. Yang mempersatukan gereja-gereja adalah Kristus yang diwujudkan melalui kasih-Nya. Kasih itu menembus batas: tidak hanya dalam pengertian denominasi atau aliran gereja, tetapi juga dalam pengertian yang lebih luas yaitu batas suku, batas agama, strata pendidikan dan ekonomi. Jenis Kasih kita bukan kasih lokal dan terkotak-kotak. Dan hal yang perlu diingat pula bahwa ide kesatuan dan persatuan bukanlah ide sosial humanistik dari gereja tetapi itulah DOA YESUS BUAT GEREJANYA dan itulah misi horisontal yang perlu dibangun di antara gereja masa kini (di Indonesia ada 323 sinode gereja - Depag 2008). Penggenapan doa Tuhan Yesus itu bergantung pada kerinduan gereja-Nya untuk bersatu. Bersatu yang dimaksud di sini adalah: kita bergandengan tangan tanpa terhambat oleh batas-batas denominasi kita untuk mewujudkan panggilan gereja bagi dunia ini:

DIAKONIA (pelayanan kasih)
MARTURIA (kesaksian)
KOINONIA (persekutuan)

Persatuan yang ada tak hanya menggenapi doa Yesus tetapi juga membuat gereja semakin efektif dalam perjuangannya di dunia ini dan tidak tumpang tindih. Dunia membutuhkan gereja tidak dalam kapasitas berlindung di balik batas-batas tetapi dengan kasih yang dimiliki gereja, maka masing-masing mengatasi batas-batas tersebut guna memulihkan dunia.

Peristiwa Penebusan Kristus adalah peristiwa penyelamatan dunia oleh Dia bukan penyelamatan terhadap gereja tertentu. Sisi lain dari pengutusan Yesus adalah untuk menujukkan kesatuan di dalam gereja: “supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”. Kasih Kristus begitu lebar, tinggi, dan luas sehingga tidak bisa dibatasi atau dikandangi dalam denominasi tertentu. Kasih-Nya meluap-luap dan mendesak pribadi-pribadi agar tidak tinggal dan tidur dalam “kandang denominasinya” tetapi keluar dan bergandengan tangan untuk mengatasi pergumulan-pergumulan dunia. Sudah saatnya kita saling memberkati "tubuh Kristus" yang adalah kita sendiri di antara kepelbagaian (unity in diversity).

Bila kasih Kristus sudah menembus batas, maka adakah kita mau diajak untuk berpikir dan bertindak mengatasi atau melewati batas-batas itu?


Daniel Zacharias

01 Februari 2008

The Purpose of Our Church

Every church is driven by something. Rick Warren wrote: “tradition, finances, programs, personalities, events, seekers, and even buildings can each be the controlling force in a church[1]. Can you imagine if every person in our church has a single different purpose? What will happen? It will be a chaos! Everyone will compel others and assume if he or she knows his or her church’s purpose well.

It is important for us to have a critical question to this thing. The question is “who has the authority to determine the purpose of the church?” In theology we understand if we are Lord’s creation. The purpose of human life is not determined by the creation but by the Creator. Even in Philosophy we understand that the Lord is Causa Prima (The First Cause). Every creator has determined his purpose when he creates his own creation. He puts the purpose in his creation. He makes his creation to function according to the purpose. No one in this world has the authority to determine his own purpose of life. If someone tries to determine his own purpose, this is what the Bible says: “they have rebelled to God”. Human cannot foresee the future nor control the future. So how can we determine something that we cannot control except by God? George Bernard Shaw wrote: “Imagination is the beginning of creation. We imagine what we desire, we will what we imagine; and at last we create what we will”.

We understand the church is not merely a building or an organization. The church is a community of human who believe in Jesus’ name. If we talk about church we talk about human. So, the church cannot determine her purpose either. She must ask God what The Lord’s purpose for her is. In this article we need to notice what Rick Warren has written in his book “Purpose Driven Church”. He questioned our church: “what is the driving force behind your church?”

As a pastor having serve 5 years at GKO Bintaro Jaya, I see some factors driving this church:
1. GKO Bintaro Jaya has been driven by tradition. It is difficult for us to make changes. Change is always seen as negative, and stagnation is interpreted as “stability”. We tend to be bound together by rules, regulations, and rituals. We repeat our tradition every week without any significant breakthrough.
2. GKO Bintaro Jaya has been driven by persons. The sound that we always hear in this community is: “What does the leader want?” not “what does the Lord want?”
3. GKO Bintaro Jaya has been driven by finance. Our activity in this church is driven by the question at the forefront of everyone minds, “How much will it cost?” or “do we have enough”.
I admit that we have two more factors which are: programs and events. However, these two things less significant than the previous three in our church.

Today we must admit our mistakes and change our own church direction. We should start with this question: “why does GKO exist?” As Elie Wiesel said: “When we die and go to heaven, our Maker is not going to say, why didn’t you discover the cure for such and such? The only thing we’re going to be asked at that precious moment is why didn’t you become you?” This is the basic meaning that “you become you” in God perspective not in human. If we know the reason of our existence we can understand our purpose. In Bible God wants the church to be saved and makes His church a model of His Kingdom lifestyle in this world. And the world will see what God wants through the church. That is the primary purpose of our church.

Daniel Zacharias
[1] Rick Warren, The Purpose Driven Church.