Berbicara mengenai topik antara fakta dan kebenaran rasa-rasanya perlu suatu sorot balik ke belakang (flashback) agar setidaknya kita memperoleh gambaran yang lengkap dan kasuistik. Mengapa harus begitu? Bukankah sebenarnya kita tidak mengalami kesulitan dengan kedua istilah itu? Bukankah fakta itu adalah kebenaran dan kebenaran itu sendiri adalah fakta? Ya, dengan mudah kita mengatakan bahwa itu sama, tetapi apakah memang semudah itu? Dan apakah memang sama? Pertanyaan-pertanyaan se-perti ini tidak dapat dijawab dengan perasaan dan data-data empirik belaka, tetapi pada sumber-sumber yang kali ini didasarkan pada literatur ilahi yakni Alkitab, sebab di sanalah manusia menjumpai adanya fakta dan kebenaran yang sejati. Dalam persoalan ini saya terlalu meyakini bahwa fakta tidak selalu sama dengan kebenaran dan sebaliknya.
Asumsi saya adalah bahwa pada awalnya fakta itu adalah kebenaran sendiri, kebenaran memakai fakta untuk menunjukkan kehadirannya. Apa yang terlihat dan terjadi itulah fakta sekaligus adalah kebenarannya. Saya mencoba membatasi pengertian kebenaran di sini sebagai yang bukan person (somebody) tetapi sebagai sesuatu (something) yang merupakan ekspresi sekaligus perwujudan dari “kebenaran yang tertinggi”. Kebenaran yang adalah fakta itu sendiri terjadi dalam penciptaan semesta ini.
Namun kebenaran yang merupakan fakta itu tiba-tiba diupayakan untuk diceraikan dari fakta. Ketidaktaatan Adam dan Hawa dengan dalih-dalih mereka membuat keduanya berpikir untuk memanipulasi fakta agar tak lagi menjadi kebenaran tetapi dengan meminimalkan maknanya melalui upaya mencari kambing hitam. Kebenaran juga diupayakan dipisahkan dari fakta juga terjadi saat Kain membunuh Habel, adiknya, dan ia mencoba untuk tidak mengakui fakta dengan memanipulasinya dan meminimalkan pengakuannya. Dan akhirnya kebenaran berpisah dari fakta ketika istri Potifar berhasil memfitnah Yusuf. Saat peristiwa yang menggemaskan itu terjadi fakta berkata bahwa memang Yusuf cuma berduaan dengan perempuan binal itu, dan memang tangan istri Potifar memegang pakaian Yusuf, dan itu kenyataannya! Tetapi kebenaran bersaksi lain. Potifar menilai berdasarkan fakta dan bukan pada kebenaran.
Melalui peristiwa ini ada pelajaran yang dapat diambil, yakni bahwa fakta bisa direkayasa, agar orang melihat dan mendengar, tetapi kebenaran tidak dapat direkayasa. Ketika kebenaran coba direkayasa dan didandani, kebenaran bagaikan angin telah melarikan diri dan tak dapat ditangkap. Menjaring kebenaran dan menculiknya serta menyekapnya sama dengan menjaring angin.
Kebenaran memang terkadang berjalan bersama-sama dengan fakta, atau seperti dikatakan di atas, ia memakai fakta untuk menunjukan diri. Tetapi saat fakta coba direkayasa maka kebenaran menjauh dan kemudian memakai dimensi man-dirinya untuk tetap hadir dan berada. Orang jahat di pengadilan yang harusnya dihukum ternyata dibebaskan karena rekayasa hukum, menunjukan bahwa pengadilan terlalu kaku dan tidak berdaya dengan strategi yang mengandalkan fakta sebagai kebenaran yang terkadang bukan kebenaran itu sendiri. Akibatnya bila tak ada fakta maka orang yang dalam dimensi kebenaran telah melanggar hukum dapat dibebaskan.
Fitnah sebenarnya merupakan upaya merekayasa fakta dan menyembunyikan kebenaran. Da-lam fitnah, fakta tak dapat lagi menjadi tolak ukur, sebab fakta sudah dipalsukan.
Tulisan ini tidak menganjurkan pesimisme tetapi cenderung lebih bersifat realistis-filosofis yang esensial. Sebab kenyataan orang saat ini cenderung pesimis terhadap hukum akibatnya mereka tidak dapat lagi merumuskan secara filosofis penyimpangan-penyimpangan yang tak tertangkap fakta tetapi kita dapat merasakannya. Kendala terbesar adalah karena banyak orang licik pada saat ini yang melihat kelemahan sistem hukum yang kemudian memanfaatkannya serta meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika seseorang berada dalam fitnah jangan berpikir terlalu sempit tetapi berpikirlah secara meluas. Pada saat fitnah menjelang seseorang, hanya fakta yang meninggalkannya, tetapi tidak dengan kebenaran itu sendiri. Sedangkan orang yang memfitnah sedang berada pada pihak fakta yang mendukung tetapi tidak dengan kebenaran.
Kristus mati berdasarkan tuduhan yang tak berasalah. Ia yang adalah “kebenaran” sejati malah dinyatakan bersalah. Fakta yang terekayasa dijalankan dan memang terjadi sesuai dengan skenario. Para murid mulai ragu akan “kebenaran”, sampai ada yang skeptis dan ragu. Tetapi memang kebohongan tidak dapat membendung kebenaran, walau kebenaran itu muncul kemudian. Kristus yang bangkit pun tetap disangkali. Mereka menciptakan fakta baru, dan fakta Kristus bangkit dari antara orang mati yang sebagai kebenaran malah dianggap mitos. Akibatnya sampai dengan saat ini kebenaran menjadi terhalang oleh maraknya orang yang mengatakan bahwa fakta yang sudah berpisah dari kebenaran itu dianggap justru sebagai kebenaran.
Orang-orang percaya dalam memandang segala sesuatu seringkali dan memang selalu memakai indera untuk mengecek peristiwa-peristiwa yang terjadi. Mereka senantiasa memandang situasi dengan keterbatasan nalar mereka. Allah meminta kita melihat segala sesuatu yang melampaui fakta dengan iman. Fakta yang terekayasa dapat menipu indera kita tetapi tidak iman kita.
Orang seperti Habakuk dan Bani Asaf (Maz 73) adalah orang-orang yang nyaris tertipu oleh indera mereka sendiri saat melihat bahwa fakta membela kejahatan dan kefasikan. Mereka bertanya pada Allah di mana kebenaran? Fakta sudah hadir, dan begitu menyakitkan dan terbalik? Kebenaran rupanya sedang terculik dan belum dapat muncul. Sampai Allah sendiri berkata pada mereka bahwa kebenaran pasti akan mereka lihat.
Akhirnya, di jaman yang penuh dengan muslihat ini orang percaya jangan mudah putus asa dengan semua yang dia lihat, dengar, rasa, dan raba, tetapi biarkanlah sisi lain hidup manusia yakni iman membedah situasi-situasi hidupmu yang sulit dan mengangkat kebenaran yang sudah lama atau sulit sekali selama ini dinyatakan. Kebenaran memang terkadang datang kemudian. Siapkah anda?
Daniel Zacharias
Tidak ada komentar:
Posting Komentar