I Tawarikh 13:1-4
13:1 Daud berunding dengan pemimpin-pemimpin pasukan seribu dan pasukan seratus dan dengan semua pemuka.13:2 Berkatalah Daud kepada seluruh jemaah Israel: "Jika kamu anggap baik dan jika diperkenankan TUHAN, Allah kita, baiklah kita menyuruh orang kepada saudara-saudara kita yang masih tinggal di daerah-daerah orang Israel, dan di samping itu kepada para imam dan orang-orang Lewi yang ada di kota-kota yang dikelilingi tanah penggembalaan mereka, supaya mereka berkumpul kepada kita.13:3 Dan baiklah kita memindahkan tabut Allah kita ke tempat kita, sebab pada zaman Saul kita tidak mengindahkannya."13:4 Maka seluruh jemaah itu berkata, bahwa mereka akan berbuat demikian, sebab usul itu dianggap baik oleh segenap bangsa itu.
Apa yang menyebabkan orang merasa kering dan jenuh dengan kehidupan rohaninya? Apa yang menyebabkan orang dengan mudahnya menolak mengikuti ibadah atau menolak datang ke gereja? Mengapa kita merasa akrab dengan-Nya namun dalam kenyataannya kita tidak mencari hadirat-Nya?
Apa yang sedang dilakukan Daud?
Pembacaan kita hari ini dimulai dengan kisah Daud yang sedang melakukan perundingan dengan orang-orang penting dalam kerajaannya (ayat 1). Dapat dikatakan dengan kacamata modern bahwa mereka adalah para jenderal dan para menteri serta para pemimpin-pemimpin gereja. Dalam segi ini, dengan melakukan perundingan, Daud menunjukkan teladan yang positif yakni dengan mengedepankan aspek kebersamaan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang bangsa mereka hadapi. Segi lain yang tersirat di sini adalah Daud yang sekalipun adalah pemimpin dan pemegang otoritas tidak bekerja sendirian dan tidak otoriter tetapi sangat terbuka dan memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk turut mengambil keputusan. Sikap Daud itu tampak tatkala ia berkata: "Jika kamu anggap baik .... baiklah kita" (ayat 2). Daud sangat konsisten memegang teguh kebersamaan, baginya keakraban dengan Allah tidak terlepas dari sebuah persekutuan dan kerjasama yang baik dengan sesama. Pada akhirnya rakyat menyambut kebersamaan itu dengan berkata bahwa mereka akan berbuat demikian, sebab usul itu dianggap baik oleh segenap bangsa itu.
Apa yang mereka rencanakan?
Keputusan Daud yang sangat demokratis itu tidak saja dalam konteks mengatur strategi perang dalam kepentingan politis tetapi dalam urusan memecahkan masalah keagaamaan (spritual) menyangkut rencana penempatan tabut Allah pada tempat yang seharusnya.
Mengapa tabut itu harus dipindahkan?
Alasan Historis
Rupa-rupanya penempatan tabut ini memiliki sejarahnya sendiri. Pada masa Daud pusat tempat penyembahan bukanlah orang percaya tetapi tabernakel. Dan di bawah pemerintahan Saul yang lemah dan semberono, penekanan terhadap tabernakel sepertinya sudah menyimpang. Selama masa tersebut suatu bagian tertentu dari perabotan suci telah dipisahkan dari tabernakel. Musuh yakni orang Filistin telah membawa tabut perjanjian itu dengan kereta.
Dengan hilangnya tabut berarti kehadiran Allah telah pergi, karena saat itu lambang kehadiran Allah di dalam kemuliaan-Nya terletak pada tabut tersebut. Tabut itu sangat penting bagi Tuhan sehingga Ia memberikan perincian-perincian yang sangat khusus kepada Musa mengenai bagaimana membangunnya dan membuatnya dapat diangkut sehingga orang Israel dapat memindahkan lambang kehadiran Allah ini melalui padang gurun dan masuk ke tanah Kanaan sebagai tempat pusat penyembahan. Dan di mana pun tabut perjanjian ditempatkan, kemuliaan Allah menetap di sana ~ yang berarti terang, kemuliaan shenkinah Allah, menetap di atas tabut perjanjian.
Ketika Daud mengambil alih tahta, ia menyadari bahwa tidak ada tabut perjanjian, tidak ada tempat pusat penyembahan. Karena itu, perjalanan spiritual orang Israel, menjadi seadanya saja. Padahal hati mereka hangat mengikuti Allah. Sebagai pemimpin mereka, Daud mengetahui bahwa ia perlu mengembalikan bagian dari perabotan suci itu ke tempat semestinya. Ia perlu menempatkan seperti yang sudah Allah rancang.
Pada masa Samuel terjadi peperangan antara orang Filistin dan orang Israel yang berakibat pada kekalahan orang Isarel [I Samuel 4:2]. Dalam peperangan itu orang Filistin merampas tabut itu [4:11] dan dilarikan ke Asdod dan diletakan ke kuil Dagon persis di sisi Dagon [5:1-2]. Namun karena Allah memberi pelajaran kepada orang Filistin dengan banyak perkara yang mengerikan maka mereka memindahkannya ke Gat [5:8] lalu ke Ekron [5:10], dan hal yang sama terjadi pula dengan Gat dan Ekron [5:9-10], maka akhirnya setelah 7 bulan menanggung sengara orang Filistin mengembalikan tabut itu kepada orang Israel [I Sam 6] yang diletakan awalnya di Bet-Semes [I Sam 6:15], tetapi karena orang Bet-Semes melancangi tabut itu maka ada 70 orang tewas sebagai hukumannya. Karena ketakutan maka mereka meminta orang Kiryat Yearim (sekitar 15 km sebelah barat Yerusalem) untuk mengambil tabut itu. Dan orang Kiryat Yearim menyanggupinya dan meletakannya di rumah Abinadab [7:1]. Orang Israel takut kepada tabut perjanjian itu dan membiarkannya terus di Kiryat Yearim sampai zaman Daud. Tabut tidak dikembalikan ke Silo karena daerah tersebut sudah dimusnahkan Filistin [Maz 78:59-61; Yer 7:14; 26:6].
Alasan Daud
Daud pasti pernah mendengar dahsyatnya murka Allah melalui tabut perjanjian itu baik terhadap orang Filistin maupun terhadap orang Israel, tetapi mengapa ia masih juga berusaha untuk membawa kembali tabut itu bukankah itu sama artinya mencari masalah baru? Menurut Daud, "sebab pada zaman Saul kita tidak mengindahkannya" (I Taw 5:3). Dapat dibayangkan bahwa mereka mungkin tidak mengindahkannya bukan karena mereka acuh tak acuh tetapi karena ketakutan mereka mendengar kedahsyatan murka Allah bila tidak benar menangani tabut tersebut. Sayangnya Saul lebih menghargai "Ikabod" (kemuliaan Allah yang sudah pergi) daripada membayar harga untuk mencari "kabod" (kemuliaan Allah).
Sekalipun Daud tahu bahwa memindahkan tabut perjanjian itu bukan hal yang tidak mengandung resiko, tetapi kerinduannya untuk tetap menghadirkan Allah di tengah-tengah rakyat dan bangsanya melebihi ketakutannya. Ketika Daud mengambil alih tahta, ia menyadari bahwa tidak ada tabut perjanjian, berarti tidak ada tempat pusat penyembahan, berarti tidak ada hadirat Allah. Karena itu, perjalanan spiritual orang Israel, menjadi seadanya saja. Padahal hati mereka hangat mengikuti Allah. Sebagai pemimpin mereka, Daud mengetahui bahwa ia perlu mengembalikan bagian dari perabotan suci itu ke tempat semestinya. Ia perlu menempatkan seperti yang sudah Allah rancang.
Teladan Daud
Hati Daud terpaku pada hadirat Allah, menurutnya hanya dekat dengan Allah saja ia dapat tenang (Maz 62:2), atau dengan kata lain tatkala ia memasuki hadirat-Nya maka ia merasakan ketenangan. Orang seperti Daud adalah orang yang akan berani membayar berapa pun harganya untuk suatu 'kehadiran Allah". Baginya harga berapapun jika terpaksa ia keluarkan tak sebanding bila ia bisa kembali menghadirkan hadirat Allah di tengah-tengah bangsanya. Daud tidak mau tenggelam dengan ketakutan orang-orang di jaman Saul. Daud melakukan terobosan yang belum pernah ada sebelumnya dan beresiko sangat tinggi.
Daud adalah orang peduli tentang hadirat atau kehadiran Allah. Bila Tuhan berkata-kata di dalam bahasa kita sekarang mengenai Daud maka Ia akan berkata: "Aku mendapatkan Daud sebagai orang yang peduli akan perkara-perkara yang Aku peduli". Ia adalah seorang yang hatinya berdenyut seirama dengan hati-Ku"
Keseharian Kita
Di dalam keluarga Allah ada orang-orang dengan dua kategori:
Pertama, mereka yang menghabiskan banyak waktu di "tempat pengapungan duniawi", mereka meratap dan mengeluh dan kemudian kembali dari perjalanan-perjalanan yang jauh menyimpang dari rencana dan kehendak-Nya.
Kedua, mereka tidak berani pergi jauh menyimpang sebelum mereka mulai memikirkan di mana mereka berada. Mereka segara kembali ke dalam barisan, karena mereka 'mencari hadirat-Nya' bukan menjauhi atau mengusir hadirat-Nya. Bagi orang-orang semacam ini, tidak ada yang tidak penting di dalam hubungan mereka dengan Allah. Tidak ada yang lebih penting yang dapat menginterupsi hubungan mereka dengan Allah termasuk ketakutan mereka. Jumlah orang yang mau mencari hadirat Allah dan mau membayar harganya tidaklah banyak, tetapi Daud justru seperti itu.
A.W. Tozer seorang teolog dan penulis Kristen dalam bukunya yang berjudul "Worship and Entertainment" merasa begitu prihatin dengan hilangnya perasaan akan adanya hadirat Allah dalam hati gereja. Bagi Tozer kurangnya rasa hormat yang dilakukan gereja tatkala beribadah menunjukkan bahwa gereja tidak berpikir bahwa hadirat Tuhan ada dalam ibadah mereka. Tozer sendiri memperhatikan bahwa kerinduan dan keinginan akan suatu kehidupan yang rohani sedang menghilang dan digantikan dengan sekularisme duniawi. Lingkungan semacam ini tidak akan menghasilkan jemaat yang dibangun (kebangunan rohani). Sebagai akibatnya ia merasa mungkin Tuhan telah mengarahkan pandangan-Nya ke arah lain, jika gereja tidak datang kembali kepada-Nya, pada suatu hubungan dengan Dia dan bukan hanya dengan berkat-berkat-Nya.
Ketika kita sampai pada pengamatan kehidupan spiritual, maka mereka yang mencari hadirat Allah di dalam hati dan perbuatannya memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap semua yang terkait dengan pekerjaan pelayanan-Nya. Sehingga ketika kita melihat hidup kita tidak tidak segaris dengan rencana-Nya maka kita perlu membawa kembali kehidupan kita segaris dengan kemauan-Nya.
Sekarang kita mulai berkata,"Aku tidak ketakutan terhadap Tuhan, karena aku mengasihi-Nya, tetapi sekarang saya telah memiliki rasa hormat terhadap kemuliaan dan perkara-perkara kudus dari Tuhan, yang sebelumnya tidak saya miliki".
Sudah saatnya gereja meminta 'Kabod' (kemuliaan) Allah terus memancar dalam dirinya dan ibadahnya dan bukan mempertahankan 'Ikabod' (kemuliaan Tuhan telah pergi).
Daud ingin memberi teladan pada manusia masa kini bahwa apa pun juga tidak ada yang dapat menghalangi relasinya yang akrab dengan Allah. Ia lebih baik mengorbankan keakrabannya dengan yang lain dan membangun keakrabannya dengan Allah. Baginya hadirat Allah adalah harga yang pantas untuk mengorbankan nyawa sekalipun.
Daniel Zacharias
education from womb to tomb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar