15 Januari 2009

Pameran Kesalehan

Galatia 1:10
Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.

Berkecimpung dalam dunia kerohanian ternyata tidak bebas dari bahaya. Dalam bidang kerohanian pun bahaya masih tetap mengintip kita. Bahaya yang dimaksud adalah: pameran kesalehan atau kemunafikan. Bila seringkali kita membahas ancaman terhadap rohani kita karena intervensi Iblis, maka sekarang kita juga membahas ancaman terhadap kondisi rohani kita yang bersumber dari diri kita sendiri.

KONTEKS MASA TUHAN YESUS
Di jaman Tuhan Yesus melayani, Ia sering menjumpai para rohaniawan yang mencari perkenanan manusia tetapi dengan jalan seolah-olah mereka sedang mencari perkenanan Allah. Ia menyebut perbuatan mereka itu sebagai perbuatan yang munafik.

Perbuatan munafik dalam bahasa Gerikanya adalah hupokrites yang artinya seorang pemain sandiwara yang sedang memerankan peran yang bukan dirinya. Jadi banyak rohaniawan di jaman itu yang memerankan peran yang bukan diri mereka sendiri. Yesus pernah menegur mereka dengan keras, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Mat 23:27).

Dari sekian banyak pameran kesalehan yang mereka buat maka Yesus pernah menegur tiga berganda lahan kemunafikan para ahli Taurat dan orang Farisi yang ditegur Yesus: memberi sedekah (Mat 6:1-4), doa (Mat 6:5-15), dan berpuasa (Mat 6:16-18). Dalam pembahasan ini kita menyoroti salah satunya yakni memberi sedekah.

Pameran Kesalehan: Memberi Sedekah (Mat 6:1-4)
Kata “sedekah” yang kita ambil alih dari bahasa Arab adalah terjemahan dari kata Ibrani “tsedaqa”, yang berarti “keadilan”. Memberi sedekah berarti: melakukan keadilan. Orang-orang Israel yang berkecukupan diminta perhatiannya oleh Allah untuk menolong orang-orang yang miskin dan orang-orang yang lemah, seperti perempuan-perempuan janda, anak-anak yatim, para budak, orang asing, dll (Ul 24:12-22; Ul 14:28, 16:11). Dengan memberikan sedekah maka mereka menjalankan “tsedaqa” (keadilan dan kebenaran) di hadapan Allah.

Namun proyek kasih sayang ini dijadikan proyek pamer kesalehan oleh orang-orang tertentu yang punya niat mencari perkenan manusia dengan berkedok mencari perkenanan Allah, padahal Yesus melarangnya, “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.” (Mat 6:1)

“Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.” (Mat 6:2).

Anjuran Yesus: Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

Tetapi yang kemudian timbul pertanyaan: Bukankah dengan menyembunyikan perbuatan baik sama artinya dengan meletakan pelita di bawah gantang dan itu sama artinya dengan betentangan dengan apa Yesus sendiri ajarkan?

Memang sangat tipis maksud antara menunjukkan perbuatan baik sebagai cerminan perbuatan Allah dan pameran kesalehan. Yesus menginginkan perbuatan baik sebagai cerminan perbuatan Allah layak dinyatakan tetapi mengingat bahaya kemunafikan lebih baik semua itu dikerjakan dengan “tersembunyi”. Yesus tidak sedang mempertentangkan hal “yang di luar” dengan “yang di dalam” kehidupan manusia tetapi ia menginginkan kesesuaiannya.

Orang benar sejati akan menampakkan kebenarannya melalui perbuatannya yang benar, kebenaran sejati akan dinyatakan di dalam kedisiplinannya bukan pada saat-saat tertentu yang dapat dilihat orang. Yesus menyebut hal ini sebagai “kewajiban agama” (6:1). Ia tidak mengatakan, “Jangan tidak mengerjakan kewajiban agamamu”. Ia bahkan juga tidak mengatakan, “Jangan tidak mengerjakan kewajiban agamamu di hadapan orang”. Yang Ia katakan adalah, “Jangan melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang, supaya dilihat mereka.” Dengan menyatakan hal ini, Yesus sedang berusaha mengungkapkan pentingnya motivasi. Motivasi perbuatan kita sama pentingnya dengan perbuatan itu sendiri. Ada selalu kemungkinan seorang pembawa terang Allah memakai terang itu untuk menerangi dirinya sendiri supaya dilihat dan dipuji orang, dan itu kecenderungan kita manusia.

A. B. Bruce merumuskan apa yang dimaksud Yesus bahwa kita harus ‘memamerkan’ kalau tergoda untuk ‘menyembunyikan’ dan kita harus ‘menyembunyikan’ kalau tergoda untuk ‘memamerkan’.

KONTEKS MASA PAULUS
Paulus dalam surat Galatia 1:10 menghadapi tantangan yang tidak main-main dari desakan ajaran orang Farisi yang mengajarkan bahwa sunat itu menyelamatkan. Bila mengikuti arus Paulus akan mendapat banyak pengikut dan dukungan, tetapi ia sendiri tahu sekalipun banyak pendukungnya pendapat itu salah besar.

Jawaban Paulus atas ajaran sesat itu membuat ia pernah menegur Petrus yang ternyata lebih mencari perkenanan manusia ketimbang perkenanan Allah. Petrus berlaku munafik agar tetap diterima orang-orang sebangsanya. Padahal Petrus sendiri dua kali pernah mengatakan kepada orang-orang Yahudi: pertama, "Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: “taat kepada kamu atau taat kepada Allah” (Kis 4:19); kedua, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (Kis 5:29). Teguran Paulus terkait dengan kemunafikan Petrus terekam dalam surat Gal 2:11-14:

11 Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah.
12 Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. 13 Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka.
14 Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: "Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?"

Dari kisah tersebut membuktikan bahwa bahaya rohani kemunafikan masih saja dapat mengancam bahkan rasul sekaliber Petrus sekalipun. Bahaya kemunafikan sedemikian rupa membuat kita seolah mengerjakan yang benar tetapi dengan motif yang keliru. Kita harus mengakui bahwa apa yang kita kerjakan baik dalam ibadah maupun dalam pelayanan terkadang dapat menutupi atau menyembunyikan isi hati kita yang sebenarnya, tetapi Allah mengetahuinya.

Paulus dalam tulisannya di surat I Tes 2:4-6 mencatat adanya kecenderungan mencari perkenanan Allah atau manusia dalam diri para pelayan Allah:

4 Sebaliknya, karena Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita.
5 Karena kami tidak pernah bermulut manis--hal itu kamu ketahui--dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi--Allah adalah saksi--
6 juga tidak pernah kami mencari pujian dari manusia, baik dari kamu, maupun dari orang-orang lain, sekalipun kami dapat berbuat demikian sebagai rasul-rasul Kristus

Kesimpulan:

  • Pembahasan ini tidak bermaksud membuat hidup kita menjadi terkotak-kotak menjadi dua bagian, tetapi agar kita mewaspadai ancaman kemunafikan yang berangkat dari diri kita sendiri manakala kita sedang melakukan pekerjaan yang mulia sekalipun.
  • Manakala kita menjalankan tugas pelayanan dan peribadahan, kita dapat saja terpancing untuk menurunkan niat kita dari mencari perkenanan Allah ke niat mencari perkenanan manusia.
  • Kita semua memiliki kecenderungan semacam itu tetapi marilah kita terus-menerus dengan jujur dan terbuka mengkaji motivasi kita dalam melayani dan beribadah kepada Allah.

Sumber:
Abineno, J. L. Ch. Khotbah di Bukit: Catatan-catatan Tentang Matius 5-7 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).
Ferguson, Sinclair B. Khotbah di Bukit: Cermin Kehidupan Sorgawi di Tengah Dunia Berdosa (Surabaya: LRII, 1999).
Fischer, John. 12 Langkah Penyembuhan Bagi Orang Farisi (Seperti Saya) (Jakarta: Immanuel, 2001).
Stambaugh, John dan Balch, David. Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994).
Stott, John. Khotbah di Bukit (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF), 1999.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Tidak ada komentar: