26 Desember 2007

Natal Tahun Ini

Saya bersyukur untuk Natal Edisi 2007. Ada banyak cara Tuhan menyentuh hidup saya. Sehingga tahun ini khususnya di bulan Desember ini ada banyak kejutan yang Ia perbuat untuk saya.

Tuhan,
Saya bersyukur buat anugerah keselamatan yang Engkau beri yang tiada taranya, dan tak seorang pun yang dapat menyediakannya!

Saya bersyukur karena berkat-Mu saya bisa dimampukan mengirim keluarga saya berlibur di tanah kelahirannya pada saat Natal meskipun di tahun ini saya harus merayakan Natal sendiri

Saya bersyukur karena ibadah tanggal 24 Desember dan tanggal 25 Desember dihadiri begitu oleh jemaat yang walau libur panjang tetap berusaha untuk hadir itu juga tentunya karena Tuhan

Saya bersyukur karena punya beberapa teman majelis yang selalu setia bersama-sama bekerja dan terkadang siap juga untuk menghadapi berbagai perubahan mendadak

Saya bersyukur saya diberi Tuhan kemudahan untuk melenggang di jalan raya sekarang

Saya bersyukur tempat saya melayani dulu terjadi pemulihan yang luar biasa, terima kasih Tuhan

Saya bersyukur keluarga diberi kesehatan dan diberkati, terima kasih buat isteri yang setia, baik, penuh pengertian, demikian pula anak-anak yang cerdas, lincah, yang membuat ayah ibunya senantiasa berpikir ulang terhadap apa yang mereka katakan dan lakukan

Saya bersyukur memiliki orangtua dan adik-adik yang senantiasa belajar untuk tetap mempertahankan nilai-nilai keluarga sekalipun tinggal berjauhan

Natal kemarin memang tidak lengkap yang datang untuk kumpul berdoa mengingat satu sama lain berbeda tempat tinggal yang sangat jauh ... tetapi saling bertelpon sudah mengatasi jarak ...

Tuhan terima kasih untuk tiga kotbah terakhir yang sekalipun saya sendiri yang menyampaikan tetapi itu menjadi sebuah rhema buat diri sendiri .... hidup menghidupi kotbah sendiri ...

Terima kasih Tuhan untuk peristiwa besar ini dan terima kasih karena telah memperkenankan aku berada di dalamnya

Gloria in excelsis Deo!

Daniel Zacharias
sehari sesudah Natal

20 Desember 2007

Perihal Ortodoksi

Joas Adiprasetya - 2006

Berikut kutipan diskusi yang berlangsung di milis cyber-gki yang merambah ke masalah ortodoksi. Diedit untuk penyesuaian seperlunya. Ortodoksi buat saya lebih sebagai sebuah mekanisme bukan untuk membedakan dengan yg heterodoks, namun untuk menjaga praksis keseharian dan ritual kita berjalan dalam kesinambungan dengan masa silam (tradisi) dan tetap menjadi aktual di masa kini (relevansi) dan memberi kekuatan untuk memasuki misteri masa depan (ekspektasi). karena itu ortodoksi hanyalah hamba dari ortopraksis dan ortopietas. lex orandi, lex credendi (aturan ibadah menentukan aturan pengajaran==ortopietas menentukan ortodoksi), sekaligus lex sequendi, lex credendi (aturan mengikuti kristus menentukan aturan pengajaran==ortopraksis menentukan ortodoksi).

Jadi, ortodoksi baru ada artinya jika dilokalisir dalam sebuah komunitas yg memiliki sistem maknanya masing-masing. mereka yang berbeda dengan kita (non-ortodoks) tidak harus dimaknai heterodoks, sejauh mereka yang berbeda itu tidak mendesakkan secara paksa ortodoksinya sendiri ke dalam ortodoksi kita. jika mereka melakukan, maka dengan tegas kita menyatakan itu heterodoks dan heretik. itu sebabnya dengan tegas saya mengatakan ineransi yg dipaksakan masuk ke gki … sebagai heretik. ia bisa saja ortodoks dalam sistem makna injili-fundamentalis. tapi tidak dalam sistem makna komunitas bernama gki.

sistem makna itu tidak harus lengkap dan komplet. cukup jika ia memberi makna bagi hidup yg otentik bagi pemakainya. malah, ia HARUS diakui tak pernah utuh dan komplit. dan itu sebabnya harus terjadi komunikasi dan interaksi tanpa-paksaan antara satu ortodoksi dengan ortodoksi lain. yang pada akhirnya bisa mengubah wajah ortodoksi sebuah komunitas tersebut. itu sebabnya ortodoksi selalu dinamis dan terbuka.

dalam hal ini saya tertarik dan simpatik dengan cara berpikir brian mclaren, seorang injili (bahkan dianggap satu dari “25 most influential evangelicals in america” oleh majalah Time). dia mengatakan bahwa ortodoksi itu selalu tak lengkap dan karena itu membutuhkan yg lain untuk makin lengkap. bukunya, generous orthodoxy, memiliki sub-title begitu panjang:
WHY I AM a missional + evangelical + post/protestant + liberal/conservative + mystical/poetic + biblical + charismatic/contemplative + fundamentalist/calvinist + anabaptist/anglican + methodist + catholic + green + incarnational + depressed-yet-hopeful + emergent + unfinished CHRISTIAN

betapa berbedanya cara berpikir mclaren dengan cara berpikir injili-fundamentalis di milis ini akhir-akhir ini … salah satu tulisan mclaren yg mungkin relevan juga dengan isu agama-agama lain berjudul: “If Christianity Is True, People I Love Will Burn in Hell”. lihat cara berpikirnya, yg sekalipun eksklusivis mampu memberi nuansa yg berbeda banyak kelompok injili-fundamentalis. jadinya, lagi-lagi ini memang bukan soal injili vs. ekumenikal, tapi soal fundamentalism vs. nonfundamentalisme. mclaren bisa disebut postfundamentalist evangelical as opposed to fundamentalist-evangelical.

yg menarik buat saya dari artikel mclaren ini adalah posisi akhirnya:
1. “if Jess becomes a universalist, at least she’ll still be a Christian. That’s better than her giving up her whole faith.” ini sendiri respon mengejutkan dari seorang injili, yang membuktikan diri injili yang post-fundamentalist.
tapi muncul dilema baru:
2. “But she won’t be able to be a member of Potomac Community Church.”
dan akhirnya keputusan yang diambilnya:
3. “If Jess isn’t welcome at PCC, I don’t want to be welcome either.”
inilah generous orthodoxy buat saya. tidak ada rasanya yg melarang orang untuk meyakini satu posisi. entah itu eksklusivisme atau pluralisme atau apapun … pasti kemudian si fundamentalis yg membaca ini akan berkata: “ya, tapi keluar saja dari gki.” masalahnya kemudian adalah apakah gki fundamentalis? kalau si tokoh dalam artikel mclaren menjadi anggota gki, maka dilema no. 2 tidak akan terjadi. sama seperti dilema tersebut tidak akan terjadi di gereja mclaren sendiri (cedar ridge community church, http://www.crcc.org — lih. bagian “Our Values”).

Rasanya sub-title buku mclaren itu akan menggelisahkan seorang fundamentalis totok yg terbiasa menebar racun polaristik: liberal vs.injili dan memakai kerangka dikotomi ini untuk mengatakan: kami benar, yg lain sesat. ini racun berbahaya sekali. kalau saya melihat kembali arsip salah satu milis yang dibuat untuk menandingi cyber-gki, polarisasi ini begitu kentalnya, dan kemudian mulailah orang-orang tertentu distigmatisasi berdasarkan polarisasi tersebut, tentu dengan sudah terlebih dahulu memposisikan diri sebagai injili dan yg lain sebagai “liberal” …. tidak peduli bahwa ternyata yang lain itu bukan injili dan bukan liberal. mereka memperkosa kekayaan tradisi kristen yg multi-arus itu hanya ke dua arus hitam-putih: injili-liberal, yg bisa dibahasakan secara berbeda: benar-salah. kerangka polaristik itu sudah begitu menjadi berhala, hingga alkitab sekedar menjadi tukang pukul saja.
sudah saatnya gki menjalani terapi detoksifikasi terhadap racun ini.

sumber:
http://joas.berteologi.net/archives/25

Efesus, Ketika Ortodoksi Terlalu Mahal

Eka Darmaputera - 2002

KINI yang tampak hanyalah puing yang terpuruk sepanjang enam mil. Tak ada lagi kapal yang bisa merapat ke pantainya. Padahal di abad-abad pertama, Efesus adalah pelabuhan tersibuk di kawasan Asia Kecil. Itu lumrah belaka, bila di antara tujuh jemaat yang disebut-sebut dalam kitab Wahyu, jemaat di kota inilah yang disapa pertama-tama.

Efesus memang bukan ibu kota provinsi. Namun, pamornya jauh lebih berkilau ketimbang Pergamus, ibu kota yang sebenarnya. Ia terkenal dengan julukan ”metropolis pertama dan terbesar di Asia”. Bahkan saking kagumnya, seorang pujangga, menyebutnya ”Lumen Asiae” atau ”Cahaya Asia”.

Sebagai kota pelabuhan terbesar, dan sekaligus titik temu tiga jalur utama perdagangan darat, Efesus adalah salah satu kota niaga terpenting di seluruh kekaisaran Roma juga pintu gerbang antara Asia dan Eropa. Gubernur Roma yang baru akan mulai bertugas harus mendarat dulu di Efesus sebelum ke Pergamus.

Sebaliknya, para saudagar yang akan ke Roma mesti bertolak dari sini. Ketika para martir Kristen diangkut ke Roma untuk dijadikan mangsa singa dan sebagainya, mereka juga diberangkatkan dari sini sehingga Ignatius menyebut Efesus sebagai ”Jalan Raya Para Syuhada”.

DALAM bayangan kita, kota sebesar, sesekular dan sekomersial Efesus pasti membuat kehidupan penduduknya jauh dari sifat religius dan norma-norma moral yang terpuji. Dalam hal moralitas, dugaan Anda benar. Tapi tentang religiositasnya, Anda salah. Kota ini adalah pusat pemujaan Dewi Artemis. Kuilnya dibangun begitu indah sehingga digolongkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Di samping itu, Efesus juga kesohor dengan kuil-kuil pemujaan kaisar serta dewa-dewi lainnya. Singkat kata, Efesus adalah lahan subur bagi agama-agama kafir. Tapi bagaimana religiositas bisa berdampingan dengan imoralitas? O, bisa saja! Ini amat biasa di mana-mana. Juga di masyarakat kita, bukan?

Di Efesus, keduanya terpadu dan menyatu harmonis sekali, melalui kehadiran ratusan gadis cantik jelita yang berfungsi rangkap sebagai imam dan sebagai pelacur suci di kuil-kuil Artemis. Orang-orang Romawi menyatukan diri dengan pujaan mereka dengan cara menyetubuhi pelacur-pelacur ”suci” itu. Di samping sebagai sentra kehidupan seks bebas, Efesus juga merupakan pusat berkumpulnya penjahat-penjahat buronan kelas kakap dari segala penjuru. Di sini konon berlaku aturan, penjahat apa pun yang berhasil mencapai Efesus akan memperoleh suaka, dan bebas dari kejaran hukum. Melihat peri kehidupan moral seperti ini, pantaslah Heraklitus, filsuf Yunani pra-Socrates yang paling terkemuka dikenal sebagai ”The Weeping Philosopher”. Filsuf yang menangis. Ia menangisi kebobrokan dan keborokan kotanya.

SAYA tak akan berbicara lebih panjang lagi mengenai Kota Efesus. Informasi di atas sekadar dimaksudkan agar Anda memperoleh gambaran, bagaimana sulitnya hidup setia sebagai jemaat di tengah-tengah konteks seperti itu. Sulitnya menerapkan ”filsafat ikan” : di dalam air, tapi tidak tenggelam. Tapi justru dalam hal inilah, jemaat ini istimewa. Wahyu Yohanes menjelaskan, jemaat ini memperoleh pujian yang luar biasa. Jarang-jarang Tuhan memuji sebuah jemaat seperti itu. Pertama, karena jemaat ini hidup. Giat, aktif, dan kerja keras. Tuhan suka pada jemaat yang dinamis bukan jemaat yang beku atau suam-suam kuku atau yang mati enggan, hidup pun tak mau. Kedua, karena jemaat ini amat serius dengan imannya. ”Committed” penuh terhadap kemurnian ajaran. Karena itu, mereka sangat mewaspadai pengajar-pengajar sesat dan nabi-nabi palsu. Yohanes menyebut mereka ”tidak sabar terhadap orang-orang jahat”.
Bagi mereka, ajaran iman itu bukan ”nasi rames”, comot sana comot sini asal enak, tak peduli apakah perut akan sakit dibuatnya nanti. Pengetahuan mereka akan ajaran yang benar memampukan mereka menelanjangi para serigala yang berbulu domba, dan ”mendapati mereka pendusta”. Ketiga, jemaat ini dipuji karena keuletan, ketabahan, dan kerelaan mereka untuk menderita dan berkorban demi Kristus. ”Engkau tetap sabar dan menderita oleh karena namaKu; dan engkau tidak mengenal lelah”, kata Tuhan. Sedikit sekali, bukan, jemaat yang seideal ini? Aktif dalam kegiatan, serius dalam ajaran, dan berani dalam berkorban. Saya mengenal banyak jemaat yang aktif, sayang ajarannya amburadul penuh tahayul. Ada lagi yang ajarannya lempang, tapi lalu jadi dingin dan kaku. Sedang yang lain, ramai dengan kegiatan serta serius dalam ajaran, tapi kurang tahan berkorban. Jemaat Efesus tidak!

TOH dalam Alkitab, jarang-jarang kita membaca kecaman Tuhan yang sekeras seperti yang ditujukanNya kepada jemaat yang ”ideal” ini. Jemaat Efesus diingatkan Tuhan, tentang ”betapa dalamnya engkau telah jatuh”. Diserukan, ”Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan”.

Apa gerangan kesalahan fatal jemaat teladan ini? Menurut kitab Wahyu, ”Aku mencela engkau karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula”. ”Meninggalkan kasih yang semula”. Rupa-rupanya yang terjadi adalah begitu fanatiknya jemaat ini memegangi ortodoksi, mereka lalu melihat yang lain sebagai musuh yang harus ditumpas, bukan sebagai domba yang mesti dicari, atau sebagai sesama yang mesti dikasihi. Mereka juga terserang penyakit sombong rohani, merasa diri benar sendiri. Di dalam, saling menuding. Dan ke luar, eksklusif serta menutup diri. Itulah yang terjadi, ketika kasih ditinggalkan.

Komitmen terhadap ortodoksi tentu saja penting. Tuhan memuji jemaat Efesus dalam hal ini. Jemaat yang ”jorok” dalam hal ajaran, artinya apa saja ditelan asal enak, akan menjadi jemaat yang membiarkan diri dipimpin oleh spekulasi dan teori rekaan manusia, bukan lagi oleh kebenaran Firman Tuhan. Yang boleh jadi menarik dan menyenangkan, tapi pasti menyesatkan. Saya melihat gejala mengerikan ini kian mengharu-biru gereja-gereja kita di Indoensia. Waspadalah!

Namun, toh jangan sekali-kali mempertahankan dan memper”tuhan”kan doktrin dengan mengorbankan kasih! Sebab kebenaran tanpa kasih, bukan lagi kebenaran. Lagipula ketika kasih ditinggalkan, apa yang tinggal? Sebagaimana halnya jiwa, walau memang bukan segala-galanya, tapi bila manusia kehilangan jiwa apa lagi yang tersisa?

Kasih tidak berarti mentoleransi kesesatan, apa lagi kebejatan. Bila kebenaran bisa ditegakkan tanpa kasih, kasih tidak dapat diwujudkan tanpa kebenaran. Bedanya adalah kasih berusaha mengoreksi, bukan memvonis mati. Kasih mengampuni, bukan mengutuki. Kasih membawa kembali, bukan mengusir pergi.

