Sebuah Keseimbangan Hermenusis dan Anamnesis[1]
Menggunakan kedua kata ini bukan sebuah pencerminan high-profile tetapi lebih pada upaya pendalaman konseptual yang lebih bertanggung jawab. Kita harus mengakui bila kata 'hermeneusis' dan kata 'anamnesis' adalah kata-kata yang langka dipergunakan dalam tradisi pergumulan teologis di GKO bahkan dalam memasuki usia yang ke-24 (2003). Kita terbiasa menggunakan istilah-istilah praktis yang terbatas secara konseptual dan ambigu secara praxis,[2] dan akibatnya kita sulit memasuki pendalaman-pendalaman pemahaman yang seharusnya dapat membuat kita semakin berakar dan bertumbuh baik secara spiritual maupun secara intelektual ke arah Dia. Bila kita memilih istilah-istilah praktis, maka hal itu disebabkan oleh karena kita telah terbiasa "tidak mau susah" atau "menyusahkan anggota jemaat", namun dalam kenyataannya pemahaman yang praktis dan terbatas itu di satu sisi memang kelihatannya menjawab "kemudahan" yang kita inginkan namun di sisi lain justru tetap saja "menyusahkan anggota jemaat" justru karena keterbatasannya itu.
Hermenusis adalah upaya penafsiran atau penggalian makna terdalam terhadap catatan peristiwa masa lampau dalam Kitab Suci dalam segala aspeknya. Sedangkan Anamnesis adalah upaya mempresensikan sesuatu, entah dari masa lampau, atau dari alam baka, atau bahkan dari zaman yang akan datang.
Be Blessed To Be A Blessing
Hermenusis
Judul ini berangkat dari janji Tuhan kepada Abraham dalam Kejadian 12. Dalam Kejadian 12:2, Allah berkata kepada Abraham: "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat"[3] Logika dari pemberian berkat ini adalah bahwa sang penerima berkat yakni Abraham sebelum menjadi berkat harus terlebih dahulu mengalami berkat dari Allah. Bila ia tidak mengalami berkat Allah maka ia tidak dapat memberkati orang lain. Semakin ia diberkati Allah semakin pula ia memberkati orang lain. Semakin ia tidak diberkati Allah semakin ia juga tidak akan pernah menjadi berkat buat orang lain. Peran "diberkati" untuk "menjadi berkat" hendaknya tidak mengikat Abraham berpihak pada salah satunya atau terlena pada "menerima berkat" atau terkuras pada posisi "menjadi berkat".
Telah disebutkan di atas bahwa Allah berjanji untuk memberkati Abraham dan keturunannya (Kej 12). Allah bahkan membentuk suatu paguyuban orang-orang beriman yang memakai panji-panji kebesaran nama Abraham dalam sebuah bangsa yang bercikal bakal dari keturunannya sendiri yang kemudian disebut Israel. Tak cukup dengan itu, Ia malah membebaskan paguyuban kesayangan-Nya itu dari tirani Firaun yang sok ilahi dan berkuasa, mengubah status mereka dari budak kerja rodi menjadi orang-orang yang otonom-teokratis serta berdaulat di atas tanah yang awalnya bukan milik mereka. Ia menyediakan bagi mereka tempat berdiam mereka laksana rumput yang hijau dan air yang tenang. Akibatnya saat mereka harus dibuang karena dosa mereka sendiri, paguyuban itu merasa tidak mungkin Allah berbuat seperti itu mengingat mereka adalah kesayangan-Nya. Apalagi ketika Allah memakai bangsa lain untuk memukul mereka, paguyuban itu tetap menganggapnya sebagai kesalahan dan kebiadaban bangsa-bangsa lain itu sendiri. Mereka tidak pernah atau bahkan tidak akan percaya kalau Allah memakai bangsa lain juga.
Rupanya pilihan Allah dan perlindungan Allah selama ini tidak mengarahkan mereka secara otomatis untuk menjadi ingat pada bangsa lain (baca: menjadi berkat bagi bangsa lain), tetapi justru mereka malah semakin berusaha mengikat dan membelenggu Allah dengan anggapan mereka sendiri sehingga fanatisme mereka menjadi begitu berlebihan. Teologi partikularistis[4] muncul dengan anggapan bahwa YHWH (Adonay) adalah milik Israel dan Elohim adalah Allah bagi mereka saja. Keadaan ini menjadi semakin buruk bila melihat sikap bangsa lain yang justru membenci ibadah Israel dan menolak YHWH sebagai Tuhan, akibatnya bangsa Israel semakin eksklusif dan memeluk teologi partikularistis semakin erat.
Persoalan teologi partikularitis adalah masalah hermeneusis. Allah yang luar biasa itu, yang Salomo sendiri akui tak dapat merumahkan-Nya (II Taw 2:6), malah dikerangkeng Israel dalam sebuah teologi manusia yang penuh egoisme dan keangkuhan. Sang Ultim yang bergerak dan bekerja bebas bagi dunia universal dipersempit ruang gerak-Nya dalam kotak sempit hermeneusis Israel yang pengap dan panas lagi sesak. Pola Allah yang memberkati semesta melalui keturunan Abraham ternyata diintepretasikan Israel keliru. Allah melalui Israel dipahami menjadi Allah untuk Israel semata-mata. Agaknya saya harus mempertimbangkan istilah “melalui” bila mengingat keengganan C. S. Song menggunakan “teologi perwalian” atau “teologi anak tiri”[5] Intepretasi Israael yang keliru ini kemudian melahirkan teologi partikularistis, lalu membentuk fanatisme dan egoisme keagamaan.
Kisah di mana Allah menyelamatkan tokoh-tokoh perempuan bukan Israel (non-Yahudi) dalam Alkitab seperti Rahab sekeluarga melalui dua orang pengintai, kemudian Rut melalui Naomi, setidaknya telah membuka sedikit jendela kemungkinan tentang ketiadaan teologi partikularistis itu di pikiran Allah sendiri. Pada akhirnya C. S. Song dengan tegas mengatakan, “Allah tampaknya bersifat rahasia hanya bagi mereka yang ingin memonopoli dan menguasai Allah. Mereka merasa tertipu ketika Allah juga berkenan dengan bangsa-bangsa lain dan memihak lawan-lawan mereka”.[6] Pada prinsipnya Allah menghendaki "orang yang diberkati hidup bukan untuk menjadi berkat buat diri sendiri tetapi menjadi berkat buat orang lain".
Anamnesis
Apa yang dialami Abraham belum tentu dialami oleh kita. Nasib Abraham belum tentu sama dengan nasib kita. Namun pola janji Allah "diberkati dan menjadi berkat" adalah sebuah pemahaman lintas peradaban dan waktu. Refleksi dari logika ini adalah pada diri kita selaku gereja. Bila GKO merefleksikan dirinya sebagai Abraham maka ada logika yang harus menyertai refleksi tersebut. Bila GKO ingin menjadi berkat terlebih dahulu hidup di bawah berkat Allah, dan bila GKO ingin diberkati Allah maka ia harus berjanji bahwa ia harus menjadi berkat bagi dunia.
Gereja di mana pun dalam peran haikikinya menjadi berkat sebenarnya memiliki fungsi dan partisipasi yang bersifat positif, kreatif, kritis, dan realistis tidak saja mengarah kepada dunia tetapi juga kepada diri sendiri.[7] Gereja harus mengambil bagian dalam proses kesinambungan, peningkatan, koreksi, dan pembaharuan secara terus-menerus baik dalam gereja maupun masyarakat. Konteks dimana gereja hidup, bersaksi, dan melayani adalah hal yang penting dan tak dapat diabaikan begitu saja. Tanpa gereja berinteraksi dengan konteksnya itu, maka kehadiran gereja menjadi tidak berguna.[8] Gereja yang tak memikirkan sekaligus memperjuangkan perannya bagi dunia adalah gereja yang mau diberkati tetapi tak mau menjadi berkat.
Pengertian Prediksi dan Proyeksi
Dalam pembahasan yang terkait dengan masalah "masa depan" maka asanya kita perlu memakai istilah Eka Darmaputera yakni "prediksi" dan "proyeksi".[9]
Prediksi
Prediksi menurutnya, berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada sekarang ini, maka kita membuat prakiraan kemanakah kecenderungan-kecenderungan itu akan membawa kita di masa mendatang. Artinya, apabila keadaan yang ada sekarang ini tetap berlangsung seperti apa adanya, apakah kira-kira kemungkinan-kemungkinan akibatnya di masa mendatang? Ini penting, sebab dengan demikian kita dapat melihat kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat terjadi, lalu mempersiapkan diri. Tidak terlalu kaget atau panik ketika itu terjadi nanti. Jadi, prediksi bertolak dari yang ada sekarang untuk memperkirakan masa depan.
Proyeksi
Proyeksi, bertolak dari masa depan, lalu itulah yang menentukan apa yang harus kita lakukan sekarang. Secara teologis, tetapi sebenarnya bukan hanya secara teologis saja, amatlah penting bagi kita untuk melakukan proyeksi dan bukan hanya prediksi. Masalahnya adalah, jika apa yang kita lakukan sekarang ini hanya berdasarkan prediksi saja, maka sebenarnya sadar atau tidak sadar ada asumsi di situ, bahwa kita sudah tidak dapat berbuat apa-apa terhadap yang diprediksikan itu, kecuali menerima dan sedapat mungkin menyesuaikan diri.
Prediksi dan Proyeksi
Prediksi penting, oleh karena ia membantu kita untuk membayangkan "apa yang ada" nanti. Tetapi proyeksi justru menjadi lebih penting lagi, oleh karena ia, berdasarkan prediksi itu mempertanyakan "apa yang ada" itu juga "apa yang sebenarnya". Proyeksi harus memanfaatkan prediksi, sehingga proyeksi itu masih tetap feasible dan realistis. Ia juga bisa gagal, yaitu bila kita gagal untuk mempengaruhi dan mengarahkan proses yang sedang berlangsung sekarang. Sekalipun ada kemungkinan gagal, ia tetap bernilai untuk kita usahakan sedapat-dapatnya. Sehingga sekarang proyeksi adalah bagaimana mempengaruhi masa kini berdasarkan visi masa depan yang kita ketahui.
Sidang Sinode VI GKO yang berlangsung di Cisarua tanggal 4 -7 Juli 2002 menetapkan bahwa visi GKO 25 tahun ke depan adalah Visi Matius 281920 yakni komitmen terhadap Amanat Agung yang menghasilkan gereja yang bertambah akrab melalui persekutuan, sungguh-sungguh melalui pemuridan, kuat melalui ibadah, besar melalui pelayanan, dan luas melalui penginjilan. Visi ini merupakan refleksi dari 25 tahun (seperempat abad pertama) GKO berkiprah di bumi Pancasila ini dan sekaligus merupakan acuan 25 tahun (seperempat abad kedua) ke depan. Sangatlah diharapkan agar GKO tetap konsisten menapaki visi dan misinya sampai 2027 sekalipun kelak terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan.
