11 Mei 2012

Akrab Dengan Allah: Menikmati Penyertaan-Nya

I Tawarikh 13:12-14 (II Samuel 6:9-11)

Mengapa orang yang sudah berjerih lelah demi Allah namun tidak mendapatkan penyertaan-Nya sementara orang lain mendapatkannya? Apa sebenarnya kunci seseorang mendapatkan penyertaan-Nya?

Apa yang terjadi?Pembacaan kita hari ini masih merupakan kelanjutan dari apa yang dialami oleh Daud dalam kotbah minggu lalu. Kali ini semenjak tragedi Uza, Dia begitu marah karena Allah membinasakan Uza. Tetapi di balik semua itu ia juga sangat ketakutan. Ia teringat akan cerita bagaimana Allah menulahi orang-orang yang salah menangani tabut perjanjian itu. Tetapi bersamaan dengan itu Daud belum tahu apa kesalahannya. Dia sudah setengah jalan. Dia belum tahu bagaimana menangani tabut perjanjian itu. "Bagaimanakah aku dapat membawa tabut Allah itu ke tempatku?". Ia ingin supaya jangan jatuh korban lagi karena keteledorannya. Sepanjang jalan ia memutar otak. Dan akhirnya ia memutuskan untuk menyimpang dari rencanannya semula (ayat 13). Ia membawa tabut perjanjian itu ke tempat yang terdekat yakni di rumah Obed-Edom. Dan Alkitab mencatat bahwa selama 3 (tiga) bulan tabut Allah itu ada dalam rumah keluarga Obed-Edom. Dan rupanya keluarga itu diberkati Allah bahkan sampai ke segala harta miliknya(ayat 14).

Apa maksud dari semua ini?
Daud sebagai orang yang ahli berstrategi membaca situasi yang tidak menguntungkan bila terus dijalankan akan mendatangkan malapetaka. Tindakannya meninggalkan tabut perjanjian itu di rumah Obed-Edom berdasarkan pada dua hal: pertama, ia tak mau terus berjalan dengan sesuatu yang menurutnya dapat mendatangkan malapeteka. Mungkin tatkala mereka dengan takut-takut dan hati-hati mendorong kereta yang berisi tabut itu kepada Obed-Edom mereka berpikir biarlah mereka selamat terlepas dari sesuatu yang menakutkan. Mereka mungkin berkata kepada Obed-Edom tatkala mereka menyerahkan tabut itu, "Semoga beruntung Obed. Anda barangkali sudah mengetahui bahwa kami telah menguburkan seseorang hari ini karena dia menyentuh tabut ini ketika lembu kami tergelincir. Anda lebih baik berhati-hati Obed. Katakan pula itu kepada seluruh keluargamu dan orang-orangmu".

Kisah ini memiliki makna tergantung dari sudut pandang kita melihatnya. Rupanya ada tiga sudut pandang: dari sudut pandang keluarga Abinadab, sudut pandang Daud, dan sudut pandang keluarga Obed-Edom:

Sudut pandang keluarga Abinadab
Keluarga Abinadab, di mana kemungkinan Uza juga tinggal, selama 20 tahun tinggal bersama tabut itu. Tetapi tidak ada satu pun yang terjadi. Keluarga ini sama sekali tidak pernah merasakan arti dari lambang tabut yaitu kehadiran Allah. Mereka merasa biasa saja sampai mereka tak lagi ingat apa artinya tabut itu dan bagaimana memperlakukannya. Bagi mereka tabut Tuhan itu merupakan suatu peti yang indah tetapi tidak lebih dari peti-peti atau kotak-kotak yang lain. Tatkala mereka diberi kepercayaan untuk mengawal dan mengangkut tabut itu mereka merasa bangga dan begitu terhormat karena ditunjuk raja untuk membawa tabut yang Mahatinggi. Sayangnya kebanggaan itu tidak diiringi oleh rasa hormat dan penghargaan yang benar, dan tidak diimbangi dengan pengertian apa artinya tabut itu dan bagaimana memperlakukannya. Keluarga ini menjaga tabut selama 20 tahun tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa. Ironis!

Sudut pandang Daud
Daud yang pulang ke rumahnya dirundung oleh banyak pikiran. Ia merasa kecewa karena tak dapat mambawa tabut ke tempatnya, di sisi lain ia merasa harus berbuat seperti itu. Daud adalah otak dan penanggung jawab dari pemindahan tabut itu, ia begitu bertanggung jawab, namun ia juga tidak mendapatkan apa-apa. Pekerjaannya selama 3 bulan adalah mengirim orang untuk mengetahui situasi terkini dari keluarga Obed-Edom. Daud cukup berlelah tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa.

Sudut pandang Obed-Edom
Obed-Edom adalah orang Lewi yang berasal dari Gat-Rimon di daerah Manasye. Kelak tatkala tabut dipindahkan ke Yerusalem ia menjadi penunggu pintu pada tabut (I Taw 15:24) dan pemain gambus (I Taw 16:5). Obed-Edom pasti sudah mendengar 'tragedi Uza'. Ia tidak mampu menolak keinginan Daud, ia juga tidak bisa menolak tabut itu kerena ia orang Lewi. Rupanya secara tersirat terbaca bahwa Obed-Edom dan keluarganya menerima tabut itu, menghormati, dan menjaga dengan kesungguhan dan ketulusan hati. Akibatnya adalah bahwa keluarga itu terus diberkati Allah (ayat 14). Keluarga ini tidak berjasa apa-apa terhadap Allah, mereka hanya menghargai Allah, maka tidak heran bila mereka diberkati Allah. Abinadab yang 20 tahun dengan tabut itu tentunya akan kaget bila ia mendengar keberuntungan keluarga Obed-Edom.

Di dalam kisah ini tampak bahwa jerih lelah kita tanpa penghargaan kita kepada Allah hasilnya adalah kesia-siaan. Allah lebih memerlukan orang yang taat yang berjerih lelahj, bukan orang yang berjerih lelah saja. Gereja sebagai alat di tangan Allah seharusnya mampu menunjukkan kehadiran Allah melalui 'dampak penyertaan-Nya'. Bila Obed-Edom mampu menunjukkan dampak tersebut bagaimana dengan gereja?

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Impartasi Rohani


Problematika Realitas Mimbar Kita
Banyak dari kita mempunyai penga-laman ini: kita mendengar kotbah atau pengajaran – kata-katanya benar dan tepat, bahkan sangat inspiratif, tetapi kita tidak bisa menerima kata-kata yang diucapkan dalam kedalaman hati kita. Pesan yang disampaikan mungkin menggairahkan untuk didengar dan di-renungkan, bahkan dipelajari dan didis-kusikan, tetapi hati kita tidak tergerak. Pengalaman ini sama dengan membaca buku pelajaran, mengikuti kuliah, atau mengikuti instruksi ketika belajar mengemudi. Kita mungkin sudah mencapai suatu tujuan dalam arti suatu argumentasi logis, atau kisah penuh warna, tetapi dalam realita kita tetap duduk di kursi kita, tidak berubah, bisa merasa mendapat dorongan, tetapi juga bisa menjadi bengkak dengan pengetahuan religius tentang Tuhan namun tidak terjadi apa-apa baik dalam diri si pemberita maupun bagi si pendengar.

Mengapa hal itu terjadi? Kata-kata si pembicara tidak dibawa oleh nafas Tuhan, tetapi oleh jiwa dan keinginan baiknya sendiri – atau keangkuhan dan ambisinya sendiri. Sulit untuk mengatakan bahwa mereka diurapi oleh Tuhan karena fakta pelayanan menunjukkan bahwa apa yang mereka taburkan belum banyak berpengaruh pada dirinya sendiri sebagai penyampai apalagi terhadap para jemaat selaku pendengar.

Banyak dari kita mungkin mempunyai pengalaman berbeda ketika mendengar seseorang berkotbah atau mengajar. Mungkin kata-kata mereka biasa saja. Mungkin mereka lupa dengan catatannya. Mungkin mereka bicara dengan gagap bahkan kontradiksi dengan diri mereka! Mungkin mereka hanya membaca satu ayat atau memberi suatu ilustrasi atau mengucapkan sebuah doa sederhana. Mungkin mereka tidak berpendidikan tinggi, kaku, atau tidak berpengalaman – tetapi hati kita tergerak. Hati kita menyala seolah-olah Kristus Sendiri yang berbicara, berdiri di depan kita. Dan memang benar demikian! Tuhan memilih yang bodoh bagi dunia untuk mempermalukan yang berhikmat (1 Korintus1:27). Inilah perbedaan antara melayani dengan urapan Kristus dan berbicara dari kemampuan dan pelatihan alami seseorang.

Apakah Impartasi Rohani Itu?

Pendekatan Etimologis
Kata ‘impartasi’ dijumpai beberapa kali di dalam Perjanjian Baru yang memiliki pengertian yang sama[1]. Kata impartasi adalah kata serapan dari kata bahasa Inggris ‘impart[2]’ Yun. Metadidomi [3]) yang berarti memberikan dalam pemahaman membagikan sesuatu yang bermakna dan rohani.

Pengertian tersirat dari metadidomi , yang terdiri dari dua kata Yunani yaitu meta dan didomi. Meta berarti seperti berjalan bersama orang lain atau menemani. Didomi berarti lebih dari sekedar memberi. Kata ini menunjukkan kelimpahan – memberi sepenuhnya kepada orang lain dengan penuh rasa percaya. Didomi berarti memberi seluruh yang ada pada seseorang. Jadi mengimpartasi berarti memberi dengan melimpah dari kedalaman diri seseorang. Tindakan “melimpahkan” ini sama dengan kata yang dipakai untuk menjelaskan bagaimana lautan “melimpahkan” apa yang tersembunyi di dalamnya. Dari kedalaman Roh Tuhan, melalui roh kita, terjadilah impartasi.

Pendekatan Tekstual
Namun pengertian yang tepat hanya di dapat dalam pemahaman yang terbuka dalam beberapa teks Perjanjian Baru misalnya:

11 For I long to see you, that I may impart to you some spiritual gift to strengthen you, (Rom 1:11 RSV)[4]

Paulus membagikan karunia rohani yang bertujuan menguatkan jemaat. Yang diimpartasi disini adalah karunia rohani. Dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible yang dimaksud dengan ‘karunia rohani’ bukanlah karunia-karunia yang luar biasa dari Roh Kudus tetapi lebih pada sebuah pencerahan spiritual, pengetahuan, perdamaian, dan sukacita, yang diperoleh melalui pelaksanaan karunia pelayanan [5]. Tujuan impartasi disini adalah menguatkan jemaat.

Kerinduan hati rasul Paulus yang paling dalam bukanlah hanya bisa bertemu dengan orang-orang percaya, tetapi juga bisa memberi mereka sesuatu yang dapat menolong mereka dibangun. Sebagai seorang rasul, motivasi hatinya bukanlah hanya mengajar, menanam gereja, melakukan mujizat, atau membangun tatanan apostolik saja – melainkan juga memberi semua yang bisa dia berikan, mengimpartasikan apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya, mengalirkan dengan leluasa semua karunia-karunia rohani, sehingga mereka kuat.

Melakukan impartasi harus menjadi gairah semua orang percaya. Karena keinginan untuk mengimpartasi adalah keinginan hati Tuhan. Dia ingin mencurahkan Diri-Nya kepada seluruh keluarga-Nya, mem-perlengkapi orang percaya untuk melakukan persekutuan dengan Dia maupun untuk pelayanan (Efesus 4:11-12). Semua karunia dan kemampuan hanya datang dari Kristus dan untuk Kristus, jadi kita harus bersukacita menjadi suatu bejana yang bisa membantu orang lain maju dalam panggilan mereka, bukan diri kita sendiri. Tuhan memanggil kita untuk terlebih dahulu membantu orang lain – bukan pelayanan kita sendiri – sehingga bisa melangkah lebih tinggi bersama Tuhan. Kita sekali-kali tidak boleh melupakan prinsip ini: kita telah menerima dengan cuma-cuma, karena itu kita perlu memberi dengan cuma-cuma (Matius 10:8). Tujuan kita adalah menghadirkan Raja dalam kerajaanNya, membantu orang lain menemukan destini yang telah ditetapkan Tuhan bagi mereka, dan mempersiapkan mereka untuk bisa berfungsi lebih baik dalam panggilan mereka (Efesus 1:18).

6 Yet among the mature we do impart wisdom, although it is not a wisdom of this age or of the rulers of this age, who are doomed to pass away.
 7 But we impart a secret and hidden wisdom of God, which God decreed before the ages for our glorification. (1Co 2:6-7 RSV)[6]

13 And we impart this in words not taught by human wisdom but taught by the Spirit, interpreting spiritual truths to those who possess the Spirit. (1Co 2:13 RSV)[7]

Impartasi dalam konteks ini adalah membagikan hikmat yang dalam ayat 7 digambarkan sebagai membagikan ketersingkapan (atau menyingkap) rahasia hikmat Allah bagi dunia (baca: jemaat).

29 Let no evil talk come out of your mouths, but only such as is good for edifying, as fits the occasion, that it may impart grace to those who hear. (Eph 4:29 RSV)[8]

Hal yang perlu diimpartasi dalam ayat di atas adalah kata-kata yang menjadi berkat sehingga orang lain dikuatkan.

8 So, being affectionately desirous of you, we were ready to share with you not only the gospel of God but also our own selves, because you had become very dear to us. (1Th 2:8 RSV)

8 So being affectionately desirous of you, we were willing to have imparted unto you, not the gospel of God only, but also our own souls, because ye were dear unto us. (1Th 2:8 KJV)

Untuk RSV menggunakan kata ‘share with’ atau ‘membagi atau berbagi dengan’ sehingga dalam konteks terlihat Paulus sedang menggambarkan dirinya berbagi dengan jemaat Tesalonika baik dalam firman maupun hidup; sedangkan KJV menggunakan kata ‘imparted’ yang berarti memberi sehingga dalam konteks terlihat bahwa Paulus memberi firman dan memberi diri bagi jemaat.

Prakondisi Impartasi
Yang harus diperhatikan dari impartasi yang indah ini adalah: kita tidak bisa memberikan apa yang tidak kita miliki. Kalau kita ingin mengimpartasi, pertama-tama kita harus mempunyai sesuatu untuk dilepaskan. Untuk bisa mengimpartasi, orang terlebih dahulu harus diurapi dengan apa yang akan diimpartasi. Dua realita spiritual dari impartasi dan pengurapan ini berbeda, tetapi saling berhubungan dan bekerjasama seperti yang dikehendaki Roh. Bagaimana hal ini terjadi? Inilah kebenaran luar biasa dari kerajaan Tuhan: ketika kita berkotbah, mengajar, atau melayani dengan kasih, di dalam Roh Tuhan, kita mengimpartasikan substansi Kristus, bukan sekedar informasi tentang Dia. Yesus meneguhkan janji profetik dari Yesaya 61:1-5:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin .. (bnd. Lukas 4:18)

Menerima pengurapan berarti menerima kemampuan ilahi.  Kemampuan apakah yang dimaksud? Pengurapan itu tidak kurang dari Kristus Sendiri: kata Yunani yang diterjemahkan sebagai mengurapi itu sama dengan akar kata yang berarti Kristus, yaitu chrio. Apa artinya mempunyai chrio atau diurapi? Itu berarti membawa Kristus, Yang Diurapi. Pengurapan yang sama ini menguduskan Raja kita untuk melakukan pelayanan Mesianik dan memberi-Nya kuasa untuk memerintah dalam KerajaanNya. Inilah urapan yang kita terima – Tuhan Yesus Kristus di atas dan di dalam hidup kita, Pribadi Roh Kudus Sendiri. Diurapi adalah diolesi (pengertian literal alegoris) dan dipenuhi dengan Kristus. Dalam bahasa Ibrani, mengurapi atau mashach berarti mengolesi atau menuangkan cairan atau menguduskan. Dengan kata lain, sebagai orang yang percaya Yesus Kristus kita dikuduskan sebagai imam kudus untuk melayani di dalam Nama-Nya, diurapi oleh Dia dan dengan Dia. Dialah urapan itu!

Dari mana urapan dan kuasa yang benar datang? Dari Roh Tuhan! Kita tidak melayani dari kemampuan akademis atau kemampuan manusiawi – tetapi urapan Roh Kudus, yang kemudian kita impartasikan. Inilah pesan Tuhan yang penting dan urgent bagi gerejaNya: kita harus belajar untuk hidup dan bekerja di dalam dan melalui Dia, Yang Diurapi – bukan dengan kemauan dan kekuatan sendiri. Kita harus belajar mengimpartasikan Kristus – urapan, bukan agenda dan ide sendiri.

Setelah mengerti dan belajar menerima urapan-Nya, kita sekarang mengerti apa arti impartasi yang sebenarnya. Kemampuan untuk mengimpartasi bisa dilakukan apabila kita menerima urapan. Kalau kita mempunyai karunia untuk mengimpartasi seperti ini, apapun yang kita katakan atau lakukan di dalam pengurapan akan memberi dampak yang dalam pada mereka yang mendengarkan. Substansi Kristus akan diimpartasikan pada roh mereka yang responsif.

Tuhan ingin memberi kita harta spiritual. Harta yang Dia berikan ini tidak ternilai dan tidak bisa dibandingkan dengan apapun yang kita miliki. Tidak ada gunanya kita membagikan sesuatu kepada mereka yang mendengar kita jika kita belum memiliki harta ini dan tinggal di dalamnya – yaitu Kristus Sendiri – yang kita terima sebagai roti segar setiap hari. Kita harus dipenuhi dengan kehadiran Kristus, sehingga dari dalam diri kita mengalir sungai kehidupan.
Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.
Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. (Yohanes 15:4-5)

Aspek Paling Penting dari Pelayanan Apapun atau Perjumpaan Pribadi Bukanlah Kata-kata Melainkan Impartasi dari “Roh dan Kehidupan”

Kemampuan untuk mengimpartasi ini berhubungan dengan hubungan pribadi yang berkualitas dengan Yesus (“ … mereka yang mencari Aku pagi-pagi …”) – karena Dia telah memberi impartasi kepada kita terlebih dahulu. Perhatikan janji ini: kita akan dipenuhi apabila prioritas tertinggi kita adalah mencari Dia (Matius 6:33). Kita hanya bisa menemukan Dia pada tingkat ini apabila kita mencari dengan sepenuh hati (Yeremia 29:12-13). Dia layak menerima tidak kurang dari itu!

Seorang Kristen yang punya komitmen dan mempunyai karunia untuk mengimpartasi seperti ini akan menonjol di antara orang lain karena dia membawa kemuliaan Tuhan. Tujuan hati kita adalah membawa hadirat Tuhan yang tinggal sedemikian rupa sehingga orang lain bisa merasakan dan mendengar Dia ketika kita melayani. Tujuan kita adalah dipenuhi dengan kemuliaan hadirat Tuhan yang kuat dan pekat. Akan menjadi suatu kesaksian yang indah bila orang berkata bahwa urapan Kristus Sendiri ada di dalam hidup seseorang dan pelayanannya.

Ketika urapan ini aktif, orang ditarik dengan rasa lapar yang kuat. Seringkali apabila seseorang yang memiliki urapan Kristus yang sebenarnya selesai bicara, orang akan berkata, “Tolong teruskan pesannya” atau “Saya bisa mendengarkan anda berjam-jam.” Mengapa orang merespon seperti itu? Mereka merespon bukan karena kedalaman Firman yang disampaikan atau karena urapan luar biasa pada si pembicara, tetapi pada “impartasi” yang mengalir melalui roh. Melalui karunia impartasi, kita menjadi saluran di mana kehidupan Tuhan mengalir pada roh orang lain! Inilah hati dari setiap pelayanan – baik di atas mimbar, di tempat kerja, atau di meja dapur.

Ketika kita melayani, kita bisa melihat apakah orang-orang telah terhubung dengan Roh atau apakah mereka mencoba mengerti secara intelektual. Alangkah indahnya apabila mereka mendapat makanan secara spiritual, bukan secara natural – dan mereka tahu bahwa mereka menerima sesuatu yang luar biasa – substansi ilahi-Nya.

Sekali lagi saya ingin menggaris bawahi bahwa kita tidak bisa memberi apa yang tidak kita miliki: Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. (Yohanes 6:63).

Karunia rohani semacam ini memampukan kita untuk mengatakan suatu pesan. Kemudian, melalui pengurapan itu pesan tersebut bisa diimpartasikan kepada orang lain. Kita harus menyediakan waktu khusus untuk Tuhan agar bisa dipenuhi dengan substansi spiritual-Nya, sehingga bisa mengimpartasikan keberadaanNya (Yeremia 3:15). Kita harus datang di hadapan tahtaNya setiap hari untuk menerima roti segar dari surga untuk memberi makan umatNya (Kisah 20:28).

Bagaimana Mengembangkan Kemampuan untuk Mengimpartasi?

10 For Ezra had set his heart to study the law of the LORD, and to do it, and to teach his statutes and ordinances in Israel. (Ezr 7:10 RSV)

10 Sebab Ezra telah bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel. (TB-LAI)

Dalam analisis struktur tekstual ayat di atas maka dijumpai ada 4 kata kerja aktif dari diri Ezra dalam kaitan:
1.        Bertekad (mempersiapkan hati)/to set his heart
2.       Meneliti (mempelajari)/to study
3.       Melakukan/to do
4.       Mengajar/to teach

Posisi ‘impartasi’ dalam diri Ezra terletak urutan ke-4, ada langkah-langkah awal yang tidak dapat dibolak-balik urutan logisnya. Karena kita tidak mungkin membagikan sesuatu yang tidak kita miliki.

1.     Bertekad
Tekad semacam ini hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang orientasi keinginannya telah diubahkan Roh Kudus yakni mereka: “… yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam …” Maz 1:2) dan “ … orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya …” (Maz 112:1).

2.    Meneliti
Meneliti atau mempelajari Alkitab berarti membaca Alkitab dengan sebuah sikap yang serius dan kerinduan untuk menemukan kebenaran yang mendalam. Pembacaan Alkitab dalam konteks ini tidak mengakomodir pembacaan yang sambil lalu apalagi penafsiran literal ataupun konkordantif. Tetapi bila diberi kesempatan maka mengertinya dalam keseimbangan teks dan konteks.

3.    Melakukan
Berulangkali Yesus menggunakan perumpamaan tentang pelaksanaan Firman Tuhan yang jauh lebih bermakna ketimbang mendengar atau menafsirkannya saja. Yakobus malah dengan tegas mengatakan: “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (Yak 1:25).

Prinsipnya kita membagikan apa yang telah kita hidupi dari Firman Tuhan dalam kehidupan kita.

4.    Mengajar
Inilah impartasi, ketika kita membagikan Firman Tuhan, dan bukan hanya sampai disitu tetapi ketika orang lain dikuatkan atau memberi dampak positif dan nyata bagi orang yang mendengarnya.

Bintaro, 10 Agustus 2010

Disarikan dari berbagai sumber, dan juga dari: http://hegaihadasa-treeoflife.blogspot. com/2010/04/impartasi-dan-pengurapan.html



[1] Roma 1:11; 1 Kor 2:6-7, 13; Ef 4:29 (TB-LAI)
[2] Longman Dictionary of Contemporary English, “impart”: 1. To give a particular quality of something; 2. To give information, knowledge, wisdom, etc to someone.
[3] metadidomi - "to give a share of, impart" (meta, "with"), as distinct from "giving." The Apostle Paul speaks of "sharing" some spiritual gift with Christians at Rome, Rom 1:11, "that I may impart," and exhorts those who minister in things temporal, to do so as "sharing," and that generously, Rom 12:8, "he that giveth;" so in Eph 4:28; Luke 3:11, in 1 Thess 2:8 he speaks of himself and his fellow missionaries as having been well pleased to impart to the converts both God's Gospel and their own souls (i.e., so "sharing" those with them as to spend themselves and spend out their lives for them
[4] Roma 1:11: Sebab aku ingin melihat kamu untuk memberikan karunia rohani kepadamu guna menguatkan kamu,
[5] John Gill’s Exposition of the Entire Bible  - “ … not any extraordinary gift of the Spirit; but spiritual light, knowledge, peace, and comfort, through the exercise of his ministerial gift: whence it may be observed, that that which qualities men for the preaching of the word to the profit of others, is a gift, a gift by grace; a spiritual one, which comes from the Spirit of God, and may be, and is to be imparted to others in the free use and exercise of it …”
Hal senada juga muncul dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible:
“ … Some have understood this as referring to “miraculous gifts,” which it was supposed the apostles had the power of conferring on others. But this interpretation is forced and unnatural. There is no instance where this expression denotes the power of working miracles. Besides, the apostle in the next verse explains his meaning, “That I may be comforted together by the mutual faith,” etc. From this it appears that he desired to be among them to exercise the office of the ministry, to establish them in the gospel and to confirm their hopes. He expected that the preaching of the gospel would be the means of confirming them in the faith; and he desired to be the means of doing it …”
[6] 1 Korintus 2:6-7: 6 Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan. 7 Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita. (TB – LAI)
[7] 1 Korintus 2:13: Dan karena kami menafsirkan hal-hal rohani kepada mereka yang mempunyai Roh, kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh (TB-LAI)
[8]  Ef 4:29: Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia  (TB-LAI)