Kepedulian utama ortodoksi adalah seperangkat prinsip kebenaran pasti, sedangkan kasih, kepedulian utamanya adalah manusia. Dan tak syak lagi, bagi Tuhan, manusia adalah yang terpenting. Paling sedikit, manusia lebih penting dari prinsip. Bila tidak demikian, itu berarti kita telah membayar terlalu mahal. ”Siapa bertelinga hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan roh kepadanya”.

Sumber:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0203/11/fea01.html

18 Desember 2007

ORTODOKSI, ORTOPATHI, dan ORTOPRAKSIS

Dalam Konteks GEREJA KRISTEN OIKOUMENE di Indonesia[1]


PENDAHULUAN
Dalam perjalanan ziarahnya di dunia gereja seringkali diibaratkan seperti “bahtera” yang mengarungi lautan (lih. Nyanyikanlah Kidung Baru 111), yang mengarahkan haluannya ke pantai seberang yang adalah ‘labuhan Tuhan’. Tatkala hendak mencapai tujuannya bahtera itu kerap menghadapi banyak tantangan yang dilukiskan dalam lagu tersebut seperti ‘samudera yang mengamuk’, ‘badai yang menderu’, bahkan laksana ‘gelombang yang menghempas’. Apa yang dilukiskan oleh kidung tersebut memang bukan omong kosong tetapi merupakan realitas yang tak dapat dihindari gereja segala abad dan tempat.

Bila gereja telah digambarkan sebagai bahtera maka jemaat pasti menginginkan bahtera tersebut bergerak maju dan akhirnya mencapai labuhan abadi. Namun pada kenyataannya bahtera tersebut sering tak berdaya menghadapi tantangan terpaan gelombang besar sehingga ia terseret dan kemudian ditenggelamkan. Atau mungkin bahtera tersebut memang tidak terseret gelombang besar tetapi ia tidak dapat bergerak kemana-mana karena “suka berhenti, tak menempuh samudera, tak ingin berjerih dan hanya masa jayanya yang dikenang” (bait ke-2 dari NKB 111). Bila “bahtera” tersebut merupakan ungkapan yang disepakati oleh GEREJA KRISTEN OIKOUMENE di Indonesia (GKO) untuk menggambarkan “gereja”, sebagaimana yang dilambangkan dalam logo GKO, maka tak seorang pun dari antara kita selaku jemaat maupun pelayan yang menginginkan GKO menjadi bahtera yang tenggelam atau karam, malah sebaliknya kita menginginkan bahtera GKO bergerak maju menuju labuhan abadi. Pelukisan gereja seperti gambaran tersebut hendaknya membuat kita menjadi lebih peka, lebih kritis, dan lebih kreatif dalam menilai, menghadapi, serta menyikapi semua tantangan secara lebih obyektif. Sejauh ini gelombang yang kita temui dalam perjalanan ziarah kita sebagai gereja adalah: banyaknya tantangan yang mau tidak mau harus kita hadapi (irresistible risk) dan banyaknya tantangan yang seharusnya tidak perlu kita hadapi bahkan seharusnya tak perlu ada. Melalui kenyataan ini dapat disimpulkan sementara waktu bahwa secara global tantangan yang dihadapi gereja ada yang bersifat positif dan ada pula yang negatif. Gereja ditantang untuk maju di satu tetapi di sisi lain gereja ditantang berbagai kerumitan sehingga tak pernah maju-maju bahkan ada satu dua gereja yang terseret dalam kompromi yang akibatnya ia kehilangan ‘rasa asinnya sehingga diinjak-injak orang’ (Mat 5). Kedua tantangan baik positif maupun negatif tidak begitu saja dapat diraih atau dengan mudah dapat kita atasi. Baik untuk mengatasi tantangan yang negatif maupun meraih tantangan yang positif diperlukan energi yang tidak sedikit baik yang menyangkut doa, daya, bahkan dana. Karena itu tiba saatnya harus dipikirkan bagaimana caranya agar gereja tetap survive tetapi tidak seperti “bonsai”?

Melalui tulisan ini GKO terlebih dahulu harus berani mengadakan rekoreksi terhadap kemungkinan yang menyangkut potensi dirinya dalam mengatasi tantangan negatif dan meraih tantangan yang positif. Rekoreksi semacam ini membutuhkan parameter yang mampu melihat secara jelas kekurangannya (weakness) dan kemajuan apa saja yang sudah dicapai (strength). Penulis mengusulkan di sini untuk melihat tiga ranah yang dapat membantu GKO melihat dengan lebih jernih dirinya sendiri melalui “gko3” atau “gerakan kesadaran ortodoksi, ortopathi, dan ortopraksi.” [2] Perlu diperhatikan di sini bahwa prakondisi dalam pengaplikasian gerakan ini membutuhkan sebuah pengamatan dan pengakuan yang tingkat keobyektifitasannya sangat tinggi dan menyeluruh. Di sisi lain diperlukan ketulusan dan kejujuran dari GKO sendiri untuk mengakui kekurangan-kekurangannya (weaknesses), serta dengan kerja keras memotivasi dirinya sendiri untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut.

ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Baik ortodoksi, ortopathi, maupun ortopraksis ketiganya mengandung kata Yunani orthos yang berarti “benar”. Bila digabungkan dengan kata lain maka kata ini menjadi kata sifat yang menerangkan bahwa kata lain yang terkait dengan kata ini dalam posisi penilaian dianggap benar. Pemahaman teologis tentang kata “benar” di sini tidak bisa terlepas dari suatu titik tolak penilaian yang bersumber dari sumber kebenaran itu yakni Allah. “Benar” di sini bukan kebenaran filosofis dan antroposentris tetapi Kristosentris yang bertolak dari Alkitab sebagai parameternya.

Ortodoksi berasal dari dua kata Yunani yakni orthos yang berarti “benar” dan doxa yang secara harafiah berarti “kemuliaan, penghormatan, ibadah, serta pendapat”. Kata ini berakar dari kata Yunani dokeo yang berarti “pikiran, pendapat atau dugaan”. Sehingga arti frasa ini dalam perkembangan selanjutnya berarti ajaran lurus atau ajaran benar tentang Allah yang berimplikasi pada sebuah usaha pemahaman kebenaran yang pada gilirannya terwujud di dalam pola tingkah yang menjadi kepujian bagi Allah.

Ortopathi berasal dari dua kata Yunani yakni orthos yang berarti “benar” dan pathos yang berarti “afeksi, sikap hati, dan keinginan”. Frasa ini berarti sikap hati yang lurus atau benar terhadap Allah. Di dalam kitab hikmat, pengetahuan akan Allah (hikmat) hanya dimiliki oleh orang yang takut akan Allah. Dalam kisah Ayub terlihat bagaimana Ayub sekalipun menderita ia memiliki ortopathi terhadap Allah dan sesudah melewati berbagai pembentukan sikap melalui penderitaan, Ayub akhirnya tiba pada pengenalan yang akrab akan Allah. Iman, kasih, harap, takut, taat kepada Allah menjadi penggerak bagi arah dan kemajuan pengenalan teologis seseorang.

Ortopraksi berasal dari dua kata yakni Yunani orthos yang berarti “benar” dan praxis yang berarti “tindakan atau kerja”. Frasa ini berarti tindakan yang benar berdasarkan terang kebenaran Allah. Pembentukan pemahaman teologi yang benar tidak dapat dipisahkan dari ungkapan praktis di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam pelayanan. Di dalam pola pemuridan Yesus Kristus (yang juga diikuti oleh para rasul-Nya antara lain Paulus), terlihat bahwa pendidikan teologis bersifat holistik. Petunjuk-petunjuk-Nya tentang pelayanan ialah praxis bermuatan teologis dan pengajaran-pengajaran teologis-Nya pun bermuatan praxis.

ORTHODOKSI
Bila berbicara tentang theologia vera (Lat. “teologi yang benar”, sebagaimana yang diajukan Luther) maka GKO sampai dengan detik ini (tahun 2002) belum memiliki suatu kepastian doktrin yang termuat dalam istilah Dieter Becker (Pedoman Dogmatika: 1991, p. 7) yakni conclusiones theologicae (konklusi teologi). Dan wacana yang sudah terbentuk saat ini baru terbatas pada jenjang opiniones theologicae (opini teologi).

Situasi ini sebenarnya di satu sisi sangatlah riskan dan di titik lain tampak begitu gamang. Disebut sangat riskan, karena dengan belum dimilikinya sebuah dokumen doktrin yang resmi maka GKO dengan mudah disusupi berbagai macam teologi majemuk (bisa saja berupa teologi Alkitabiah sebagai hasil eksegese atau sebaliknya berupa teologi selera yang bersifat eisegese) yang masuk dengan mudahnya tanpa halangan yang berarti. Semua teologi yang sedang berlangsung adalah konsep-konsep abstrak yang personalisitik, disintegral, serta verbal (discourse level) yang isinya sendiri belum teruji dan diuji secara obyektif mengingat adanya hal gamang yang sangat mempengaruhi keputusan penetapan terhadap teologi yang benar (conclusiones theologicae). Beberapa pendeta dan penatua berusaha mencoba menjadikan diri mereka sebagai filter dengan sebuah obsesi theologia vera terhadap semua kemungkinan masuknya beberapa pengaruh ajaran-ajaran tetapi pada kenyataannya justru menimbulkan persoalan baru yang disebabkan oleh hal gamang yang antara lain:

1. Ketidakjelasan posisi teologi. Pola berteologi di Indonesia yang tidak tegas secara konsep dan praksis dan mudah sekali saling mempengaruhi atau saling dipengaruhi (menyontek) menimbulkan kesulitan dalam penentuan posisi teologi GKO baik di kalangan klerus maupun jemaat. Misalnya ada klerus[3] atau jemaat yang mengaku sebagai penganut Calvinis ternyata tidak mengetahui secara mendalam ajaran pokok Calvin dan perkembangannya yang pada kenyataannya telah diter-jemahkan dalam tradisi-tradisi dan aliran-aliran gereja dan beberapa di antaranya hadir dalam bentuk tafsiran Alkitab. Perkembangan ajaran Calvinis sudah sedemikian rupa terurai dan tercampur lalu kemudian membentuk tradisi gereja dan aliran-aliran baru sehingga sulit mencari benang merah ajarannya secara tuntas dalam kehidupan berjemaat di GKO. Lain halnya dengan kehidupan berjemaat di Amerika yang dengan tegas dapat dibedakan posisi teologi mereka apakah mereka itu penganut Prebisterian, Baptis atau bahkan Karismatik.

2. Para pendeta GKO memiliki latar belakang gereja asal yang berbeda-beda yang mau tidak mau telah membentuk pola pikir teologisnya, hal ini makin diperberat dengan latar belakang pendidikan teologi para pendeta yang ternyata juga sangat majemuk. Kemajemukan teologi ini disatu sisi memang dapat menjadi sebuah sentuhan oikumenis tersendiri, tetapi di saat yang sama hal ini juga merupakan kenisbian yang membingungkan. Kondisi ini menghasilkan kontribusi dalam jemaat yang disebut dengan istilah the overlaping theology. Sekalipun banyak yang berangkat dari latar belakang gereja atau teologi reformasi tetapi tidak dapat dipungkiri dan tanpa disadari berlatar belakang Lutheran, Calvinis, Baptis, dll. Dan jaman antara Calvin dengan para pendeta GKO sudah terjadi perkembangan-perkembangan yang mengakibatkan Calvinisme tidak dapat disamakan begitu saja dengan ajaran Calvin[4]. Hal ini mungkin terjadi karena para pendeta seringkali dipengaruhi Liberalisme, Evangelikalisme, Fundamentalis, Reformed atau mungkin Barthian, yang harus diakui juga sangat mempengaruhi pembentukan doktrin pendeta tersebut.

3. Tidak semua pendeta GKO yang berlatar belakang pendidikan teologi formal lulus dengan konsentrasi mayornya adalah teologi sistematika (baik sistematika A - yakni dogmatika maupun sistematika B - yakni etika). Lagipula, tidak semua pendeta GKO yang menaruh minat yang mendalam terhadap teologi sistematika. Pemahaman yang bervariasi dan bertingkat ini juga dapat mempengaruhi kontribusi teologinya.

4. The overlaping theology diserap begitu saja oleh para penatua[5] yang sebagian besar tidak mengenyam pendidikan teologi secara formal (sebagaimana yang lazim di dalam gereja-gereja di Indonesia) dan juga tidak memiliki kecakapan formal berteologi. Penyerapan itu pada gilirannya membentuk konflik doktrinal saat terjadi pergantian pendeta di jemaat tertentu. Teologi tumpang tindih seringkali malah diteruskan tanpa saringan yang obyektif dan yang lebih parah seringkali secara tidak kritis memutlakan hal yang sebenarnya dalam substansinya senantiasa relatif.

5. Kurang dihargainya profesionalitas para teolog profesional (para pendeta) oleh para teolog praktis atau teolog awam dalam pengambilan keputusan teologis. Secara tidak berimbang teolog awam tersebut ikut memutuskan pemikiran teologis dan percakapan-percakapan teologis baik secara akademis, operasional, kontekstual maupun spiritual, akibatnya seringkali pertemuan-pertemuan teologis tidak mampu melahirkan sebuah theologia vera (dalam pengertian dogmatis) atau the correct teaching (dalam pengertian edukasi kristiani) yang kontekstual tetapi sebuah teologi kompromi dengan dalih menampung aspirasi grassroots yang tentu saja hasilnya lebih ke arah eisegese-nya dari pada eksegese-nya. Teolog awam dalam jemaat memang bisa diajak untuk berdialog tetapi terbatas pada jenjang opiniones theologicae tetapi tidak boleh diposisikan sebagai penentu pada jenjang conclusiones theologicae mengingat tidak memadai kapasitas berteologinya.[6]

Untuk menjadi satu landasan perlu kiranya kita melakukan refleksi dari Roma 10:1-3 sebagai bagian dari penegakkan ortodoksi. Roma 10:1-3 berbicara tentang “giatnya” orang-orang Yahudi dalam melaksanakan Taurat tetapi sayangnya mereka tidak “memiliki epignosis”. Hal tersebut tampak saat mereka menginterpretasikan Taurat senantiasa menggunakan eisegesis ketimbang eksegesis. Kotbah Yesus di bukit adalah pembalikan dari eisegesis ke eksegesis secara hermeneutis. Jelas di sini terlihat bila Yesus sendiri sangat memperhatikan ortodoksi (bnd. Mat 16:12) dan bagi mereka yang melakukan pengrusakan terhadap ortodoksi akan menerima konsekuensinya (Mat 18:6-7). Dan Paulus sendiri menekankan pentingnya memiliki orthodoksi (Flp 1:9; Kol 3:10).

Kenyataan-kenyataan di atas tadi menyulitkan tumbuhnya sebuah ortodoksi, karena itu dalam kesempatan ini diusulkan beberapa hal guna tercapai tujuannya tersebut, antara lain:

1. Di tingkat para pendeta:
a. perlu ada suatu pertemuan antar pendeta se-GKO dengan mengundang orang-orang dari dalam maupun dari luar GKO yang berkompeten (baca: teolog) dalam bidang Sistematika Teologi (Dogma maupun Etika). Dalam pertemuan tersebut pendeta-pendeta GKO mengajukan pikiran-pikiran teologis (opiniones theologicae) dan para pakar memberikan pertimbangan, yang pada akhirnya para pendetalah yang memutuskan keputusan dogmatis tersebut (conclusiones theologicae) buat GKO.
b. Sebelum terjadinya pertemuan semacam itu maka para pendeta sudah terlebih membuat pokok-pokok pikiran yang sudah disiapkan (opiniones theologicae) guna meminta pertimbangan teologis dari para pakar. Mungkin pada tahap ini masih ada kesimpangsiuran isi dari pokok-pokok dogmatis (opiniones theologicae), tersebut mengingat latar belakang setiap pendeta. Kesimpangsiuran ini diharapkan sudah dapat diluruskan pada pertemuan dengan para pakar seperti dimaksud sebelumnya.

2. Di tingkat para penatua. Para penatua diperkenankan bahkan diwajibkan hadir dalam pertemuan baik di kalangan antar para pendeta (opiniones theologicae) maupun dalam pertemuan para pendeta dengan para pakar (conclusiones theologicae).

3. Tindak Lanjut. Berdasarkan kegiatan-kegiatan di atas maka disusunlah sebuah dokumen resmi doktrin (conclusiones theologicae) GKO yang pengesahannya dilangsungkan dalam Sidang Sinode.

ORTHOPATHI
Sudah dikemukakan di depan oleh John Stott bahwa pengenalan akan Allah tak boleh diceraikan dari implikasi seriusnya ke dalam keputusan dan tindakan etis, maka teologi mencakup pula dimensi moral. Bicara mengenai moral bicara mengenai ranah orthopathi.
Ranah ini memang lebih mengandalkan otak kanan dari pada otak kiri manusia. Jonathan Edward, tokoh Great Awakening di Amerika pada abad ke-19 pada saat terjadinya kemerosotan iman besar-besaran, menulis tentang Religious Affections[7] yang erat kaitannya dengan penegakkan orthopathi. Ia menulis bila kerohanian yang sejati, umumnya terkandung di dalam afeksi yang kudus. Memang ada anggapan bahwa inti kerohanian yang sejati adalah berpikir benar (orthodoksi) tetapi anggapan tersebut bila kerohanian sendiri pada esensinya melibatkan setiap dimensi baik perasaan, pikiran maupun tindakan. Sehingga dapat dikatakan di sini afeksi yang kudus (benar) adalah salah satu sumber kerohanian yang sejati. Afeksi bukanlah sekedar masalah emosi belaka tetapi meliputi sebuah kecenderungan jiwa yang kuat yang melibatkan suatu pengaruh timbal balik yang terkoordinasi antara pikiran, kehendak dan perasaan. Edwards sendiri menekankan bila orang yang hanya memiliki pengetahuan doktrinal dan spekulasi, tetapi tidak memiliki afeksi berarti belum menyentuh kerohanian dalam pengertian yang lebih holistik. Seorang seperti Paulus memiliki orthodoksi sekaligus memiliki otrhopathi atau afeksi yang kudus. Surat-suratnya mengungkapkan gambaran dirinya yang terbakar oleh kasihnya kepada Kristus.
Untuk itu perlu di lihat betapa seringnya terjadi kepincangan dalam sebuah religiositas atau spiritualistis (kedua istilah ini terkadang ada kesamaan makna tetapi juga memiliki perbedaan yang tidak sedikit) di GKO yang hanya dilihat dari satu mata saja (one-eyed lives) yakni the eye of mind. Padahal untuk melihat keseluruhan pandangan (wholesight) sebagaimana ungkapan “as my two eyes make one sight” maka sekarang diperlukan pula satu mata lagi yakni the eye of heart.

Bila ranah ortodoksi mencoba membenahi the eye of mind maka ranah orthopathi membenahi the eye of heart. Ada teolog yang masuk dalam hitungan brilian untuk mata akali-nya tetapi sangat bobrok dalam mata hati-nya. Kekristenan bukan sekedar menyangkut isi kepala tetapi sikap hati. Dalam ranah ini perlu adanya suatu “keterbukaan” terhadap diri para pelayan menyangkut pembentuk karakter rohaninya. Perhatikanlah apa yang terjadi pada perumpamaan Yesus tentang orang Farisi dengan Pemungut Cukai (Luk 18:9-14) yang dijelaskan Yesus tentang kerendahan hati. Kerendahan hati adalah Orthopathi. Yesus memang tidak membantah sebuah prestasi kerohanian orang Farisi tersebut tetapi Yesus mempersoalkan sikap hatinya pada Allah. Ia memang bisa menunjukkan kehebatan dirinya di hadapan si pemungut cukai tetapi tidak di hadapan Allah.

Orthopathi dapat berarti sikap hati yang benar terhadap Allah, bisa pula berarti sikap hati yang benar terhadap sesama, juga berarti motivasi yang murni dalam pelayanan (lih. I Kor 3:10-23). Dalam konteks GKO sikap para pelayan terhadap pelayanan merefleksikan sikapnya terhadap yang empunya pekerjaan yakni Allah. Untuk memperjelas ranah ini diajukan beberapa tanda[8] yang dipergunakan yang dapat dipakai sebagai parameter antara lain: Mengasihi dan menaati Allah dengan kadar prioritas tinggi dengan senantiasa berserah kepada-Nya dan menjalankan tugas pelayanan dengan tekun, dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri; takut akan Allah; haus akan Allah; menunjukkan buah rohani dalam sebuah spontanitas keseharian dan bukan hasil rekayasa; ketertarikan pada Allah, pada jalan-jalan-Nya, serta pekerjaan-Nya; mampu mengendalikan self-interest dan self-obsessed; menghargai kekudusan Allah dalam seluruh implikasinya; memiliki keyakinan yang kuat; memiliki kerendahan hati; dan kerelaan untuk dibaharui (diubah) Allah dari hari-kesehari.

Kualitas pendeta atau pelayan di GKO (termasuk penatua dan diaken) seyogyanya perlu diteliti tidak dari segi ortodoksi-nya saja tetapi juga dalam segi ini yang dampaknya akan terlihat dalam ortoparksis. Pengujian untuk tanda-tanda rohani[9] tidak dapat dibuat dalam sebuah forum khusus, namun amatlah dibutuhkan ketulusan dan kejujuran dari para pelayan selaku teladan untuk lebih dahulu mengamati-amati pertumbuhan buah rohani dalam diri masing-masing. Untuk itu diperlukan sebuah pertemuan antar para pelayan di tingkat pendeta atau majelis guna dengan kekeluargaan dan terbuka bersama-sama menelaah firman Tuhan dan merefleksikan secara mendalam terhadap diri para pelayan masing-masing.[10] Pada dasarnya para pendeta sendiri dan para majelis memiliki sebuah pengembangan kerohanian tersendiri sebelum mengajarkannya kepada jemaat.

ORTHOPRAKSIS
Teologi bukan saja way of thinking tetapi juga adalah way of living (Stott), dengan kata lain teologi bukan ortodoksi saja tetapi juga orthopraksis. Buah rohani bukan sebuah anutan tersirat saja tetapi juga nampak dalam tindakan nyata. Perilaku yang benar adalah memberi teladan. Metafora “garam” dan “terang” dunia adalah sebuah tuntutan marturia melalui pemberian teladan. Seorang pelayan harus menjadi thypos (Yun. berarti cetakan dasar atau teladan; bd. I Tim 4:12). Ayat tersebut secara jelas menggambarkan bagaimana seorang pelayan menjadi cetakan yang kasat mata dari teladan Kristus yakni memberi “teladan dalam tingkah laku”. Pencerminan Kristus tidak sekedar menyangkut “isi kepala” dan “isi pemberitaan” tetapi pada “isi perilaku”. Paulus menggambarkan kepada jemaat di Korintus dengan istilah “surat pujian” atau “surat Kristus” yang terbuka dan yang dikenal dan dibaca semua orang.

Sebagai bahan bandingan kita mengamati beberapa kasus yang terjadi di luar negeri seputar merosotnya kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin rohani. Tahun 1980 merupakan tahun di mana masyarakat Amerika dibanjiri dengan pemberitaan media mengenai para pengkhotbah TV yang kebanyakan jatuh pada dosa penipuan dan skandal seks. Belum lagi kasus Waco, Guyana, Jonestown, yang mengingatkan kita pada kelompok religius yang awalnya berdedikasi yang kemudian berubah menjadi pemujaan yang berbahaya.

Menurut jajak pendapat Gallup yang dilakukan sebelum tahun 1988 dimana saat itu masyarakat Amerika awalnya lebih mempercayai integritas para pendeta dibanding dengan profesi yang lain. Namun pada tahun 1993 pada saat jajak pendapat yang sama digelar, maka penghargaan publik terhadap para pendeta menduduki peringkat keempat, di bawah para ahli farmasi, para dosen perguruan tinggi dan para insinyur. Hal tersebut berhulu dari rusaknya orthopathi dan bermuara pada orthopraksis.

Dalam konteks GKO beberapa kasus semacam ini pernah membuat pelayan (klerus) hampir-hampir kehilangan kesaksian terhadap jemaat dan dunia. Kejatuhan semacam ini (bd. Kasus yang sama menimpa Jim Baker dan Jimmy Swaggart) sama sekali tidak menunjukkan kalau kedua oknum tersebut tidak memiliki ortodoksi. Keduanya secara ortodoksi pasti mengetahui “dosa perzinahan” tetapi mengabaikan ortopathi yang akhirnya bermuara pada ortopraksis. Kasus ini hampir-hampir membuat jemaat berpikir lebih baik memiliki pelayan-pelayan yang isi hati dan perilakunya bersih dan bersahaja daripada yang penuh isi kepalanya tetapi bobrok kelakuannya. Kasus ini melukai gereja ke luar maupun ke dalam. Pelayan tersebut menjadi “garam yang tak asin lagi” bukan karena kelemahan pada ortodoksi tetapi pada ortopathi dan ortopraksis.

GKO dalam hal ini, kaum klerusnya, menguji diri terus-menerus dalam kaitannya dengan “tegaknya pendirian iman” yang bukan soal pengakuan belaka tetapi pada tindakan iman. Perlu ada pengawasan yang bersifat kekeluargaan dari atau antar kelompok pelayan terhadap diri para pelayan sendiri. Dan diperlukan pula sebuah kebesaran hati para pelayan untuk bersedia diuji, dikaji, dan dikoreksi. Sehingga pemberitaan firman bukan apa yang diketahui pendeta tetapi lebih pada apa yang dialaminya secara pribadi.

KESIMPULAN
Gereja dalam perjalanan ziarahnya tidak bisa berjalan dengan mengandalkan satu ranah saja dari “gko3” sebagai primadona tetapi harus menggunakan ketiganya, mengingat bahwa ketiga ranah ini pada posisi dan maknanya sebenarnya adalah distinctio sed non separatio. Sudah saatnya GKO jeli terhadap semua hal yang menghambat pertumbuhan dan perkembangannya, dan dengan jiwa besar mengakuinya dan dengan semangat yang dibakar dengan api Roh Kudus mencoba mengatasi semua masalah tersebut. Kita harus mengelola ketiga ranah orthodoksi, orthopathi, ortopraksis menjadi sebuah nafas yang menghidupkan GKO yang juga sekaligus menghembuskan bahtera GKO menuju labuhan abadi.

Last but not least, ortodoksi, ortopathi, ortopraksis atau gerakan o-3 (gko3) harus menjadi habits of the head, habits of the heart, dan habits of the hands GKO secara utuh, berimbang, dan menyeluruh. Target sepenuhnya bukan pada keunggulan GKO tetapi sebagaimana yang dikatakan John Stott bahwa teologi seharusnya dianalogikan sebagai aliran sungai yang bermuara pada penyembahan, pada spiritualitas, pada doxologi terhadap Bapa, Anak dan Roh Kudus, Ketiga Yang Esa, kini dan selamanya. Terpujilah Tuhan Yesus Kristus. Soli Deo Gloria!

Daniel Zacharias

Referensi:
[1] Tulisan ini merupakan hasil pengamatan penulis terhadap situasi global GKO yang tidak terpaku pada pergumulan satu jemaat GKO tertentu saja melainkan lebih pada sebuah penampungan terhadap pergumulan-pergumulan dari beberapa jemaat GKO, juga khususnya melalui pengamatan penulis terhadap beberapa pertemuan-pertemuan tingkat Sinodal atau yang dikoordinir MPS seperti Raker III Sinode GKO di Lembang Nopember 2000, Tim Perumus Kotbah yang bertemu beberapa kali beberapa tempat mulai 24, 27 Februari 2001, 01, 05, 08, 13, 14 Maret 2001, 18 Juni 2001, 12, 19- 20 Juli 2001, Lokakarya PI di Sentul 29-30 Juni 2001, dan Pertemuan Pembahasan Tema dan Sub Tema Sidang Sinode VI 11 Agustus 2001 di GKO Sola Gratia, serta Diskusi Pokok-pokok Ajaran Gereja di GKO Bintaro 13 Oktober 2001.
[2] Istilah ini merupakan modifikasi dari tulisan Paul Hidayat, “Spiritual Formation Dalam Pendidikan Teologi” dalam Indriani Bone, et al. (Peny.). Berteologi Dalam Anugerah (Cipanas: STTC, 1997), 5; bnd. John R.W. Stott, “A Theology: A Multidimensional Discipline” dalam Donald Lewis & Alister McGrath, Doing Theology for the People of God (Downers Grove: IVP, 1996). John Stott menyebutkan ada enam tanggungjawab yang harus dikembangkan dalam teologi sebagai multidimensional disiplin. Pertama, teologi yang bersifat biblika yaitu pengakuan bahwa teologi Kristen yang benar bukan teologi natural melainkan teologi supranatural yaitu yang bersumberkan pada penyataan Allah. Kedua, teologi yang bersifat historis yaitu penegasan bahwa Allah yang kita imani adalah Allah yang telah menyatakan diri dan menuntun umat kepunyaannya sepanjang sejarah sehingga teologi tak pernah sepenuhnya baru melainkan terkait pada tradisi yang mendasari dan memberi sifat kekokohan sambil sekaligus menggumuli teologi dalam waktu yang menyebabkan teologi memilliki sifat kelenturan tertentu. Ketiga, dalam upaya untuk setia kepada Allah sumber kebenaran yang telah menciptakan manusia dengan kapasitas untuk mampu mengenali kebenaran, maka teologi pun memiliki sifat sistematis. Keempat, pengenalan akan Allah tak boleh diceraikan dari implikasi seriusnya ke dalam keputusan dan tindakan etis, maka teologi mencakup pula dimensi moral. Kelima, teologi bukan saja way of thinking tetapi juga adalah way of living. Living di sini diartikan sebagai misi melayani dunia dengan Injil Yesus Kristus dalam seluruh kepenuhannya bagi dunia dalam keseluruhan kompleksitas permasalahan dan kebutuhannya. Keenam, teologi seharusnya dianalogikan sebagai aliran sungai yang bermuara pada penyembahan, pada spiritualitas, pada doxologi.
[3] Calvin segan untuk menggunakan untuk memakai istilah “klerus”, sebutan dalam gereja Abad Pertengahan untuk menunjuk status istimewa pejabat-pejabat gereja (bnd. Institutio, IV, iv, 9), namun dalam prakteknya gereja dibaginya atas pejabat-pejabat dan “rakyat” (bnd. Institutio, IV, xii, 1), dengan para pejabat sebagai kelompok istimewa yang tertutup dan memiliki kewenangan.
[4] Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK GM, 1998), 2.
[5] Di beberapa jemaat GKO ada penatua atau diaken yang berlatarbelakang pendidikan teologi formal namun tidak semua yang menduduki posisi yang menentukan kebijakan-kebijakan teologis di jemaat lokal maupun sinodal.
[6] Teologi sebagai Ilmu Ketuhanan memang dapat dibicarakan di mana saja sebagai sebuah wacana, tetapi dalam diskusi-diskusi untuk melahirkan sebuah conclusiones theologicae tidak dapat dikerjakan dalam sembarang situasi, mengingat hal ini bukan pekerjaan sambil lalu, dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang pula, mengingat hasil pemikiran ini sangat mempengaruhi kehidupan gereja. Guna mencapai conclusiones theologicae tersebut sangat diperlukan kemampuan hermeneutis yang menyangkut eksegesis dan eksposisi yang dapat dipertanggungjawabkan secara biblis yang terapannya dapat dikenakan secara teoritis pada teologi sistematika, dan perbandingan hasil kerja biblis dilihat dalam teologi historika, serta aplikasinya dalam teologi praktika. Hanya mereka yang diperlengkapi hal-hal tersebut dapat diakui validitas kontribusi teologisnya dalam tahap conclusiones theologicae.
[7] Jonathan Edwards, Religious Affections (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1959), 99.
[8] Gerald R. McDermott, Seeing God: Twelve Reliable Signs of True Spirituality (Downers Grove: InterVarsity Press, 1995).
[9] Pengujian terhadap buah akali ada ukurannya tetapi tidak untuk buah afeksi sebelum nyata dalam tindakan.
[10] Calvin menggunakan istilah “la Venerable Compagnie des Pasteurs untuk kumpulan para pendeta dan “le Consistorie” atau consistorium untuk kumpulan majelis gereja.

14 Desember 2007

Blessed To Be A Blessing

Sebuah Keseimbangan Hermenusis-Anamnesis dan Prediksi-Proyeksi Dalam Konteks GKO Tahun 2003.

Sebuah Keseimbangan Hermenusis dan Anamnesis[1]
Menggunakan kedua kata ini bukan sebuah pencerminan high-profile tetapi lebih pada upaya pendalaman konseptual yang lebih bertanggung jawab. Kita harus mengakui bila kata 'hermeneusis' dan kata 'anamnesis' adalah kata-kata yang langka dipergunakan dalam tradisi pergumulan teologis di GKO bahkan dalam memasuki usia yang ke-24 (2003). Kita terbiasa menggunakan istilah-istilah praktis yang terbatas secara konseptual dan ambigu secara praxis,[2] dan akibatnya kita sulit memasuki pendalaman-pendalaman pemahaman yang seharusnya dapat membuat kita semakin berakar dan bertumbuh baik secara spiritual maupun secara intelektual ke arah Dia. Bila kita memilih istilah-istilah praktis, maka hal itu disebabkan oleh karena kita telah terbiasa "tidak mau susah" atau "menyusahkan anggota jemaat", namun dalam kenyataannya pemahaman yang praktis dan terbatas itu di satu sisi memang kelihatannya menjawab "kemudahan" yang kita inginkan namun di sisi lain justru tetap saja "menyusahkan anggota jemaat" justru karena keterbatasannya itu.

Hermenusis adalah upaya penafsiran atau penggalian makna terdalam terhadap catatan peristiwa masa lampau dalam Kitab Suci dalam segala aspeknya. Sedangkan Anamnesis adalah upaya mempresensikan sesuatu, entah dari masa lampau, atau dari alam baka, atau bahkan dari zaman yang akan datang.

Be Blessed To Be A Blessing

Hermenusis
Judul ini berangkat dari janji Tuhan kepada Abraham dalam Kejadian 12. Dalam Kejadian 12:2, Allah berkata kepada Abraham: "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat"[3] Logika dari pemberian berkat ini adalah bahwa sang penerima berkat yakni Abraham sebelum menjadi berkat harus terlebih dahulu mengalami berkat dari Allah. Bila ia tidak mengalami berkat Allah maka ia tidak dapat memberkati orang lain. Semakin ia diberkati Allah semakin pula ia memberkati orang lain. Semakin ia tidak diberkati Allah semakin ia juga tidak akan pernah menjadi berkat buat orang lain. Peran "diberkati" untuk "menjadi berkat" hendaknya tidak mengikat Abraham berpihak pada salah satunya atau terlena pada "menerima berkat" atau terkuras pada posisi "menjadi berkat".

Telah disebutkan di atas bahwa Allah berjanji untuk memberkati Abraham dan keturunannya (Kej 12). Allah bahkan membentuk suatu paguyuban orang-orang beriman yang memakai panji-panji kebesaran nama Abraham dalam sebuah bangsa yang bercikal bakal dari keturunannya sendiri yang kemudian disebut Israel. Tak cukup dengan itu, Ia malah membebaskan paguyuban kesayangan-Nya itu dari tirani Firaun yang sok ilahi dan berkuasa, mengubah status mereka dari budak kerja rodi menjadi orang-orang yang otonom-teokratis serta berdaulat di atas tanah yang awalnya bukan milik mereka. Ia menyediakan bagi mereka tempat berdiam mereka laksana rumput yang hijau dan air yang tenang. Akibatnya saat mereka harus dibuang karena dosa mereka sendiri, paguyuban itu merasa tidak mungkin Allah berbuat seperti itu mengingat mereka adalah kesayangan-Nya. Apalagi ketika Allah memakai bangsa lain untuk memukul mereka, paguyuban itu tetap menganggapnya sebagai kesalahan dan kebiadaban bangsa-bangsa lain itu sendiri. Mereka tidak pernah atau bahkan tidak akan percaya kalau Allah memakai bangsa lain juga.

Rupanya pilihan Allah dan perlindungan Allah selama ini tidak mengarahkan mereka secara otomatis untuk menjadi ingat pada bangsa lain (baca: menjadi berkat bagi bangsa lain), tetapi justru mereka malah semakin berusaha mengikat dan membelenggu Allah dengan anggapan mereka sendiri sehingga fanatisme mereka menjadi begitu berlebihan. Teologi partikularistis[4] muncul dengan anggapan bahwa YHWH (Adonay) adalah milik Israel dan Elohim adalah Allah bagi mereka saja. Keadaan ini menjadi semakin buruk bila melihat sikap bangsa lain yang justru membenci ibadah Israel dan menolak YHWH sebagai Tuhan, akibatnya bangsa Israel semakin eksklusif dan memeluk teologi partikularistis semakin erat.

Persoalan teologi partikularitis adalah masalah hermeneusis. Allah yang luar biasa itu, yang Salomo sendiri akui tak dapat merumahkan-Nya (II Taw 2:6), malah dikerangkeng Israel dalam sebuah teologi manusia yang penuh egoisme dan keangkuhan. Sang Ultim yang bergerak dan bekerja bebas bagi dunia universal dipersempit ruang gerak-Nya dalam kotak sempit hermeneusis Israel yang pengap dan panas lagi sesak. Pola Allah yang memberkati semesta melalui keturunan Abraham ternyata diintepretasikan Israel keliru. Allah melalui Israel dipahami menjadi Allah untuk Israel semata-mata. Agaknya saya harus mempertimbangkan istilah “melalui” bila mengingat keengganan C. S. Song menggunakan “teologi perwalian” atau “teologi anak tiri”[5] Intepretasi Israael yang keliru ini kemudian melahirkan teologi partikularistis, lalu membentuk fanatisme dan egoisme keagamaan.

Kisah di mana Allah menyelamatkan tokoh-tokoh perempuan bukan Israel (non-Yahudi) dalam Alkitab seperti Rahab sekeluarga melalui dua orang pengintai, kemudian Rut melalui Naomi, setidaknya telah membuka sedikit jendela kemungkinan tentang ketiadaan teologi partikularistis itu di pikiran Allah sendiri. Pada akhirnya C. S. Song dengan tegas mengatakan, “Allah tampaknya bersifat rahasia hanya bagi mereka yang ingin memonopoli dan menguasai Allah. Mereka merasa tertipu ketika Allah juga berkenan dengan bangsa-bangsa lain dan memihak lawan-lawan mereka”.[6] Pada prinsipnya Allah menghendaki "orang yang diberkati hidup bukan untuk menjadi berkat buat diri sendiri tetapi menjadi berkat buat orang lain".

Anamnesis
Apa yang dialami Abraham belum tentu dialami oleh kita. Nasib Abraham belum tentu sama dengan nasib kita. Namun pola janji Allah "diberkati dan menjadi berkat" adalah sebuah pemahaman lintas peradaban dan waktu. Refleksi dari logika ini adalah pada diri kita selaku gereja. Bila GKO merefleksikan dirinya sebagai Abraham maka ada logika yang harus menyertai refleksi tersebut. Bila GKO ingin menjadi berkat terlebih dahulu hidup di bawah berkat Allah, dan bila GKO ingin diberkati Allah maka ia harus berjanji bahwa ia harus menjadi berkat bagi dunia.

Gereja di mana pun dalam peran haikikinya menjadi berkat sebenarnya memiliki fungsi dan partisipasi yang bersifat positif, kreatif, kritis, dan realistis tidak saja mengarah kepada dunia tetapi juga kepada diri sendiri.[7] Gereja harus mengambil bagian dalam proses kesinambungan, peningkatan, koreksi, dan pembaharuan secara terus-menerus baik dalam gereja maupun masyarakat. Konteks dimana gereja hidup, bersaksi, dan melayani adalah hal yang penting dan tak dapat diabaikan begitu saja. Tanpa gereja berinteraksi dengan konteksnya itu, maka kehadiran gereja menjadi tidak berguna.[8] Gereja yang tak memikirkan sekaligus memperjuangkan perannya bagi dunia adalah gereja yang mau diberkati tetapi tak mau menjadi berkat.


Pengertian Prediksi dan Proyeksi
Dalam pembahasan yang terkait dengan masalah "masa depan" maka asanya kita perlu memakai istilah Eka Darmaputera yakni "prediksi" dan "proyeksi".[9]

Prediksi
Prediksi menurutnya, berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada sekarang ini, maka kita membuat prakiraan kemanakah kecenderungan-kecenderungan itu akan membawa kita di masa mendatang. Artinya, apabila keadaan yang ada sekarang ini tetap berlangsung seperti apa adanya, apakah kira-kira kemungkinan-kemungkinan akibatnya di masa mendatang? Ini penting, sebab dengan demikian kita dapat melihat kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat terjadi, lalu mempersiapkan diri. Tidak terlalu kaget atau panik ketika itu terjadi nanti. Jadi, prediksi bertolak dari yang ada sekarang untuk memperkirakan masa depan.

Proyeksi
Proyeksi, bertolak dari masa depan, lalu itulah yang menentukan apa yang harus kita lakukan sekarang. Secara teologis, tetapi sebenarnya bukan hanya secara teologis saja, amatlah penting bagi kita untuk melakukan proyeksi dan bukan hanya prediksi. Masalahnya adalah, jika apa yang kita lakukan sekarang ini hanya berdasarkan prediksi saja, maka sebenarnya sadar atau tidak sadar ada asumsi di situ, bahwa kita sudah tidak dapat berbuat apa-apa terhadap yang diprediksikan itu, kecuali menerima dan sedapat mungkin menyesuaikan diri.

Prediksi dan Proyeksi
Prediksi penting, oleh karena ia membantu kita untuk membayangkan "apa yang ada" nanti. Tetapi proyeksi justru menjadi lebih penting lagi, oleh karena ia, berdasarkan prediksi itu mempertanyakan "apa yang ada" itu juga "apa yang sebenarnya". Proyeksi harus memanfaatkan prediksi, sehingga proyeksi itu masih tetap feasible dan realistis. Ia juga bisa gagal, yaitu bila kita gagal untuk mempengaruhi dan mengarahkan proses yang sedang berlangsung sekarang. Sekalipun ada kemungkinan gagal, ia tetap bernilai untuk kita usahakan sedapat-dapatnya. Sehingga sekarang proyeksi adalah bagaimana mempengaruhi masa kini berdasarkan visi masa depan yang kita ketahui.

Sidang Sinode VI GKO yang berlangsung di Cisarua tanggal 4 -7 Juli 2002 menetapkan bahwa visi GKO 25 tahun ke depan adalah Visi Matius 281920 yakni komitmen terhadap Amanat Agung yang menghasilkan gereja yang bertambah akrab melalui persekutuan, sungguh-sungguh melalui pemuridan, kuat melalui ibadah, besar melalui pelayanan, dan luas melalui penginjilan. Visi ini merupakan refleksi dari 25 tahun (seperempat abad pertama) GKO berkiprah di bumi Pancasila ini dan sekaligus merupakan acuan 25 tahun (seperempat abad kedua) ke depan. Sangatlah diharapkan agar GKO tetap konsisten menapaki visi dan misinya sampai 2027 sekalipun kelak terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan.

Dan misi GKO sampai tahun 2027 adalah sebagai berikut:

GKO bertambah akrab melalui Persekutuan
GKO bertambah sungguh-sungguh melalui Pemuridan
GKO bertambah kuat melalui Ibadah
GKO bertambah besar melalui Pelayanan
GKO bertambah luas melalui Penginjilan

Tahapan misi GKO tersebut dilaksanakan dalam lima tahap antara lain:

Tahap I Tahun 2002-2007
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui persekutuan
Tahap II Tahun 2007-2012
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui pemuridan
Tahap III Tahun 2012-2017
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui ibadah
Tahap IV Tahun 2017-2022
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui pelayanan
Tahap V Tahun 2022-2027
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui penginjilan

Target pada tahun 2027
a. 100.000 anggota jemaat beribadah dalam persekutuan yang akrab
b. 10.000 pejabat gereja yang sudah dimuridkan dan melayani dalam GKO
c. 100 jemaat lokal yang tumbuh dari hasil penginjilan

Sebagai implementasi tahap I dari misi persekutuan maka ditetapkanlah Tema Sidang Sinode VI yaitu: Takutlah Akan Tuhan Maka Kamu Akan Hidup Dengan Rukun, dan Sub Tema dari Sidang Sinode VI adalah: Persekutuan Yang Akrab Dimulai Dengan Allah, Dinyatakan Dalam Keluarga, Ditunjukkan Dalam Pekerjaan Tuhan dan Dibuktikan Kepada Sesama Orang Percaya yang berlaku dari tahun 2002 s.d. 2007 yang dijabarkan dalam 5 Tema Pelayanan Tahunan antara lain:

Jul 2002-Jun 2003: Persekutuan Yang Akrab Dengan Allah
Juli 2003-Juni 2004: Persekutuan Yang Akrab Dengan Keluarga
Juli 2004-Juni 2005: Persekutuan Yang Akrab Dalam Pekerjaan Tuhan
Juli 2005-Juni 2006: Persekutuan Yang Akrab Dengan Sesama Orang Percaya
Juli 2006-Juni 2007: Persekutuan Yang Akrab Diperintahkan Berkat

Kenyataan Menapaki 24 Tahun (The Past: Be Blessed)
GEREJA KRISTEN OIKOUMENE di Indonesia (GKO) pada hari ini genap memasuki usia yang ke-24 tahun. Rasanya kita perlu sedikit melongok kepada sebuah lagu karya Martin G. Schneider yang ditulis tahun 1963 berjudul "Gereja Bagai Bahtera"[10] (terjemahan Yamuger tahun 1988) yang bernuansa korektif, otokritik, sekaligus mendorong kita semua bila kita mau berbesar hati menerimanya. Lagu tersebut terdiri dari 5 ayat dan yang ditampilkan di dalam pidato ini hanyalah ayat ke-2,3, dan 4 antara lain:

(2)
Gereja bagai bahtera pun suka berhenti
Tak menempuh samudera, tak ingin berjerih
Dan hanya masa jayanya selalu dikenang
Tak ingat akan dunia yang hampir tenggelam
Gereja yang tak bertekun di dalam tugasnya
Tentunya oleh Tuhan pun tak diberi berkat!

Refleksi kita terhadap diri kita melalui lagu ini adalah bahwa selama 24 tahun kita pernah berhasil dan kemudian merasa puas diri dan stagnasi seperti "bahtera yang suka berhenti dan tak ingin berjerih". Kekaguman kita terhadap sukses masa lalu kerap membuat kita terlena membuat kita enggan untuk "menempuh samudera". Kita memang mengakui bahwa GKO banyak mengalami sukses tetapi hal itu bukan membuat kita terlena "tak ingat" tetapi untuk terus terjaga karena "dunia hampir tenggelam". GKO yang nyaris melewati seperempat abad sepatutnya semakin bertekun dalam tugasnya agar berkat Allah senantiasa mengiringi. "Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa." (Mazmur 23:6). GKO harus merasakan bahwa dirinya pernah diberkati Allah atau menjadikan dirinya sasaran berkat Allah. Namun GKO harus menyadari bahwa ia harus menjadi berkat pula buat orang lain.

(3)
Gereja bagai bahtera diatur awaknya
Setiap orang bekerja menurut tugasnya
Semua satu padulah, setia bertekun
Demi tujuan tunggalnya, yang harus ditempuh
Roh Allah yang menyatukan, membina, membentuk
Di dalam kasih dan iman dan harap yang teguh

Kendala kita adalah bahwa seringkali gereja kita tidak diatur oleh awaknya tetapi oleh lautnya. GKO acapkali mengikuti arus ketimbang melawan arus. GKO nyaris tak bersuara apa-apa ketika 'gonjang-ganjing' isu dan problematika di negeri ini membahana silih berganti melempar bangsa ini ke kiri ke kanan, ke atas dan ke bawah. Belakangan ini concern GKO mulai dikendalikan oleh awaknya. Sidang Sinode dan Rapat-rapat Kerja Sinode mulai belajar "memahami laut" tanpa harus terseret. Dan pengendali-pengendalinya makin profesional di bidangnya. Kita berharap tak ada "pengendali" yang gentar menghadapi gelombang laut atau justru terjatuh disapu gelombang laut.

Dalam bait selanjutnya disebutkan bahwa "setiap orang bekerja menurut tugasnya, semua satu padulah, setia bertekun, demi tujugan tunggalnya". Kalimat ini mengingatkan kita akan kecenderungan kita yang kurang bersatu saling mendukung antar pelayan dalam kesejajaran pelayanan imamat rajani[11] maupun dalam hirarki organisasi. Dukungan yang diberikan sering erat terkait dengan masalah hati, primordialisme, dan mamon ketimbang perkara rohani dan profesionalitas. Sudah barang tentu syair lagu ini mengingatkan kita agar lebih profesional dalam pelayanan maupun penatalayanan, yang diterjemahkan dengan kalimat "setiap orang bekerja menurut tugasnya" tanpa mengabaikan aspek kesatuan (unity) yang tersirat dalam kalimat "semua satu padulah setia bertekun".

(4)
Gereja bagai bahtera muatannya penuh
Beraneka manusia yang suka mengeluh
Yang hanya ikut maunya, mengritik dan sok tahu
Sehingga bandar tujuannya menjadi makin jauh
Tetapi bila umat-Nya sedia mendengar,
Tentulah Tuhan memberi petunjuk yang benar

Di beberapa jemaat GKO selama beberapa tahun belakangan ini jumlah kehadiran tidak seperti digambarkan lagu ini "muatannya penuh". Problem internal seringkali berdampak pada jumlah riil jemaat yang hadir ketimbang jumlah yang tercatat dalam buku keanggotaan. Pada prinsipnya mereka tetap terdaftar dalam keanggotaan gereja tetapi mereka tidak pernah terlihat. Sementara jemaat yang anggotanya cukup banyak merasa puas dengan seluruh kursi dan jam-jam kebaktian yang terisi penuh padahal jumlah yang tidak datang atau tidak mau datang tak dapat dikatakan sedikit atau diabaikan. Usia ke-24 adalah suatu kesempatan untuk meraih kesempatan dari Tuhan ketimbang memberi kesempatan kepada si jahat menggembosi jumlah umat Tuhan. GKO harus menyadari kebutuhan umat dengan menawarkan sesuatu yang tidak dapat mereka peroleh di tempat lain.[12] Namun lebih dari segalanya kita tetap harus ingat dan diingatkan untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan antara kuantitasi dan kualitas.[13]

Dalam bait kedua tertulis "beraneka manusia yang suka mengeluh" menunjuk jelas kepada orang yang tak tahan menderita dalam perjalanan ziarah GKO. Kendala kita di sini adalah masih banyaknya "pengintai-pengintai yang pesimis" (bnd. Yosua dan Kaleb yang optimis; Bil 13:30). Lebih banyak "pengeluhan" ketimbang optimisme dan ucapan syukur. "Yang hanya ikut maunya, mengritik dan sok tahu" menunjuk kepada mereka yang tak punya alasan untuk mengkritik tetapi tetap mengkritik, tak punya usulan konkrit tetapi mudah menjatuhkan kritik, tidak mau membantu tetapi mau memberikan kritik. Makin hari GKO seharusnya tidak semakin menambah jumlah pengkritik tanpa konsep atau pengkritik sakit hati. GKO memang masih perlu kritik dan pengkritik. GKO bukan "sepotong surga" di dunia fana. Namun GKO harus makin menambah pengkritik yang tak hanya pandai menilai konsep tetapi juga memiliki konsep alternatif yang dirasa lebih sesuai dan memiliki penjabaran yang lebih taktis dan strategis.

Bila GKO bertekad diberkati dan kemudian menjadi berkat rasa-rasanya belum terlambat untuk mengkaji dan menjalani apa yang diiuraikan dalam bait terakhir ayat keempat ini: "Tetapi bila umat-Nya sedia mendengar, tentulah Tuhan memberi petunjuk yang benar."

Reff.
Tuhan tolonglah, Tuhan tolonglah
Tanpa Dikau semua binasa kelak
Ya Tuhan tolonglah

Refrein dari lagu ini kembali menyatakan kebergantungan penuh kita pada Kepala Gereja yakni Kristus. Sekalipun kita mengerjakan hermeneusis dan anamnesis secara sempurna, dan melakukan prediksi dan proyeksi dengan tepat, namun pada akhirnya kita harus kembali mengakui dengan iman bahwa Tuhan ada di atas segalanya, GKO harus senantiasa memohon pertolongan-Nya yang memungkinkan "bahtera" tetap dapat berjalan sekalipun harus melewati badai yang menerpa begitu keras.


Kenyataan Kekinian Kita (The Present: Be Blessed and to be a Blessing)
Dalam Rapat Kerja Sinode II GKO yang berlangsung pada tanggal 19-20 Juli 2003 telah disepakati bahwa tema tahunan Juni 2003 - Juni 2004 Persekutuan Yang Akrab Dengan Keluarga. Tema tahunan sebelumnya adalah Persekutuan Yang Akrab Dengan Allah. Fokus yang bergeser ke dimensi horisontal-internal ini sama sekali tidak bermaksud meniadakan atau mengabaikan fokus vertikal-transendental-imanen yang sudah terbentuk akrab dengan Allah. Kedua fokus ini harus tetap berjalan secara simultan.

Dalam sambutan saya pada pembukaan Raker Sinode II beberapa waktu yang lalu saya menjelaskan bahwa fokus yang kini sedang diarahkan pada keluarga tentunya sangat beralasan. Keluarga adalah basis pertama dari sebuah koinonia baik terhadap Allah maupun dalam kerangka ekklesia. Allah sangat concern terhadap lingkup keluarga. Ia juga yang menyusun dan membentuk keluarga. Ia bekerja melalui keluarga. Allah bekerja memakai Adam dan Hawa sebagai keluarga pertama yang pada gilirannya menjadi prototipe rumah-rumah tangga selanjutnya. Yesus Kristus sendiri dalam inkarnasi-Nya memakai medan keluarga sebagai locus kehadiran-Nya. Ia tidak mulai dengan pengumpulan massa atau pada rekrutmen orang-orang profesional tetapi mulai dari keluarga seorang tukang kayu. Kehadiran Yesus mempertemukan Yusuf dan Maria dalam tali perkawinan yang kemudian berlanjut dengan kehadiran adik-adik jasmani lainnya.

Pada saat kita sedang berkumpul dalam "pesta rohani" ini tidak sedikit keluarga-keluarga baik di dalam maupun di luar GKO yang sudah terpecah-terpecah, keluarga yang tak menjadi teladan, keluarga yang meninggalkan Kristus, terjadi kekerasan domestik yang semakin tak terkendali, tempat-tempat tidur yang telah tercemar, perselingkuhan, poligami yang tak lagi sekedar praktek sembunyi-sembunyi tetapi sudah menjadi propaganda publik (poligami award 2003), poliandri, penganiayaan, pelecehan seksual terhadap anak kandung sendiri (incest), penyalahgunaan wewenang orang tua, orang tua tanpa wibawa, single parent, dll. Pergeseran nilai-nilai keluarga tak dapat dihindari Persoalan ini tidak bisa diserahkan begitu saja sebagai urusan "dalam negeri" tumah tangga masing-masing atau menjadi urusan pemerintah yang bertugas menuntaskan persoalan-persoalan sosial. GKO sebagai alat Allah harus terlibat dan melibatkan diri secara aktif guna meminimalisasi statistik keluarga-keluarga yang terus menjadi korban. Sekali lagi GKO harus menjadi berkat bagi umat dan dunia.

Ada satu kesadaran yang perlu dibangun di kalangan para pelayan di GKO sebagaimana tertulis dalam I Timotius 3:5: "Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?" Apa maksudnya? Maksudnya, tekad kita untuk menjadi berkat dalam arena yang lebih luas harus terlebih dahulu dibuktikan kesahihannya dalam konteks rumah tangga. Arti mendalamnya lagi adalah bila seseorang berusaha menjadi berkat buat orang lain maka ia harus: pertama, menjadi orang dan keluarga yang diberkati dahulu oleh Tuhan; kedua, memberkati keluarganya terlebih dahulu.

Pada segi lain keluarga menjadi basis pembaharuan dalam gereja dan masyarakat. Keluarga adalah persekutuan terkecil yang membentuk gereja dan masyarakat. Pemulihan dan pembaharuan yang terjadi dalam gereja dan masyarakat harus dimulai dari pemulihan yang terjadi dalam keluarga. Bila terjadi pemulihan dan pembaruan dalam keluarga maka hal itu mudah tertular kepada aspek yang lebih luas yakni gereja dan masyarakat. Sebaliknya tanpa ada pemulihan dan pembaruan dalam keluarga maka hal yang sama terjadi pula dalam gereja dan masyarakat.

Berdasarkan tema tahunan kita kali ini "Persekutuan Yang Akrab Dengan Keluarga" marilah saya mengajak kita semua untuk fokus pada keluarga yang diberkati kemudian memberkat. Sebagai contoh, bahan homilia yang telah diedarkan pada bulan Juli dan Agustus 2003 mengantar kita pada pemberian ruang yang lebih luas bagi pembaruan dan pemulihan keluarga. Program-program lain yang telah disepakati dalam Raker Sinode II yang lalu juga mengarah pada fokus keluarga. Setahun ini marilah kita bersama-sama bergandengan tangan mewujudkan keluarga yang sesuai dengan kehendak-Nya dan keluarga yang hidup dan berjalan sesuai dengan kemauan-Nya.

Kerja Keras Masa Depan (The Future: Be Blessing)
Harapan Besar tahun depan saat GKO berusia 25 tahun, diharapkan seluruh kita terlibat dalam sebuah arak-arakan seperempat abad dengan terus melakukan konsolidasi ke dalam dan menjadi berkat bagi orang lain. Kita tidak hanya menjadi berkat bagi orang lain dengan menjadi contoh tetapi kita berusaha dalam segala aspek kita dapat menolong dunia ini dari berbagai kemelut. Sinode GKO dalam hal ini tentunya tidak dapat menyelesaikannya sendiri maka perlu ada kerjasama oikumenis yang menjadikan gereja dalam pengertian Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) menjadi berkat buat Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.

Tetapi kerjasama oikumenis bukan suatu jalan tanpa tantangan. Kecurigaan dalam kerjasama oikumenis sering masih terasa sangat meracuni penaburan benih GKYE. Aktivitas dikotomi "evangelikal-ekumenikal", "liberalis-fundamentalis", "protestan-karismatis", kecurigaan terhadap doktrin keselamatan, bentuk ibadah, sampai pada masalah "curi domba" justru membuat gereja baik secara lokal, sinodal, dan sampai pada aras nasional sulit jadi berkat. Tidak sedikit kita yang menempuh jalan yang terkadang kurang persuasif dan dialogis. Atau ada yang benar-benar bertindak laissez-faire (membiarkan/masa bodoh). GKO harus selangkah lebih maju. Bila GKO ingin menjadi berkat maka GKO tidak dimungkinkan turut dalam polarisasi apa pun dan dalam aras manapun. GKO harus menjadi gereja "yang menyadari sebagai gereja yang diberkati dan kemudian akan memberkati".

Dengan masuknya GKO menjadi anggota PGI ke-76 maka GKO mau tidak mau harus turut menjadi agen yang turut mensosialisasikan Visi PGI 2005 yakni Gereja-gereja di Indonesia berada dalam kondisi SIAP MEWUJUDKAN/PROKLAMIRKAN GEREJA KRISTEN YANG ESA (GKYE) DI INDONESIA. Dengan turut ambil bagian dalam agenda ini maka GKO benar-benar tidak hanya menjadi berkat buat sesama gereja di tingkat lokal tetapi juga nasional, dan tidak hanya pada dimensi gerejawi tetapi masyarakat keseluruhan.
Referensi:
[1] Istilah ini diadaptasi dari H. A. van Dop, "Hermenusis dan Anamnesis" dalam Ioanes Rakhmat (ed.), Mendidik Dengan Alkitab dan Nalar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 229-236.
[2] Kata 'praxis' (Groome:xvii) mengusahakan agar teori dan praktek berjalan bersama sebagai sebuah upaya pengayaan timbal balik dalam sebuah aktivitas yang sama dari seseorang.
[3] RSV - And I will make of you a great nation, and I will bless you, and make your name great, so that you will be a blessing (perhatikan huruf yang saya tebalkan).
[4] Teologi Partikularistis adalah teologi yang beranggapan bahwa Allah hanya mengasihi dan membenarkan sekelompok orang atau hanya agama tertentu.
[5] C. S. Song, Allah Yang Turut Menderita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 54-55, 78.
[6] Ibid., 53.
[7] Th. Sumartana, “Beberapa Persoalan dan Gagasan Tentang ‘Gereja dan Masyarakat’ Sekitar Tahun-tahun 1950-an” dalam S. Wismoady Wahono, P.D. Latuihamallo, dan Fridolin Ukur (peny.), Tabah Melangkah (Jakarta: STTJ, 1984), 246.
[8] PGI, Dokumen Keesaan Gereja (DKG) (Jakarta: PGI, 2003), 4.
[9] Eka Darmaputera, "Prediksi dan Proyeksi Isu-isu Teologis Pada Dasawarsa Semibilanpuluhan: Sebuah Introduksi" dalam Soetarman et. al. (eds.), Fundamentalisme, Agama-agama dan Teknologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 4-7.
[10] Sinode GKI, Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB) No. 111 (Jakarta: Sinode GKI), 2002.
[11] Bnd. Pendapat Luther sebagaimana diuraikan Andar Ismail, Awam dan Pendeta: Mitra Pembina Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 2-9.
[12] Rick Warren, Pertumbuhan Gereja Masa Kini: Gereja Yang Mempunyai Visi-Tujuan (Malang: Gandum Mas, 2000), 55.
[13] Ibid., 58.
[14] PGI, Dokumen Keesaan Gereja (DKG) (Jakarta: PGI, 2003), 90-91.

Hadirat Allah, Tempat Pandangan Seseorang Diubahkan

Mazmur 73:1-20

Bagi siapakah Allah itu "terasa" baik? Pertanyaan tersebut sangat menantang sekaligus memiliki daya koreksi yang cukup dalam. Mengapa? Karena Allah terasa baik tidak berlaku untuk semua orang. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang merasakan kebaikan Allah itu dan bagi mereka Allah itu "terasa" baik. Bila kita membaca Mazmur 73:1 maka jelas tertulis disitu bahwa: "Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya". Jadi Allah terasa baik oleh mereka yang memiliki kualitas KETULUSAN HATI DAN KEBERSIHAN HATI. Tidak sedikit orang berpredikat Kristen bersungut dan menyalahkan Allah ketika mereka mengalami kesulitan dan penderitaan. Hati mereka tidak bersih dan tulus sehingga senantiasa ada kecurigaan terhadap perbuatan Allah dan motif-motif di balik tindakan Allah tersebut, padahal dalam Yakobus 1:17 ada jaminan dari semua perbuatan dan tindakan Allah: "Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran." Pertanyaannya sekarang adalah: apakah Allah sudah terasa baik bagi kita?

Ketika ayat 1 bicara mengenai HATI maka penulis Mazmur ini, Asaf, tergoda. Asaf dengan jujur mengakui dalam ayat 3-10: "Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik. Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka; mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain. Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan dan berpakaian kekerasan.Karena kegemukan, kesalahan mereka menyolok, hati mereka meluap-luap dengan sangkaan. Mereka menyindir dan mengata-ngatai dengan jahatnya, hal pemerasan dibicarakan mereka dengan tinggi hati. Mereka membuka mulut melawan langit, dan lidah mereka membual di bumi. Sebab itu orang-orang berbalik kepada mereka, mendapatkan mereka seperti air yang berlimpah-limpah." Dalam hati Asaf terjadi perbandingan dan pertanyaan mengapa orang fasik mujur dan orang saleh menderita. Mungkin Asaf modern akan bilang kenapa orang fasik hidup senang, jalan-jalan, gak ada sakitnya, kemana-mana dengan mercedez, tetapi orang saleh, hidup kesulitan, mau ibadah dilemparin, kemana-mana jalan kaki, syukur-syukur bisa naik angkot. Sebuah perbandingan yang ekstrim tetapi itulah yang paling sering berada di benak orang percaya. Dan karena Asaf tidak memelihara HATI-nya maka pada ayat ke16 ia mengalami tulah dan memiliki pandangan yang keliru.

Solusi yang dialami oleh Asaf adalah ketika ia mengatakan: "sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka". MASUK KE DALAM TEMPAT KUDUS ALLAH artinya ketika Asaf memasuki hadirat Allah. MEMPERHATIKAN KESUDAHAN MEREKA, artinya dalam hadirat Allah, Asaf baru melihat bagaimana orang fasik yang dilihatnya begitu mujur ternyata sedang berada dalam jalan kebinasaan.

Uraian di atas menyadarkan kita semua bahwa ketika kita berada dalam hadirat Allah maka pandangan seseorang yang keliru dapat diubahkan. Sehingga kita dapat mengatakan hadirat Allah adalah tempat dimana pandangan seseorang diubahkan. Banyak hal kita bisa salah persepsi, mindset kita tidak tepat, paradigma kita tentang banyak perkara yang Allah ijinkan terjadi bagi hidup kita melenceng, sehingga kita acapkali salah paham terhadap Allah atau malah ngambek gak keruan. Kita terlalu sering menganalisa sendiri berdasarkan cara pandang kita yang sangat rentan terhadap kesalahan sekalipun kita sudah berbekal ilmu dan pengalaman. Solusi bagi Asaf adalah solusi bagi kita. Masuk dalam hadirat Allah dan membiarkan ALLAH MENUNJUKKAN KEPADA KITA PANDANGAN MENURUT PANDANGAN ALLAH dan MENGUBAH PANDANGAN KITA SERUPA DENGAN PANDANGANNYA.

Sudahkah kita menjumpai dan memasuki hadirat-Nya hari ini?

Daniel Zacharias

12 Desember 2007

Antara Fakta dan Kebenaran

Berbicara mengenai topik antara fakta dan kebenaran rasa-rasanya perlu suatu sorot balik ke belakang (flashback) agar setidaknya kita memperoleh gambaran yang lengkap dan kasuistik. Mengapa harus begitu? Bukankah sebenarnya kita tidak mengalami kesulitan dengan kedua istilah itu? Bukankah fakta itu adalah kebenaran dan kebenaran itu sendiri adalah fakta? Ya, dengan mudah kita mengatakan bahwa itu sama, tetapi apakah memang semudah itu? Dan apakah memang sama? Pertanyaan-pertanyaan se-perti ini tidak dapat dijawab dengan perasaan dan data-data empirik belaka, tetapi pada sumber-sumber yang kali ini didasarkan pada literatur ilahi yakni Alkitab, sebab di sanalah manusia menjumpai adanya fakta dan kebenaran yang sejati. Dalam persoalan ini saya terlalu meyakini bahwa fakta tidak selalu sama dengan kebenaran dan sebaliknya.

Asumsi saya adalah bahwa pada awalnya fakta itu adalah kebenaran sendiri, kebenaran memakai fakta untuk menunjukkan kehadirannya. Apa yang terlihat dan terjadi itulah fakta sekaligus adalah kebenarannya. Saya mencoba membatasi pengertian kebenaran di sini sebagai yang bukan person (somebody) tetapi sebagai sesuatu (something) yang merupakan ekspresi sekaligus perwujudan dari “kebenaran yang tertinggi”. Kebenaran yang adalah fakta itu sendiri terjadi dalam penciptaan semesta ini.

Namun kebenaran yang merupakan fakta itu tiba-tiba diupayakan untuk diceraikan dari fakta. Ketidaktaatan Adam dan Hawa dengan dalih-dalih mereka membuat keduanya berpikir untuk memanipulasi fakta agar tak lagi menjadi kebenaran tetapi dengan meminimalkan maknanya melalui upaya mencari kambing hitam. Kebenaran juga diupayakan dipisahkan dari fakta juga terjadi saat Kain membunuh Habel, adiknya, dan ia mencoba untuk tidak mengakui fakta dengan memanipulasinya dan meminimalkan pengakuannya. Dan akhirnya kebenaran berpisah dari fakta ketika istri Potifar berhasil memfitnah Yusuf. Saat peristiwa yang menggemaskan itu terjadi fakta berkata bahwa memang Yusuf cuma berduaan dengan perempuan binal itu, dan memang tangan istri Potifar memegang pakaian Yusuf, dan itu kenyataannya! Tetapi kebenaran bersaksi lain. Potifar menilai berdasarkan fakta dan bukan pada kebenaran.
Melalui peristiwa ini ada pelajaran yang dapat diambil, yakni bahwa fakta bisa direkayasa, agar orang melihat dan mendengar, tetapi kebenaran tidak dapat direkayasa. Ketika kebenaran coba direkayasa dan didandani, kebenaran bagaikan angin telah melarikan diri dan tak dapat ditangkap. Menjaring kebenaran dan menculiknya serta menyekapnya sama dengan menjaring angin.

Kebenaran memang terkadang berjalan bersama-sama dengan fakta, atau seperti dikatakan di atas, ia memakai fakta untuk menunjukan diri. Tetapi saat fakta coba direkayasa maka kebenaran menjauh dan kemudian memakai dimensi man-dirinya untuk tetap hadir dan berada. Orang jahat di pengadilan yang harusnya dihukum ternyata dibebaskan karena rekayasa hukum, menunjukan bahwa pengadilan terlalu kaku dan tidak berdaya dengan strategi yang mengandalkan fakta sebagai kebenaran yang terkadang bukan kebenaran itu sendiri. Akibatnya bila tak ada fakta maka orang yang dalam dimensi kebenaran telah melanggar hukum dapat dibebaskan.

Fitnah sebenarnya merupakan upaya merekayasa fakta dan menyembunyikan kebenaran. Da-lam fitnah, fakta tak dapat lagi menjadi tolak ukur, sebab fakta sudah dipalsukan.
Tulisan ini tidak menganjurkan pesimisme tetapi cenderung lebih bersifat realistis-filosofis yang esensial. Sebab kenyataan orang saat ini cenderung pesimis terhadap hukum akibatnya mereka tidak dapat lagi merumuskan secara filosofis penyimpangan-penyimpangan yang tak tertangkap fakta tetapi kita dapat merasakannya. Kendala terbesar adalah karena banyak orang licik pada saat ini yang melihat kelemahan sistem hukum yang kemudian memanfaatkannya serta meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika seseorang berada dalam fitnah jangan berpikir terlalu sempit tetapi berpikirlah secara meluas. Pada saat fitnah menjelang seseorang, hanya fakta yang meninggalkannya, tetapi tidak dengan kebenaran itu sendiri. Sedangkan orang yang memfitnah sedang berada pada pihak fakta yang mendukung tetapi tidak dengan kebenaran.

Kristus mati berdasarkan tuduhan yang tak berasalah. Ia yang adalah “kebenaran” sejati malah dinyatakan bersalah. Fakta yang terekayasa dijalankan dan memang terjadi sesuai dengan skenario. Para murid mulai ragu akan “kebenaran”, sampai ada yang skeptis dan ragu. Tetapi memang kebohongan tidak dapat membendung kebenaran, walau kebenaran itu muncul kemudian. Kristus yang bangkit pun tetap disangkali. Mereka menciptakan fakta baru, dan fakta Kristus bangkit dari antara orang mati yang sebagai kebenaran malah dianggap mitos. Akibatnya sampai dengan saat ini kebenaran menjadi terhalang oleh maraknya orang yang mengatakan bahwa fakta yang sudah berpisah dari kebenaran itu dianggap justru sebagai kebenaran.

Orang-orang percaya dalam memandang segala sesuatu seringkali dan memang selalu memakai indera untuk mengecek peristiwa-peristiwa yang terjadi. Mereka senantiasa memandang situasi dengan keterbatasan nalar mereka. Allah meminta kita melihat segala sesuatu yang melampaui fakta dengan iman. Fakta yang terekayasa dapat menipu indera kita tetapi tidak iman kita.
Orang seperti Habakuk dan Bani Asaf (Maz 73) adalah orang-orang yang nyaris tertipu oleh indera mereka sendiri saat melihat bahwa fakta membela kejahatan dan kefasikan. Mereka bertanya pada Allah di mana kebenaran? Fakta sudah hadir, dan begitu menyakitkan dan terbalik? Kebenaran rupanya sedang terculik dan belum dapat muncul. Sampai Allah sendiri berkata pada mereka bahwa kebenaran pasti akan mereka lihat.

Akhirnya, di jaman yang penuh dengan muslihat ini orang percaya jangan mudah putus asa dengan semua yang dia lihat, dengar, rasa, dan raba, tetapi biarkanlah sisi lain hidup manusia yakni iman membedah situasi-situasi hidupmu yang sulit dan mengangkat kebenaran yang sudah lama atau sulit sekali selama ini dinyatakan. Kebenaran memang terkadang datang kemudian. Siapkah anda?

Daniel Zacharias

11 Desember 2007

Mengapa Kita Suka Kembali ke Titik NOL?

Amsal 30:8-9:
8 Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. 9 Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku".

Kata banyak orang “hidup” ini adalah sebuah “perjalanan”. Dan mereka yang menjalani hidup sering digambarkan sebagai seorang musafir. Kalau hidup adalah sebuah perjalanan berarti ada sesuatu yang ditinggalkan, ada sesuatu yang sedang dijalani atau ditempuh, dan ada sesuatu yang akan dicapai. Namun dalam keadaan yang sebenarnya kita kerap menjumpai bahwa tidak sedikit orang yang dalam hidupnya tidak melakukan perjalanan tetapi selalu kembali ke titik awal waktu ia berangkat. Tidak ada yang ditinggalkannya, tidak ada yang dijalaninya, tidak ada yang dicapainya. Hidupnya selalu kembali ke titik nol!

Sejatinya Allah tidak pernah menginginkan anak-anak-Nya menjalani kehidupan mereka dengan kembali ke titik nol. Namun tidak sedikit orang yang senantiasa memakai alasan bahwa ada banyak hal yang membuat mereka “terpaksa” kembali ke titik nol. Sebagaian orang yang kembali ke titik nol karena keberhasilannya. Keberhasilannya tidak membuat ia semakin maju dalam Tuhan tetapi ia malah lengah dan akhirnya jatuh dan kembali ke titik nol. Sebaliknya ada orang yang kembali ke titik nol karena kegagalannya. Kegagalannya tidak membuat belajar malah membuat ia kecewa dan larut begitu dalam sehingga ia jatuh dan kembali ke titik nol.

Penulis kitab Amsal tidak hanya mengajarkan bagaimana hidup dalam sebuah kecukupan yang sejati, tetapi ia juga mengingatkan kita bahwa KEBERHASILAN KITA bisa membuat kita kembali ke titik nol dan KEGAGALAN KITA juga bisa membuat kita melakukan hal yang sama.

Haruskah Keberhasilan membuat kita lengah dan jatuh dan kegagalan kita membuat kita kecewa lalu kalah? Haruskah?

Hal-hal yang diberikan Tuhan pada manusia baik KEBERHASILAN maupun KEGAGALAN tidak pernah dimaksudkan-Nya SEKALIPUN untuk menyeret manusia kembali ke titik nol.
Caroline Sandel Berg pernah menulis lagu Day By Day yang terjemahannya ada pada KJ 332 – KEKUATAN SERTA PENGHIBURAN mengatakan: “Suka dan derita bergantian memperkuat imanku”.

“Suka” yang diberikan Allah pada manusia tidak dimaksudkan-Nya untuk menjerumuskan manusia kembali ke titik nol, tetapi untuk MEMPERKUAT IMAN.

“Duka” yang diberikan Allah pada manusia tidak dimaksudkan Allah untuk menjatuhkan manusia kembali ke titik nol, tetapi untuk MEMPERKUAT IMAN.

Bagaimana caranya agar tidak jatuh ke titik nol:

1. BERHENTI SEJENAK UNTUK MERENUNGKAN CAMPUR TANGAN TUHAN - Bersikaplah seperti Samuel dalam I Samuel: 7:12: "Kemudian Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya antara Mizpa dan Yesana; ia menamainya Eben-Haezer, katanya: "Sampai di sini TUHAN menolong kita." Dengan berhenti sejenak membuat saudara diberi kesempatan untuk mengoreksi diri bahkan mengakui perbuatan Allah dalam segala hidup kita.

2. MEMBUAT KOMITMEN UNTUK TERUS MAJU DALAM TUHAN SEKALIPUN DI BERIKAN KEBERHASILAN DAN KEGAGALANAmsal 4: 3: "Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, 4 maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia." Dengan membuat komitmen membuat saudara diberi kesempatan untuk hidup dalam iman dan sekaligus ditantang untuk membuktikan iman saudara.

Mari kita pakai KEBERHASILAN yang Tuhan berikan sebagai motivasi untuk tetap hidup memuliakan Tuhan, dan tidak memandang KEGAGALAN sebagai penghambat untuk terus maju dalam Tuhan, Amin!

Daniel Zacharias

05 Desember 2007

DENOMINASI

TITIK BERANGKAT
Sebelum menjauh dengan pengertian yang beragam tentang denominasi simaklah sebuah perenungan kontemplatif berikut ini tentang denominasi:

JESUS MENONTON PERTANDINGAN SEPAK BOLA[1]
Yesus Kristus berkata bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepakbola.
Maka kami, aku dan teman-temanku, mengajak-Nya menonton.
Sebuah pertandingan sengit berlangsung antara kesebelasan GKO (aslinya: Protestan)
dan kesebelasan Karismatik (aslinya: Katolik)

Kesebelasan Karismatik memasukkan bola terlebih dahulu.
Jesus bersorak gembira dan melemparkan topi-Nya tinggi-tinggi.
Lalu ganti kesebelasan GKO yang mencetak goal.
Dan Yesus bersorak gembira serta melemparkan topi-Nya tinggi-tinggi lagi.

Hal ini rupanya membingungkan orang yang duduk di belakang kami.
Orang itu menepuk pundak Yesus dan bertanya:
‘Saudara berteriak untuk pihak yang mana?’
‘Saya?’ jawab Yesus, yang rupanya saat itu sedang terpesona oleh permainan itu.
‘Oh, saya tidak bersorak bagi salah satu pihak, Saya hanya senang menikmati permainan ini.’
Penanya itu berpaling kepada temannya dan mencemooh Yesus: ‘Ateis!’

Sewaktu pulang, Yesus kami beritahu tentang situasi denominasi (aslinya: agama) di dunia dewasa ini. ‘Orang yang berlainan denominasi (aslinya: beragama) itu aneh, Tuhan,’ kata kami. ‘Mereka selalu mengira bahwa Allah ada di pihak mereka dan melawan orang-orang yang ada di pihak lain.’

Yesus mengangguk setuju. ‘Itulah sebabnya Aku tidak mendukung denominasi (aslinya: agama); Aku mendukung orang-orangnya,’ katanya. ‘Orang lebih penting daripada denominasi (aslinya: agama). Manusia lebih penting daripada hari Sabat.’

‘Tuhan, berhati-hatilah dengan kata-kata-Mu,’ kata salah seorang di antara kami dengan was-was. ‘Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.’ ‘Ya - dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang anggota denominasi-denominasi (aslinya: beragama),’ kata Yesus sambil tersenyum kecewa.

PENDEKATAN ETIMOLOGIS
Bila menyebut kata ‘denominasi’ maka pikiran orang tergiring pada sebuah gereja, aliran gereja, ajaran gereja, atau bahkan dogma gereja. Memang tidak salah tetapi tampak begitu nisbi karena tak ada suatu patokan pengertian yang cukup memadai untuk mengerti kata tersebut. Tulisan ini tak bermaksud membuat sebuah definisi mutlak terhadap kata ‘denominasi’ tetapi mengantar kepada sebuah pemahaman awal yang pada akhirnya membawa kita semua ke sebuah pergumulan konkrit yang tak sekedar berbeda teori tetapi juga pada implikasi praksisnya.

Kata ‘denominasi’ berakar dari kata Latin denominatus yang memberi sebuah nama yang spesifik.pada sesuatu yang kemudian berkembang pengertiannya melalui kata Latin denominatio yang artinya sebuah golongan keagamaan dengan nama khusus.[2]
Sedangkan kata ‘sekte’ berasal dari kata Latin ‘secta’ yang artinya jalan, cara, golongan, atau kumpulan yang kemudian berkembang pengertiannya menjadi sebuah kelompok keagamaan yang melepaskan diri gereja asal karena perbedaan doktrin. Di sisi lain pengertian ‘sekte’ juga berangkat dari kata Latin ‘sectus’ yang berarti memotong atau memisahkan diri (pinnatisect).[3] Soedarmo mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada sekte karena semuanya disebut gereja.[4]

Yang berikut adalah kata ‘bidat’ yang berasal dari kata Yunani hairesis yakni kelompok keagamaan yang bertentangan secara doktrin dengan gereja yang mempertahankan doktrin ortodoks (ajaran yang benar).[5]


PENGERTIAN PRAKTIS
Yang dimaksud dengan pengertian praktis di sini adalah pengertian istilah tersebut dalam penggunaan keseharian dari kehidupan gereja. Dengan kata lain pengertiannya tak lagi teologis melulu tetapi juga sosiologis. Ernst Troelstch, dalam karya monumentalnya membedakan dua tipe utama kelompok keagamaan - yaitu gereja dan sekte. Bagi Troeltsch gereja, atau ecclesia, adalah suatu organisasi keagamaan yang merupakan ciri khas suatu gerakan keagamaan dalam fase kematangan dan kemapanannya. Di lain pihak sekte menandai tahap-tahap permulaan yang dinamik dari suatu gerakan. Troeltsch memandang dua variasi utama kelompok-kelompok keagamaan dan kedua tipe tersebut berguna sekali untuk dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan.[6]

Dua sosiolog yakni von Wiese dan Becker merinci dengan menambah subtipe untuk gereja yakni denominasi dan untuk sekte yakni cult.[7] Ecclesia adalah sebuah gereja yang menekankan keuniversalannya di dalam suatu daerah tertentu, baik nasional maupun internasional. Semua angggota yang dilahirkan di dalam daerah tertentu ini dianggap, berdasarkan tempat tinggalnya, sebagai anggotanya. Ecclesia jauh berbeda dengan sekte, tidak menarik diri dari dunia dan juga tidak memeranginya tetapi untuk menguasainya.[8]

Sekte pada umumnya merupakan kelompok kecil yang eksklusif, dan yang anggota-anggotanya bergabung secara sukarela. Kekuasaan dijalankan (oleh seseorang) berdasarkan atas kharisma perorangan dan bukan atas dukungan hirarkhis, meskipun demikian disiplin keagamaan dalam sekte tersebut keras, dan dilaksanakan bersama dengan saling mengawasi di antara anggota-anggota kelompok tersebut. Sekte-sekte ditandai dengan semangat keagamaan dan etik, kepercayaan-kepercayaan mereka menekankan ajaran-ajaran Injil dari masa-masa paling awal, dan praktek-prakek keagaamaan mereka menekankan cara hidup orang Kristen pertama. Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek (keagamaan) sekte tersebut mempertajam perbedaan antara anggota-anggota kelompok sekte yang bersatu dengan dunia luar. Memang anggota-anggota sekte biasanya bermusuhan dengan anggota-anggota semua gereja lain dan seringkali dengan sekte-sekte saingan mereka juga. Sekte-sekte juga cenderung radikal dalam penolakan mereka terhadap pemerintah sekuler, anggota-anggota sekte, umpamanya, boleh jadi enggan mengemban tugas sipil, melaksanakan dinas militer, bersumpah dan membayar pajak. [9]

Sekte-sekte terdiri dari dua jenis pokok: yaitu sekte-sekte yang menarik diri dan sekte-sekte yang militan Golongan biarawan/biarawati adalah sekte-sekte penting pada abad pertengahan yang menarik diri, dan yang militan adalah kelompok Anabaptis dan Saksi Yehova.[10]
Meskipun sekte-sekte itu cenderung berkembang menjadi denominasi-denominasi, namun sekte-sekte tersebut sama sekali tidak punah dari dalam masyarakat-masyarakat. Telah terbukti bahwa mobilitas sosial yang terus-menerus menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan sekte-sekte baru yang terpisah.[11]

Denominasi adalah kelompok yang relatif stabil, sering ukuran dan kompleksitasnya besar, yang mendapatkan anggota-anggotanya sebagian besar karena merasa berhak. Pada umumnya terdapat sebuah denominasi di antara sejumlah gereja yang ada dalam suatu atau beberapa daerah tertentu. Kekuasaan dalam suatu denominasi kadang-kadang bersifat hirarkhis dan kadang-kadang ditunjuk atas pilihan para jemaah setempat. Disiplinnya, tidak seperti disiplin sekte, seluruhnya bersifat formal dan konvensional, tidak keras dan tidak berat. Para pendeta dan pastornya biasanya moderat dalam kegiatan penginjilannya dan merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan jemaah mereka sendiri. Denominasi tidak menarik diri, tidak memerangi dan juga tidak mengatur dunia, tetapi dalam banyak hal ia bekerjasama dengannya.[12]

Denominasi-denominasi tersebut terdiri dari dua jenis utama. Pertama, denominasi-denominasi itu boleh jadi berasal dari sekte-sekte, yang teratur dan matang, dan yang telah melakukan perdamaian dengan dunia. Kedua, denominasi-denominasi itu berasal dari ecclesia-ecclesia, yang terpaksa menerima status denominasi agar tetap hidup dalam masyarakat. Gereja-gereja Metodis dan Baptis adalah contoh-contoh denominasi terkenal yang berkembang dari sekte-sekte, sedangkan gereja-gereja episkopal di Inggris dan Lutheran di Swedia -- meskipun secara nasional mapan -- di Amerika Serikat hanya merupakan denominasi saja.[13]


AKAR PERSOALAN
Denominasi keagamaan tak lain dan tak bukan dipicu oleh sebuah anggapan yang kemudian pada masa tertentu telah mengental menjadi sebuah doktrin, dan kemudian memadat menjadi sebuah fanatisme yang terwujud dalam sebuah denominasi yang berbaju agama. Akibatnya bila ada sebuah anggapan yang benar, maka doktrin menjadi sehat, dan fanatisme otomatis gugur, lalu secara otomatis pula denominasi keagamaan pun tak akan pernah lahir. Dalam bahasa teologi, anggapan seperti yang dimaksud di atas dapat disebut sebagai hermeneutika. Hermeneutika yang sehat melahirkan teologi yang benar dan sebaliknya.

Allah memang pernah berjanji untuk memberkati Abraham dan keturunannya [Kej 12]. Allah bahkan membentuk suatu paguyuban orang-orang beriman yang memakai panji-panji kebesaran nama Abraham dalam sebuah bangsa yang bercikal bakal dari keturunannya sendiri yang disebut Israel. Tak cukup dengan itu, Ia malah membebaskan paguyuban kesayangan-Nya itu dari tirani Firaun yang sok ilahi dan berkuasa, mengubah status mereka dari budak kerja rodi menjadi orang-orang yang otonom-teokratis serta berdaulat di atas tanah yang awalnya bukan milik mereka. Ia menyediakan bagi mereka tempat berdiam mereka laksana rumput yang hijau dan air yang tenang. Akibatnya saat mereka harus dibuang karena dosa mereka sendiri, paguyuban itu merasa tidak mungkin Allah berbuat seperti itu mengingat mereka adalah kesayangan-Nya. Apalagi ketika Allah memakai bangsa lain untuk memukul mereka, paguyuban itu tetap menganggapnya sebagai kesalahan dan kebiadaban bangsa-bangsa lain itu sendiri. Mereka tidak pernah atau bahkan tidak pernah akan percaya kalau Allah memakai bangsa lain juga.

Rupanya pilihan Allah dan perlindungan Allah selama ini tidak mengarahkan mereka untuk menjadi ingat pada bangsa lain, tetapi justru mereka malah semakin berusaha mengikat dan membelenggu Allah dengan anggapan mereka sendiri sehingga fanatisme mereka menjadi begitu berlebihan. Teologi parti-kularistis muncul dengan anggapan bahwa YHWH (Adonay) adalah milik Israel dan Elohim adalah Allah bagi mereka saja. Keadaan ini menjadi semakin buruk bila melihat sikap bangsa lain yang justru membenci ibadah Israel dan menolak YHWH sebagai Tuhan, akibatnya bangsa Israel semakin eksklusif dan memeluk teologi partikularistis semakin erat.

Persoalan teologi partikularitis adalah masalah hermeneutis. Allah yang luar biasa itu, yang Salomo sendiri akui tak dapat merumahkan-Nya [II Taw 2:6], malah dikerangkeng Israel dalam sebuah teologi manusia yang penuh egoisme dan keangkuhan. Sang Ultim yang bergerak dan bekerja bebas bagi dunia universal dipersempit ruang gerak-Nya dalam kotak sempit hermeneutis Israel yang pengap dan panas lagi sesak. Pola Allah yang memberkati semesta melalui keturunan Abraham ternyata diintepretasikan Israel keliru. Allah melalui Israel dipahami menjadi Allah untuk Israel. Agaknya saya harus mempertimbangkan istilah “melalui” bila mengingat keengganan C. S. Song menggunakan “teologi perwalian” atau “teologi anak tiri”[14] Intepretasi Israael yang keliru ini kemudian melahirkan teologi partikularistis, lalu membentuk fanatisme dan egoisme keagamaan.

Kisah di mana Allah menyelamatkan tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab seperti Rahab sekeluarga melalui dua orang pengintai, kemudian Rut melalui Naomi, setidaknya telah mem-buka sedikit jendela kemungkinan tentang ketiadaan teologi partikularistis itu di pikiran Allah sendiri.

Anggapan seperti dimaksud di atas tergambar dengan jelas dan diperkuat oleh narasi Yunus [Yunus 1:1-17; 4:1-10]. Kisah Yunus memang sering jarang sekali dipakai sebagai bahan acuan untuk masalah ini (Yesus sendiri menghubungkan kisah ini dengan konsep Kebangkitan) [Mat 12:38-42; Luk 11:29-32]. Kesulitannya terletak pada beberapa orang yang mempermasalahkan historitas kisah tersebut. Akibatnya perdebatan seputar historitas melu-putkan tujuan penulisan narasi Yunus. Perlu dikomentari di sini bahwa pembuktian historitas kisah Yunus seakurat apapun tak memberi sumbangan yang berarti. Baik kisah itu historis maupun tidak, narasi Yunus ingin menampilkan suatu pandangan teologi yang anti-partikularistis. Dapat dipastikan kisah ini dimunculkan oleh mahzab yang sedikitnya sudah mampu menangkap nilai universal tindakan Allah bagi seluruh bangsa dan bukan Israel saja.

Sikap Yunus menggambarkan betapa hermeneutikanya terhadap tindakan Allah sangat sempit. Koreksi Allah terhadap hermeneutika Yunus terlihat dari kisah "pemaksaan" melalui "badai" (1:4, gambaran dari pembatalan terhadap pola hermeneutika Yunus) dan "ikan" (1:17, gambaran dari pencapaian makna tindakan Allah yang sebenarnya). Posisi hermeneutika seperti Yunus anehnya masih saja dianut dan dikerjakan orang beragama manapun. Fanatisme selalu menjadi masalah. Fanatisme merupakan pengkhianatan terhadap ajaran agama itu sendiri. Fanatisme merupakan pembuktian kurang luasnya seseorang memahami perbuatan Allah atau ajaran agamanya. Fanatisme secara hakiki adalah egoisme yang berbulu agama.
C. S. Song dalam keprihatinan yang sama menonjolkan teolog Deutero Yesaya dalam menguraikan tentang Hamba Yang Menderita [Yes 53]. Melalui konsep ini teolog Deutero Yesaya mengambil langkah berani dari sentrisme Israel ke pandangan yang jauh lebih tentang bangsa-bangsa.[15] Selanjutnya ia mengatakan bahwa siapapun diri Hamba yang Menderita itu, ia bukan lagi suatu tokoh nasional yang dikurung dalam batas-batas Israel [Yes 42:1, 4: 49:6, 53:9]. Hamba yang Menderita itu tak dapat dijelaskan oleh Israel saja. Ia melompat keluar kotak iman dan kehidupan sempit yang telah memberi Israel jatidiri nasional dan keagamaannya.[16] Pada akhirnya C. S. Song dengan tegas mengatakan, “Allah tampaknya bersifat rahasia hanya bagi mereka yang ingin memonopoli dan menguasai Allah. Mereka merasa tertipu ketika Allah juga berkenan dengan bangsa-bangsa lain dan memihak lawan-lawan mereka”.[17]

Akhir-akhir ini kita sering diperhadapkan pada suatu pertikaian yang berbau SARA secara laten. Baik di kalangan Islam maupun Kristen masing-masing (walaupun tidak diakui terang-terangan, namun dalam tindakan dan sikapnya terlihat dengan jelas) masih menyimpan egoisme keagamaan. Superioritas yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya yang menyimpan dan mewarisi "kebenaran" dan “keselamatan” membuat eksklusivitas (sikap separatis) makin kentara bahkan menjadi-jadi.

Kritik bagi gereja sebenarnya sudah cukup banyak. Sikap gereja yang berusaha menerima kepelbagaian dalam segi iman terkadang masih plin-plan. Masih ada anggapan dari pihak gereja sendiri bahwa di luar gerejanya tidak ada keselamatan. Orang Kristen atau gereja juga hampir meniru tindakan orang Israel dalam memperlakukan Allah. Untuk urusan dalam kepelbagian antar denominasi di kalangan Protestan saja seringkali tidak ada kesepakatan. Sikap eksklusif yang tadinya hanya untuk antar agama saja ternyata makin menyempit ke dalam konteks antar denominasi. Bayangkan! Maka janganlah kita heran bila sikap ekumenis dari beberapa gereja tertentu seringkali ditanggapi sebagai sekedar kertas-kertas kerja dan semboyan saja. Berapa gereja sih sebenarnya yang masih bisa saling memperhatikan? Berapa gereja yang justru tidak peduli satu sama lain? Berapa? Dan sejauh mana?

Kondisi terpecahnya relasi antar denominasi ini ternyata bukan rekaan saja. Gereja yang satu dapat menjadi “sandungan” bagi gereja lain. Gereja satu menertawakan organisasi atau teologi gereja lain. Seolah-olah gereja yang sudah “lama” berdiri, di dalamnya penuh dengan anggota-anggota senior yang turut mendirikan, pelayannya lulusan sekolah-sekolah teologi atau seminari luar negeri yang berstrata magister sampai doktoral, dan telah menjadi anggota kelompok ekumenis tertentu (dikuatirkan kalau yang satu ini adalah wujud eksklusivisme baru), dapat disebut pewaris ortodoksi dan gereja lain tidak! Di sisi lain gereja-gereja yang “baru” berdiri, entah karena memang benar-benar baru, atau kepingan-kepingan dari yang pernah ada lalu pecah, atau pelarian dari gereja-gereja sebelumnya, menghembuskan asap pandangan yang mengesankan seolah-olah upaya yang “baru” itu sebagai suatu upaya pembaruan atau kritik terhadap yang “lama”. Kelompok yang mengatakan dirinya sudah “lama” itu menganggap dirinya sudah matang dan mewarisi suatu yang sudah lama yakni ortodoksi tulen yang mungkin sudah berdebu dalam kotak wasiat yang tersimpan berabad-abad dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang otentik. Sedangkan yang “baru” menganggap dirinyalah yang membawa kembali atau menemukan ortodoksi yang sudah lama hilang dan mencoba melakukan pembaruan di sana sini sekaligus menggemboskan yang “lama”. Kedua kelompok ini punya sekolah teologi sendiri-sendiri. Lulusan dari yang “lama” sulit diterima sebagai seorang pendeta di gereja “baru” dengan alasan yang sudah basi: “liberalis dan cenderung rasionalis” dan lulusan yang “baru” juga mengalami kesulitan memasuki benteng tua gereja “lama” dengan alasan yang sama basinya: “tidak seazas dan berkesan fundamentalis-karismatis-pietis”.
Yesus pernah memperingatkan para murid-Nya agar hidup keagamaan mereka harus lebih benar dari hidup keagamaan orang Farisi dan ahli Taurat [Mat 5:20]. Menurut Henk ten Napel peringatan Yesus ini disebut sebagai upaya mengajukan sebuah “kebenaran yang lebih benar” Untuk itu sebaiknya kita menyoroti istilah Henk ten Napel lebih jauh. Bila orang Farisi dan ahli Taurat merasa bahwa apa yang mereka “anggap” (hermeneutika Farisi dan ahli Taurat) baik dalam praktek dan ajaran itu sudah “benar” dan ternyata di “mata Yesus” (hermeneutika Yesus) hal itu masih “salah”, ini berarti salah satu dari kebenaran itu palsu dan yang lain tulen. Istilah Henk ten Napel ini mengisyaratkan kita untuk berwaspada pada klaim kebenaran-kebenaran yang kita buat dan kita anggap itu sudah benar.[18]

Dari pemahaman tentang denominasi maka seringkali dipergunakan istilah aliran dan denominasi untuk membuat suasana eufemis dari pada menggunakan istilah bidat (bidaah) atau sekte. James D. G. Dunn dalam menangani pemilahan dari relasi antar agama dan antar aliran atau denominasi. Pemilahan hubungan antar agama dan perkembangannya disebut Religionsgeschicte sedangkan dalam tataran perkembangan di dalam agama disebut dengan Tradisionsgeschicte. [19] Perbedaan dan pemilahan dalam sebuah agama memang setua agama itu sendiri. Dalam sejarah kekristenan relasi antara yang ortodoksi (pemahaman yang benar) dengan yang bidat menduduki posisi penting dan senantiasa melahirkan konsili-konsili. Mereka yang menyebut dirinya ortodoksi berakar dari sebuah ajaran yang selaras dengan tradisi “iman rasuli”. Sampai dengan saat ini kecenderungan tiap gereja, denominasi atau sekte menyatakan memiliki hak monopoli atas iman yang benar masih tetap ada, dengan demikian gereja tersebut akan menyangkal yang lain, menolak yang lain, atau mencela bahkan menganiaya yang lain sebagai bidat. Yang jadi problem sekarang adalah siapakah yang memang benar-benar mewarisi sebuah keortodoksian, gereja mana yang benar-benar memegang iman rasuli, gereja mana yang memang benar-benar memegang keyakinan iman yang benar?

Masalah sekarang adalah sekalipun semua kembali ke Alkitab (back to the Bible) namun ujung-ujungnya selalu berbeda, hal ini disebabkan adanya pola penafsiran atau interpretasi yang berbeda. Terkadang pula terjadi pola penafsiran yang memakai standar ganda dan tidak konsisten. Misalnya tentang masalah Sakramen. Sakramen Baptisan Kudus sebagai studi kasus pertama, gereja Anabaptis yang sangat menekankan sistem pembaptisan dengan ‘cara selam’ tetapi gereja Reformasi memberlakukan ‘cara percik’. Dua kubu gereja ini saling menyerang, yang memberlakukan ‘cara selam’ menganggap ‘cara percik’ tidak Alkitabiah maka tidak sah sehingga bila perlu ‘dibaptiskan kembali’ (baptis ulang). Kubu Anabaptis menganggap tafsiran kubu gereja Reformasi memiilki pola penafsiran yang sudah berkompromi dengan situasi dan tidak lagi berdasarkan Alkitab. Sementara yang menganut baptisan ‘cara percik’ menganggap ‘cara selam’ sebagai suatu penafsiran alegori dan hurufiah. Kesimpulan pertama dari kejadian ini adalah: bahwa tindakan yang bersifat gerejawi bisa berbeda karena penafsiran yang berbeda.
Pada pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus tidak dijumpai adanya pertentangan, keduanya bisa akur dan kalau berbeda hanya pada jumlah pelaksanaan sakramen ini dalam setahun. Kelompok Anabaptis pada sakramen perjamuan kudus justru tidak konsisten sebagaimana mempertahankan masalah sakramen baptisan kudus. Masalahnya Perjamuan Kudus yang dilaksanakan sekarang ini berpedoman pada apa yang Yesus lakukan sebelum Ia di tangkap (Mat 26:17-25). Yesus pada kesempatan itu sedang merayakan hari Raya Roti Tidak Beragi yang dijalankan dengan praktek Perjamuan Paskah. Roti yang dipecahkan Yesus adalah roti yang tidak beragi demikian pula anggur yang diminum Yesus adalah anggur bukan hasil fermentasi. Mengingat Hukum Paskah dalam Kel 12:14-20 melarang penggunaan seor, atau ragi yang melambangkan kebejatan dan dosa maka roti yang digunakan tidak beragi demikian pula anggurnya. Gereja yang merasa dan mengaku tafsirannya sangat Alkitabiah ternyata melaksanakan Perjamuan Kudus dengan roti yang beragi dan anggur hasil fermentasi. Uraian ini tidak mendeskreditakan gereja tertentu tetapi menggambarkan persoalan yang menyebabkan terpecahnya gereja-gereja ke berbagai denominasi karena alasan hermeneutika dan ketidakkonsistenan hermeneutika atau dengan kata lain sebuah ketidakpuasan hermeneutis sebagai kesimpulan kedua.

Perbedaan pola tafsir sangat bergantung pada dua hal: pertama, kebergantungan seseorang penafsir pada pimpinan Roh Kudus sebagai sumber iluminasi; kedua, pada penguasaan teknik menafsir yang lebih bertanggungjawab. Terbentuknya denominasi-denominasi dalam gereja secara universal adalah karena varian dari bentuk di atas. Ada penafsir yang bergantung sepenuhnya pada pimpinan Roh Kudus tetapi tidak melengkapi dirinya dengan pola tafsir akibatnya muncul denominasi A. Ada yang memiliki kemampuan tafsir yang baik dan bertanggungjawab tetapi tidak bergantung pada tuntunan Roh Kudus kemudian membentuk denominasi B. Ada yang karena kepentingan tertentu tetap mengerjakan pelayanan tetapi tidak memiliki kebergantungan pada Roh Kudus dan tidak pula memiliki kemampuan menafsir yang tidak bertanggungjawab kemudian mendirikan denominasi C. Dan ada yang sangat bergantung pada pimpinan Roh Kudus dan memiliki kemampuan menafsir dengan baik membentuk denominasi D. Denominasi-denominasi tersebut saling menunjukkan diri masing-masing sambil menyerang denominasi-denominasi lainnya. Denominasi A menganggap denominasi B menafsir asal-asalan. Denominasi B menyerang denominasi A mempersulit pengertian dan bergantung pada akal. Denominasi C tidak menggubris kritik denominasi A dan B. Denominasi D lebih banyak melindungi diri agar tidak dirusak oleh pengaruh denominasi A, B, dan C. Keterpisahan dalam sebuah kotak-kotak denominasi lebih banyak dihasilkan oleh faktor hermeneutik-nya.
Perpecahan gereja dalam denominasi-denominasi juga terjadi karena perbedaan konsep pengendalian, pengaturan, dan kekuasaan gereja. Ada gereja yang secara ajaran tidak berbeda sebenarnya tetapi terpaksa memisahkan diri karena alasan-alasan yang non-teologis dan lebih banyak kepada masalah teknis yang kelihatannya tidak dapat didamaikan.
Seiring dengan isu Hak Azasi Manusia (HAM) maka setiap denominasi boleh berdiri sama tinggi dengan denominasi lain sekalipun denominasi tersebut baru berdiri beberapa tahun. Isu ini membuat denominasi-denominasi yang menyimpang pun dapat terakomodir (Saksi Yehova, Mormon, dll.) dan dengan bebas terus melebarkan sayap pengaruhnya. Konsep eksternal terhadap gereja tak mengenal sekte tetapi aliran dan denominasi. Jan S. Aritonang dalam konteks peristilahan aliran-aliran keagamaan enggan menggunakan istilah sekta, sekte atau bidat (sempalan) merujuk pada pandangan (Alm.) Dr. Peter Growning yang pernah menjadi dosen tamu di bidang Sejarah Gereja tahun 1974 berujar: “Dalam suasana dan upaya mewujudkan cita-cita oikumenis, istilah sekte dan bidat sudah tidak pada tempatnya untuk tetap dipertahankan.” Sekali lagi, masing-masing aliran atau organisasi gereja bisa saja, dan berhak, menilai aliran, gerakan atau organisasi gereja lain sebagai sekte (bahkan bidat) tetapi Aritonang tidak menganut pandangan semacam itu. Ia menggunakan istilah ‘aliran’ yang diberi pengertian netral, tetapi ia sendiri menyatakan tidak berarti ia setuju atau menerima paham atau ajaran yang terdapat dalam setiap aliran sebagai kebenaran.[20]

SEKARANG DAN DISINI
‘Perang suci’ antar denominasi di Indonesia memiliki pertarungan yang tak lagi dogmatis tetapi telah sampai pada tindakan praksis. Polarisasi yang tebentuk pun tidak lagi di tingkat antar gereja dan sinodal tetapi sudah nasional.[21] Selain ada kelompok Ekumenikal, Evangelikal, dan Karismatik, ada pula kelompok-kelompok yang tergolong Fundamentalis, ada Saksi Yehova dan Christian Science yang diperkenankan pemerintah mengembangkan diri.

Munculnya persekutuan-persekutuan di beberapa kampus di Universitas/Perguruan Tinggi disinyalir sebagai bentuk sekte-sekte baru yang tidak puas dengan kondisi peribadahan dalam gereja.[22] Padahal sekali lagi hal ini tak lain dan tak bukan adalah fenomena perbedaan hermenutis yang tak lagi membentuk kutub antara gereja dengan aliran (sekte) atau denominasi tertentu tetapi gereja dengan kampus sebagai perpindahan locus saja.

Gereja-gereja seharusnya mulai mengkaji diri dan memeriksa posisi mereka dalam tugas menggembalakan dan memberi makan dan minum spiritual anggota jemaat mereka: apakah pola hermeneutika yang dipakai masih memadai dan relevan dengan tuntutan jaman sekaligus setia pada tuntutan suara kenabian atau dengan kata lain: setia pada teks dan setia pula dengan konteks.

BAHAN PERBANDINGAN
Sejak tahun 1967 gereja-gereja yang mengaku “mainstream atau mainline churches” di AS mengalami penggembosan yang tidak main-main. Menurut Peter Wagner yang mendata denominasi-denominasi tradisional di AS berdasarkan data Survey Gallup yang menunjukkan adanya “penggembosan” di gereja-gereja mainstream. Gereja Episkopal, misalnya, turun dari 3,4 juta orang di tahun 1968 menjadi 2,5 juta orang di tahun 1994. Gereja United Methodists menurun dari 11 juta ke 8,6 juta; Gereja Presbyterian dari 4,2 juta ke 3,7 juta; dan United Church for Christ dari 2 juta ke 1,5 juta.[23] Agaknya pokok tersebut disebabkan oleh masalah institusional ketimbang masalah kontekstual.[24] Kalau faktor kontekstual adalah faktor-faktor sosiologis yang tidak dapat dikendalaikan gereja sedangankan faktor institusional dapat diubah oleh para pemimpin gereja baik di gereja lokal maupun di tingkat denominasi.[25]
Gereja-gereja di Amerika Serikat saat ini mulai memasuki kelompok-kelompok denominasi-denominasi baru sebagai upaya agar tetap survive namun hal itu tak berarti bahwa mereka akan lolos dengan mulus ke arah sebuah perkembangan yang lebih baik.[26]
Melihat kenyataan ini gereja jangan membela diri karena tidak ada lagi yang perlu dipertahankan sebaliknya perlu “diakui”. Gereja sebenarnya memiliki fungsi dan partisipasi yang bersifat positif, kreatif, kritis, dan realistis tidak saja mengarah kepada dunia tetapi juga kepada diri sendiri.[27] Gereja tidak memakai menu yang itu-itu saja. Gereja harus mengambil bagian dalam proses kesinambungan, peningkatan, koreksi, dan pembaharuan secara terus-menerus baik dalam gereja maupun masyarakat. Tidaklah salah bila gereja bisa mengganti paradigma berpikir dan sistem institusionalnya. Alkitab dengan jelas menggambarkan bagaimana kantong anggur yang lama (bermakna sangat ambigu) tidak dapat diisi dengan anggur yang baru (Mat 9:17). Apakah teologi dan institusi gereja mau menjadi “kantong anggur yang lama?”

Lyle Schaller (konsultan gereja Amerika dari United Methodist) dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi Jaringan Kepemimpinan yang bertopik “Masa Depan Denominasi-denominasi” mengemukakan: “Adakah masa depan untuk denominasi-denominasi? Hal ini ditentukan hampir seluruhnya oleh denominasi-denominasi itu sendiri.” Kuncinya, yakni mereka harus mau dan mampu beradaptasi dengan era baru.”[28] Kata “beradaptasi” bisa saja bermakna ambigu: gereja menyesuaikan diri sehingga terjadi sinkretis atau gereja menyesuaikan diri sehingga terjadi kontekstualisasi kritis. Untuk menghindari ambiguitas ini maka Schaller sekali lagi menjelaskan, “Saya tidak menyarankan supaya substansi Injil diubah. Saya hanya mengatakan bahwa kita perlu mengubah secara radikal cara kita mengemas dan menyampaikan makna Injil.”[29] Resep Schaller membuka peluang gereja menjawab isu-isu yang dihadapi gereja mulai dari tingkat elit gereja sampai grassroots.

Sumber:
[1] Diadaptasi seperlunya dari Anthony de Mello, Burung Berkicau (Yayasan Cipta Loka Caraka, 1985), 182-83.
[2] ©1995 ZCI Publishing, Inc. ©1994, 1991, 1988 Simon & Schuster, Inc.
[3] Excerpted from Compton's Interactive Bible NIV. Copyright (c) 1994, 1995, 1996 SoftKey Multimedia Inc. All Rights Reserved.
sect (sekt) n. [[ME secte <>[4] R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 83.
[5] Excerpted from Compton's Interactive Bible NIV. Copyright (c) 1994, 1995, 1996 SoftKey Multimedia Inc. All Rights Reserved
her-e-sy (heri se) n. , pl. -sies [[ME heresie <>[6] Ernst Troeltsch, Social Teaching of the Church (New York: MacMillan, 1931), 333-343.
[7] Leopold von Wiese & Howard Becker, Systematic Sociology (New York: John Willey & Sons, Inc., 1932), 624-28.
[8] Troeltsch, Ibid. Bnd. A.H. Fauset, Black Gods of the Metropolis (Philadelphia: University of Pennsylavnia Press, 1944).
[9] Ibid.
[10] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 164-165). Bnd. Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (Illinois: Free Press, 1947).
[11] H. Richard Niebuhr, Social Sources of Denominationalism (New York: Henry Holt & Co., 1929), 19-20. Bnd. Liston Pope, Millhands and Preachers (New Haven: Yale University, 1942), 117-140.
[12] NottingHam, Ibid.
[13] Von Wiese, Ibid.
[14] C. S. Song, Allah Yang Turut Menderita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 54-55, 78.
[15] Ibid., 69.
[16] Ibid., 70-71.
[17] Ibid., 53.
[18] Henk ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK Gunung Muia, 1990), 79.
[19] James D. G. Dunn, Unity and Diversity in the New Testament: An Inquiry Into the Character of Earliest Christianity (Philadelphia: Westminster Press, 1977), 4.
[20] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 9-10.
[21] Eka Darmaputera, peny. Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 13-19. Bnd. Emmanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 48-68.
[22] Majalah Mingguan Forum, No. 47 (10 Maret 2002), 11-21.
[23] C. Peter Wagner, Gempa Gereja! (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000), 12.
[24] Ibid., 24-25.
[25] Ibid.
[26] C. Peter Wagner, peny. Gereja-gereja Rasuli Yang Baru (Jakarta: Immanuel, 2001), 7-10.
[27] Th. Sumartana, “Beberapa Persoalan dan Gagasan Tentang ‘Gereja dan Masyarakat’ Sekitar Tahun-tahun 1950-an” dalam S. Wismoady Wahono, P.D. Latuihamallo, dan Fridolin Ukur (peny.), Tabah Melangkah (Jakarta: STTJ, 1984), 246.
[28] Lyle E. Schaller, “Leadership Network”, Forum Files (November , 1994), 1.
[29] Lyle E. Schaller, The New Reformation (Nashville: Abingdon Press, 1995), 14.