Dan misi GKO sampai tahun 2027 adalah sebagai berikut:
GKO bertambah akrab melalui Persekutuan
GKO bertambah sungguh-sungguh melalui Pemuridan
GKO bertambah kuat melalui Ibadah
GKO bertambah besar melalui Pelayanan
GKO bertambah luas melalui Penginjilan
Tahapan misi GKO tersebut dilaksanakan dalam lima tahap antara lain:
Tahap I Tahun 2002-2007
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui persekutuan
Tahap II Tahun 2007-2012
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui pemuridan
Tahap III Tahun 2012-2017
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui ibadah
Tahap IV Tahun 2017-2022
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui pelayanan
Tahap V Tahun 2022-2027
- Melaksanakan kelima misi tersebut di atas dengan mengutamakan misi melalui penginjilan
Target pada tahun 2027
a. 100.000 anggota jemaat beribadah dalam persekutuan yang akrab
b. 10.000 pejabat gereja yang sudah dimuridkan dan melayani dalam GKO
c. 100 jemaat lokal yang tumbuh dari hasil penginjilan
Sebagai implementasi tahap I dari misi persekutuan maka ditetapkanlah Tema Sidang Sinode VI yaitu: Takutlah Akan Tuhan Maka Kamu Akan Hidup Dengan Rukun, dan Sub Tema dari Sidang Sinode VI adalah: Persekutuan Yang Akrab Dimulai Dengan Allah, Dinyatakan Dalam Keluarga, Ditunjukkan Dalam Pekerjaan Tuhan dan Dibuktikan Kepada Sesama Orang Percaya yang berlaku dari tahun 2002 s.d. 2007 yang dijabarkan dalam 5 Tema Pelayanan Tahunan antara lain:
Jul 2002-Jun 2003: Persekutuan Yang Akrab Dengan Allah
Juli 2003-Juni 2004: Persekutuan Yang Akrab Dengan Keluarga
Juli 2004-Juni 2005: Persekutuan Yang Akrab Dalam Pekerjaan Tuhan
Juli 2005-Juni 2006: Persekutuan Yang Akrab Dengan Sesama Orang Percaya
Juli 2006-Juni 2007: Persekutuan Yang Akrab Diperintahkan Berkat
Kenyataan Menapaki 24 Tahun (The Past: Be Blessed)
GEREJA KRISTEN OIKOUMENE di Indonesia (GKO) pada hari ini genap memasuki usia yang ke-24 tahun. Rasanya kita perlu sedikit melongok kepada sebuah lagu karya Martin G. Schneider yang ditulis tahun 1963 berjudul "Gereja Bagai Bahtera"[10] (terjemahan Yamuger tahun 1988) yang bernuansa korektif, otokritik, sekaligus mendorong kita semua bila kita mau berbesar hati menerimanya. Lagu tersebut terdiri dari 5 ayat dan yang ditampilkan di dalam pidato ini hanyalah ayat ke-2,3, dan 4 antara lain:
(2)
Gereja bagai bahtera pun suka berhenti
Tak menempuh samudera, tak ingin berjerih
Dan hanya masa jayanya selalu dikenang
Tak ingat akan dunia yang hampir tenggelam
Gereja yang tak bertekun di dalam tugasnya
Tentunya oleh Tuhan pun tak diberi berkat!
Refleksi kita terhadap diri kita melalui lagu ini adalah bahwa selama 24 tahun kita pernah berhasil dan kemudian merasa puas diri dan stagnasi seperti "bahtera yang suka berhenti dan tak ingin berjerih". Kekaguman kita terhadap sukses masa lalu kerap membuat kita terlena membuat kita enggan untuk "menempuh samudera". Kita memang mengakui bahwa GKO banyak mengalami sukses tetapi hal itu bukan membuat kita terlena "tak ingat" tetapi untuk terus terjaga karena "dunia hampir tenggelam". GKO yang nyaris melewati seperempat abad sepatutnya semakin bertekun dalam tugasnya agar berkat Allah senantiasa mengiringi. "Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa." (Mazmur 23:6). GKO harus merasakan bahwa dirinya pernah diberkati Allah atau menjadikan dirinya sasaran berkat Allah. Namun GKO harus menyadari bahwa ia harus menjadi berkat pula buat orang lain.
(3)
Gereja bagai bahtera diatur awaknya
Setiap orang bekerja menurut tugasnya
Semua satu padulah, setia bertekun
Demi tujuan tunggalnya, yang harus ditempuh
Roh Allah yang menyatukan, membina, membentuk
Di dalam kasih dan iman dan harap yang teguh
Kendala kita adalah bahwa seringkali gereja kita tidak diatur oleh awaknya tetapi oleh lautnya. GKO acapkali mengikuti arus ketimbang melawan arus. GKO nyaris tak bersuara apa-apa ketika 'gonjang-ganjing' isu dan problematika di negeri ini membahana silih berganti melempar bangsa ini ke kiri ke kanan, ke atas dan ke bawah. Belakangan ini concern GKO mulai dikendalikan oleh awaknya. Sidang Sinode dan Rapat-rapat Kerja Sinode mulai belajar "memahami laut" tanpa harus terseret. Dan pengendali-pengendalinya makin profesional di bidangnya. Kita berharap tak ada "pengendali" yang gentar menghadapi gelombang laut atau justru terjatuh disapu gelombang laut.
Dalam bait selanjutnya disebutkan bahwa "setiap orang bekerja menurut tugasnya, semua satu padulah, setia bertekun, demi tujugan tunggalnya". Kalimat ini mengingatkan kita akan kecenderungan kita yang kurang bersatu saling mendukung antar pelayan dalam kesejajaran pelayanan imamat rajani[11] maupun dalam hirarki organisasi. Dukungan yang diberikan sering erat terkait dengan masalah hati, primordialisme, dan mamon ketimbang perkara rohani dan profesionalitas. Sudah barang tentu syair lagu ini mengingatkan kita agar lebih profesional dalam pelayanan maupun penatalayanan, yang diterjemahkan dengan kalimat "setiap orang bekerja menurut tugasnya" tanpa mengabaikan aspek kesatuan (unity) yang tersirat dalam kalimat "semua satu padulah setia bertekun".
(4)
Gereja bagai bahtera muatannya penuh
Beraneka manusia yang suka mengeluh
Yang hanya ikut maunya, mengritik dan sok tahu
Sehingga bandar tujuannya menjadi makin jauh
Tetapi bila umat-Nya sedia mendengar,
Tentulah Tuhan memberi petunjuk yang benar
Di beberapa jemaat GKO selama beberapa tahun belakangan ini jumlah kehadiran tidak seperti digambarkan lagu ini "muatannya penuh". Problem internal seringkali berdampak pada jumlah riil jemaat yang hadir ketimbang jumlah yang tercatat dalam buku keanggotaan. Pada prinsipnya mereka tetap terdaftar dalam keanggotaan gereja tetapi mereka tidak pernah terlihat. Sementara jemaat yang anggotanya cukup banyak merasa puas dengan seluruh kursi dan jam-jam kebaktian yang terisi penuh padahal jumlah yang tidak datang atau tidak mau datang tak dapat dikatakan sedikit atau diabaikan. Usia ke-24 adalah suatu kesempatan untuk meraih kesempatan dari Tuhan ketimbang memberi kesempatan kepada si jahat menggembosi jumlah umat Tuhan. GKO harus menyadari kebutuhan umat dengan menawarkan sesuatu yang tidak dapat mereka peroleh di tempat lain.[12] Namun lebih dari segalanya kita tetap harus ingat dan diingatkan untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan antara kuantitasi dan kualitas.[13]
Dalam bait kedua tertulis "beraneka manusia yang suka mengeluh" menunjuk jelas kepada orang yang tak tahan menderita dalam perjalanan ziarah GKO. Kendala kita di sini adalah masih banyaknya "pengintai-pengintai yang pesimis" (bnd. Yosua dan Kaleb yang optimis; Bil 13:30). Lebih banyak "pengeluhan" ketimbang optimisme dan ucapan syukur. "Yang hanya ikut maunya, mengritik dan sok tahu" menunjuk kepada mereka yang tak punya alasan untuk mengkritik tetapi tetap mengkritik, tak punya usulan konkrit tetapi mudah menjatuhkan kritik, tidak mau membantu tetapi mau memberikan kritik. Makin hari GKO seharusnya tidak semakin menambah jumlah pengkritik tanpa konsep atau pengkritik sakit hati. GKO memang masih perlu kritik dan pengkritik. GKO bukan "sepotong surga" di dunia fana. Namun GKO harus makin menambah pengkritik yang tak hanya pandai menilai konsep tetapi juga memiliki konsep alternatif yang dirasa lebih sesuai dan memiliki penjabaran yang lebih taktis dan strategis.
Bila GKO bertekad diberkati dan kemudian menjadi berkat rasa-rasanya belum terlambat untuk mengkaji dan menjalani apa yang diiuraikan dalam bait terakhir ayat keempat ini: "Tetapi bila umat-Nya sedia mendengar, tentulah Tuhan memberi petunjuk yang benar."
Reff.
Tuhan tolonglah, Tuhan tolonglah
Tanpa Dikau semua binasa kelak
Ya Tuhan tolonglah
Refrein dari lagu ini kembali menyatakan kebergantungan penuh kita pada Kepala Gereja yakni Kristus. Sekalipun kita mengerjakan hermeneusis dan anamnesis secara sempurna, dan melakukan prediksi dan proyeksi dengan tepat, namun pada akhirnya kita harus kembali mengakui dengan iman bahwa Tuhan ada di atas segalanya, GKO harus senantiasa memohon pertolongan-Nya yang memungkinkan "bahtera" tetap dapat berjalan sekalipun harus melewati badai yang menerpa begitu keras.
Kenyataan Kekinian Kita (The Present: Be Blessed and to be a Blessing)
Dalam Rapat Kerja Sinode II GKO yang berlangsung pada tanggal 19-20 Juli 2003 telah disepakati bahwa tema tahunan Juni 2003 - Juni 2004 Persekutuan Yang Akrab Dengan Keluarga. Tema tahunan sebelumnya adalah Persekutuan Yang Akrab Dengan Allah. Fokus yang bergeser ke dimensi horisontal-internal ini sama sekali tidak bermaksud meniadakan atau mengabaikan fokus vertikal-transendental-imanen yang sudah terbentuk akrab dengan Allah. Kedua fokus ini harus tetap berjalan secara simultan.
Dalam sambutan saya pada pembukaan Raker Sinode II beberapa waktu yang lalu saya menjelaskan bahwa fokus yang kini sedang diarahkan pada keluarga tentunya sangat beralasan. Keluarga adalah basis pertama dari sebuah koinonia baik terhadap Allah maupun dalam kerangka ekklesia. Allah sangat concern terhadap lingkup keluarga. Ia juga yang menyusun dan membentuk keluarga. Ia bekerja melalui keluarga. Allah bekerja memakai Adam dan Hawa sebagai keluarga pertama yang pada gilirannya menjadi prototipe rumah-rumah tangga selanjutnya. Yesus Kristus sendiri dalam inkarnasi-Nya memakai medan keluarga sebagai locus kehadiran-Nya. Ia tidak mulai dengan pengumpulan massa atau pada rekrutmen orang-orang profesional tetapi mulai dari keluarga seorang tukang kayu. Kehadiran Yesus mempertemukan Yusuf dan Maria dalam tali perkawinan yang kemudian berlanjut dengan kehadiran adik-adik jasmani lainnya.
Pada saat kita sedang berkumpul dalam "pesta rohani" ini tidak sedikit keluarga-keluarga baik di dalam maupun di luar GKO yang sudah terpecah-terpecah, keluarga yang tak menjadi teladan, keluarga yang meninggalkan Kristus, terjadi kekerasan domestik yang semakin tak terkendali, tempat-tempat tidur yang telah tercemar, perselingkuhan, poligami yang tak lagi sekedar praktek sembunyi-sembunyi tetapi sudah menjadi propaganda publik (poligami award 2003), poliandri, penganiayaan, pelecehan seksual terhadap anak kandung sendiri (incest), penyalahgunaan wewenang orang tua, orang tua tanpa wibawa, single parent, dll. Pergeseran nilai-nilai keluarga tak dapat dihindari Persoalan ini tidak bisa diserahkan begitu saja sebagai urusan "dalam negeri" tumah tangga masing-masing atau menjadi urusan pemerintah yang bertugas menuntaskan persoalan-persoalan sosial. GKO sebagai alat Allah harus terlibat dan melibatkan diri secara aktif guna meminimalisasi statistik keluarga-keluarga yang terus menjadi korban. Sekali lagi GKO harus menjadi berkat bagi umat dan dunia.
Ada satu kesadaran yang perlu dibangun di kalangan para pelayan di GKO sebagaimana tertulis dalam I Timotius 3:5: "Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?" Apa maksudnya? Maksudnya, tekad kita untuk menjadi berkat dalam arena yang lebih luas harus terlebih dahulu dibuktikan kesahihannya dalam konteks rumah tangga. Arti mendalamnya lagi adalah bila seseorang berusaha menjadi berkat buat orang lain maka ia harus: pertama, menjadi orang dan keluarga yang diberkati dahulu oleh Tuhan; kedua, memberkati keluarganya terlebih dahulu.
Pada segi lain keluarga menjadi basis pembaharuan dalam gereja dan masyarakat. Keluarga adalah persekutuan terkecil yang membentuk gereja dan masyarakat. Pemulihan dan pembaharuan yang terjadi dalam gereja dan masyarakat harus dimulai dari pemulihan yang terjadi dalam keluarga. Bila terjadi pemulihan dan pembaruan dalam keluarga maka hal itu mudah tertular kepada aspek yang lebih luas yakni gereja dan masyarakat. Sebaliknya tanpa ada pemulihan dan pembaruan dalam keluarga maka hal yang sama terjadi pula dalam gereja dan masyarakat.
Berdasarkan tema tahunan kita kali ini "Persekutuan Yang Akrab Dengan Keluarga" marilah saya mengajak kita semua untuk fokus pada keluarga yang diberkati kemudian memberkat. Sebagai contoh, bahan homilia yang telah diedarkan pada bulan Juli dan Agustus 2003 mengantar kita pada pemberian ruang yang lebih luas bagi pembaruan dan pemulihan keluarga. Program-program lain yang telah disepakati dalam Raker Sinode II yang lalu juga mengarah pada fokus keluarga. Setahun ini marilah kita bersama-sama bergandengan tangan mewujudkan keluarga yang sesuai dengan kehendak-Nya dan keluarga yang hidup dan berjalan sesuai dengan kemauan-Nya.
Kerja Keras Masa Depan (The Future: Be Blessing)
Harapan Besar tahun depan saat GKO berusia 25 tahun, diharapkan seluruh kita terlibat dalam sebuah arak-arakan seperempat abad dengan terus melakukan konsolidasi ke dalam dan menjadi berkat bagi orang lain. Kita tidak hanya menjadi berkat bagi orang lain dengan menjadi contoh tetapi kita berusaha dalam segala aspek kita dapat menolong dunia ini dari berbagai kemelut. Sinode GKO dalam hal ini tentunya tidak dapat menyelesaikannya sendiri maka perlu ada kerjasama oikumenis yang menjadikan gereja dalam pengertian Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) menjadi berkat buat Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Tetapi kerjasama oikumenis bukan suatu jalan tanpa tantangan. Kecurigaan dalam kerjasama oikumenis sering masih terasa sangat meracuni penaburan benih GKYE. Aktivitas dikotomi "evangelikal-ekumenikal", "liberalis-fundamentalis", "protestan-karismatis", kecurigaan terhadap doktrin keselamatan, bentuk ibadah, sampai pada masalah "curi domba" justru membuat gereja baik secara lokal, sinodal, dan sampai pada aras nasional sulit jadi berkat. Tidak sedikit kita yang menempuh jalan yang terkadang kurang persuasif dan dialogis. Atau ada yang benar-benar bertindak laissez-faire (membiarkan/masa bodoh). GKO harus selangkah lebih maju. Bila GKO ingin menjadi berkat maka GKO tidak dimungkinkan turut dalam polarisasi apa pun dan dalam aras manapun. GKO harus menjadi gereja "yang menyadari sebagai gereja yang diberkati dan kemudian akan memberkati".
Dengan masuknya GKO menjadi anggota PGI ke-76 maka GKO mau tidak mau harus turut menjadi agen yang turut mensosialisasikan Visi PGI 2005 yakni Gereja-gereja di Indonesia berada dalam kondisi SIAP MEWUJUDKAN/PROKLAMIRKAN GEREJA KRISTEN YANG ESA (GKYE) DI INDONESIA. Dengan turut ambil bagian dalam agenda ini maka GKO benar-benar tidak hanya menjadi berkat buat sesama gereja di tingkat lokal tetapi juga nasional, dan tidak hanya pada dimensi gerejawi tetapi masyarakat keseluruhan.
Juli 2004-Juni 2005: Persekutuan Yang Akrab Dalam Pekerjaan Tuhan
Juli 2005-Juni 2006: Persekutuan Yang Akrab Dengan Sesama Orang Percaya
Juli 2006-Juni 2007: Persekutuan Yang Akrab Diperintahkan Berkat
Kenyataan Menapaki 24 Tahun (The Past: Be Blessed)
GEREJA KRISTEN OIKOUMENE di Indonesia (GKO) pada hari ini genap memasuki usia yang ke-24 tahun. Rasanya kita perlu sedikit melongok kepada sebuah lagu karya Martin G. Schneider yang ditulis tahun 1963 berjudul "Gereja Bagai Bahtera"[10] (terjemahan Yamuger tahun 1988) yang bernuansa korektif, otokritik, sekaligus mendorong kita semua bila kita mau berbesar hati menerimanya. Lagu tersebut terdiri dari 5 ayat dan yang ditampilkan di dalam pidato ini hanyalah ayat ke-2,3, dan 4 antara lain:
(2)
Gereja bagai bahtera pun suka berhenti
Tak menempuh samudera, tak ingin berjerih
Dan hanya masa jayanya selalu dikenang
Tak ingat akan dunia yang hampir tenggelam
Gereja yang tak bertekun di dalam tugasnya
Tentunya oleh Tuhan pun tak diberi berkat!
Refleksi kita terhadap diri kita melalui lagu ini adalah bahwa selama 24 tahun kita pernah berhasil dan kemudian merasa puas diri dan stagnasi seperti "bahtera yang suka berhenti dan tak ingin berjerih". Kekaguman kita terhadap sukses masa lalu kerap membuat kita terlena membuat kita enggan untuk "menempuh samudera". Kita memang mengakui bahwa GKO banyak mengalami sukses tetapi hal itu bukan membuat kita terlena "tak ingat" tetapi untuk terus terjaga karena "dunia hampir tenggelam". GKO yang nyaris melewati seperempat abad sepatutnya semakin bertekun dalam tugasnya agar berkat Allah senantiasa mengiringi. "Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa." (Mazmur 23:6). GKO harus merasakan bahwa dirinya pernah diberkati Allah atau menjadikan dirinya sasaran berkat Allah. Namun GKO harus menyadari bahwa ia harus menjadi berkat pula buat orang lain.
(3)
Gereja bagai bahtera diatur awaknya
Setiap orang bekerja menurut tugasnya
Semua satu padulah, setia bertekun
Demi tujuan tunggalnya, yang harus ditempuh
Roh Allah yang menyatukan, membina, membentuk
Di dalam kasih dan iman dan harap yang teguh
Kendala kita adalah bahwa seringkali gereja kita tidak diatur oleh awaknya tetapi oleh lautnya. GKO acapkali mengikuti arus ketimbang melawan arus. GKO nyaris tak bersuara apa-apa ketika 'gonjang-ganjing' isu dan problematika di negeri ini membahana silih berganti melempar bangsa ini ke kiri ke kanan, ke atas dan ke bawah. Belakangan ini concern GKO mulai dikendalikan oleh awaknya. Sidang Sinode dan Rapat-rapat Kerja Sinode mulai belajar "memahami laut" tanpa harus terseret. Dan pengendali-pengendalinya makin profesional di bidangnya. Kita berharap tak ada "pengendali" yang gentar menghadapi gelombang laut atau justru terjatuh disapu gelombang laut.
Dalam bait selanjutnya disebutkan bahwa "setiap orang bekerja menurut tugasnya, semua satu padulah, setia bertekun, demi tujugan tunggalnya". Kalimat ini mengingatkan kita akan kecenderungan kita yang kurang bersatu saling mendukung antar pelayan dalam kesejajaran pelayanan imamat rajani[11] maupun dalam hirarki organisasi. Dukungan yang diberikan sering erat terkait dengan masalah hati, primordialisme, dan mamon ketimbang perkara rohani dan profesionalitas. Sudah barang tentu syair lagu ini mengingatkan kita agar lebih profesional dalam pelayanan maupun penatalayanan, yang diterjemahkan dengan kalimat "setiap orang bekerja menurut tugasnya" tanpa mengabaikan aspek kesatuan (unity) yang tersirat dalam kalimat "semua satu padulah setia bertekun".
(4)
Gereja bagai bahtera muatannya penuh
Beraneka manusia yang suka mengeluh
Yang hanya ikut maunya, mengritik dan sok tahu
Sehingga bandar tujuannya menjadi makin jauh
Tetapi bila umat-Nya sedia mendengar,
Tentulah Tuhan memberi petunjuk yang benar
Di beberapa jemaat GKO selama beberapa tahun belakangan ini jumlah kehadiran tidak seperti digambarkan lagu ini "muatannya penuh". Problem internal seringkali berdampak pada jumlah riil jemaat yang hadir ketimbang jumlah yang tercatat dalam buku keanggotaan. Pada prinsipnya mereka tetap terdaftar dalam keanggotaan gereja tetapi mereka tidak pernah terlihat. Sementara jemaat yang anggotanya cukup banyak merasa puas dengan seluruh kursi dan jam-jam kebaktian yang terisi penuh padahal jumlah yang tidak datang atau tidak mau datang tak dapat dikatakan sedikit atau diabaikan. Usia ke-24 adalah suatu kesempatan untuk meraih kesempatan dari Tuhan ketimbang memberi kesempatan kepada si jahat menggembosi jumlah umat Tuhan. GKO harus menyadari kebutuhan umat dengan menawarkan sesuatu yang tidak dapat mereka peroleh di tempat lain.[12] Namun lebih dari segalanya kita tetap harus ingat dan diingatkan untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan antara kuantitasi dan kualitas.[13]
Dalam bait kedua tertulis "beraneka manusia yang suka mengeluh" menunjuk jelas kepada orang yang tak tahan menderita dalam perjalanan ziarah GKO. Kendala kita di sini adalah masih banyaknya "pengintai-pengintai yang pesimis" (bnd. Yosua dan Kaleb yang optimis; Bil 13:30). Lebih banyak "pengeluhan" ketimbang optimisme dan ucapan syukur. "Yang hanya ikut maunya, mengritik dan sok tahu" menunjuk kepada mereka yang tak punya alasan untuk mengkritik tetapi tetap mengkritik, tak punya usulan konkrit tetapi mudah menjatuhkan kritik, tidak mau membantu tetapi mau memberikan kritik. Makin hari GKO seharusnya tidak semakin menambah jumlah pengkritik tanpa konsep atau pengkritik sakit hati. GKO memang masih perlu kritik dan pengkritik. GKO bukan "sepotong surga" di dunia fana. Namun GKO harus makin menambah pengkritik yang tak hanya pandai menilai konsep tetapi juga memiliki konsep alternatif yang dirasa lebih sesuai dan memiliki penjabaran yang lebih taktis dan strategis.
Bila GKO bertekad diberkati dan kemudian menjadi berkat rasa-rasanya belum terlambat untuk mengkaji dan menjalani apa yang diiuraikan dalam bait terakhir ayat keempat ini: "Tetapi bila umat-Nya sedia mendengar, tentulah Tuhan memberi petunjuk yang benar."
Reff.
Tuhan tolonglah, Tuhan tolonglah
Tanpa Dikau semua binasa kelak
Ya Tuhan tolonglah
Refrein dari lagu ini kembali menyatakan kebergantungan penuh kita pada Kepala Gereja yakni Kristus. Sekalipun kita mengerjakan hermeneusis dan anamnesis secara sempurna, dan melakukan prediksi dan proyeksi dengan tepat, namun pada akhirnya kita harus kembali mengakui dengan iman bahwa Tuhan ada di atas segalanya, GKO harus senantiasa memohon pertolongan-Nya yang memungkinkan "bahtera" tetap dapat berjalan sekalipun harus melewati badai yang menerpa begitu keras.
Kenyataan Kekinian Kita (The Present: Be Blessed and to be a Blessing)
Dalam Rapat Kerja Sinode II GKO yang berlangsung pada tanggal 19-20 Juli 2003 telah disepakati bahwa tema tahunan Juni 2003 - Juni 2004 Persekutuan Yang Akrab Dengan Keluarga. Tema tahunan sebelumnya adalah Persekutuan Yang Akrab Dengan Allah. Fokus yang bergeser ke dimensi horisontal-internal ini sama sekali tidak bermaksud meniadakan atau mengabaikan fokus vertikal-transendental-imanen yang sudah terbentuk akrab dengan Allah. Kedua fokus ini harus tetap berjalan secara simultan.
Dalam sambutan saya pada pembukaan Raker Sinode II beberapa waktu yang lalu saya menjelaskan bahwa fokus yang kini sedang diarahkan pada keluarga tentunya sangat beralasan. Keluarga adalah basis pertama dari sebuah koinonia baik terhadap Allah maupun dalam kerangka ekklesia. Allah sangat concern terhadap lingkup keluarga. Ia juga yang menyusun dan membentuk keluarga. Ia bekerja melalui keluarga. Allah bekerja memakai Adam dan Hawa sebagai keluarga pertama yang pada gilirannya menjadi prototipe rumah-rumah tangga selanjutnya. Yesus Kristus sendiri dalam inkarnasi-Nya memakai medan keluarga sebagai locus kehadiran-Nya. Ia tidak mulai dengan pengumpulan massa atau pada rekrutmen orang-orang profesional tetapi mulai dari keluarga seorang tukang kayu. Kehadiran Yesus mempertemukan Yusuf dan Maria dalam tali perkawinan yang kemudian berlanjut dengan kehadiran adik-adik jasmani lainnya.
Pada saat kita sedang berkumpul dalam "pesta rohani" ini tidak sedikit keluarga-keluarga baik di dalam maupun di luar GKO yang sudah terpecah-terpecah, keluarga yang tak menjadi teladan, keluarga yang meninggalkan Kristus, terjadi kekerasan domestik yang semakin tak terkendali, tempat-tempat tidur yang telah tercemar, perselingkuhan, poligami yang tak lagi sekedar praktek sembunyi-sembunyi tetapi sudah menjadi propaganda publik (poligami award 2003), poliandri, penganiayaan, pelecehan seksual terhadap anak kandung sendiri (incest), penyalahgunaan wewenang orang tua, orang tua tanpa wibawa, single parent, dll. Pergeseran nilai-nilai keluarga tak dapat dihindari Persoalan ini tidak bisa diserahkan begitu saja sebagai urusan "dalam negeri" tumah tangga masing-masing atau menjadi urusan pemerintah yang bertugas menuntaskan persoalan-persoalan sosial. GKO sebagai alat Allah harus terlibat dan melibatkan diri secara aktif guna meminimalisasi statistik keluarga-keluarga yang terus menjadi korban. Sekali lagi GKO harus menjadi berkat bagi umat dan dunia.
Ada satu kesadaran yang perlu dibangun di kalangan para pelayan di GKO sebagaimana tertulis dalam I Timotius 3:5: "Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?" Apa maksudnya? Maksudnya, tekad kita untuk menjadi berkat dalam arena yang lebih luas harus terlebih dahulu dibuktikan kesahihannya dalam konteks rumah tangga. Arti mendalamnya lagi adalah bila seseorang berusaha menjadi berkat buat orang lain maka ia harus: pertama, menjadi orang dan keluarga yang diberkati dahulu oleh Tuhan; kedua, memberkati keluarganya terlebih dahulu.
Pada segi lain keluarga menjadi basis pembaharuan dalam gereja dan masyarakat. Keluarga adalah persekutuan terkecil yang membentuk gereja dan masyarakat. Pemulihan dan pembaharuan yang terjadi dalam gereja dan masyarakat harus dimulai dari pemulihan yang terjadi dalam keluarga. Bila terjadi pemulihan dan pembaruan dalam keluarga maka hal itu mudah tertular kepada aspek yang lebih luas yakni gereja dan masyarakat. Sebaliknya tanpa ada pemulihan dan pembaruan dalam keluarga maka hal yang sama terjadi pula dalam gereja dan masyarakat.
Berdasarkan tema tahunan kita kali ini "Persekutuan Yang Akrab Dengan Keluarga" marilah saya mengajak kita semua untuk fokus pada keluarga yang diberkati kemudian memberkat. Sebagai contoh, bahan homilia yang telah diedarkan pada bulan Juli dan Agustus 2003 mengantar kita pada pemberian ruang yang lebih luas bagi pembaruan dan pemulihan keluarga. Program-program lain yang telah disepakati dalam Raker Sinode II yang lalu juga mengarah pada fokus keluarga. Setahun ini marilah kita bersama-sama bergandengan tangan mewujudkan keluarga yang sesuai dengan kehendak-Nya dan keluarga yang hidup dan berjalan sesuai dengan kemauan-Nya.
Kerja Keras Masa Depan (The Future: Be Blessing)
Harapan Besar tahun depan saat GKO berusia 25 tahun, diharapkan seluruh kita terlibat dalam sebuah arak-arakan seperempat abad dengan terus melakukan konsolidasi ke dalam dan menjadi berkat bagi orang lain. Kita tidak hanya menjadi berkat bagi orang lain dengan menjadi contoh tetapi kita berusaha dalam segala aspek kita dapat menolong dunia ini dari berbagai kemelut. Sinode GKO dalam hal ini tentunya tidak dapat menyelesaikannya sendiri maka perlu ada kerjasama oikumenis yang menjadikan gereja dalam pengertian Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) menjadi berkat buat Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Tetapi kerjasama oikumenis bukan suatu jalan tanpa tantangan. Kecurigaan dalam kerjasama oikumenis sering masih terasa sangat meracuni penaburan benih GKYE. Aktivitas dikotomi "evangelikal-ekumenikal", "liberalis-fundamentalis", "protestan-karismatis", kecurigaan terhadap doktrin keselamatan, bentuk ibadah, sampai pada masalah "curi domba" justru membuat gereja baik secara lokal, sinodal, dan sampai pada aras nasional sulit jadi berkat. Tidak sedikit kita yang menempuh jalan yang terkadang kurang persuasif dan dialogis. Atau ada yang benar-benar bertindak laissez-faire (membiarkan/masa bodoh). GKO harus selangkah lebih maju. Bila GKO ingin menjadi berkat maka GKO tidak dimungkinkan turut dalam polarisasi apa pun dan dalam aras manapun. GKO harus menjadi gereja "yang menyadari sebagai gereja yang diberkati dan kemudian akan memberkati".
Dengan masuknya GKO menjadi anggota PGI ke-76 maka GKO mau tidak mau harus turut menjadi agen yang turut mensosialisasikan Visi PGI 2005 yakni Gereja-gereja di Indonesia berada dalam kondisi SIAP MEWUJUDKAN/PROKLAMIRKAN GEREJA KRISTEN YANG ESA (GKYE) DI INDONESIA. Dengan turut ambil bagian dalam agenda ini maka GKO benar-benar tidak hanya menjadi berkat buat sesama gereja di tingkat lokal tetapi juga nasional, dan tidak hanya pada dimensi gerejawi tetapi masyarakat keseluruhan.
Referensi:
[1] Istilah ini diadaptasi dari H. A. van Dop, "Hermenusis dan Anamnesis" dalam Ioanes Rakhmat (ed.), Mendidik Dengan Alkitab dan Nalar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 229-236.
[2] Kata 'praxis' (Groome:xvii) mengusahakan agar teori dan praktek berjalan bersama sebagai sebuah upaya pengayaan timbal balik dalam sebuah aktivitas yang sama dari seseorang.
[3] RSV - And I will make of you a great nation, and I will bless you, and make your name great, so that you will be a blessing (perhatikan huruf yang saya tebalkan).
[4] Teologi Partikularistis adalah teologi yang beranggapan bahwa Allah hanya mengasihi dan membenarkan sekelompok orang atau hanya agama tertentu.
[5] C. S. Song, Allah Yang Turut Menderita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 54-55, 78.
[6] Ibid., 53.
[7] Th. Sumartana, “Beberapa Persoalan dan Gagasan Tentang ‘Gereja dan Masyarakat’ Sekitar Tahun-tahun 1950-an” dalam S. Wismoady Wahono, P.D. Latuihamallo, dan Fridolin Ukur (peny.), Tabah Melangkah (Jakarta: STTJ, 1984), 246.
[8] PGI, Dokumen Keesaan Gereja (DKG) (Jakarta: PGI, 2003), 4.
[9] Eka Darmaputera, "Prediksi dan Proyeksi Isu-isu Teologis Pada Dasawarsa Semibilanpuluhan: Sebuah Introduksi" dalam Soetarman et. al. (eds.), Fundamentalisme, Agama-agama dan Teknologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 4-7.
[10] Sinode GKI, Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB) No. 111 (Jakarta: Sinode GKI), 2002.
[11] Bnd. Pendapat Luther sebagaimana diuraikan Andar Ismail, Awam dan Pendeta: Mitra Pembina Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 2-9.
[12] Rick Warren, Pertumbuhan Gereja Masa Kini: Gereja Yang Mempunyai Visi-Tujuan (Malang: Gandum Mas, 2000), 55.
[13] Ibid., 58.
[14] PGI, Dokumen Keesaan Gereja (DKG) (Jakarta: PGI, 2003), 90-91.
[1] Istilah ini diadaptasi dari H. A. van Dop, "Hermenusis dan Anamnesis" dalam Ioanes Rakhmat (ed.), Mendidik Dengan Alkitab dan Nalar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 229-236.
[2] Kata 'praxis' (Groome:xvii) mengusahakan agar teori dan praktek berjalan bersama sebagai sebuah upaya pengayaan timbal balik dalam sebuah aktivitas yang sama dari seseorang.
[3] RSV - And I will make of you a great nation, and I will bless you, and make your name great, so that you will be a blessing (perhatikan huruf yang saya tebalkan).
[4] Teologi Partikularistis adalah teologi yang beranggapan bahwa Allah hanya mengasihi dan membenarkan sekelompok orang atau hanya agama tertentu.
[5] C. S. Song, Allah Yang Turut Menderita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 54-55, 78.
[6] Ibid., 53.
[7] Th. Sumartana, “Beberapa Persoalan dan Gagasan Tentang ‘Gereja dan Masyarakat’ Sekitar Tahun-tahun 1950-an” dalam S. Wismoady Wahono, P.D. Latuihamallo, dan Fridolin Ukur (peny.), Tabah Melangkah (Jakarta: STTJ, 1984), 246.
[8] PGI, Dokumen Keesaan Gereja (DKG) (Jakarta: PGI, 2003), 4.
[9] Eka Darmaputera, "Prediksi dan Proyeksi Isu-isu Teologis Pada Dasawarsa Semibilanpuluhan: Sebuah Introduksi" dalam Soetarman et. al. (eds.), Fundamentalisme, Agama-agama dan Teknologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 4-7.
[10] Sinode GKI, Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB) No. 111 (Jakarta: Sinode GKI), 2002.
[11] Bnd. Pendapat Luther sebagaimana diuraikan Andar Ismail, Awam dan Pendeta: Mitra Pembina Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 2-9.
[12] Rick Warren, Pertumbuhan Gereja Masa Kini: Gereja Yang Mempunyai Visi-Tujuan (Malang: Gandum Mas, 2000), 55.
[13] Ibid., 58.
[14] PGI, Dokumen Keesaan Gereja (DKG) (Jakarta: PGI, 2003), 90-91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar