05 Desember 2007

DENOMINASI

TITIK BERANGKAT
Sebelum menjauh dengan pengertian yang beragam tentang denominasi simaklah sebuah perenungan kontemplatif berikut ini tentang denominasi:

JESUS MENONTON PERTANDINGAN SEPAK BOLA[1]
Yesus Kristus berkata bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepakbola.
Maka kami, aku dan teman-temanku, mengajak-Nya menonton.
Sebuah pertandingan sengit berlangsung antara kesebelasan GKO (aslinya: Protestan)
dan kesebelasan Karismatik (aslinya: Katolik)

Kesebelasan Karismatik memasukkan bola terlebih dahulu.
Jesus bersorak gembira dan melemparkan topi-Nya tinggi-tinggi.
Lalu ganti kesebelasan GKO yang mencetak goal.
Dan Yesus bersorak gembira serta melemparkan topi-Nya tinggi-tinggi lagi.

Hal ini rupanya membingungkan orang yang duduk di belakang kami.
Orang itu menepuk pundak Yesus dan bertanya:
‘Saudara berteriak untuk pihak yang mana?’
‘Saya?’ jawab Yesus, yang rupanya saat itu sedang terpesona oleh permainan itu.
‘Oh, saya tidak bersorak bagi salah satu pihak, Saya hanya senang menikmati permainan ini.’
Penanya itu berpaling kepada temannya dan mencemooh Yesus: ‘Ateis!’

Sewaktu pulang, Yesus kami beritahu tentang situasi denominasi (aslinya: agama) di dunia dewasa ini. ‘Orang yang berlainan denominasi (aslinya: beragama) itu aneh, Tuhan,’ kata kami. ‘Mereka selalu mengira bahwa Allah ada di pihak mereka dan melawan orang-orang yang ada di pihak lain.’

Yesus mengangguk setuju. ‘Itulah sebabnya Aku tidak mendukung denominasi (aslinya: agama); Aku mendukung orang-orangnya,’ katanya. ‘Orang lebih penting daripada denominasi (aslinya: agama). Manusia lebih penting daripada hari Sabat.’

‘Tuhan, berhati-hatilah dengan kata-kata-Mu,’ kata salah seorang di antara kami dengan was-was. ‘Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.’ ‘Ya - dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang anggota denominasi-denominasi (aslinya: beragama),’ kata Yesus sambil tersenyum kecewa.

PENDEKATAN ETIMOLOGIS
Bila menyebut kata ‘denominasi’ maka pikiran orang tergiring pada sebuah gereja, aliran gereja, ajaran gereja, atau bahkan dogma gereja. Memang tidak salah tetapi tampak begitu nisbi karena tak ada suatu patokan pengertian yang cukup memadai untuk mengerti kata tersebut. Tulisan ini tak bermaksud membuat sebuah definisi mutlak terhadap kata ‘denominasi’ tetapi mengantar kepada sebuah pemahaman awal yang pada akhirnya membawa kita semua ke sebuah pergumulan konkrit yang tak sekedar berbeda teori tetapi juga pada implikasi praksisnya.

Kata ‘denominasi’ berakar dari kata Latin denominatus yang memberi sebuah nama yang spesifik.pada sesuatu yang kemudian berkembang pengertiannya melalui kata Latin denominatio yang artinya sebuah golongan keagamaan dengan nama khusus.[2]
Sedangkan kata ‘sekte’ berasal dari kata Latin ‘secta’ yang artinya jalan, cara, golongan, atau kumpulan yang kemudian berkembang pengertiannya menjadi sebuah kelompok keagamaan yang melepaskan diri gereja asal karena perbedaan doktrin. Di sisi lain pengertian ‘sekte’ juga berangkat dari kata Latin ‘sectus’ yang berarti memotong atau memisahkan diri (pinnatisect).[3] Soedarmo mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada sekte karena semuanya disebut gereja.[4]

Yang berikut adalah kata ‘bidat’ yang berasal dari kata Yunani hairesis yakni kelompok keagamaan yang bertentangan secara doktrin dengan gereja yang mempertahankan doktrin ortodoks (ajaran yang benar).[5]


PENGERTIAN PRAKTIS
Yang dimaksud dengan pengertian praktis di sini adalah pengertian istilah tersebut dalam penggunaan keseharian dari kehidupan gereja. Dengan kata lain pengertiannya tak lagi teologis melulu tetapi juga sosiologis. Ernst Troelstch, dalam karya monumentalnya membedakan dua tipe utama kelompok keagamaan - yaitu gereja dan sekte. Bagi Troeltsch gereja, atau ecclesia, adalah suatu organisasi keagamaan yang merupakan ciri khas suatu gerakan keagamaan dalam fase kematangan dan kemapanannya. Di lain pihak sekte menandai tahap-tahap permulaan yang dinamik dari suatu gerakan. Troeltsch memandang dua variasi utama kelompok-kelompok keagamaan dan kedua tipe tersebut berguna sekali untuk dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan.[6]

Dua sosiolog yakni von Wiese dan Becker merinci dengan menambah subtipe untuk gereja yakni denominasi dan untuk sekte yakni cult.[7] Ecclesia adalah sebuah gereja yang menekankan keuniversalannya di dalam suatu daerah tertentu, baik nasional maupun internasional. Semua angggota yang dilahirkan di dalam daerah tertentu ini dianggap, berdasarkan tempat tinggalnya, sebagai anggotanya. Ecclesia jauh berbeda dengan sekte, tidak menarik diri dari dunia dan juga tidak memeranginya tetapi untuk menguasainya.[8]

Sekte pada umumnya merupakan kelompok kecil yang eksklusif, dan yang anggota-anggotanya bergabung secara sukarela. Kekuasaan dijalankan (oleh seseorang) berdasarkan atas kharisma perorangan dan bukan atas dukungan hirarkhis, meskipun demikian disiplin keagamaan dalam sekte tersebut keras, dan dilaksanakan bersama dengan saling mengawasi di antara anggota-anggota kelompok tersebut. Sekte-sekte ditandai dengan semangat keagamaan dan etik, kepercayaan-kepercayaan mereka menekankan ajaran-ajaran Injil dari masa-masa paling awal, dan praktek-prakek keagaamaan mereka menekankan cara hidup orang Kristen pertama. Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek (keagamaan) sekte tersebut mempertajam perbedaan antara anggota-anggota kelompok sekte yang bersatu dengan dunia luar. Memang anggota-anggota sekte biasanya bermusuhan dengan anggota-anggota semua gereja lain dan seringkali dengan sekte-sekte saingan mereka juga. Sekte-sekte juga cenderung radikal dalam penolakan mereka terhadap pemerintah sekuler, anggota-anggota sekte, umpamanya, boleh jadi enggan mengemban tugas sipil, melaksanakan dinas militer, bersumpah dan membayar pajak. [9]

Sekte-sekte terdiri dari dua jenis pokok: yaitu sekte-sekte yang menarik diri dan sekte-sekte yang militan Golongan biarawan/biarawati adalah sekte-sekte penting pada abad pertengahan yang menarik diri, dan yang militan adalah kelompok Anabaptis dan Saksi Yehova.[10]
Meskipun sekte-sekte itu cenderung berkembang menjadi denominasi-denominasi, namun sekte-sekte tersebut sama sekali tidak punah dari dalam masyarakat-masyarakat. Telah terbukti bahwa mobilitas sosial yang terus-menerus menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan sekte-sekte baru yang terpisah.[11]

Denominasi adalah kelompok yang relatif stabil, sering ukuran dan kompleksitasnya besar, yang mendapatkan anggota-anggotanya sebagian besar karena merasa berhak. Pada umumnya terdapat sebuah denominasi di antara sejumlah gereja yang ada dalam suatu atau beberapa daerah tertentu. Kekuasaan dalam suatu denominasi kadang-kadang bersifat hirarkhis dan kadang-kadang ditunjuk atas pilihan para jemaah setempat. Disiplinnya, tidak seperti disiplin sekte, seluruhnya bersifat formal dan konvensional, tidak keras dan tidak berat. Para pendeta dan pastornya biasanya moderat dalam kegiatan penginjilannya dan merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan jemaah mereka sendiri. Denominasi tidak menarik diri, tidak memerangi dan juga tidak mengatur dunia, tetapi dalam banyak hal ia bekerjasama dengannya.[12]

Denominasi-denominasi tersebut terdiri dari dua jenis utama. Pertama, denominasi-denominasi itu boleh jadi berasal dari sekte-sekte, yang teratur dan matang, dan yang telah melakukan perdamaian dengan dunia. Kedua, denominasi-denominasi itu berasal dari ecclesia-ecclesia, yang terpaksa menerima status denominasi agar tetap hidup dalam masyarakat. Gereja-gereja Metodis dan Baptis adalah contoh-contoh denominasi terkenal yang berkembang dari sekte-sekte, sedangkan gereja-gereja episkopal di Inggris dan Lutheran di Swedia -- meskipun secara nasional mapan -- di Amerika Serikat hanya merupakan denominasi saja.[13]


AKAR PERSOALAN
Denominasi keagamaan tak lain dan tak bukan dipicu oleh sebuah anggapan yang kemudian pada masa tertentu telah mengental menjadi sebuah doktrin, dan kemudian memadat menjadi sebuah fanatisme yang terwujud dalam sebuah denominasi yang berbaju agama. Akibatnya bila ada sebuah anggapan yang benar, maka doktrin menjadi sehat, dan fanatisme otomatis gugur, lalu secara otomatis pula denominasi keagamaan pun tak akan pernah lahir. Dalam bahasa teologi, anggapan seperti yang dimaksud di atas dapat disebut sebagai hermeneutika. Hermeneutika yang sehat melahirkan teologi yang benar dan sebaliknya.

Allah memang pernah berjanji untuk memberkati Abraham dan keturunannya [Kej 12]. Allah bahkan membentuk suatu paguyuban orang-orang beriman yang memakai panji-panji kebesaran nama Abraham dalam sebuah bangsa yang bercikal bakal dari keturunannya sendiri yang disebut Israel. Tak cukup dengan itu, Ia malah membebaskan paguyuban kesayangan-Nya itu dari tirani Firaun yang sok ilahi dan berkuasa, mengubah status mereka dari budak kerja rodi menjadi orang-orang yang otonom-teokratis serta berdaulat di atas tanah yang awalnya bukan milik mereka. Ia menyediakan bagi mereka tempat berdiam mereka laksana rumput yang hijau dan air yang tenang. Akibatnya saat mereka harus dibuang karena dosa mereka sendiri, paguyuban itu merasa tidak mungkin Allah berbuat seperti itu mengingat mereka adalah kesayangan-Nya. Apalagi ketika Allah memakai bangsa lain untuk memukul mereka, paguyuban itu tetap menganggapnya sebagai kesalahan dan kebiadaban bangsa-bangsa lain itu sendiri. Mereka tidak pernah atau bahkan tidak pernah akan percaya kalau Allah memakai bangsa lain juga.

Rupanya pilihan Allah dan perlindungan Allah selama ini tidak mengarahkan mereka untuk menjadi ingat pada bangsa lain, tetapi justru mereka malah semakin berusaha mengikat dan membelenggu Allah dengan anggapan mereka sendiri sehingga fanatisme mereka menjadi begitu berlebihan. Teologi parti-kularistis muncul dengan anggapan bahwa YHWH (Adonay) adalah milik Israel dan Elohim adalah Allah bagi mereka saja. Keadaan ini menjadi semakin buruk bila melihat sikap bangsa lain yang justru membenci ibadah Israel dan menolak YHWH sebagai Tuhan, akibatnya bangsa Israel semakin eksklusif dan memeluk teologi partikularistis semakin erat.

Persoalan teologi partikularitis adalah masalah hermeneutis. Allah yang luar biasa itu, yang Salomo sendiri akui tak dapat merumahkan-Nya [II Taw 2:6], malah dikerangkeng Israel dalam sebuah teologi manusia yang penuh egoisme dan keangkuhan. Sang Ultim yang bergerak dan bekerja bebas bagi dunia universal dipersempit ruang gerak-Nya dalam kotak sempit hermeneutis Israel yang pengap dan panas lagi sesak. Pola Allah yang memberkati semesta melalui keturunan Abraham ternyata diintepretasikan Israel keliru. Allah melalui Israel dipahami menjadi Allah untuk Israel. Agaknya saya harus mempertimbangkan istilah “melalui” bila mengingat keengganan C. S. Song menggunakan “teologi perwalian” atau “teologi anak tiri”[14] Intepretasi Israael yang keliru ini kemudian melahirkan teologi partikularistis, lalu membentuk fanatisme dan egoisme keagamaan.

Kisah di mana Allah menyelamatkan tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab seperti Rahab sekeluarga melalui dua orang pengintai, kemudian Rut melalui Naomi, setidaknya telah mem-buka sedikit jendela kemungkinan tentang ketiadaan teologi partikularistis itu di pikiran Allah sendiri.

Anggapan seperti dimaksud di atas tergambar dengan jelas dan diperkuat oleh narasi Yunus [Yunus 1:1-17; 4:1-10]. Kisah Yunus memang sering jarang sekali dipakai sebagai bahan acuan untuk masalah ini (Yesus sendiri menghubungkan kisah ini dengan konsep Kebangkitan) [Mat 12:38-42; Luk 11:29-32]. Kesulitannya terletak pada beberapa orang yang mempermasalahkan historitas kisah tersebut. Akibatnya perdebatan seputar historitas melu-putkan tujuan penulisan narasi Yunus. Perlu dikomentari di sini bahwa pembuktian historitas kisah Yunus seakurat apapun tak memberi sumbangan yang berarti. Baik kisah itu historis maupun tidak, narasi Yunus ingin menampilkan suatu pandangan teologi yang anti-partikularistis. Dapat dipastikan kisah ini dimunculkan oleh mahzab yang sedikitnya sudah mampu menangkap nilai universal tindakan Allah bagi seluruh bangsa dan bukan Israel saja.

Sikap Yunus menggambarkan betapa hermeneutikanya terhadap tindakan Allah sangat sempit. Koreksi Allah terhadap hermeneutika Yunus terlihat dari kisah "pemaksaan" melalui "badai" (1:4, gambaran dari pembatalan terhadap pola hermeneutika Yunus) dan "ikan" (1:17, gambaran dari pencapaian makna tindakan Allah yang sebenarnya). Posisi hermeneutika seperti Yunus anehnya masih saja dianut dan dikerjakan orang beragama manapun. Fanatisme selalu menjadi masalah. Fanatisme merupakan pengkhianatan terhadap ajaran agama itu sendiri. Fanatisme merupakan pembuktian kurang luasnya seseorang memahami perbuatan Allah atau ajaran agamanya. Fanatisme secara hakiki adalah egoisme yang berbulu agama.
C. S. Song dalam keprihatinan yang sama menonjolkan teolog Deutero Yesaya dalam menguraikan tentang Hamba Yang Menderita [Yes 53]. Melalui konsep ini teolog Deutero Yesaya mengambil langkah berani dari sentrisme Israel ke pandangan yang jauh lebih tentang bangsa-bangsa.[15] Selanjutnya ia mengatakan bahwa siapapun diri Hamba yang Menderita itu, ia bukan lagi suatu tokoh nasional yang dikurung dalam batas-batas Israel [Yes 42:1, 4: 49:6, 53:9]. Hamba yang Menderita itu tak dapat dijelaskan oleh Israel saja. Ia melompat keluar kotak iman dan kehidupan sempit yang telah memberi Israel jatidiri nasional dan keagamaannya.[16] Pada akhirnya C. S. Song dengan tegas mengatakan, “Allah tampaknya bersifat rahasia hanya bagi mereka yang ingin memonopoli dan menguasai Allah. Mereka merasa tertipu ketika Allah juga berkenan dengan bangsa-bangsa lain dan memihak lawan-lawan mereka”.[17]

Akhir-akhir ini kita sering diperhadapkan pada suatu pertikaian yang berbau SARA secara laten. Baik di kalangan Islam maupun Kristen masing-masing (walaupun tidak diakui terang-terangan, namun dalam tindakan dan sikapnya terlihat dengan jelas) masih menyimpan egoisme keagamaan. Superioritas yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya yang menyimpan dan mewarisi "kebenaran" dan “keselamatan” membuat eksklusivitas (sikap separatis) makin kentara bahkan menjadi-jadi.

Kritik bagi gereja sebenarnya sudah cukup banyak. Sikap gereja yang berusaha menerima kepelbagaian dalam segi iman terkadang masih plin-plan. Masih ada anggapan dari pihak gereja sendiri bahwa di luar gerejanya tidak ada keselamatan. Orang Kristen atau gereja juga hampir meniru tindakan orang Israel dalam memperlakukan Allah. Untuk urusan dalam kepelbagian antar denominasi di kalangan Protestan saja seringkali tidak ada kesepakatan. Sikap eksklusif yang tadinya hanya untuk antar agama saja ternyata makin menyempit ke dalam konteks antar denominasi. Bayangkan! Maka janganlah kita heran bila sikap ekumenis dari beberapa gereja tertentu seringkali ditanggapi sebagai sekedar kertas-kertas kerja dan semboyan saja. Berapa gereja sih sebenarnya yang masih bisa saling memperhatikan? Berapa gereja yang justru tidak peduli satu sama lain? Berapa? Dan sejauh mana?

Kondisi terpecahnya relasi antar denominasi ini ternyata bukan rekaan saja. Gereja yang satu dapat menjadi “sandungan” bagi gereja lain. Gereja satu menertawakan organisasi atau teologi gereja lain. Seolah-olah gereja yang sudah “lama” berdiri, di dalamnya penuh dengan anggota-anggota senior yang turut mendirikan, pelayannya lulusan sekolah-sekolah teologi atau seminari luar negeri yang berstrata magister sampai doktoral, dan telah menjadi anggota kelompok ekumenis tertentu (dikuatirkan kalau yang satu ini adalah wujud eksklusivisme baru), dapat disebut pewaris ortodoksi dan gereja lain tidak! Di sisi lain gereja-gereja yang “baru” berdiri, entah karena memang benar-benar baru, atau kepingan-kepingan dari yang pernah ada lalu pecah, atau pelarian dari gereja-gereja sebelumnya, menghembuskan asap pandangan yang mengesankan seolah-olah upaya yang “baru” itu sebagai suatu upaya pembaruan atau kritik terhadap yang “lama”. Kelompok yang mengatakan dirinya sudah “lama” itu menganggap dirinya sudah matang dan mewarisi suatu yang sudah lama yakni ortodoksi tulen yang mungkin sudah berdebu dalam kotak wasiat yang tersimpan berabad-abad dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang otentik. Sedangkan yang “baru” menganggap dirinyalah yang membawa kembali atau menemukan ortodoksi yang sudah lama hilang dan mencoba melakukan pembaruan di sana sini sekaligus menggemboskan yang “lama”. Kedua kelompok ini punya sekolah teologi sendiri-sendiri. Lulusan dari yang “lama” sulit diterima sebagai seorang pendeta di gereja “baru” dengan alasan yang sudah basi: “liberalis dan cenderung rasionalis” dan lulusan yang “baru” juga mengalami kesulitan memasuki benteng tua gereja “lama” dengan alasan yang sama basinya: “tidak seazas dan berkesan fundamentalis-karismatis-pietis”.
Yesus pernah memperingatkan para murid-Nya agar hidup keagamaan mereka harus lebih benar dari hidup keagamaan orang Farisi dan ahli Taurat [Mat 5:20]. Menurut Henk ten Napel peringatan Yesus ini disebut sebagai upaya mengajukan sebuah “kebenaran yang lebih benar” Untuk itu sebaiknya kita menyoroti istilah Henk ten Napel lebih jauh. Bila orang Farisi dan ahli Taurat merasa bahwa apa yang mereka “anggap” (hermeneutika Farisi dan ahli Taurat) baik dalam praktek dan ajaran itu sudah “benar” dan ternyata di “mata Yesus” (hermeneutika Yesus) hal itu masih “salah”, ini berarti salah satu dari kebenaran itu palsu dan yang lain tulen. Istilah Henk ten Napel ini mengisyaratkan kita untuk berwaspada pada klaim kebenaran-kebenaran yang kita buat dan kita anggap itu sudah benar.[18]

Dari pemahaman tentang denominasi maka seringkali dipergunakan istilah aliran dan denominasi untuk membuat suasana eufemis dari pada menggunakan istilah bidat (bidaah) atau sekte. James D. G. Dunn dalam menangani pemilahan dari relasi antar agama dan antar aliran atau denominasi. Pemilahan hubungan antar agama dan perkembangannya disebut Religionsgeschicte sedangkan dalam tataran perkembangan di dalam agama disebut dengan Tradisionsgeschicte. [19] Perbedaan dan pemilahan dalam sebuah agama memang setua agama itu sendiri. Dalam sejarah kekristenan relasi antara yang ortodoksi (pemahaman yang benar) dengan yang bidat menduduki posisi penting dan senantiasa melahirkan konsili-konsili. Mereka yang menyebut dirinya ortodoksi berakar dari sebuah ajaran yang selaras dengan tradisi “iman rasuli”. Sampai dengan saat ini kecenderungan tiap gereja, denominasi atau sekte menyatakan memiliki hak monopoli atas iman yang benar masih tetap ada, dengan demikian gereja tersebut akan menyangkal yang lain, menolak yang lain, atau mencela bahkan menganiaya yang lain sebagai bidat. Yang jadi problem sekarang adalah siapakah yang memang benar-benar mewarisi sebuah keortodoksian, gereja mana yang benar-benar memegang iman rasuli, gereja mana yang memang benar-benar memegang keyakinan iman yang benar?

Masalah sekarang adalah sekalipun semua kembali ke Alkitab (back to the Bible) namun ujung-ujungnya selalu berbeda, hal ini disebabkan adanya pola penafsiran atau interpretasi yang berbeda. Terkadang pula terjadi pola penafsiran yang memakai standar ganda dan tidak konsisten. Misalnya tentang masalah Sakramen. Sakramen Baptisan Kudus sebagai studi kasus pertama, gereja Anabaptis yang sangat menekankan sistem pembaptisan dengan ‘cara selam’ tetapi gereja Reformasi memberlakukan ‘cara percik’. Dua kubu gereja ini saling menyerang, yang memberlakukan ‘cara selam’ menganggap ‘cara percik’ tidak Alkitabiah maka tidak sah sehingga bila perlu ‘dibaptiskan kembali’ (baptis ulang). Kubu Anabaptis menganggap tafsiran kubu gereja Reformasi memiilki pola penafsiran yang sudah berkompromi dengan situasi dan tidak lagi berdasarkan Alkitab. Sementara yang menganut baptisan ‘cara percik’ menganggap ‘cara selam’ sebagai suatu penafsiran alegori dan hurufiah. Kesimpulan pertama dari kejadian ini adalah: bahwa tindakan yang bersifat gerejawi bisa berbeda karena penafsiran yang berbeda.
Pada pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus tidak dijumpai adanya pertentangan, keduanya bisa akur dan kalau berbeda hanya pada jumlah pelaksanaan sakramen ini dalam setahun. Kelompok Anabaptis pada sakramen perjamuan kudus justru tidak konsisten sebagaimana mempertahankan masalah sakramen baptisan kudus. Masalahnya Perjamuan Kudus yang dilaksanakan sekarang ini berpedoman pada apa yang Yesus lakukan sebelum Ia di tangkap (Mat 26:17-25). Yesus pada kesempatan itu sedang merayakan hari Raya Roti Tidak Beragi yang dijalankan dengan praktek Perjamuan Paskah. Roti yang dipecahkan Yesus adalah roti yang tidak beragi demikian pula anggur yang diminum Yesus adalah anggur bukan hasil fermentasi. Mengingat Hukum Paskah dalam Kel 12:14-20 melarang penggunaan seor, atau ragi yang melambangkan kebejatan dan dosa maka roti yang digunakan tidak beragi demikian pula anggurnya. Gereja yang merasa dan mengaku tafsirannya sangat Alkitabiah ternyata melaksanakan Perjamuan Kudus dengan roti yang beragi dan anggur hasil fermentasi. Uraian ini tidak mendeskreditakan gereja tertentu tetapi menggambarkan persoalan yang menyebabkan terpecahnya gereja-gereja ke berbagai denominasi karena alasan hermeneutika dan ketidakkonsistenan hermeneutika atau dengan kata lain sebuah ketidakpuasan hermeneutis sebagai kesimpulan kedua.

Perbedaan pola tafsir sangat bergantung pada dua hal: pertama, kebergantungan seseorang penafsir pada pimpinan Roh Kudus sebagai sumber iluminasi; kedua, pada penguasaan teknik menafsir yang lebih bertanggungjawab. Terbentuknya denominasi-denominasi dalam gereja secara universal adalah karena varian dari bentuk di atas. Ada penafsir yang bergantung sepenuhnya pada pimpinan Roh Kudus tetapi tidak melengkapi dirinya dengan pola tafsir akibatnya muncul denominasi A. Ada yang memiliki kemampuan tafsir yang baik dan bertanggungjawab tetapi tidak bergantung pada tuntunan Roh Kudus kemudian membentuk denominasi B. Ada yang karena kepentingan tertentu tetap mengerjakan pelayanan tetapi tidak memiliki kebergantungan pada Roh Kudus dan tidak pula memiliki kemampuan menafsir yang tidak bertanggungjawab kemudian mendirikan denominasi C. Dan ada yang sangat bergantung pada pimpinan Roh Kudus dan memiliki kemampuan menafsir dengan baik membentuk denominasi D. Denominasi-denominasi tersebut saling menunjukkan diri masing-masing sambil menyerang denominasi-denominasi lainnya. Denominasi A menganggap denominasi B menafsir asal-asalan. Denominasi B menyerang denominasi A mempersulit pengertian dan bergantung pada akal. Denominasi C tidak menggubris kritik denominasi A dan B. Denominasi D lebih banyak melindungi diri agar tidak dirusak oleh pengaruh denominasi A, B, dan C. Keterpisahan dalam sebuah kotak-kotak denominasi lebih banyak dihasilkan oleh faktor hermeneutik-nya.
Perpecahan gereja dalam denominasi-denominasi juga terjadi karena perbedaan konsep pengendalian, pengaturan, dan kekuasaan gereja. Ada gereja yang secara ajaran tidak berbeda sebenarnya tetapi terpaksa memisahkan diri karena alasan-alasan yang non-teologis dan lebih banyak kepada masalah teknis yang kelihatannya tidak dapat didamaikan.
Seiring dengan isu Hak Azasi Manusia (HAM) maka setiap denominasi boleh berdiri sama tinggi dengan denominasi lain sekalipun denominasi tersebut baru berdiri beberapa tahun. Isu ini membuat denominasi-denominasi yang menyimpang pun dapat terakomodir (Saksi Yehova, Mormon, dll.) dan dengan bebas terus melebarkan sayap pengaruhnya. Konsep eksternal terhadap gereja tak mengenal sekte tetapi aliran dan denominasi. Jan S. Aritonang dalam konteks peristilahan aliran-aliran keagamaan enggan menggunakan istilah sekta, sekte atau bidat (sempalan) merujuk pada pandangan (Alm.) Dr. Peter Growning yang pernah menjadi dosen tamu di bidang Sejarah Gereja tahun 1974 berujar: “Dalam suasana dan upaya mewujudkan cita-cita oikumenis, istilah sekte dan bidat sudah tidak pada tempatnya untuk tetap dipertahankan.” Sekali lagi, masing-masing aliran atau organisasi gereja bisa saja, dan berhak, menilai aliran, gerakan atau organisasi gereja lain sebagai sekte (bahkan bidat) tetapi Aritonang tidak menganut pandangan semacam itu. Ia menggunakan istilah ‘aliran’ yang diberi pengertian netral, tetapi ia sendiri menyatakan tidak berarti ia setuju atau menerima paham atau ajaran yang terdapat dalam setiap aliran sebagai kebenaran.[20]

SEKARANG DAN DISINI
‘Perang suci’ antar denominasi di Indonesia memiliki pertarungan yang tak lagi dogmatis tetapi telah sampai pada tindakan praksis. Polarisasi yang tebentuk pun tidak lagi di tingkat antar gereja dan sinodal tetapi sudah nasional.[21] Selain ada kelompok Ekumenikal, Evangelikal, dan Karismatik, ada pula kelompok-kelompok yang tergolong Fundamentalis, ada Saksi Yehova dan Christian Science yang diperkenankan pemerintah mengembangkan diri.

Munculnya persekutuan-persekutuan di beberapa kampus di Universitas/Perguruan Tinggi disinyalir sebagai bentuk sekte-sekte baru yang tidak puas dengan kondisi peribadahan dalam gereja.[22] Padahal sekali lagi hal ini tak lain dan tak bukan adalah fenomena perbedaan hermenutis yang tak lagi membentuk kutub antara gereja dengan aliran (sekte) atau denominasi tertentu tetapi gereja dengan kampus sebagai perpindahan locus saja.

Gereja-gereja seharusnya mulai mengkaji diri dan memeriksa posisi mereka dalam tugas menggembalakan dan memberi makan dan minum spiritual anggota jemaat mereka: apakah pola hermeneutika yang dipakai masih memadai dan relevan dengan tuntutan jaman sekaligus setia pada tuntutan suara kenabian atau dengan kata lain: setia pada teks dan setia pula dengan konteks.

BAHAN PERBANDINGAN
Sejak tahun 1967 gereja-gereja yang mengaku “mainstream atau mainline churches” di AS mengalami penggembosan yang tidak main-main. Menurut Peter Wagner yang mendata denominasi-denominasi tradisional di AS berdasarkan data Survey Gallup yang menunjukkan adanya “penggembosan” di gereja-gereja mainstream. Gereja Episkopal, misalnya, turun dari 3,4 juta orang di tahun 1968 menjadi 2,5 juta orang di tahun 1994. Gereja United Methodists menurun dari 11 juta ke 8,6 juta; Gereja Presbyterian dari 4,2 juta ke 3,7 juta; dan United Church for Christ dari 2 juta ke 1,5 juta.[23] Agaknya pokok tersebut disebabkan oleh masalah institusional ketimbang masalah kontekstual.[24] Kalau faktor kontekstual adalah faktor-faktor sosiologis yang tidak dapat dikendalaikan gereja sedangankan faktor institusional dapat diubah oleh para pemimpin gereja baik di gereja lokal maupun di tingkat denominasi.[25]
Gereja-gereja di Amerika Serikat saat ini mulai memasuki kelompok-kelompok denominasi-denominasi baru sebagai upaya agar tetap survive namun hal itu tak berarti bahwa mereka akan lolos dengan mulus ke arah sebuah perkembangan yang lebih baik.[26]
Melihat kenyataan ini gereja jangan membela diri karena tidak ada lagi yang perlu dipertahankan sebaliknya perlu “diakui”. Gereja sebenarnya memiliki fungsi dan partisipasi yang bersifat positif, kreatif, kritis, dan realistis tidak saja mengarah kepada dunia tetapi juga kepada diri sendiri.[27] Gereja tidak memakai menu yang itu-itu saja. Gereja harus mengambil bagian dalam proses kesinambungan, peningkatan, koreksi, dan pembaharuan secara terus-menerus baik dalam gereja maupun masyarakat. Tidaklah salah bila gereja bisa mengganti paradigma berpikir dan sistem institusionalnya. Alkitab dengan jelas menggambarkan bagaimana kantong anggur yang lama (bermakna sangat ambigu) tidak dapat diisi dengan anggur yang baru (Mat 9:17). Apakah teologi dan institusi gereja mau menjadi “kantong anggur yang lama?”

Lyle Schaller (konsultan gereja Amerika dari United Methodist) dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi Jaringan Kepemimpinan yang bertopik “Masa Depan Denominasi-denominasi” mengemukakan: “Adakah masa depan untuk denominasi-denominasi? Hal ini ditentukan hampir seluruhnya oleh denominasi-denominasi itu sendiri.” Kuncinya, yakni mereka harus mau dan mampu beradaptasi dengan era baru.”[28] Kata “beradaptasi” bisa saja bermakna ambigu: gereja menyesuaikan diri sehingga terjadi sinkretis atau gereja menyesuaikan diri sehingga terjadi kontekstualisasi kritis. Untuk menghindari ambiguitas ini maka Schaller sekali lagi menjelaskan, “Saya tidak menyarankan supaya substansi Injil diubah. Saya hanya mengatakan bahwa kita perlu mengubah secara radikal cara kita mengemas dan menyampaikan makna Injil.”[29] Resep Schaller membuka peluang gereja menjawab isu-isu yang dihadapi gereja mulai dari tingkat elit gereja sampai grassroots.

Sumber:
[1] Diadaptasi seperlunya dari Anthony de Mello, Burung Berkicau (Yayasan Cipta Loka Caraka, 1985), 182-83.
[2] ©1995 ZCI Publishing, Inc. ©1994, 1991, 1988 Simon & Schuster, Inc.
[3] Excerpted from Compton's Interactive Bible NIV. Copyright (c) 1994, 1995, 1996 SoftKey Multimedia Inc. All Rights Reserved.
sect (sekt) n. [[ME secte <>[4] R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 83.
[5] Excerpted from Compton's Interactive Bible NIV. Copyright (c) 1994, 1995, 1996 SoftKey Multimedia Inc. All Rights Reserved
her-e-sy (heri se) n. , pl. -sies [[ME heresie <>[6] Ernst Troeltsch, Social Teaching of the Church (New York: MacMillan, 1931), 333-343.
[7] Leopold von Wiese & Howard Becker, Systematic Sociology (New York: John Willey & Sons, Inc., 1932), 624-28.
[8] Troeltsch, Ibid. Bnd. A.H. Fauset, Black Gods of the Metropolis (Philadelphia: University of Pennsylavnia Press, 1944).
[9] Ibid.
[10] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 164-165). Bnd. Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (Illinois: Free Press, 1947).
[11] H. Richard Niebuhr, Social Sources of Denominationalism (New York: Henry Holt & Co., 1929), 19-20. Bnd. Liston Pope, Millhands and Preachers (New Haven: Yale University, 1942), 117-140.
[12] NottingHam, Ibid.
[13] Von Wiese, Ibid.
[14] C. S. Song, Allah Yang Turut Menderita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 54-55, 78.
[15] Ibid., 69.
[16] Ibid., 70-71.
[17] Ibid., 53.
[18] Henk ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK Gunung Muia, 1990), 79.
[19] James D. G. Dunn, Unity and Diversity in the New Testament: An Inquiry Into the Character of Earliest Christianity (Philadelphia: Westminster Press, 1977), 4.
[20] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 9-10.
[21] Eka Darmaputera, peny. Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 13-19. Bnd. Emmanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 48-68.
[22] Majalah Mingguan Forum, No. 47 (10 Maret 2002), 11-21.
[23] C. Peter Wagner, Gempa Gereja! (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000), 12.
[24] Ibid., 24-25.
[25] Ibid.
[26] C. Peter Wagner, peny. Gereja-gereja Rasuli Yang Baru (Jakarta: Immanuel, 2001), 7-10.
[27] Th. Sumartana, “Beberapa Persoalan dan Gagasan Tentang ‘Gereja dan Masyarakat’ Sekitar Tahun-tahun 1950-an” dalam S. Wismoady Wahono, P.D. Latuihamallo, dan Fridolin Ukur (peny.), Tabah Melangkah (Jakarta: STTJ, 1984), 246.
[28] Lyle E. Schaller, “Leadership Network”, Forum Files (November , 1994), 1.
[29] Lyle E. Schaller, The New Reformation (Nashville: Abingdon Press, 1995), 14.

Tidak ada komentar: