29 Januari 2009

Siapa Sih Orang Yang Paling Bahagia?

Memang tidak ada satu sudut pandang pun yang sepenuhnya benar dan lengkap sehingga dapat menangkap keseluruhan imaji dari sebuah obyek. Bila obyek dimaksud adalah bahagia maka semua orang punya definisi masing-masing dan rasa masing-masing.

Pepatah Cina mengatakan bahwa orang yang paling berbahagia adalah orang yang waktu dia lahir semua orang tertawa dan hanya dia yang menangis, dan waktu ia meninggal semua orang menangis dan hanya dia yang tertawa (he .. he.. kog bisa ya).

Aristoteles mengatakan dalam Nichomachean Ethics bahwa: "Kebahagian tergantung pada diri kita sendiri". Akibatnya Alexei Tolstoy menyambung dalam Kosma Prutkov, "Jika anda ingin bahagia berbahagialah". Kesimpulan Aristoteles dan Tolstoy kebahagiaan itu ada pada diri seseorang dan tergantung padanya.

Kalau bertanya mengenai sumbernya maka John Stuart Mill dalam Autobiography menganjurkan: "tanyakanlah kepada diri anda mengapa anda bahagia, dan anda tidak akan berbahagia lagi". G. K. Chesteron, dalam Heretic menyambungnya demikian: "kebahagiaan adalah misteri layaknya agama, dan seharusnya tidak pernah bisa dicari-cari alasannya".

Tokoh Reformasi John Calvin dalam karyanya Institutio mengatakan bahwa: "kebahagiaan utuh adalah mengenal Tuhan". Menyambung itu dalam karya Amsal editan dari zaman raja Sulaiman memperjelas lagi: "Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian".

Para pendeta setelah membaca kitab suci biasanya diakhiri dengan kata-kata: "Berbahagialah mereka yang mendengarkan firman Tuhan dan yang memeliharanya ... ". Sementara Kristus dalam Ucapan Bahagia malah menganjurkan sebuah kebahagiaan dari sebuah ketidakbahagiaan (atau dari sebuah situasi yang tidak memungkinkan untuk seseorang bahagia secara alami):

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat"
(Mahatma Gandhi dan Leo Tolstoy kesengsem rahasia dibalik ucapan ini)

Dimensi kebahagiaan macam begini yang rasanya perlu terus direnungkan dan dialami agar jangan jadi slogan bagus yang membuat kita seolah dengan memajangnya kita telah bahagia ... padahal kita sedang menipu diri kita sendiri ...Anda bahagia?

Daniel Zacharias
(di hari ulang tahun anak pertama yang ke-5)

education from womb to tomb

27 Januari 2009

Akrab Dengan Allah: Menikmati Penyertaan-Nya

I Tawarikh 13:12-14 (II Samuel 6:9-11)

Mengapa orang yang sudah berjerih lelah demi Allah namun tidak mendapatkan penyertaan-Nya sementara orang lain mendapatkannya? Apa sebenarnya kunci seseorang mendapatkan penyertaan-Nya?

Apa yang terjadi?
Pembacaan kita hari ini masih merupakan kelanjutan dari apa yang dialami oleh Daud dalam kotbah minggu lalu. Kali ini semenjak tragedi Uza, Dia begitu marah karena Allah membinasakan Uza. Tetapi di balik semua itu ia juga sangat ketakutan. Ia teringat akan cerita bagaimana Allah menulahi orang-orang yang salah menangani tabut perjanjian itu. Tetapi bersamaan dengan itu Daud belum tahu apa kesalahannya. Dia sudah setengah jalan. Dia belum tahu bagaimana menangani tabut perjanjian itu. "Bagaimanakah aku dapat membawa tabut Allah itu ke tempatku?". Ia ingin supaya jangan jatuh korban lagi karena keteledorannya. Sepanjang jalan ia memutar otak. Dan akhirnya ia memutuskan untuk menyimpang dari rencanannya semula (ayat 13). Ia membawa tabut perjanjian itu ke tempat yang terdekat yakni di rumah Obed-Edom. Dan Alkitab mencatat bahwa selama 3 (tiga) bulan tabut Allah itu ada dalam rumah keluarga Obed-Edom. Dan rupanya keluarga itu diberkati Allah bahkan sampai ke segala harta miliknya(ayat 14).

Apa maksud dari semua ini?
Daud sebagai orang yang ahli berstrategi membaca situasi yang tidak menguntungkan bila terus dijalankan akan mendatangkan malapetaka. Tindakannya meninggalkan tabut perjanjian itu di rumah Obed-Edom berdasarkan pada dua hal: pertama, ia tak mau terus berjalan dengan sesuatu yang menurutnya dapat mendatangkan malapeteka. Mungkin tatkala mereka dengan takut-takut dan hati-hati mendorong kereta yang berisi tabut itu kepada Obed-Edom mereka berpikir biarlah mereka selamat terlepas dari sesuatu yang menakutkan. Mereka mungkin berkata kepada Obed-Edom tatkala mereka menyerahkan tabut itu, "Semoga beruntung Obed. Anda barangkali sudah mengetahui bahwa kami telah menguburkan seseorang hari ini karena dia menyentuh tabut ini ketika lembu kami tergelincir. Anda lebih baik berhati-hati Obed. Katakan pula itu kepada seluruh keluargamu dan orang-orangmu".

Apa makna kisah ini?
Kisah ini memiliki makna tergantung dari sudut pandang kita melihatnya. Rupanya ada tiga sudut pandang: dari sudut pandang keluarga Abinadab, sudut pandang Daud, dan sudut pandang keluarga Obed-Edom:

Sudut pandang keluarga Abinadab
Keluarga Abinadab, di mana kemungkinan Uza juga tinggal, selama 20 tahun tinggal bersama tabut itu. Tetapi tidak ada satu pun yang terjadi. Keluarga ini sama sekali tidak pernah merasakan arti dari lambang tabut yaitu kehadiran Allah. Mereka merasa biasa saja sampai mereka tak lagi ingat apa artinya tabut itu dan bagaimana memperlakukannya. Bagi mereka tabut Tuhan itu merupakan suatu peti yang indah tetapi tidak lebih dari peti-peti atau kotak-kotak yang lain. Tatkala mereka diberi kepercayaan untuk mengawal dan mengangkut tabut itu mereka merasa bangga dan begitu terhormat karena ditunjuk raja untuk membawa tabut yang Mahatinggi. Sayangnya kebanggaan itu tidak diiringi oleh rasa hormat dan penghargaan yang benar, dan tidak diimbangi dengan pengertian apa artinya tabut itu dan bagaimana memperlakukannya. Keluarga ini menjaga tabut selama 20 tahun tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa. Ironis!

Sudut pandang Daud
Daud yang pulang ke rumahnya dirundung oleh banyak pikiran. Ia merasa kecewa karena tak dapat mambawa tabut ke tempatnya, di sisi lain ia merasa harus berbuat seperti itu. Daud adalah otak dan penanggung jawab dari pemindahan tabut itu, ia begitu bertanggung jawab, namun ia juga tidak mendapatkan apa-apa. Pekerjaannya selama 3 bulan adalah mengirim orang untuk mengetahui situasi terkini dari keluarga Obed-Edom. Daud cukup berlelah tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa.

Sudut pandang Obed-Edom
Obed-Edom adalah orang Lewi yang berasal dari Gat-Rimon di daerah Manasye. Kelak tatkala tabut dipindahkan ke Yerusalem ia menjadi penunggu pintu pada tabut (I Taw 15:24) dan pemain gambus (I Taw 16:5). Obed-Edom pasti sudah mendengar 'tragedi Uza'. Ia tidak mampu menolak keinginan Daud, ia juga tidak bisa menolak tabut itu kerena ia orang Lewi. Rupanya secara tersirat terbaca bahwa Obed-Edom dan keluarganya menerima tabut itu, menghormati, dan menjaga dengan kesungguhan dan ketulusan hati. Akibatnya adalah bahwa keluarga itu terus diberkati Allah (ayat 14). Keluarga ini tidak berjasa apa-apa terhadap Allah, mereka hanya menghargai Allah, maka tidak heran bila mereka diberkati Allah. Abinadab yang 20 tahun dengan tabut itu tentunya akan kaget bila ia mendengar keberuntungan keluarga Obed-Edom.

Bagi Kita Sekarang
Di dalam kisah ini tampak bahwa jerih lelah kita tanpa penghargaan kita kepada Allah hasilnya adalah kesia-siaan. Allah lebih memerlukan orang yang taat yang berjerih lelah, bukan orang yang berjerih lelah saja. Gereja sebagai alat di tangan Allah seharusnya mampu menunjukkan kehadiran Allah melalui 'dampak penyertaan-Nya'. Bila Obed-Edom mampu menunjukkan dampak tersebut bagaimana dengan gereja?

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

22 Januari 2009

Akrab Dengan Allah: Mencari Hadirat Allah

I Tawarikh 13:1-4
13:1 Daud berunding dengan pemimpin-pemimpin pasukan seribu dan pasukan seratus dan dengan semua pemuka.13:2 Berkatalah Daud kepada seluruh jemaah Israel: "Jika kamu anggap baik dan jika diperkenankan TUHAN, Allah kita, baiklah kita menyuruh orang kepada saudara-saudara kita yang masih tinggal di daerah-daerah orang Israel, dan di samping itu kepada para imam dan orang-orang Lewi yang ada di kota-kota yang dikelilingi tanah penggembalaan mereka, supaya mereka berkumpul kepada kita.13:3 Dan baiklah kita memindahkan tabut Allah kita ke tempat kita, sebab pada zaman Saul kita tidak mengindahkannya."13:4 Maka seluruh jemaah itu berkata, bahwa mereka akan berbuat demikian, sebab usul itu dianggap baik oleh segenap bangsa itu.

Apa yang menyebabkan orang merasa kering dan jenuh dengan kehidupan rohaninya? Apa yang menyebabkan orang dengan mudahnya menolak mengikuti ibadah atau menolak datang ke gereja? Mengapa kita merasa akrab dengan-Nya namun dalam kenyataannya kita tidak mencari hadirat-Nya?

Apa yang sedang dilakukan Daud?
Pembacaan kita hari ini dimulai dengan kisah Daud yang sedang melakukan perundingan dengan orang-orang penting dalam kerajaannya (ayat 1). Dapat dikatakan dengan kacamata modern bahwa mereka adalah para jenderal dan para menteri serta para pemimpin-pemimpin gereja. Dalam segi ini, dengan melakukan perundingan, Daud menunjukkan teladan yang positif yakni dengan mengedepankan aspek kebersamaan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang bangsa mereka hadapi. Segi lain yang tersirat di sini adalah Daud yang sekalipun adalah pemimpin dan pemegang otoritas tidak bekerja sendirian dan tidak otoriter tetapi sangat terbuka dan memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk turut mengambil keputusan. Sikap Daud itu tampak tatkala ia berkata: "Jika kamu anggap baik .... baiklah kita" (ayat 2). Daud sangat konsisten memegang teguh kebersamaan, baginya keakraban dengan Allah tidak terlepas dari sebuah persekutuan dan kerjasama yang baik dengan sesama. Pada akhirnya rakyat menyambut kebersamaan itu dengan berkata bahwa mereka akan berbuat demikian, sebab usul itu dianggap baik oleh segenap bangsa itu.

Apa yang mereka rencanakan?
Keputusan Daud yang sangat demokratis itu tidak saja dalam konteks mengatur strategi perang dalam kepentingan politis tetapi dalam urusan memecahkan masalah keagaamaan (spritual) menyangkut rencana penempatan tabut Allah pada tempat yang seharusnya.

Mengapa tabut itu harus dipindahkan?

Alasan Historis
Rupa-rupanya penempatan tabut ini memiliki sejarahnya sendiri. Pada masa Daud pusat tempat penyembahan bukanlah orang percaya tetapi tabernakel. Dan di bawah pemerintahan Saul yang lemah dan semberono, penekanan terhadap tabernakel sepertinya sudah menyimpang. Selama masa tersebut suatu bagian tertentu dari perabotan suci telah dipisahkan dari tabernakel. Musuh yakni orang Filistin telah membawa tabut perjanjian itu dengan kereta.
Dengan hilangnya tabut berarti kehadiran Allah telah pergi, karena saat itu lambang kehadiran Allah di dalam kemuliaan-Nya terletak pada tabut tersebut. Tabut itu sangat penting bagi Tuhan sehingga Ia memberikan perincian-perincian yang sangat khusus kepada Musa mengenai bagaimana membangunnya dan membuatnya dapat diangkut sehingga orang Israel dapat memindahkan lambang kehadiran Allah ini melalui padang gurun dan masuk ke tanah Kanaan sebagai tempat pusat penyembahan. Dan di mana pun tabut perjanjian ditempatkan, kemuliaan Allah menetap di sana ~ yang berarti terang, kemuliaan shenkinah Allah, menetap di atas tabut perjanjian.

Ketika Daud mengambil alih tahta, ia menyadari bahwa tidak ada tabut perjanjian, tidak ada tempat pusat penyembahan. Karena itu, perjalanan spiritual orang Israel, menjadi seadanya saja. Padahal hati mereka hangat mengikuti Allah. Sebagai pemimpin mereka, Daud mengetahui bahwa ia perlu mengembalikan bagian dari perabotan suci itu ke tempat semestinya. Ia perlu menempatkan seperti yang sudah Allah rancang.

Pada masa Samuel terjadi peperangan antara orang Filistin dan orang Israel yang berakibat pada kekalahan orang Isarel [I Samuel 4:2]. Dalam peperangan itu orang Filistin merampas tabut itu [4:11] dan dilarikan ke Asdod dan diletakan ke kuil Dagon persis di sisi Dagon [5:1-2]. Namun karena Allah memberi pelajaran kepada orang Filistin dengan banyak perkara yang mengerikan maka mereka memindahkannya ke Gat [5:8] lalu ke Ekron [5:10], dan hal yang sama terjadi pula dengan Gat dan Ekron [5:9-10], maka akhirnya setelah 7 bulan menanggung sengara orang Filistin mengembalikan tabut itu kepada orang Israel [I Sam 6] yang diletakan awalnya di Bet-Semes [I Sam 6:15], tetapi karena orang Bet-Semes melancangi tabut itu maka ada 70 orang tewas sebagai hukumannya. Karena ketakutan maka mereka meminta orang Kiryat Yearim (sekitar 15 km sebelah barat Yerusalem) untuk mengambil tabut itu. Dan orang Kiryat Yearim menyanggupinya dan meletakannya di rumah Abinadab [7:1]. Orang Israel takut kepada tabut perjanjian itu dan membiarkannya terus di Kiryat Yearim sampai zaman Daud. Tabut tidak dikembalikan ke Silo karena daerah tersebut sudah dimusnahkan Filistin [Maz 78:59-61; Yer 7:14; 26:6].

Alasan Daud
Daud pasti pernah mendengar dahsyatnya murka Allah melalui tabut perjanjian itu baik terhadap orang Filistin maupun terhadap orang Israel, tetapi mengapa ia masih juga berusaha untuk membawa kembali tabut itu bukankah itu sama artinya mencari masalah baru? Menurut Daud, "sebab pada zaman Saul kita tidak mengindahkannya" (I Taw 5:3). Dapat dibayangkan bahwa mereka mungkin tidak mengindahkannya bukan karena mereka acuh tak acuh tetapi karena ketakutan mereka mendengar kedahsyatan murka Allah bila tidak benar menangani tabut tersebut. Sayangnya Saul lebih menghargai "Ikabod" (kemuliaan Allah yang sudah pergi) daripada membayar harga untuk mencari "kabod" (kemuliaan Allah).

Sekalipun Daud tahu bahwa memindahkan tabut perjanjian itu bukan hal yang tidak mengandung resiko, tetapi kerinduannya untuk tetap menghadirkan Allah di tengah-tengah rakyat dan bangsanya melebihi ketakutannya. Ketika Daud mengambil alih tahta, ia menyadari bahwa tidak ada tabut perjanjian, berarti tidak ada tempat pusat penyembahan, berarti tidak ada hadirat Allah. Karena itu, perjalanan spiritual orang Israel, menjadi seadanya saja. Padahal hati mereka hangat mengikuti Allah. Sebagai pemimpin mereka, Daud mengetahui bahwa ia perlu mengembalikan bagian dari perabotan suci itu ke tempat semestinya. Ia perlu menempatkan seperti yang sudah Allah rancang.

Teladan Daud
Hati Daud terpaku pada hadirat Allah, menurutnya hanya dekat dengan Allah saja ia dapat tenang (Maz 62:2), atau dengan kata lain tatkala ia memasuki hadirat-Nya maka ia merasakan ketenangan. Orang seperti Daud adalah orang yang akan berani membayar berapa pun harganya untuk suatu 'kehadiran Allah". Baginya harga berapapun jika terpaksa ia keluarkan tak sebanding bila ia bisa kembali menghadirkan hadirat Allah di tengah-tengah bangsanya. Daud tidak mau tenggelam dengan ketakutan orang-orang di jaman Saul. Daud melakukan terobosan yang belum pernah ada sebelumnya dan beresiko sangat tinggi.

Daud adalah orang peduli tentang hadirat atau kehadiran Allah. Bila Tuhan berkata-kata di dalam bahasa kita sekarang mengenai Daud maka Ia akan berkata: "Aku mendapatkan Daud sebagai orang yang peduli akan perkara-perkara yang Aku peduli". Ia adalah seorang yang hatinya berdenyut seirama dengan hati-Ku"

Keseharian Kita

Di dalam keluarga Allah ada orang-orang dengan dua kategori:

Pertama, mereka yang menghabiskan banyak waktu di "tempat pengapungan duniawi", mereka meratap dan mengeluh dan kemudian kembali dari perjalanan-perjalanan yang jauh menyimpang dari rencana dan kehendak-Nya.

Kedua, mereka tidak berani pergi jauh menyimpang sebelum mereka mulai memikirkan di mana mereka berada. Mereka segara kembali ke dalam barisan, karena mereka 'mencari hadirat-Nya' bukan menjauhi atau mengusir hadirat-Nya. Bagi orang-orang semacam ini, tidak ada yang tidak penting di dalam hubungan mereka dengan Allah. Tidak ada yang lebih penting yang dapat menginterupsi hubungan mereka dengan Allah termasuk ketakutan mereka. Jumlah orang yang mau mencari hadirat Allah dan mau membayar harganya tidaklah banyak, tetapi Daud justru seperti itu.

A.W. Tozer seorang teolog dan penulis Kristen dalam bukunya yang berjudul "Worship and Entertainment" merasa begitu prihatin dengan hilangnya perasaan akan adanya hadirat Allah dalam hati gereja. Bagi Tozer kurangnya rasa hormat yang dilakukan gereja tatkala beribadah menunjukkan bahwa gereja tidak berpikir bahwa hadirat Tuhan ada dalam ibadah mereka. Tozer sendiri memperhatikan bahwa kerinduan dan keinginan akan suatu kehidupan yang rohani sedang menghilang dan digantikan dengan sekularisme duniawi. Lingkungan semacam ini tidak akan menghasilkan jemaat yang dibangun (kebangunan rohani). Sebagai akibatnya ia merasa mungkin Tuhan telah mengarahkan pandangan-Nya ke arah lain, jika gereja tidak datang kembali kepada-Nya, pada suatu hubungan dengan Dia dan bukan hanya dengan berkat-berkat-Nya.

Ketika kita sampai pada pengamatan kehidupan spiritual, maka mereka yang mencari hadirat Allah di dalam hati dan perbuatannya memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap semua yang terkait dengan pekerjaan pelayanan-Nya. Sehingga ketika kita melihat hidup kita tidak tidak segaris dengan rencana-Nya maka kita perlu membawa kembali kehidupan kita segaris dengan kemauan-Nya.

Sekarang kita mulai berkata,"Aku tidak ketakutan terhadap Tuhan, karena aku mengasihi-Nya, tetapi sekarang saya telah memiliki rasa hormat terhadap kemuliaan dan perkara-perkara kudus dari Tuhan, yang sebelumnya tidak saya miliki".

Sudah saatnya gereja meminta 'Kabod' (kemuliaan) Allah terus memancar dalam dirinya dan ibadahnya dan bukan mempertahankan 'Ikabod' (kemuliaan Tuhan telah pergi).

Daud ingin memberi teladan pada manusia masa kini bahwa apa pun juga tidak ada yang dapat menghalangi relasinya yang akrab dengan Allah. Ia lebih baik mengorbankan keakrabannya dengan yang lain dan membangun keakrabannya dengan Allah. Baginya hadirat Allah adalah harga yang pantas untuk mengorbankan nyawa sekalipun.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

20 Januari 2009

Gaya Hidup Warga Kerajaan Allah

Lukas 3:1-14

1 ¶ Dalam tahun kelima belas dari pemerintahan Kaisar Tiberius, ketika Pontius Pilatus menjadi wali negeri Yudea, dan Herodes raja wilayah Galilea, Filipus, saudaranya, raja wilayah Iturea dan Trakhonitis, dan Lisanias raja wilayah Abilene, 2 pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun. 3 Maka datanglah Yohanes ke seluruh daerah Yordan dan menyerukan: "Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu, 4 seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya: Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. 5 Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, 6 dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan." 7 Lalu ia berkata kepada orang banyak yang datang kepadanya untuk dibaptis, katanya: "Hai kamu keturunan ular beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu melarikan diri dari murka yang akan datang? 8 Jadi hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! 9 Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api." 10 Orang banyak bertanya kepadanya: "Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?" 11 Jawabnya: "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian." 12 Ada datang juga pemungut-pemungut cukai untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya: "Guru, apakah yang harus kami perbuat?" 13 Jawabnya: "Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu." 14 Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: "Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?" Jawab Yohanes kepada mereka: "Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu."

Kemurnian iman seharusnya menjadi sesuatu yang bergerak di balik tindak-tanduk orang
percaya. Mereka yang menerima Kristus berarti menerima suatu tatanan baru di dalam terang pemerintahan Allah atau Kerajaan Allah. Sepak terjang orang percaya idealnya mencerminkan gaya hidup warga Kerajaan Allah. Ucapan ini bukan sebuah kemustahilan di tengah-tengah dunia yang sementara terpuruk.

Kehadiran Yohanes Pembaptis di tengah-tengah masyarakat Yudaisme saat itu membawa berita yang mengoreksi umat kerajaan Allah yang tidak hidup dalam gaya hidup warga kerajaan Allah. Berita Yohanes Pembaptis mengoreksi kemapanan dan kebakuan rohani dan etika saat itu. Menurut Yohanes Pembaptis status umat Allah saat itu harus sepadan dengan praktek hidup sehari-hari.

Kehadirannya sebagai perintis jalan bagi kehadiran sang Mesias mensyaratkan sebuah gaya hidup baru yang mencakup antara lain:

Pertobatan
Isi pemberitaan Yohanes sebenarnya sangat sederhana tetapi menuntut sebuah komitmen yang tidak main-main yakni soal pertobatan. Pertobatan saat itu masih dipertanyakan apakah masih perlu atau tidak mengingat mereka memiliki status sebagai Anak Abraham dan Abraham adalah bapa mereka. Mereka berpikir dengan status itu mereka akan terjamin pada hari penghakiman. Anggapan semacam ini dimentahkan oleh Yohanes Pembapatis dengan mengajukan pertanyaan: “Hai kamu keturunan ular beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu supaya melarikan diri dari murka yang akan datang? (ayat 7). Selanjutnya dengan tegas ia mengatakan, “Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! “. Bagi Yohanes yang dibutuhkan sekarang adalah pertobatan bukan status. Pertobatan berarti membuka jalan bagi pekerjaan Allah menyelamatkan dunia. Pertobatan di masa Yohanes dikaitkan dengan baptisan (simbol pembasuhan dari dosa) dan pengampunan dosa (ayat 3). Bagi Yohanes penataan dunia berangkat dari penataan manusianya. Berita yang ia bawa berkenaan langsung dalam hubungan manusia dengan Allah. Bagi Yohanes urgensinya tidak dapat ditawar dan ditolak tetapi menuntut sebuah jawaban pasti dengan pembuktian yang jelas.


Menghasilkan Buah Sesuai Dengan Pertobatan
Bagi Yohanes, pertobatan, bukan sebuah hal akhir. Pertobatan senantiasa menuntut pembuktian. Ia berkata: “Jadi hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan.” Ajaran Yohanes ini seperti mengawinkan teologi Paulus (diselamatkan karena iman bukan perbuatan) dengan teologi Yakobus (iman tanpa perbuatan adalah mati). Pertobatan memang sebuah langkah awal yang sangat diperlukan tetapi itu bukan segalanya karena ia harus menunjukkan terjemahannya dalam seluruh aspek kehidupan.

Ajakan Yohanes mendorong orang bertanya: “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?”. Pertanyaan ini seolah ingin mengatakan bagaimana caranya bertobat itu dan apa yang harus kami kerjakan di dalam pertobatan itu dalam keseharian kami? Penulis Injil Lukas mencatat bagaimana menerjemahkan “menghasilkan buah sesuai dengan pertobatan” dalam keseharian masyarakat di jaman itu. Ia mengambil beberapa sampel:

  • Pertama, di tengah-tengah masyarakat majemuk Yohanes mengajak mereka untuk memiliki kesetiakawanan sosial (bnd. ayat 11.).

  • Kedua, kepada para pemungut cukai, ia berpesan agar mereka tetap boleh memungut cukai (dan itu bukan dosa) tetapi jangan lakukan pemerasan dalam pekerjaan tersebut. Yohanes bisa memilah-milah antara yang berkenan kepada Allah dan yang tidak.

  • Ketiga, kepada prajurit-prajurit, ia berpesan agar mereka tidak merampas dan memeras karena jabatan mereka, dan mencukupkan diri dengan gaji mereka.

Pesan penyelamatan Allah melalui Yohanes Pembaptis ternyata memiliki segi holistiknya. Ia tidak melulu berwajah spiritualitas dan religiositas. Ia juga berwajah sosial dan etis. Sehingga gaya hidup kerajaan Allah tidak hanya nyata dan tampak dalam tembok gereja tetapi juga di luar tembok gereja. Kalau memang kita sudah bertobat, apa sih buktinya?


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

15 Januari 2009

Pameran Kesalehan

Galatia 1:10
Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.

Berkecimpung dalam dunia kerohanian ternyata tidak bebas dari bahaya. Dalam bidang kerohanian pun bahaya masih tetap mengintip kita. Bahaya yang dimaksud adalah: pameran kesalehan atau kemunafikan. Bila seringkali kita membahas ancaman terhadap rohani kita karena intervensi Iblis, maka sekarang kita juga membahas ancaman terhadap kondisi rohani kita yang bersumber dari diri kita sendiri.

KONTEKS MASA TUHAN YESUS
Di jaman Tuhan Yesus melayani, Ia sering menjumpai para rohaniawan yang mencari perkenanan manusia tetapi dengan jalan seolah-olah mereka sedang mencari perkenanan Allah. Ia menyebut perbuatan mereka itu sebagai perbuatan yang munafik.

Perbuatan munafik dalam bahasa Gerikanya adalah hupokrites yang artinya seorang pemain sandiwara yang sedang memerankan peran yang bukan dirinya. Jadi banyak rohaniawan di jaman itu yang memerankan peran yang bukan diri mereka sendiri. Yesus pernah menegur mereka dengan keras, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Mat 23:27).

Dari sekian banyak pameran kesalehan yang mereka buat maka Yesus pernah menegur tiga berganda lahan kemunafikan para ahli Taurat dan orang Farisi yang ditegur Yesus: memberi sedekah (Mat 6:1-4), doa (Mat 6:5-15), dan berpuasa (Mat 6:16-18). Dalam pembahasan ini kita menyoroti salah satunya yakni memberi sedekah.

Pameran Kesalehan: Memberi Sedekah (Mat 6:1-4)
Kata “sedekah” yang kita ambil alih dari bahasa Arab adalah terjemahan dari kata Ibrani “tsedaqa”, yang berarti “keadilan”. Memberi sedekah berarti: melakukan keadilan. Orang-orang Israel yang berkecukupan diminta perhatiannya oleh Allah untuk menolong orang-orang yang miskin dan orang-orang yang lemah, seperti perempuan-perempuan janda, anak-anak yatim, para budak, orang asing, dll (Ul 24:12-22; Ul 14:28, 16:11). Dengan memberikan sedekah maka mereka menjalankan “tsedaqa” (keadilan dan kebenaran) di hadapan Allah.

Namun proyek kasih sayang ini dijadikan proyek pamer kesalehan oleh orang-orang tertentu yang punya niat mencari perkenan manusia dengan berkedok mencari perkenanan Allah, padahal Yesus melarangnya, “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.” (Mat 6:1)

“Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.” (Mat 6:2).

Anjuran Yesus: Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

Tetapi yang kemudian timbul pertanyaan: Bukankah dengan menyembunyikan perbuatan baik sama artinya dengan meletakan pelita di bawah gantang dan itu sama artinya dengan betentangan dengan apa Yesus sendiri ajarkan?

Memang sangat tipis maksud antara menunjukkan perbuatan baik sebagai cerminan perbuatan Allah dan pameran kesalehan. Yesus menginginkan perbuatan baik sebagai cerminan perbuatan Allah layak dinyatakan tetapi mengingat bahaya kemunafikan lebih baik semua itu dikerjakan dengan “tersembunyi”. Yesus tidak sedang mempertentangkan hal “yang di luar” dengan “yang di dalam” kehidupan manusia tetapi ia menginginkan kesesuaiannya.

Orang benar sejati akan menampakkan kebenarannya melalui perbuatannya yang benar, kebenaran sejati akan dinyatakan di dalam kedisiplinannya bukan pada saat-saat tertentu yang dapat dilihat orang. Yesus menyebut hal ini sebagai “kewajiban agama” (6:1). Ia tidak mengatakan, “Jangan tidak mengerjakan kewajiban agamamu”. Ia bahkan juga tidak mengatakan, “Jangan tidak mengerjakan kewajiban agamamu di hadapan orang”. Yang Ia katakan adalah, “Jangan melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang, supaya dilihat mereka.” Dengan menyatakan hal ini, Yesus sedang berusaha mengungkapkan pentingnya motivasi. Motivasi perbuatan kita sama pentingnya dengan perbuatan itu sendiri. Ada selalu kemungkinan seorang pembawa terang Allah memakai terang itu untuk menerangi dirinya sendiri supaya dilihat dan dipuji orang, dan itu kecenderungan kita manusia.

A. B. Bruce merumuskan apa yang dimaksud Yesus bahwa kita harus ‘memamerkan’ kalau tergoda untuk ‘menyembunyikan’ dan kita harus ‘menyembunyikan’ kalau tergoda untuk ‘memamerkan’.

KONTEKS MASA PAULUS
Paulus dalam surat Galatia 1:10 menghadapi tantangan yang tidak main-main dari desakan ajaran orang Farisi yang mengajarkan bahwa sunat itu menyelamatkan. Bila mengikuti arus Paulus akan mendapat banyak pengikut dan dukungan, tetapi ia sendiri tahu sekalipun banyak pendukungnya pendapat itu salah besar.

Jawaban Paulus atas ajaran sesat itu membuat ia pernah menegur Petrus yang ternyata lebih mencari perkenanan manusia ketimbang perkenanan Allah. Petrus berlaku munafik agar tetap diterima orang-orang sebangsanya. Padahal Petrus sendiri dua kali pernah mengatakan kepada orang-orang Yahudi: pertama, "Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: “taat kepada kamu atau taat kepada Allah” (Kis 4:19); kedua, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (Kis 5:29). Teguran Paulus terkait dengan kemunafikan Petrus terekam dalam surat Gal 2:11-14:

11 Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah.
12 Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. 13 Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka.
14 Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: "Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?"

Dari kisah tersebut membuktikan bahwa bahaya rohani kemunafikan masih saja dapat mengancam bahkan rasul sekaliber Petrus sekalipun. Bahaya kemunafikan sedemikian rupa membuat kita seolah mengerjakan yang benar tetapi dengan motif yang keliru. Kita harus mengakui bahwa apa yang kita kerjakan baik dalam ibadah maupun dalam pelayanan terkadang dapat menutupi atau menyembunyikan isi hati kita yang sebenarnya, tetapi Allah mengetahuinya.

Paulus dalam tulisannya di surat I Tes 2:4-6 mencatat adanya kecenderungan mencari perkenanan Allah atau manusia dalam diri para pelayan Allah:

4 Sebaliknya, karena Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita.
5 Karena kami tidak pernah bermulut manis--hal itu kamu ketahui--dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi--Allah adalah saksi--
6 juga tidak pernah kami mencari pujian dari manusia, baik dari kamu, maupun dari orang-orang lain, sekalipun kami dapat berbuat demikian sebagai rasul-rasul Kristus

Kesimpulan:

  • Pembahasan ini tidak bermaksud membuat hidup kita menjadi terkotak-kotak menjadi dua bagian, tetapi agar kita mewaspadai ancaman kemunafikan yang berangkat dari diri kita sendiri manakala kita sedang melakukan pekerjaan yang mulia sekalipun.
  • Manakala kita menjalankan tugas pelayanan dan peribadahan, kita dapat saja terpancing untuk menurunkan niat kita dari mencari perkenanan Allah ke niat mencari perkenanan manusia.
  • Kita semua memiliki kecenderungan semacam itu tetapi marilah kita terus-menerus dengan jujur dan terbuka mengkaji motivasi kita dalam melayani dan beribadah kepada Allah.

Sumber:
Abineno, J. L. Ch. Khotbah di Bukit: Catatan-catatan Tentang Matius 5-7 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).
Ferguson, Sinclair B. Khotbah di Bukit: Cermin Kehidupan Sorgawi di Tengah Dunia Berdosa (Surabaya: LRII, 1999).
Fischer, John. 12 Langkah Penyembuhan Bagi Orang Farisi (Seperti Saya) (Jakarta: Immanuel, 2001).
Stambaugh, John dan Balch, David. Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994).
Stott, John. Khotbah di Bukit (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF), 1999.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

09 Januari 2009

Tatkala Semua Berjalan Begitu Lambat

I Raja-raja 18:36-46

PENDAHULUAN
Dewasa ini kita hidup dalam sebuah dunia yang disebut dunia yang akan memasuki era milenium ketiga yang disebut era post-modernis. Dunia yang ditandai dengan irama, tempo, langgam kehidupan yang serba cepat. Kita dikelilingi oleh tombol-tombol elektrik yang memungkinkan kita dengan mudah dapat melakukan segala hal dengan tepat dan cepat. Istilah "fast" dan "instant" menjadi ciri khasnya sekaligus menunjukkan dinamikanya. Perhatikanlah istilah: fast food, mie instant, susu instant, cuci cetak photo instant, dll. Di sisi lain mobil-mobil yang berkecepatan ratusan km per jam telah menggantikan kaki-kaki manusia yang berjalan begitu lambat. Bahkan sudah ada pesawat yang melebihi kecepatan suara!

Di tengah-tengah pesatnya irama kehidupan seperti disebutkan di atas, agaknya dunia spiritualitas kita juga terpengaruh. Seringkali kita berdoa seperti memesan fast food: pesan…terima pesanan…bayar! Dan bila pesanan agak terlambat dilayani maka kita mulai tidak sabar, menggerutu, mengomel, sekaligus mengeritik mutu pelayanan restoran tsb.

Dunia spiritual kita hampir seperti itu. Rupa-rupanya dunia spiritual kita telah turut terpacu oleh mental serba yang cepat ini. Bila doa kita tak terjawab dengan cepat dan tidak sesuai dengan kehendak kita, maka akan timbul protes-protes kecil pada Allah, keluhan-keluhan kecil, lenguhan-lenguhan panjang, frustrasi-frustasi kecil, bahkan ada yang tak segan-segan berbalik dari Allah untuk mencari jenis pelayanan spirituil "lain" atau pelayanan spirituil "alternatif" yang dianggap dan pada kenyataannnya lebih cepat dan memuaskan mereka.

Terkadang secara realistis kita harus mengakui bahwa jawaban atas doa-doa kita datang begitu lambat dan tidak sesuai dengan harapan kita. Benarkah hal itu? Bila benar lalu apakah Allah bekerja dengan lambat? Benarkah Allah yang Mahakuasa itu bekerja perlahan-lahan? Dan seandainya benar, bagaimanakah kita mengimbanginya? Sebelum menjawab "ya" atau "tidak" untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut baiklah kita mengarahkan perhatian kita pada perpustakaan Allah baik yang tertulis dalam Alkitab selaku penyataan khusus maupun seperti yang diajukan oleh Thomas Aquinas yakni pada alam selaku penyataan umum.

Fakta dari Penyataan Khusus
Dan sebelum masuk pada pembahasan dari pembacaan kita dari kitab Raja-raja baiklah secara kronologis kita melewati beberapa peristiwa dalam kitab Pentateukh yang mencerminkan cara dan irama Allah bekerja. Dalam kitab Beresyith (Kejadian) 1:3 dikatakan: "Jadilah terang! Lalu terang itu jadi." Ayat ini menunjukkan sekaligus memberi gambaran dari cara dan irama kerja Allah yang begitu cepat. Dalam sekejap mata. Namun pada kitab "Eleh hadebarim" (Ulangan) 8:2 dikatakan: "Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kau lakukan atas kehendak Tuhan, Allahmu di padang gurun selama 40 tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak." Bayangkan 40 tahun hanya untuk merendahkan hati Israel dan menguji kesetiaan Israel! Ayat ini menunjukkan sekaligus memberi gambaran bahwa Allah dapat saja bertindak perlahan-perlahan dalam proses edukasinya terhadap manusia.

Fakta dari Penyataan Umum
Pandanglah bahwa perjalanan matahari tidaklah cepat, matahari yang terbit membutuhkan waktu 12 jam untuk terbenam. Perkembangan fisik manusia, hewan maupun tumbuhan terlihat begitu lambat. Semua digerakan oleh tangan Allah yang ternyata dalam hal ini tidak bekerja dengan tergesa-gesa tetapi dengan perlahan tapi pasti.

Uraian Teks

Dalam bacaan kita saat ini terlihat variasi irama Allah bekerja di mana yang cepat dan lambat berpadu:

a. Saat Segala Sesuatu Berjalan Begitu Cepat
Saat itu Elia benar-benar mempertarauhkan imannya di hadapan para nabi dan penyembah Baal. Alkitab dengan jelas menunjukkan bagaimana Allah tidak mempermalukan orang yang percaya dan bergantung serta taat kepadanya. Elia berdoa (ayat 36,37), lalu Allah membuktikannya (ayat 38). Kita tidak melihat isi dari perbuatan Allah yang dahsyat itu tetapi pada iramanya. Irama Allah bekerja adalah sekejap mata. Segala sesuatu yang berlangsung saat itu benar-benar berjalan dengan begitu cepat.

b. Saat Semua Berjalan Begitu Lambat
Elia baru saja mengalami peristiwa spektakuler yang bukan saja luar biasa tetapi juga begitu cepat. Harusnya secara seragam akan mengalami lagi perbuatan Allah yang sekejap mata itu, tetapi ternyata tidak! Malah sekarang harus mengalami peristiwa yang berjalan lambat dan bertahap.
Ayat 41, menunjukkan keyakinan iman Elia. Ayat 43-44, menunjukkan bagaimana enam kali bujangnya diminta untuk naik ke atas melihat kondisi cuaca dan enam kali dijawab dengan:"Tidak ada apa-apa". Sebenarnya ada apa ini? Rupanya ayat ini dengan tegas menjelaskan bagaimana Allah terkadang memperlambat jawaban doa atau tindakan-Nya. Bujang Elia yang naik turun sampai tujuh kali itu dengan tegas menggambarkan saat segala sesuatu berjalan begitu lambat namun semua tetap akan mencapai peng-genapannya.

c. Saat Semua Berjalan Begitu Cepat
Pada ayat ke-45 menunjukkan kata "sekejap mata", yang berarti kembali menunjukkan irama kerja Allah yang kembali cepat.

Belajar dari Elia
Apa yang kita telah lihat dari kisah Elia tersebut membuktikan bahwa ada variasi irama Allah bekerja. Allah dapat saja dengan sekejap mata melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Tetapi Ia juga dapat juga bertindak secara perlahan. Orang percaya kelihatannya tak akan ada masalah bila Allah menjawab doanya dengan cepat, sehingga pada situasi di mana "saat semua berjalan cepat" tidak kita bicarakan dalam kesempatan ini. Saat semua berjalan begitu lambat memang sering menimbulkan masalah. Karena itu kita harus belajar dari Elia. Apa saja yang dimiliki Elia?

1. Milikilah Iman Klimaks
Saat Elia harus bergumul berulang-ulang kali dengan belum adanya kepastian jawaban ia tidak menjadi putus asa. Ia bertahan bukan pada angka "7" karena adanya suatu anggapan mengenai keramatnya angka 7, namun karena ia terus bertahan. Bahkan kita pasti percaya bahwa sampai ke-10 kali pun pasti ia tetap beriman pada Allah. Memang pada angka "7"-lah terletak simbol dari sebuah kesempurnaan. Dan bila dikaitkan dengan kisah Elia tersingkaplah suatu gambaran yang dikaitkan pada kesempurnaan iman dan ketekunan.
Iman Elia dalah iman klimaks dan bukan anti klimaks. Iman Elia adalah Iman yang makin ditantang tidak makin lemah tetapi justru semakin kuat dan bahkan mendesak. Hal itu tercermin dalam kata-katanya kepada bujangnya: "Naiklah ke atas dan lihatlah ke arah laut" berulang-ulang kali.

2. Ketekunan Mental Baja
Seringkali doa kita tidak bertahan lama. Sudah berdoa begitu lama namun belum terjawab. Situasi seperti ini kadang membuat orang bosan dan menjadi putus asa. Akhirnya orang tersebut mulai meninggalkan doanya dan mencari solusi sendiri. Orang percaya banyak yang beriman namun sayangnya banyak yang kurang atau bahkan tidak tekun.

Ketekunan Elia adalah ketekunan mental baja, bukan ketekunan tanah liat yang mudah hancur, bukan ketekunan plastik atau lilin yang mudah meleleh. Ketekunan Elia adalah ketekunan mental baja. Kuat dan tidak mudah goyah dan hancur oleh apa pun yang menimpanya. Orang Kristen tak hanya beriman dalam doanya, tetapi juga harus tekun. Itulah yang dimaksud dengan doa yang tak berkeputusan.

3. Kerelaan Menerima Tindakan Allah Yang Diperlambat
Kita sebenarnya harus menyadari bahwa tak selamanya Allah bertindak dengan cepat. Seorang teolog Asia, Dr. Kosuke Koyama, pernah menulis karangan dengan judul "Three Miles an Hour God" atau "Allah Yang Berkecepatan Tiga Mil Perjam". Dalam karangannya itu, Koyama, menghimbau orang percaya agar memperlambat derap langkah mereka, sebab dengan demikian mereka dapat mendengar suara Allah. Ia juga mengatakan bahwa langgam kecepatan Allah adalah langgam kecepatan kasih yang berbeda dengan kecepatan teknologis dengan mana kita telah menjadi terbiasa.

Tak selamanya pula Allah mengatakan "tidak" untuk doa-doa kita, tetapi terkadang Ia menjawab dengan kata "tunggu" dan "sabar". Leo Tolstoy seorang pengarang Rusia melihat langgam kerja Allah yang diperlambat yang kemudian ia lukiskan dalam kisah Ivan Dimitrich Aksionov-nya dalam "GOD SEES THE TRUTH, BUT WAITS TO TELL". Ia mengisahkan bagaimana Aksionov dituduh melakukan pembunuhan terhadap teman seperjalanannya. Ia difitnah oleh orang yang tidak dikenalnya. Akibatnya ia ditahan sampai berpuluh-puluh tahun. Akhirnya suatu saat tertangkaplah orang yang memfitnahnya itu karena kasus yang lain. Orang itu menceritakan kalau ia dahulu yang melakukan pembunuhan itu. Aksionov merasa pedih karena ia sudah terlalu tua sehingga ia pun tak lagi punya keinginan untuk bebas. Tolstoy dalam karyanya ini secara realistis menyadari bahwa apa yang dilihat oleh Aksionov itu sering terjadi dalam kehidupan manusia.

Saat ini bila kita sementara bergumul, mungkin kita menyadari bahwa kita berada dalam konteks "ketika semua berjalan begitu lambat" maka tahulah sekarang apa yang harus kita miliki dan kerjakan. Kita harus memiliki iman klimaks, ketekunan yang benar-benar kokoh, serta dengan rela menerima cara Allah yang bertindak dengan memperlambat segalanya.Yakinlah bahwa Allah tidak akan pernah terlalu cepat dan juga tidak pernah terlambat untuk menolong kita. Tatkala kita mengenal Allah dengan benar maka kita tidak pernah bermasalah dengan kecepatan Allah bekerja.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

08 Januari 2009

Pekan-pekan Awal 2009

Jujur saja saya agak optimis memasuki tahun 2009. Dan saya percaya sekali bila optimisme bukan sebuah dosa atau barang basi. Optimisme di satu sisi menunjukkan bahwa kita juga masih punya semangat sekalipun di tahun 2008 terlalu banyak 'pending kasus' yang menggembosi semangat itu sendiri. Semangat kita memang harus lebih besar bobotnya tinimbang pesimisme kita. Tentunya berpikir optimis pun ada batasnya. Optimis yang berlebihan hanya membuahkan pemaksaan keadaan, kesombongan, dan merasa bisa mengendalikan semua peristiwa, yang dalam kenyataannya justru malah lebih banyak mudaratnya tinimbang manfaatnya. Di lain sisi optimisme juga setidaknya mencerminkan sebuah pengharapan sekaligus keyakinan yang kuat bahwa Allah setia menyertai kita.

Apa sih isi optimisme saya itu?
Setiap memasuki tahun yang baru selalu ada kegiatan-kegiatan atau tayangan-tayangan yang mengedepankan pandangan futuristik, atau kontemplatif koreksi diri; atau malah sebuah ramalan tentang bayangan mengerikan atau upaya memperbaiki nasib dengan bersandar pada pandangan klenik klik 9090. Optimisme saya lebih disandarkan pada sebuah keyakinan bahwa Ia berkuasa atas masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Saya optimis walau sering terlihat jatuh bangun tetapi itu tidak sama sekali berarti bahwa keadaan manusia.

Beberapa rekan mengalami gangguan kesehatan, saya berdoa semoga mereka lekas sembuh:
  • Ardimas
  • Karina
  • Pnt. Raffly Tamburian
  • Opung Lieke Simanjuntak
  • Martin Layuk Allo
  • Esther Toelle
  • Tommy Sibarani (pemulihan pasca Operasi)
  • Kastono (ayah Anindya)
Di tahun 2009 ini optimisme postif perlu dikembangkan. Saya percaya kita butuh hal tersebut kalau mau bertahan di tahun ini atau kita malah digilasnya.

Saya bersyukur Tuhan karena:
  • Diberkati Tuhan selama tahun 2008 melalui: kesehatan, hikmat, finansial.
  • Anak-anak yang terus tumbuh walau agak sulit diatur.
  • Saya merasa ada beberapa kepercayaan yang dipercayakan kepada saya dan biarlah teus membuat kita perlu membuktikan diri apakah kita layak dipercaya.
Mendung itu tak selamanya kelabu - Chrisye

Daniel Zacharias
education from womb to tomb