… kualitas kerohanian seseorang yang tinggi tidak menjadikani ia selalu sependapat dengan orang lain …
Baru-baru ini saya baru saja membaca kembali beberapa buku yang melukiskan judul di atas. Buku pertama adalah Atheis karya Louis Leahy yang secara filosofis membabat habis atheisme Sigmund Freud. Hal ini memancing saya untuk terus menelaah Freud. Dalam karyanya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Sekelumit Sejarah Psikoanalisa, Freud malah mem-babat habis pendapat murid-muridnya yang membelot seperti C.G. Jung dan Adler.
Tabrakan-tabrakan pendapat semacam ini kelihatannya tidak hanya kita jumpai dalam buku-buku dari nama-nama tertentu saja, tetapi juga pada buku-buku lain dan tokoh-tokoh lainnya juga. Tabrakan-tabrakan pendapat tersebut muncul dari adanya suatu "perbedaan" dari pendapat-pendapat satu sama lain. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh banyak faktor. Baik itu sekedar sentimen ataupun yang berdasarkan argumen. Mungkin pokok yang pertama (sentimen) kurang diterima sebagai sanggahan yang bersifat ilmiah dan orang lebih cenderung mengakui pokok yang kedua (argumen). Namun apakah sanggahan yang bersifat sentimen itu benar-benar tidak bersifat ilmiah? Dan apakah semua yang berdasar argumen otomatis bersifat ilmiah?
Pada dasarnya pengaruh “tabrakan” ini senantiasa memancing perdebatan. Akan ada di antara kedua kubu tersebut murid-murid (baca: pengikut) dan juga unsur-unsur fanatisme. Yang satu mempersalahkan yang lain, dan yang lain kembali menyanggah sambil menyalahkan yang satu. Kritik tajam atau unsur-unsur mempersalahkan sama sekali tidak merubah posisi tetapi sebaliknya memperkokoh keduanya dan pertentangan di antara keduanya semakin tajam. Kedua klaim tersebut saling berebut perhatian dan terus-menerus melakukan publikasi melalui literatur-literatur propaganda. Dan anehnya keduanya tetap diakui dan diikuti oleh dunia dan tidak pernah kehilangan pengikut.
Dewasa ini tabrakan pendapat sering ditanggapi positif maupun negatif. Dianggap negatif karena pendapat yang datang kemudian mendapat tanggapan oposan karena dapat membahayakan pendapat yang sudah ada. Akibatnya setiap pendapat oposan harus dicegah. Sedangkan dinyatakan positif bila tabrakan pendapat itu membuktikan adanya suatu kedinamisan dan kemajemukan suatu pandangan dalam memandang suatu konsep atau gagasan secara obyektif.
Hegel, ratusan tahun yang lalu, telah menunjukkan pentingnya faktor oposan. Tabrakan tidak dilihat sebagai perusak dalam dialektikanya. Rumusannya mengenai Tesis tidak pernah dianggap puas dan obyektif sebelum dipertemukan dengan lawannya yakni Antitesis. Antitesis menciptakan adanya suatu ekuilibrium-ekuilibrium, sehingga balancing of the truth diberi sedikit kemungkinan. Akibatnya dari tabrakan (pertemuan yang kreatif) antara tesis dan antitesis adalah suatu Sintesis. Sintesis menjadi hasil yang diharapkan lebih obyektif dan yang sudah teruji. Namun Hegel juga tidak pernah puas dengan Sintesis yang sudah ditemukan, karena akhirnya Hegel sendiri juga melihat bahwa apa yang sudah menjadi Sintesis pada akhirnya akan menjadi Tesis kembali karena dia bertemu dengan antitesis-antitesis baru. Kapan ini akan berakhir? Only God Knows! Namun kita tidak perlu berprasangka buruk dulu dengan adanya ini. Karena dengan senantiasa hadirnya antitesis-antitesis akan senantiasa membantu kita melihat segala penemuan dengan lebih sedikit terjamin keobyektivitasannya.
Pada sisi yang lebih positif dan lebih obyektif, sebaiknya kita mau melalui proyeksi yang lebih lebar memandang sebuah persoalan. Perbedaan pendapat menunjukkan bahwa seseorang tidak berada di dalam pendapat kita. Tetapi itu tak berarti dia berada di seberang kita atau sementara melawan kita. Seringkali kita secara emosionil mengatakan bahwa orang yang tak sependapat dengan kita berada di seberang kita dan melawan kita. Padahal ini tidak selamanya benar! Orang mungkin tidak berada di posisi kita tapi itu tak berarti dia di seberang kita, mungkin ia justru di sebelah kita. Mungkin pendapatnya agak sedikit “bergeser” dari pendapat kita. Ia mungkin melihat sisi lain yang kita tidak lihat. Atau dengan kata lain bila ada sebuah obyek yang punya sisi-sisi (faktor-faktor) yang jamak dan kita hanya melihat satu atau dua sisi (faktor) saja dari sekian banyak sisi (faktor) dan orang-orang lain yang tidak sependapat dengan kita itu justru melihat sisi (faktor) lain itu yang tentunya pandangannya berbeda karena ia berdiri di posisi yang lain. Dan bila kita tidak saling menyalahkan dan mencoba bersabar untuk melihat ada kemungkinan untuk menggabungkan pendapat-pendapat yang berbeda maka kita akan melihat bahwa perbedaan bukan untuk memecah tetapi menuju pada sebuah pengayaan (enrichment).
Jika orang Mesir di suruh menyimpulkan iklim bumi tanpa melihat dari iklim tropis dan iklim orang-orang yang berada di daerah dingin, maka ia dengan enteng akan mengatakan bahwa iklim bumi itu senantiasa panas sebagaimana negerinya dan itu berarti akan memancing perdebatan dari belahan bumi yang lain. Tapi bila ia mau mendengar seruan dari belahan bumi yang lain, tentunya ia akan tahu (dan tentu ia tidak sebodoh itu) bahwa iklim bumi tidak sesederhana yang ia lihat dan pikirkan dalam konteksnya. Kita memang akan mengatakan betapa naifnya orang Mesir itu. Tapi itulah yang justru terjadi pada kita. Kesimpulan yang kita ambil dari sebuah pengamatan terkadang tidak lengkap tetapi kita telah memutlakannya dan bahkan kita telah menutup pintu untuk kemung-kinan-kemungkinan koreksi atau untuk melengkapi, dan ketika ada orang mencoba menampilkan sesuatu yang sedikit berbeda dengan kita.
Kemajemukan pendapat dalam dunia ini seringkali justru belum dapat diterima padahal tidak selamanya kebenaran itu bersisi tunggal. Hal ini sering terjadi di dalam dunia iptek, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan hankam. Bila kita mencoba meneropong gereja Tuhan maka seringkali gereja-gereja sekarang berpandangan sempit dan cenderung eksklusif. Tak jarang hal itu dipicu oleh pandangan dari para gembala, atau pemimpin-pemimpin jemaat yang ber-wawasan sempit dan belum memiliki kemampuan mengamati dan menyimpulkan perkara-perkara yang dilihatnya secara obyektif. Perlu sebenarnya kita menanyakan pada orang-orang seperti ini apakah kebenaran itu mutlak muncul hanya dari mereka, gereja mereka, pengajaran mereka, mulut mereka, tingkah laku mereka, pelayanan mereka, dan doa-doa mereka? Mereka sudah mencoba untuk bersifat "oikumenis" dengan mencemplungkan diri ke dalam sebuah persekutuan gereja-gereja yang oikumenis. Namun kenyataan bercerita lain. Gereja-gereja suku yang “menguasai” (maaf penggunaan kata ini dapat saja memancing perdebatan tetapi itulah yang terlihat, terdengar dan teraba) lokal tertentu bila didatangi oleh aliran gereja yang "tidak sama benderanya" maka dengan sinis mereka menolak dengan alasan tidak seazas dan mulai menjelekan pelayan dan pelayanan kerohanian tamu tersebut. Rupa-rupanya sikap oikumenis yang mereka kembangkan malah tidak terbukti sama sekali. Ikut sertanya mereka dalam sebuah persekutuan gereja yang bersifat oikumenis baik dalam tingkat nasional maupun internasional rupa-rupanya hanya untuk menunjukkan mereka cukup "gaul" dalam kehidupan bergereja, namun tidak sama sekali menunjukkan bahwa mereka cukup oikumenis. Sikap oikumenis tidak otomatis muncul karena keanggotaan mereka di PGI dan WCC, tetapi sikap menerima kemajemukan dengan lebih terbuka dan jujurlah yang sebenarnya menunjukan hakekat itu. Dan itu harus diperjuangkan dan tak pernah berhenti.
Anehnya sikap lebih toleran terhadap agama lain dapat mereka kembangankan. Sikap menerima pluralisme belum mampu secara merata mereka lakukan. Sikap menerima kemajemukan dengan pandangan yang terarah pada sesama gereja kita sebut sebagai sikap pluralis ke dalam sedangkan terhadap sesama agama lain kita sebut sebagai sikap pluralis keluar. Mereka lebih menghargai sikap pluralis ke luar ketimbang sikap pluralis ke dalam. Melihat gejala yang tidak seimbang dan aneh ini tentunya sangatlah tidak beralasan bila kita melihat sikap pluralis keluar itu sebagai sikap yang menerima kemajemukan secara obyektif. Karena untuk ke dalam saja ia tidak mampu maka yang ke luar tentunya bukanlah suatu sikap pluralis sejati tetapi lebih dari sebuah sikap politis (yang mungkin merupakan suatu ketakutan yang diterjemahkan pada sikap segan dan sungkan). Kenyataan ini hendaknya tidak membuat kita tersinggung bila kita merasa isi kepala kita tidak cukup sempit.
Sikap menerima perbedaan pendapat tentu tidaklah senaif yang kita purbasangkakan. Untuk menerima perbedaan pendapat kita harus mampu punya rambu-rambu yang kritis dan untuk menolak perbedaan itu pun harus dikaji secara kritis pula. Bisa saja perbedaan pendapat itu mencelakakan kita tetapi bisa juga justru memperkaya kita. Sadar atau tidak sadar setelah membaca lembaran-lembaran ini kita tidak secara otomatis mampu menerima perbedaan pendapat bahkan masih terus akan senang mendengar suara-suara gemuruh dari tabrakan pendapat yang bersilangan di udara. Atau bahkan tulisan ini menimbulkan perdebatan baru dan itulah makna dan konsekwensi dari suatu sikap yang tidak buru-buru menerima atau bahkan menolak pendapat yang berbebda dengan pendapat dengan kita.
Selama pendapat kita selalu mendapat perdebatan, maka kita harus menyadari bahwa mungkin memang ada yang tidak menyukai pendapat kita, namun bisa juga ada yang sependapat dengan kita mungkin dari sisi (faktor) yang berbeda. Perjuangan untuk menerima pendapat yang pluralis sedang berada dalam konteksnya karena saat ini dunia pun semakin plural. Sulit dan tidaklah mungkin kita mengadakan "penyeragaman" (kata ini tidak begitu disukai oleh Pastor Drost) pendapat, dan kita sendiri tidak dapat atau bahkan tidak mungkin menghindari ke-bhinekaan dalam segala hal dan bentuk.
Daniel Zacharias
Tidak ada komentar:
Posting Komentar