24 Februari 2009

Keakraban Dengan Allah Dipelihara Melalui Persekutuan

Yohanes 15:1-8

Dalam persekutuan di kamar atas (upper room), ketika Yesus mengutarakan isi hati-Nya kepada murid-murid-Nya, Ia menekankan perlunya dan pentingnya pemeliharaan hubungan yang paling dekat dan akrab dengan Dia sendiri. Untuk menggambarkan ini, ia menceritakan perumpamaan pokok anggur dan ranting-rantingnya, dengan pelajaran intinya bahwa pohon anggur hanya akan berbuah bila ranting itu tetap melekat pada pokok anggur:

"Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku" (Yoh 15:4).

Apa maknanya? Tinggal di dalam Kristus, hanya mungkin dialami oleh orang-orang Kristen yang sejati. Tinggal di dalam Kristus berarti memelihara hubungan yang tak terputus dengan Kristus dalam kasih yang karib. Kata tinggal semata-mata berarti "berada, tinggal, berkelanjutan, melekat". Maknanya seakan-akan Tuhan sedang berkata, "Apabila engkau percaya kepada-Ku, engkau dipersatukan dengan Aku. Jangan biarkan apa pun atau siapa pun memutuskan kesatuan yang akrab itu. Tetaplah bergantung pada-Ku." Jika saluran yang menyatukan pokok anggur dan ranting dihambat atau putus, pohon anggur itu tidak mungkin berbuah.

Pokok anggur yang benar (ayat 1)
"Akulah pokok anggur yang benar" -- pokok anggur yang sebenarnya, yang asli, inilah yang dikatakan-Nya. Sebelumnya, bangsa Israel telah dilambangkan sebagai kebun anggur (Yesaya 5:1-2). Bangsa Israel telah ditanami "pokok anggur pilihan", tetapi kondisi kebun itu menjadi buruk dan hanya menghasilkan buah anggur yang asam, sekalipun mendapat perawatan dan perhatian dari Allah (Yes 5:2).

Persekutuan Yang Akrab Dengan Allah Ditunjukkan Dengan Hidup Yang Berbuah
Sebagai perbandingan dari pokok anggur yang asam, Yesus menyatakan, "Akulah pokok anggur yang benar," dan kemudian Ia menyatakan bahwa yang penting ialah pokok anggur yang berbuah lebat. "Tinggalah di dalam-Ku."

Pasalnya, pokok anggur hanya dapat berbuah melalui ranting-rantingnya. Di hadapan murid-murid yang merasa heran, Ia membuat pernyataan yang mendebarkan hati, "Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya" (Yoh 15:5, cetak miring ditambahkan), artinya: disatukan dengan pokok anggur dalam hubungan yang akrab sambil menggunakan zat pemberi kehidupan yang sama.

Ranting yang tidak berbuah (15:2-3)
"Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya." Fungsi dari pokok anggur sebatas menghasilkan buah saja. "Pokok anggur itu hidup guna memberi zat kehidupan." Carang dari pokok anggur itu tidak memberi manfaat apapun kecuali untuk menghasilkan buah. Jika ranting tidak dapat menghasilkan buah, ia tidak dapat berfungsi lagi. Ia akan ditebang dan dibakar.

Dalam perikop teresebut, Tuhan kita tidak sedang membicarakan mengenai keselamatan. Tema-Nya adalah mengenai hidup yang berbuah. Ayat-ayat ini tidak mengajarkan bahwa orang Kristen yang tidak berbuah akan kehilangan keselamatannya, tetapi bahwa ia akan kehilangan upahnya jika kehidupannya sia-sia. Ranting-ranting seperti ini "dicampakkan ke dalam api lalu dibakar". Orang-orang Kristen yang tidak berbuah akan kehilangan pengaruh terhadap Allah dan kesaksiannya di hadapan manusia pun akan hilang. Oleh sebab itu mereka harus tetap tinggal di dalam Kristus.

Ranting yang berbuah (15:4-6)
Agar berbuah, kita harus "tinggal pada pokok anggur"--dalam sebuah kesatuan yang hidup dengan pokok anggur yang benar, dan tidak mengizinkan apapun berada di antara kita dengan Dia. "Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (ayat 5). Kemutlakkan dan akhir dari pernyataan itu menggoyahkan hati kita. Kita bukan saja "berbuat sangat sedikit" melainkan "tidak dapat berbuat apa-apa". Apabila kita ditebang dari sumber pemberi kehidupan, kita menjadi layu dan mati. Buah mustahil dihasilkan apabila hubungan dengan pokoknya putus.

Pernyataan yang pasti seperti ini harus membuat kita berhenti sejenak dan kemudian bertanya kepada diri kita sendiri apakah kita benar-benar tinggal di dalam Dia dan menghasilkan buah, ataukah kita sedang menjadi tumpukkan sampah yang siap dibakar.

Agar memberi hasil yang maksimal, ranting-ranting anggur perlu dibersihkan dengan cermat--lebih cermat dibandingkan dengan pohon-pohon lain. Jika tidak dipotong, buahnya akan jarang dan asam. Jadi, Tuhan membersihkan hidup anak-anak-Nya, membersihkan cabang-cabang pertumbuhan yang penting dalam hidup manusia, bukan karena Ia senang melihat mereka menderita, melainkan agar hidup mereka bisa semakin berbuah. Ia ingin melihat anak-anak-Nya bertumbuh dalam kedewasaan rohani.

Tinggal di dalam itu harus dari kedua belah pihak
"Tinggalah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu" (15:4). "Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, ..." (ayat 7). Inilah sebuah janji bersyarat bahwa doa akan dijawab. "Mintalah apa saja yang akan kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya." Kristus di dalam aku--dan aku di dalam Kristus--Firman Kristus tinggal di dalamku. Ini benar-benar suatu keakraban. Dengan firman-Nya yang terus-menerus direnungkan, disukai, dan dipercayai, dan ditaati, kita akan makin menerima dan mencerminkan pikiran Kristus. Kehendak-Nya menjadi kehendak kita, dan kerinduan kita akan menjadi kerinduan-Nya. Tinggal di dalam secara timbal balik berarti bahwa kita suka melakukan apa yang Allah suka.

Buah yang berlimpah merupakan bukti bahwa kita adalah murid-Nya (15:8)
"Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku" (ayat 8). Tidak semua orang percaya adalah murid-murid sejati, menurut pernyataan itu. Tinggal di dalam kasih-Nya merupakan bukti bahwa kita adalah murid-Nya. Kita menikmati kasih-Nya, bersukacita di dalamnya. Kasih-Nya yang besar sama seperti kasih yang dimiliki Bapa bagi Anak-Nya (15:10). Ketaatan yang sederhana adalah rahasia untuk tinggal di dalam kasih-Nya. Tak ayal lagi, saling mengasihi akan menghasilkan keakraban yang makin mendalam.

Sukacita yang tetap adalah hasil dari tinggal di dalam Allah (15:11)
"Semuanya itu Kukatakan kepadamu ... dan sukacitamu menjadi penuh." Dengan kata lain, "Engkau bisa merasakan sukacita-Ku." Sukacita kita tidak dapat dilepaskan dari sukacita-Nya. Hal ini terjadi karena adanya sebuah persekutuan yang memungkinkan terjadinya aliran sukacita Allah dari pokok kepada ranting-rantingnya.

Keakraban dengan Allah tanpa sebuah persekutuan dengan-Nya adalah sebuah kemustahilan. Kita perlu terus menekankan keakraban dengan Allah sebagai sebuah bagian dari tindakan iman dan wujud iman. Keterikatan dan kebergantungan kita kepada Allah menunjukkan betapa akrabnya kita dengan Allah. Dan bukan itu saja hasil keakraban itu tentunya harus terlihat dalam berbagai aspek hidup mulai dari cara dia mendefinisikan hidup, dia menjalani hidup, dia mengomentari hidup, dia menyiasati hidup, dia mengisi hidup, dia mengatur hidup, dia membenahi hidup, dimana tidak ada satu titik pun yang melukai hati Allah, tetapi sebaliknya justru memuliakan Allah. Kunci dari sebuah keakraban dengan Allah adalah persekutuan dengan-Nya (I Kor 15:58).


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Terima Kasih Tuhan!

Hari ini aku memasuki usia yang ke-39 ...
Terima kasih Tuhan untuk usia yang sedemikian, dan hanya karena karya-Mu saja maka aku dimampukan untuk menggoyang lonceng gerbang usia baru dengan sukacita ...
Namun di titik ini pula aku tertunduk malu dan mengaku untuk semua anugerah dan kepercayaan yang Engkau berikan yang belum aku jawab dengan semestinya ...
Aku bersyukur terus diberi kesempatan dan diberi lagi betapapun aku terus merusaknya ...
Terima kasih untuk kasih-Mu yang tak pernah surut dan pertolongan-Mu yang tak pernah sirna ...

Satu hal di tahun ini adalah 'meninggalkan yang harus ditinggalkan', 'berjalan di atas jalan yang harus dijalani', 'hidup di atas hidup yang dihidupi" ... sekali lagi terima kasih Tuhan ...
Terpujilah Engkau kekal selama-lamanya ...

barukhabah besem Adonai ...

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

18 Februari 2009

KEAKRABAN DAPAT DIPULIHKAN KEMBALI

Mazmur 51

Mazmur 51 menggambarkan penyesalan yang paling mendalam. Bagian ini adalah bagian yang paling tajam dan paling menyentuh dari sebuah otobiografi. Bagian ini merupakan sebuah gambaran klasik mengenai kondisi seseorang manusia yang berdosa, yang berkembang dari sikap keras kepala, melewati tahap penyesalan yang mendalam, dan tiba pada pemulihan yang luhur. Bahasanya, seperti pengalaman yang digambarkan, tidak ketinggalan zaman dan tetap relevan untuk setiap usia maupun setiap bangsa. Siapakah di antara kita yang belum memiliki kesempatan untuk menjadikan Mazmur 51 sebagai pengalaman kita sendiri dan berjalan bersama Daud di atas jalur kesedihan yang mendalam dan masuk ke dalam sebuah pemulihan?

Judulnya memberi petunjuk waktu terjadinya. "Untuk pemimpin biduan. Mazmur dari Daud, ketika Nabi Natan datang kepadanya setelah ia menghampiri Batsyeba."

Setelah bangkit nafsu birahinya melihat kecantikan Batsyeba, sang Raja jatuh ke dalam dosa perzinahan, yang akhirnya menjerumuskan dia ke dalam tipu daya kotor yang mencapai puncaknya dengan pembunuhan suami perempuan tersebut, Uria.

Perlu kita sadari bersama bahwa setelah ia sukses menikah dengan Batsyeba ia tidak menikmati malam-malam panjang dengan isteri barunya, ia hidup dalam tekanan rasa bersalah yang berkepanjangan. Dalam Mazmur 32 sangat jelas bagaimana hal tersebut ia alami. Dalam permulaan teks yang berada tepat di bawah judul mazmur tersebut, "Dari Daud. Nyanyian Pengajaran", tertulis:

"Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!
Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!"

Daud adalah orang yang sudah merasakan bagaimana bahagianya menjadi orang yang diampuni Allah. Ia dapat merasakan demikian karena ia pernah melewati masa-masa berat di dalam kekerasan hatinya untuk mengakui dosanya di hadapan Allah (Maz 32:3-4):

"Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari;
sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan berat, sumsumku menjadi kering, seperti oleh teriknya musim panas."

Tuhan memakai kuasa Natan, sang Nabi, sebagai pencari jiwa yang terhilang -- "Engkaulah orang itu!"--untuk menguakkan betapa besarnya dosa Daud, sementara pada waktu yang sama Ia memperlihatkan rahmat serta kasih karunia-Nya yang tak terukur. "Tuhan telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati" (II Samuel 12:7, 13). Allah tidak pernah meninggalkan orang berdosa yang menyesal untuk tetap berkubang di tempat yang kotor.

Mazmur 51 itu merupakan suatu curahan isi hati yang hancur, yang disampaikan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi, penuh dengan perasaan bersalah, disertai dengan suatu pertobatan yang tulus setelah melewati episode yang memalukan dan sulit terlupakan. Namun, mazmur ini sarat dengan penghiburan, karena ia menyatakan isi hati Tuhan dan sikap-Nya terhadap mereka yang telah gagal. Allah menghendaki agar manusia kembali menjalin keakraban dengan-Nya.

Daud tidak berupaya mengemas dosanya dalam serangkaian retorika, karena doanya semata-mata meruapakan serangkaian sedu sedan dari hati yang hancur. Ia tidak meminta kondisi yang meringankan; ia pun tidak berupaya membela diri. Betapa besar dosanya tidak diucapkan dengan suara lirih, melainkan diakui dengan apa adanya. Inilah pengakuan dari hati yang hancur dan diucapkan dalam kata-kata yang tegas: "Kasihanilah! Tahirkanlah! Hapuskanlah! Bersihkanlah! Murnikanlah! Sembunyikan wajah-Mu dari dosa-dosa ku! Jadikanlah! Janganlah membuang aku! Perbaharuilah! Pulihkanlah! Selamatkanlah! Bukalah bibirku! Inilah pengakuan yang sejati, yang bebas dari semua rasa malu maupun ketidaktulusan. Cermatilah pengakuannya dengan saksama.

Konsep dibalik kata Yunani untuk kata mengaku ialah "mengatakan hal yang sama", dengan kata lain, mengaku bersalah kepada diri sendiri untuk apa yang dituduhkan. Apabila kita mengaku dosa kita dan mengakui kesalahan kita kepada Allah, kita sepakat dengan Dia dalam hal penilaian-Nya mengenai keseriusan dosa kita dan kita berada di pihak-Nya untuk melawan dosa itu (Maz 32:3-7). Daud mengambil sikap itu dalam Maz 51 yang menggambarkan pengakuan dosanya kepada Allah.

Roh Kudus telah mengerjakan suatu perasaan berdosa yang serius dalam diri raja yang menyesal itu, sebegitu serius sehingga tidak satu kata pun yang cukup memadai untuk mengungkapkannya. Daud menggunakan 3 kata untuk mengakui bahwa ia sadar betapa besar dosanya dan kerinduannya untuk memulihkan keakrabannya dengan Allah: pelanggaran, melangkahi dan menghancurkan hukum Tuhan, kejahatan, yang jauh dari lurus, secara moral bengkok; dosa, kehilangan nilai-nilai, gagal untuk mencapai tolok ukur dan sasaran ilahi.

Allah menyembunyikan wajah-Nya dari Daud selama 12 bulan dan Daud rela menderita dalam suasan yang suram itu. Namun, kini Daud memohon kepada Tuhan untuk memalingkan sinar wajah-Nya ke arahnya serta tidak melihat dosa-dosanya lagi. Kendati Allah mendengar jeritannya dan mengampuninya, Daud tidak lolos dari konsekuensi-konsekuensi sosial yang ditimbulkan oleh karena kejatuhannya. Namun yang merisaukannya bukanlah akibat dari semuanya itu; kesedihannya berasal dari perasaan malu karena ia sudah mencoreng arang pada nama Allahnya dan ia merusak semua keintiman dan keakraban dengan Allahnya. Kedukaan yang sejati dari anak Allah bukan terletak pada apa yang perbuat bagi dirinya sendiri yang mendukakan diri sendiri, tetapi apa yang dirinya telah perbuat yang mendukakan hati Allah.

Pada akhrinya, Daud adalah orang yang ingin agar riwayat hidupnya yang bernoda dihapus, pencemaran ia lakukan dibasuh, penyakit yang dideritanya disembuhkan, serta keakrabannya dengan Allah dikembalikan.

Sebagaimana Daud yang bersedia mengaku dosanya (walau membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama) hal sedemikian berarti ia sudah pula membuat dirinya kembali bersahabat dan akrab dengan Allah.

Kekerasan hati kita dengan bertahan dan terus menyayangi dan memelihara dosa-dosa favorit kita hanya akan membuat kita semakin jauh dari Allah dan menciptakan ketakutan yang tidak kudus kepada-Nya. Dosa membuat kita tidak sanggup berkonsentrasi pada Allah, karena sekarang kita tidak sedang sibuk memerangi godaan-godaan dosa itu. Dosa pada akhirnya membuat kita melawan Allah. Sebaliknya dengan kita mengaku dan meninggalkan dosa maka kita bisa berkonsentrasi dalam kekariban dengan-Nya.

Dosa melukai hati Tuhan tetapi pengakuan membangkitkan pengampunan-Nya. Orang yang berkajang dalam dosa merusak keintimannya dengan Allah, tetapi orang yang mengaku dosanya dan bertobat sehingga karena karya pengampunan Allah memulihkan keakraban yang hilang.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

16 Februari 2009

Keakraban Dengan Allah Dapat Hilang

II Samuel 11:1-27

Alkitab tidak pernah memuji-muji pahlawan-pahlawannya. Semua pria dan wanita di dalam Kitab Suci memiliki kaki dari tanah liat yang lemah, dan Roh Kudus adalah seniman yang sangat realistis, ketika Ia melukis sebuah gambar mengenai kehidupan mereka. Ia tidak mengabaikan, menyangkal, atau melewati sisi yang gelap dari manusia.

Jika kita mendecakkan lidah atau menggelengkan kepala kita karena malu terhadap perbuatan Daud, maka kita sepenuhnya telah mengabaikan peringatan: "Sebab itu siapa menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (I Korintus 10:12). Berwaspadalah sebab daging Daud dan kita sama-sama lemah. Jika kita tidak berhati-hati maka daging kita akan memimpin kita ke dalam serbuan dosa yang sama, dan konsekuensi dan dukacita kita akan sepahit konsekuensi dan dukacita Daud. Allah memberitahukan kita detil-detil kejatuhan Daud ini supaya setiap orang dapat melihat dengan jelas ke mana nafsu itu memimpin dan apa konsekuensinya.

Daud saat itu berusia kira-kira 50 tahun atau mungkin beberapa tahun lebih tua. Ia telah berada di atas tahta kira-kira 20 tahun. Dan selama itu ia sudah membuktikan dirinya sebagai orang yang karib dengan Allah, seorang penggubah mazmur, sebagai seorang gembala yang setia, sebagai seorang prajurit yang gagah berani di medan pertempuran, dan sebagai seorang pemimpin dari rakyatnya. Maka ketika kita melihat segmen berikutnya di dalam kehidupan Daud, maka mengertilah kita bila kita sedang memeriksa kehidupan seorang ke dalam suatu situasi berdosa dan merusak relasinya dengan Allah. Dosa yang diperbuatnya mengandung konsekuensi yang menghancurkan bagi keluarganya, pemerintahannya, dan negaranya. Rupanya kita belajar pula bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu muda atau bahkan terlalu tua untuk jatuh.

Apa yang terjadi dalam peristiwa kejatuhan Daud ini erat kaitannya dengan kecenderungan-kecenderungan yang ia buat sebelumnya yakni nafsu dan poligaminya yang dengan diam-diam mengikis ketulusan hatinya (II Sam 5:13).

Kejatuhan yang fatal itu terjadi pada "waktu raja-raja itu biasanya maju berperang" (II Samuel 11:1). Seharusnya Daud sedang memimpin pasukannya, tetapi ia mengabaikan tugasnya demi kenikmatan tidur siang yang panjang dan santai. "Sekali peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya" (11:2). Daud memanjakkan dirinya sendiri di luar batas-batas hikmat. Ia mungkin mendorong kembali alas tidurnya, menegakkan tubuhnya, menguap beberapa kali, dan kembali tidur, sampai ia bosan tidur. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan-jalan sehingga ia menggeser tirai-tirai dan melangkah keluar menuju sotoh. Raja-raja Timur seringkali membangun kamar tidur mereka di tingkat dua istana dan mempunyai pintu yang terbuka ke tempat yang disebut sotoh. Seringkali tempat itu diperlengkapi dengan mewah, suatu tempat untuk duduk-duduk bersama keluarganya atau dengan penasihat-penasihatnya. Terletak di luar jangkauan publik dan jauh dari jalan, tempat itu dirahasiakan agar orang-orang tidak dapat melihatnya. Dan di sanalah Daud mendapatkan dirinya pada malam yang tidak terlupakan tersebut.

Tatkala sedang berjalan-jalan di atas sotoh istana, dari kejauhan ia mendengar suara cipratan air dan kemungkinan pula senandung dari bibir wanita yang sangat cantik yang tinggal persis di seberang istana, berada pada jarak pandang yang jelas dari halaman belakangnya sendiri (II Sam 11:2). Daud berhenti. Daud membelalak selama jangka waktu yang tidak ditentukan! Daud melihat seorang perempuan yang sangat elok rupanya sedang mandi. Berkali-kali ia melihat ke arah perempuan itu dan ini menyalakan nafsu birahinya. Di dalam benaknya yang diisi dengan nafsu, ia membayangkan kesenangan seks dengan wanita cantik itu. Daud dengan segala kesalehannya tidak dapat mengatasi dirinya. Daud kehilangan pengendali atas hawa nafsunya.

Tak cukup dengan imajinasi kotornya Daud malah menginginkan wanita itu sekarang dan ia menanyakan hambanya tetapi hambanya berkata: "Itu adalah Batsyeba binti Eliam, isteri Uria orang Het itu", hamba itu agaknya sudah menawarkan peringatan bahwa "wanita itu sudah menikah!" Tetapi Daud tetap menginginkan agar kedagingannya tersalur, dan akhirnya ia berzinah dengan Batsyeba sementara suami perempuan itu berada jauh di medan perang (II Sam 11:4). Sang perkasa telah jatuh dan ketika ia mendengar Batsyeba berkata, "Aku mengandung", Daud bertindak memasuki kehidupan berdosanya lebih jauh lagi dan makin menjauh dari Allahnya.

Perbuatannya itu tentunya sudah cukup serius, namun hamba Allah itu masih menurunkan harkatnya sampai ke tingkat yang paling rendah. Untuk menutupi dosanya, dengan licik ia merancang dan merekayasa kematian salah satu dari bawahannya yang paling setia--suami dari perempuan yang memikat hatinya tersebut. Beberapa kali ia ingin "cuci tangan" dengan membiarkan Uria tidur dengan isterinya agar tidak ketahuan perbuatannya tetapi rencana itu ternyata gagal (II Sam 11:6-13). Rencana Daud yang dibuat dalam kepanikannya pada akhirnya mengandung akibat yang lebih parah yakni pembunuhan atas Uria (II Sam 11:14-21).

Beberapa orang kudus di dalam Alkitab mengalami dan menghayati keakraban yang begitu mendalam seperti Daud. Mazmur-mazmurnya sarat dengan ungkapan penyembahan dan ibadah yang menandai hubungannya yang luar biasa akrab dengan Allah. Hubungan itu bahkan terpelihara di tengah-tengah bahaya maupun kesusahan yang terus-menerus menimpanya. Berkali-kali, ketika dikepung musuh dan hatinya merasa putus asa, kepercayaannya kepada Allah memungkinkan dia untuk menembus awan-awan pengahalang dan ia kembali menikmati sinar surya dan hadirat Allah.

Ketika diselamatkan dari tangan Saul, ia menaikkan lagu pujian dan penyembahan di bawah ini, yang menjadi ungkapan khas mengenai kasih dan kesetiaan kepada Allahnya.

"Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku!
Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!
Terpujilah TUHAN, seruku; maka akupun selamat dari pada musuhku."
(Mazmur 18:2-4)

Tragisnya, karena kecerobohannya yang sesaat, orang yang digambarkan Kitab Suci sebagai "orang yang berkenan di hati-Ku [Allah]" (Kis 13:22), kehilangan keakraban yang berharga dan masuk ke dalam dunia yang gelap sebagai pelaku perzinahan dan pembunuhan. Bagi kita, sebuah perubahan yang yang tiba-tiba dan drastis ini tampak mustahil, tetapi itu terjadi oleh karena kita belum menemukan atau menyadari sisi-sisi serta seluk-beluk hati kita sendiri yang gelap.

Dalam bukunya Temptation, Dietrich Bonhoeffer menulis:

"Di dalam tubuh kita terdapat kecenderungan terhadap hasrat yang sedang tidur, yang sifatnya mendadak dan ganas. Hasrat memegang kekuasaan atas daging, dengan kekuatan yang tidak dapat ditahan ... Pada saat inilah Allah menjadi agak tidak nyata bagi kita [Ingatlah kata-kata tersebut.] Kita kehilangan semua realita, dan hanya hasrat terhadap mahluk itu saja yang nyata. Satu-satunya realita hanyalah si iblis. Pada saat ini setan tidak memenuhi kita dengan kebencian terhadap Allah, tetapi dengan kelupaan terhadap Allah ..."

Dalam satu detik yang fatal, ia kehilangan keakrabannya dengan Allah. Ia tidur dengan Batsyeba. Hanya demi kepuasan sesaat, ia mengorbankan hubungannya dengan Allah. Noda hitam itu merupakan suatu peringatan bagi semua bangsa dari segala lapisan usia bahwa kepribadian mereka bisa ternoda sekalipun mereka sudah dewasa. Dalam sekejap, prestasi yang sudah diraih sepanjang hidupnya menjadi ternoda. Sejarah gereja ditaburi dengan kisah-kisah tragis yang sama. Seandainya Daud mampu melihat lebih dahulu buah pahit yang dihasilkan dari tatapan matanya yang penuh berahi, ia tentunya akan lebih cepat kehilangan tangan kanannya daripada diperbudak oleh daya pikat kedagingan.

Dosa Daud bukan saja meninggalkan bekas yang tidak dapat dihapus dalam hidupnya sendiri, melainkan juga melibatkan keluarga maupun bangsanya. Tidak ada satupun di antara kita yang berdosa sendirian. Yang lebih buruk dari segalanya ialah: karena kecerobohannya, ia kehilangan senyum Allah.

Kita mungkin tidak jatuh ke dalam dosa yang tidak dapat diterima masyarakat umum sebagaimana yang dilakukan Daud itu, tetapi apakah dosa-dosa dan kegagalan kita lebih diterima di mata Tuhan? Semua dosa memutuskan persekutuan dan keakraban dengan Allah, menghasilkan perasaan bersalah, dan membawa orang yang berdosa itu dalam suatu kondisi terhilang, yang memedihkan hati, untuk sementara dan selamanya.

Pelajaran lain yang dapat kita petik adalah bahwa tidak ada yang disebut sebagai dosa sederhana. Dosa selalu kompleks, dan pusaran-pusarannya bergulung-gulung sampai ke laut. Dan semua kejahatan itu timbul dari tatapan mata yang penuh birahi ketika ia bersantai-santai di saat yang tidak semestinya.

Jika kita sedang bermain-main dengan dosa kedagingan, maka kita hidup pada waktu yang singkat sebagai anak Allah. Tidak ada yang lebih berbisa, tidak ada yang lebih terkutuk bagi kehidupan, daripada dosa-dosa tersembunyi dalam daging. Tidak ada yang memberikan amunisi terbesar kepada musuh untuk melancarkan pernyataan-pernyataan hujatan kepada gereja Allah daripada tindakan kompromi yang diam-diam seperti itu. Dan akibat yang paling parah adalah keakraban dengan Allah menjadi hilang.

Basilea Schlink, seorang penulis Kristen, pernah menulis demikian tentang sebuah keakraban yang hilang: "Saya mulai melihat bahwa hubungan dengan Tuhan Yesus Kristus dari tahun ke tahun terkikis, ibarat sebuah perkawinan yang mulai menjemukan. Apa yang saya lakukan manakala saya melihat ada waktu luang pada suatu hari Minggu atau hari libur? Saya tidak sabar untuk berkumpul bersama orang-orang lain--orang-orang yang saya sukai, orang-orang yang mempunyai kesamaan--sehingga kami dapat berbagi gagasan maupun pengalaman. Atau, saya membaca sebuah buku yang seru. Atau, saya pergi menikmati alam. Bahkan, saya membenamkan diri untuk melakukan hal-hal yang untuk mengerjakannya membutuhkan waktu yang lama. Tetapi, untuk datang kepada Yesus--untuk memberi-Nya pengakuan saya yang pertama pada waktu luang saya, itu tidak lagi saya lakukan".

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

11 Februari 2009

Pendidikan Yang Berorientasi Kehidupan:

Renungan Terhadap Pendidikan Nilai Kita

Apa sebenarnya arah pendidikan kita? Agar siswa mendapatkan pekerjaan? Agar mereka menjadi duta-duta yang mengharumkan sekolah kita sehingga hal itu akan membuat sekolah kita akan diminati oleh banyak calom mahasiswa di masa yang akan datang? Atau menjadi sekedar kendaraan yang dapat kita pakai dalam rangka membantu pemerintah menampung tenaga kerja di negeri yang sedang langka-langkanya orang mendapatkan pekerjaan yang layak? Atau agar siswa dapat menjalankan kehidupan mereka dengan baik dan mengisinya dengan hal-hal yang bertanggung jawab? Setiap sekolah punya visi dan misi pendidikan namun pertanyaannya apakah visi dan misi itu sendiri sudah sejalan dengan hakikat visi dan misi pendidikan yang sesungguhnya? Dan apakah pelaksanaannya benar-benar tetap berada dalam koridor visi dan misi tersebut?

Jawaban itu bergantung pada sudut pandang dari pelaksana pendidikan itu sendiri. Alangkah baiknya bila kita sekarang kita merenungkan kisah berikut ini:

Ada tiga orang petani yang sedang mengolah sawahnya. Seseorang mendatangi mereka dan menanyai petani pertama,
“Apa yang sedang anda lakukan?”
“Lho, anda tidak melihat jika saya sedang membalik-balik tanah?”
Petani kedua ditanyai hal yang sama,
“Apa yang sedang anda lakukan?”
“Oh, saya sedang mempersiapkan penanaman padi”
Dengan pertanyaan yang sama petani ketiga menjawab,
“saya sedang memberi makan banyak orang”

Tiga petani melakukan hal yang sama namun orientasi jawaban mereka berbeda-beda. Petani pertama sangat pragmatis seolah tanpa tujuan. Tindakannya hanyalah sebuah aktivitas. Petani kedua memiliki tujuan yang realistis namun hanya berorientasi pada aktivitas diri sendiri. Petani ketiga memiliki tujuan yang idealis dan diarahkan kepada kepentingan banyak orang. Bagi saya jika ketiga pandangan tersebut digabung maka ada sebuah orientasi yang lengkap. Mulai dari orientasi yang mendetail dan terbatas sampai dengan membalik tanah sampai orientasi ideal yang cakupannya sangat luas.

Pelaksana pendidikan seringkali begitu berkeinginan untuk sekadar tujuan pragmatis dan realistis yang akibatnya seringkali mereka kehilangan tujuan idealisnya. Pendidikan yang hanya bertujuan membuat siswa cerdas dan trampil hanya membuat mereka secara kognitif dan psikomotorik terasah dengan baik namun segi afeksinya sering dikorbankan.

Disana sini beberapa dosen atau guru dengan otak dan keterampilan cemerlang seringkali dengan semena-mena mengorbankan nilai-nilai yang penuh kehormatan dan dengan naïf menggantinya dengan kekritisan berpikir ala barat yang telah kehilangan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Penghormatan kepada yang lebih tua seringkali telah luntur karena siswa diajarkan untuk menghormati dan menyegani kepada pengajar yang “punya otak” dan “punya keterampilan”. Anak didik kita menjadi begitu cerdas dan trampil tapi tak punya sikap yang baik terhadap orang lain kecuali hanya buat mereka yang dapat memberikan anak-anak kita pekerjaan. Pendidikan kita bukan diarahkan kepada sebuah keutuhan kehidupan tetapi pada orientasi cari kerja, dapat uang, dan selesai. Kemudian kita mengukur keberhasilan pendidikan kita dari berapa banyak lulusan kita yang telah mendapat pekerjaan (alat ukur semacam ini hanya menguntungkan unsur kognitif dan ketrampilan saja tetapi sama sekali tidak mencerminkan keberhasilan mereka memiliki nilai-nilai kehidupan). Kehidupan tidak dilihat dari sekedar dapat kerja atau tidak, berjabatan atau tidak, tetapi juga berperilaku atau tidak.

Diseretnya pejabat-pejabat tinggi negara ke dalam sel karena perilaku buruk sebenarnya sedang memberitahukan kepada kita di masa kini bahwa pendidikan yang telah menggeser pendidikan nilai sedang melahirkan generasi-generasi yang hanya akan mengulang kesalahan orangtuanya.

Pendidikan agama di sekolah atau di kampus seringkali mendapat porsi dan perhatian di berbagai kalangan sebagai pendidikan suplemen yang ada atau tidak sama sekali tidak mempengaruhi. Pendidikan agama yang seharusnya memberi nilai bagi semua isi otak dan perilaku mahasiwa sering tidak dianggap penting. Pendidikan agama akhirnya menjadi sekadar basa-basi kurikulum. Tidak jarang kita jadi ikut-ikutan gaya barat yang atheis dengan menggeser mata kuliah agama dari sekolah atau kampus dengan alasan sekolah atau kampus bukanlah mesjid, gereja, pura, dsb. Mereka keliru besar, pendidikan agama justru membantu mahasiwa atau siswa melihat bidang telaah mereka dengan worldview yang bertanggung jawab dan etis. Cakupan pendidikan agama sebenarnya berangkat dari pemahaman dogma yang bertanggung jawab (ortodoksi) akan mengantarkan siswa kepada sebuah nilai-nilai yang bertanggung jawab (ortopathi) dan akhirnya bermuara pada perilaku yang benar (ortopraksis).

Pendidikan nilai seyogyanya harus berangkat dari pendidikan di dalam rumah (keluarga) sebagai basis pendidikan seseorang. Susahnya banyak orangtua tidak mengerti bahwa pendidikan nilai itu ada dalam rumah dan dia berpikir dengan menyekolahkan anaknya dia bisa terbebas dari tanggung jawab tersebut. Dan bila anaknya berkelakuan buruk maka dengan serta merta dia menyalahkan pihak sekolah sebagai tokoh dibalik kegagalan perilaku anaknya. Padahal anak tersebut belasan tahun berada di tangan orangtuanya dan baru satu dan dua tahun berada di kampus itu pun tidak setiap hari dan hanya beberapa jam. Dan itu semakin diperparah ketika para pengajar di sekolah juga tidak mau tahu soal nilai-nilai perilaku mahasiswa (entah karena tidak peduli atau karena sudah putus asa atau bosan mengingatkan) dan akhirnya lebih mengedepankan nilai-nilai aktual dari hasil evaluasi di atas kertas yang berbunyi A, B+, A- (amin!).

Skema yang baik buat pendidikan sebenarnya harus dimulai dari rumah sebagai lembaga primer pendidikan nilai. Para orangtua harus diingatkan untuk tidak hanya melahirkan anak dan memberi makan tetapi juga mendidik mereka dengan nilai-nilai sosial dan religius yang benar dan bertanggung jawab. Pendidikan di luar rumah adalah suplemen dari pendidikan nilai-nilai dalam rumah. Sehingga pendidikan di luar rumah jangan mengkhianati pendidikan dalam rumah dengan mengabaikan apa yang pernah diajarkan dalam rumah.

Perlu juga pihak sekolah mengamati perilaku para pengajar yang secara obyektif tidak hanya dilihat dari isi otak dan keterampilannya tetapi juga para perilakunya. Para pengajar seringkali memiliki kelemahan di sisi ini dan kemudian menggesernya dan menekankan secara berlebihan pada kepintaran dan keterampilan. Mereka menutupi perilaku tidak terpuji mereka dengan mengedepankan hal-hal yang membuat siswa terkagum-kagum (dan akhirnya tertipu): isi otak mereka yang luar biasa dan keterampilan mereka yang memukau. Prinsip mereka: “mendingan kelakuan buruk tetapi pintar daripada berkelakuan baik tetapi bloon”. Saya pikir prinsip semacam ini adalah sebuah pembodohan sekaligus penyesatan yang berangkat dari ketidakmampuan para cendekiawan mengelola norma yang bertanggung jawab dalam dirinya.

Rasanya sekarang kita menyimak akan kata-kata orang bijak di masa lalu: “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau”.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

03 Februari 2009

Pelayan Musik Gereja Yang Ideal

Gereja yang tidak bernyanyi bukanlah gereja.- Karl Barth


Judul pokok bahasan ini memiliki pengharapan yang tidak muluk-muluk. Pelayan musik yang diperlukan adalah yang "ideal" bukan yang sempurna. Yang ideal memang bukanlah yang sempurna. Kata "ideal" berarti sesuai dengan apa yang dikehendaki atau yang dicita-citakan.[1] Namun pertanyaannya sekarang adalah berdasarkan "keinginan" dan "kehendak" siapa? Berdasarkan sudut pandang dan patokan siapa? Berdasarkan patokan diri sendiri, jemaat, atau Allah?

HAKIKAT PELAYAN MUSIK GEREJA
Menjadi pelayan musik gereja berarti menjadi orang yang melayani Allah pada seksi musik di dalam gereja (ekklesia - persekutuan orang percaya). Orang yang melayani musik gereja adalah pelayan Allah karena Kepala Gereja adalah Kristus. Jadi siapa pun ia dalam jajaran pelayanan di dalam gereja (termasuk Pendeta dan Presbiter lainnya) ditilik, dinilai, dan diamati pertama-tama berdasarkan sudut pandang Allah. Dan sudut pandang Allah diuraikan dengan jelas dalam Alkitab. Pada prinsipnya baik pelayan Kategorial, pelayan Sakramen, pelayan Musik memiliki kesamaan lebih banyak daripada perbedaannya. Alasannya adalah mereka semua adalah pelayan Allah, dan yang membedakannya hanyalah uraian tugasnya saja. Sehingga secara khusus pelayan musik gereja tidak dinilai dari kecanggihannya memainkan musik dan keindahannya menyanyikan lagu dengan tepat sesuai partitur dan terdengar harmonis, tetapi pada pribadinya sebagai seorang pelayan. Akibatnya nas yang diperlukan seorang pelayan musik gereja sama dengan nas yang dibutuhkan oleh seorang pendeta, seorang penatua dan diaken, seorang pelayan komisi lainnya.

Dalam Kol 3:16 tertulis:
Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.

Pakar PAK Indonesia, Andar Ismail, menguraikan bahwa teks serta terjemahan "dan sambil" di ayat itu sebenarnya bisa diartikan sebagai "dengan", sehingga ayat ini berbunyi: "ajarlah dan tegurlah ... dengan mazmur, puji-pujian dan nyanyian rohani". Ayat ini memang mau memperlihatkan bahwa nyanyian mempunyai fungsi didaktis dalam menanamkan Firman Kristus. Bahkan dalam Efesus 5:18-19 di situ tertulis, "...berkata-katalah seseorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani". Perhatikanlah bahwa pengarang Efesus mengganti kata ajar dan tegur menjadi "berkata-katalah". Kedua ayat dari abad pertama ini menunjukkan bahwa awalnya gereja memandang nyanyian sebagai sarana belajar dan mengajar tentang Kristus.[2]

Andar Ismail melanjutkan tulisannya:
Dengan prinsip itu kita melihat bahwa segala sesuatu yang bersangkutan dengan musik gereja mempunyai fungksi hakiki sebagai pemampu yang memampukan umat bernyanyi. Jadi, jika seorang solois atau koor bernyanyi maka fungsi hakikinya sebenarnya adalah memampukan umat bernyanyi. Ini sama sekali bukan berarti bahwa setelah solo atau koor itu umat harus menyanyikan lagu yang sama. Yang dimaksud adalah bahwa tugas solois atau koor bukanlah sekedar menghibur umat, melainkan memberi contoh, topangan, dan dorongan kepada umat untuk bernyanyi dengan benar. Hal ini berlaku juga untuk pemain musik.[3]

Sekarang bila kita sepakat bila hakikat pelayan musik gereja adalah pelayan itu sendiri, maka marilah bersama-sama kita memperhatikan hal-hal apa saja yang diperlukan oleh seorang yang disebut pelayan itu:

a. Pengertian yang mendalam terhadap firman Allah
Paulus dalam membentuk Timotius selaku pelayan muda di Efesus memesankan:

Dengan selalu mengingatkan hal-hal itu kepada saudara-saudara kita, engkau akan menjadi seorang pelayan Kristus Yesus yang baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman kita dan dalam ajaran sehat yang telah kauikuti selama ini.[4]

Bagaimana mungkin kita menjadi pelayan Allah bila kita tidak mengerti apa kehendak-Nya?

b. Memiliki relasi yang karib dengan Allah
Selanjutnya Paulus berujar kepada Timotius:

7 Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah.
8 Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang.
[5]

Melatih diri beribadah sama artinya membiasakan diri secara kontinu membentuk hubungan dengan Allah yang menimbulkan kekariban. Berdasarkan nas di atas maka pelayan yang memiliki relasi karib dalam peribadahannya dengan Allah memiliki dua keuntungan:

1. mengenal dan mengalami janji Allah untuk hidup ini;
2. mengenal dan mengalami janji Allah untuk hidup yang akan datang;

Orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah adalah orang yang akan belajar memandang segala sesuatu berdasarkan sudut pandang Allah. Kedekatannya dengan Allah membuat pelayan tersebut makin mengenal Allah (knowing Jesus).

c. Karakter Yang Terpuji
Karakter Pemuji Allah pada prinsipnya adalah karakter seorang pelayan Allah. Dan Paulus menasihatkan khususnya pelayan muda:

Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.[6]

Penuturan Paulus ini disatu sisi ingin meneguhkan bahwa kemudaan bukan halangan bagi pelayanan tetapi tetap harus ada yang dapat dipakai untuk memukau orang (secara positif) yakni dengan menjadi teladan yang terkandung dalam karakter sekaligus mencerminkan karakter. Teladan yang diharapkan hadir dalam diri Timotius bukan karena kemudaannya tetapi karena ia adalah seorang pelayan Allah. Teladan tersebut mencakup: perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan, dan kesucian.

Perkataan
Milikilah perkataan yang menjadi perkataan. Perkataan yang tajam tetapi tidak melukai. Perkataan yang tepat pada sasarannya tanpa melukai orang lain.

Tingkah Laku
Memang Allah tidak memandang rupa tetapi melihat hati. Namun hal itu bukan berarti tidak ada kesejajaran antara hati dan tingkah laku. Akan terlihat begitu membingungkan bila hati seseorang yang katanya baik dalam penjabaran dalam tingkah laku justru sangat memuakkan.

Kesetiaan
Kesetiaan adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Bahkan kelompok kejahatan sekalipun menuntut kesetiaan di antara pengikutnya. Kesetiaan pelayan Tuhan tidak hanya dibuktikan pada keteguhan memegang komitmen pelayanan tetapi juga pada keteguhan berpihak pada kebenaran. Kata lain dari kesetiaan adalah integritas yang menunjukkan nilai kita yang tetap sekalipun berpindah-pindah konteks hidup.

Kasih
Tanda dari pelayanan yang sejati adalah kasih, bukan kekuasaan, keberhasilan atau kebesaran pelayanan. Keberhasilan dan kekuasaan tanpa kasih sama artinya dengan sebuah pelayanan yang telah meninggalkan hukum Kristus yang terutama dan pertama.

Kesucian
Sulit melihat kesucian dalam dunia yang serba relatif dan memudar. Kesucian hanya dianggap mimpi utopis. Namun kesulitan yang ada bukan alasan atau halangan seseorang membuktikan apa yang dituntut Tuhan: "sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus" (I Pet 1:16).

d. Profesional Dalam Karya dan Pelayanan
Kata ini sudah dipahami dengan keliru oleh kebanyakan orang. Profesional sering dianggap lawannya amatir dan terkesan bayaran. Padahal yang dimaksud dengan kata tersebut di sini adalah: cakap di bidangnya. Pelayan musik gereja bukanlah orang yang sekedar memiliki minat dan bakat musik tetapi mereka yang benar-benar mengembangkan talenta dan minatnya itu dalam bentuk pelatihan yang menimbulkan kecakapan. Paulus memerintahkan Timotius untuk tidak lalai mempergunakan karunia yang ada padanya dalam pelayanan:

Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua.[7]

Perintah Paulus ini mengandung makna tersirat agar Timotius terus melakukan pelatihan yang kelak akan menghasilkan kecakapan atau profesionalitas. Hasil dari pelatihan itu tentunya tidak menjadi sesuatu yang tidak dapat dinilai atau diukur malah sebaliknya hal itu justru menjadi satu bentuk kemajuan yang memajukan pelayanan jemaat itu sendiri:

Perhatikanlah semuanya itu, hiduplah di dalamnya supaya kemajuanmu nyata kepada semua orang.[8]

Dalam upaya meningkatkan profesionalitas pelayaan dibutuhkan ruang dan waktu belajar yang memadai, kerja keras, ketekunan, dan menghancurkan rasa puas diri. Pelayanan menghabiskan waktu untuk terus-menerus mengobarkan api bukan untuk memadamkannya.(II Tim 1:6).

e. Siap Sedia Melakukan Evaluasi Diri dan Antisipasi


Paulus dalam pesannya kepada Timotius tidak melupakan unsur pengawasan dan evaluasi terhadap diri sendiri. Paulus menulis:

Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.[9]

Disamping melakukan evaluasi yang mengantar pada perbaikan, ada yang perlu dibuat pula sehubungan dengan hal ini yakni melakukan antisipasi. Dengan senantiasa memperbaiki kekurangan-kekurangan maka dampak yang negatif ke pelayanan-pelayanan di masa depan dapat diminimalkan.

Dalam upaya melakukan pemeriksaan diri atau otokritik di situ dijumpai kebesaran jiwa dan kerendahan hati. Ingatlah kesombongan adalah penyebab utama kehancuran dalam pelayanan dalam segi apa pun.

Pelayan Musik Gereja Sebagai Penyembah Allah
Saat seorang pelayan sedang menjalankan tugasnya maka ia sedang mengerjakan dua dimensi pelayanan baik yang bersifat vertikal maupun horisontal. Namun yang senantiasa menjadi kelemahan di banyak gereja adalah penekanan yang terlalu berat pada dimensi horisontal. Bagaimana pelayanan itu menyenangkan mereka yang duduk di bangku gereja. Padahal dimensi vertikal adalah pelayanan terhadap sang Kepala Gereja sendiri sering kurang mendapat perhatian.

Pelayan Musik Gereja adalah penyembah Allah. Dan saat pelayan musik gereja sedang menjalankan tugasnya maka ia tidak hanya memandu atau mengiringi lagu bagi jemaat tetapi ia juga sedang menyembah Allah bersama jemaat. Tommy Tenney menyatakan bahwa: "Penyembahan adalah suatu proses saat anda mengulurkan lengan-lengan anda ke langit sebagai tanda penyerahan."[10] Selanjutnya bahkan ia menulis bahwa: "peyembahan mempunyai kesanggupan adikodrati untuk memperbaiki masalah-masalah penglihatan rohani kita dan mengarahkan semuanya pada pusat perhatian surgawi.[11] Penyembahan tidak saja menghadirkan kuasa Allah dalam ibadah tetapi juga membuat ibadah tidak terpusat pada manusia dan penampilan manusia tetapi kepada Allah. Jadi pelayan musik gereja tidak dapat dikategorikan pelayan yang melayani asal jadi karena ia sedang melayani dua dimensi yang sama-sama meminta pertanggungjawaban.

Pelayan Musik Sebagai Tim Pelayanan
Tim Pelayanan mensyaratkan adanya beberapa orang yang diajak dan ditetapkan sebagai pelayan-pelayan. Pelayanan musik gereja tidak memungkinkan pelayanan dikerjakan oleh satu orang saja. Bila tim tidak bekerja sebagai tim tetapi bekerja secara individual maka sekalipun ada yang bekerja dalam kelompok pelayan musik gereja tetap saja disebut dengan pelayanan individual.

Kita sadar bersama bahwa kurangnya kesatuan dalam gereja telah menjadi salah satu penyebab mengapa gereja tersebut tidak mengalami kebangunan dan pertumbuhan. Hal itu pun berlaku bagi komisi musik gereja. Bila kita merindukan adanya pelayanan-pelayanan yang semakin maju dan semakin besar maka ada harga yang harus dibayar pula yakni: dituntut adanya sebuah kesatuan yang besar pula. Ketidaksatuan menjual kredibilitas kita. Sehingga tidak beralasan bagi dunia untuk percaya bahwa kita berasal dari Allah jika kita bertindak seperti Iblis.[12]

Kesatuan diperlukan dalam kesatuan tim sehingga saling melengkapi dan saling menopang. Tidak ada yang memegahkan diri. Bila satu sakit semua sakit, dan bila satu dihormati semua turut dihormati (I Kor 12).

Pelayan Musik Berorientasi Pada Jiwa Bukan Program
Orientasi pelayanan kita adalah jiwa bukan program. Program adalah alat bantu mencapai orientasi tersebut. Dalam setiap kesempatan pelayanan hendaknya seluruh pelayan berpikir bahwa pelayanannya menjadi satu kesatuan dengan pemberita Firman Allah untuk menyelamatkan jiwa dan bukan sekedar pemenuhan jadwal yang telah ditetapkan. Bila para pelayan musik gereja berorientasi pada jiwa, maka semua yang terlibat di dalamnya tidak akan pernah merasa bila mereka hanyalah pelayan pelengkap dalam sebuah ibadah.

Pada prinsipnya pertemuan ini dimaksudkan agar semua yang menyebut dirinya pelayan terus dibangun dan meraih kemajuan dan bukan berkanjang kepada kemunduran dan kegagalan. Kita semua tentu teringat akan kata-kata Larry Keefauver yang menyatakan bahwa: "Pelayanan menghabiskan waktu untuk membangun berdasarkan kekuatan yang ada dan bukan menutupi kelemahan".

[1] Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
[2] Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 16-17.
[3] Ibid.
[4] I Tim 4:6 (bagian yang ditebalkan adalah tambahan)
[5] I Tim 4:7-8
[6] I Tim 4:12
[7] I Tim 4:14
[8] I Tim 4:15
[9] I Tim 4:16
[10] Tommy Tenney, God's Eyeview (Jakarta: Immanuel, 2003), 2.
[11] Ibid., 8.
[12] Tommy Tenney, Tim Impian Tuhan (Jakarta: Immanuel, 2000), 30.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

02 Februari 2009

Akrab Dengan Allah: Belajar Menaati Allah

I Tawarikh 15:1-29 dan II Samuel 6:20-23

Bila seseorang melakukan kesalahan di hadapan Allah lalu sadar dan kemudian mengubah tindakannya adakah orang tersebut berkenan kepada Allah atau selamanya tetap dianggap gagal? Bagaimana bila karena keteledorannya karena melanggar firman Allah kemudian orang lain menjadi korban akankah ia tetap diampuni Allah?

Mari kita belajar dari Daud:

Daud melakukan koreksi
Pembacaan kita hari berbeda dengan dua bahan sebelumnya yang senantiasa menyoroti kesalahan dan penyebab kesalahan Daud. Kali ini kita melihat teladan yang Daud berikan. Daud mengoreksi dirinya. Daud membuat hatinya taat kepada Allah.

Tiga bulan adalah waktu yang cukup lama membiarkan tabut perjanjian ada di rumah Obed-Edom. Hasil yang ia dengar tentang keluarga Obed-Edom selalu positif. Keinginan Daud yang selama ini belum tercapai membuatnya senantiasa mencari jalan keluar. Diam-diam Daud berkata dalam hatinya,"Aku ingn tabut Tuhan ada di Yerusalem, di sini. Tetapi Obed-Edom yang menjaganya di sana. Apa yang salah? Obed-Edom sedang menikmati kehidupan yang baik. Ia memperoleh segala berkat!". Daud adalah orang yang pantang menyerah dan mau dikoreksi serta mau memperbaiki diri.

Setelah tiga bulan menganalisis apa yang salah dalam dirinya maka Daud pun bersedia memperbaiki diri dan kembali berencana untuk membawa tabut perjanjian ke Yerusalem. Dalam kisah membawa tabut ini ada beberapa pihak yang menggambarkan bagaimana mereka menaati Allah dan bagaimana mereka yang tidak menaati Allah.

Daud, pribadi yang menaati Allah
Kesalahan Daud dulu adalah tidak membawa orang Lewi, tidak menanyakan kehendak Allah, dan membiarkan orang sembarangan menyentuh tabut. Tetapi sekarang lihatlah apa yang dilakukan Daud: "Janganlah ada yang mengangkat tabut Allah selain dari orang Lewi, sebab merekalah yang dipilih TUHAN untuk mengangkat tabut TUHAN dan untuk menyelenggarakannya sampai selama-lamanya." (ayat 2). Daud sudah mengoreksi dirinya. Lalu
apa yang dilkatakan Daud selanjutnya: "Hai kamu ini, para kepala puak dari orang Lewi, kuduskanlah dirimu, kamu ini dan saudara-saudara sepuakmu, supaya kamu mengangkut tabut TUHAN, Allah Israel, ke tempat yang telah kusiapkan untuk itu. Sebab oleh karena pada pertama kali kamu tidak hadir, maka TUHAN, Allah kita, telah menyambar di tengah-tengah kita, sebab kita tidak meminta petunjuk-Nya seperti seharusnya." Jadi para imam dan orang-orang Lewi menguduskan dirinya untuk mengangkut tabut TUHAN, Allah Israel (ayat 12-14). Sekali lagi Daud mengoreksi perbuatannya di masa lampau dan memperbaiki dengan cara yang tepat dan berkenan kepada Allah. Daud lebih suka taat dan mengaku salah kepada Allah daripada bertahan di dalam kekerasan hati. Mungkin Daud harus menanggung malu atas apa yang pernah dilakukannya di hadapan bangsanya adalah sebuah kekeliruan yang mendatangkan korban. Tetapi ia lebih baik memperbaiki diri sendiri daripada mempertahankan harga diri. Ternyata tak seorang pun yang menganggap koreksi Daud atas dirinya sendiri adalah hal yang memalukan.

Apa yang dilakukan selanjutnya oleh Daud: Kemudian bani Lewi mengangkat tabut Allah itu dengan gandar pengusung di atas bahu mereka, seperti yang diperintahkan Musa, sesuai dengan firman TUHAN. Daud memerintahkan para kepala orang Lewi itu, supaya mereka menyuruh berdiri saudara-saudara sepuak mereka, yakni para penyanyi, dengan membawa alat-alat musik seperti gambus, kecapi dan ceracap, untuk mem-perdengarkan dengan nyaring lagu-lagu gembira (15-16), menunjukkan Daud sekalipun sudah pernah melakukan kesalahan tidak berarti ia larut dalam kesalahan itu sebaliknya ia belajar dan memperbaiki apa yang pernah ia rusak dan Allah berkenan atas hal tersebut. Daud belajar untuk memiliki hati yang taat kepada Allah.

Tatkala Daud mengerjakan pekerjaan Tuhan ada beberapa teladan yang mencerminkan ketaatannya:
· Ia memuji Tuhan (ayat 16)
· Ia memilih orang yang dipilih Tuhan (ayat 2)
· Ia melakukan apa yang diminta Tuhan (ayat 2, 12-15)
· Ia memilih orang profesional di bidangnya (ayat 22)
· Ia tidak bersungut tetapi bersuka cita (ayat 25)
· Ia mempersembahkan korban (ayat 26)
· Ia memakai jubah yang terbaik (ayat 27)
· Ia menari bagi Tuhan karena sukacita (II Sam 6:16)
· Ia merendahkan dirinya di hadapan Allah (II Sam 21-22)
Daftar ini tidak sama sekali menunjukkan prestasi rohani Daud tetapi menunjukkan bahwa Daud bersungguh hati kepada Allah sekalipun ia pernah melakukan kesalahan.

Mikhal, pribadi yang melecehkan orang pilihan Allah
Hanya satu orang yang tidak bersukacita ketika tabut Allah memasuki Yerusalem yaitu istri Daud sendiri. Tarian dan ketelanjangan Daud dilihat dengan kacamata "apa kata manusia" bukan dengan kacamata "apa kata Allah". Kegirangan dan keteraruan Daud yang tercurah tidak pernah dipahami oleh Mikhal. Sebagai isteri harusnya dia tahu kegelisahan yang ada dalam hati Daud selama kurang lebih 3 bulan, dan seharusnya dia turut senang dan menari tatkala ia melihat suaminya berhasil membawa tabut itu. Seharusnya ia juga terharu karena menyaksikan Allah memakai suaminya. Ia juga seharusnya turut merendahkan diri tatkala suaminya merendahkan diri di hadapan Allah. Intinya, Mikhal memang tidak pernah tahu apa arti tabut Allah, sehingga ia tidak peduli. Ia hanya peduli kedudukan dan kehormatan suami tetapi tidak pada kemuliaan Tuhan. Tatkala Daud merendahkan diri di hadapan Allah dan ia melecehkannya, itu berarti ia sedang tidak melecehkan suaminya tetapi Allahnya. Daud tidak tersinggung tetapi Allah murka sehingga ia menutup kandungan Mikhal sampai ia meninggal.

Apa Maknanya Bagi Kita?
Gereja membutuhkan orang-orang seperti Daud, yang taat dan bekerja sepenuh hati, tepat seperti yang Ia minta. Daud tidak menjadikan kesalahan masa lampaunya sebagai halangan untuk menyenangkan hati Allah. Di mata Allah tidak ada yang lebih berharga dari orang yang menyadari diri, berbalik, dan memperbaiki kesalahannya. Allah berkenan kepada orang yang rendah hati di hadapan-Nya, karena orang seperti inilah yang menyenangkan hati-Nya.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb