24 November 2008

Ragi Orang Farisi

Matius 16:6:
Yesus berkata kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap ragi orang Farisi dan Saduki."

Matius 16:11:
“Bagaimana mungkin kamu tidak mengerti bahwa bukan roti yang Kumaksudkan. Aku berkata kepadamu: Waspadalah terhadap ragi orang Farisi dan Saduki.”

Markus 8:15:
“Lalu Yesus memperingatkan mereka, kata-Nya: "Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes.”


Peringatan Yesus tentang “ragi orang Farisi” tentunya sekalipun memiliki makna simbolik tetapi tetap mencerminkan pengertian “adanya pengaruh” yang buruk dari orang Farisi.

Ragi orang Farisi itu antara lain:
  • Mereka paling getol berbicara tentang kekudusan. Sayangnya kekudusan mereka adalah kekudusan lahiriah belaka dan tidak menyangkut hal yang batiniah.
  • Mereka paling getol berbicara tentang keistimewaan kedudukan mereka. Mereka adalah umat pilihan Allah dan yang lain adalah kafir. Keistimewaan kedudukan mereka tidak dilihat dengan positif tetapi dengan mata sombong. Pada akhirnya keistimewaan kedudukan mereka tidak jadi berkat buat bangsa lain malah menjadi sandungan. Bukan itu saja mereka juga seringkali merasa lebih baik dari pemungut cukai dan pelacur, sehingga doa mereka di Bait Allah akan terasa superior dengan mengatakan: "dan kami tidak seperti orang itu".
  • Mereka paling getol berbicara tentang apa kata Kitab Suci menurut pandangan mereka bukan menurut pandangan Tuhan. Berulang kali Yesus membantah cara penafsiran mereka baik soal Taurat termasuk hal-hal praksis sehari-hari. Kisah Yesus menyembuhkan orang lumpuh pada hari Sabat menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti firman Allah atau dengan kata lain mereka menerjemahkannya menurut pengertian mereka sendiri.
  • Mereka paling getol menghubungkan hal-hal keseharian dengan hal-hal rohani tanpa hikmat. Bayangkan soal mencuci tangan sebelum makan saja jadi soal yang berkepanjangan. Bisa jadi hal-hal itu jadi muncul sekarang ini baik soal makanan, soal pakaian, soal jenggot, soal hamba Tuhan tidak boleh berkumis, soal sembahyang pakai tudung, soal gereja hari apa.
  • Mereka paling getol menunjukkan (memamerkan) praktek-praktek rohani. Orang yang berdoa di dalam Bait Suci menunjukkan prestasi rohaninya, orang-orang yang berdoa di pinggir jalan, berdoa dengan tali sembahyang yang panjang, juga memberi sedekah dengan munafik, berpuasa dengan munafik, adalah sesuatu yang sedang ditunjukkan agar orang melihat dan memuji perbuatan mereka. Menurut Yesus, “Sesungguhnya mereka telah menerima upahnya”.
  • Mereka paling getol menunjukkan dosa dan kesalahan orang. Berulang kali orang Farisi tidak memulihkan orang tetapi menuding orang, mencari-cari kesalahan orang, menjebak orang agar orang bisa dikalahkannya. Itulah yang Yesus katakan kalau mereka bisa melihat ada selumbar di mata orang sedangkan balok di mata mereka sendiri tidak mereka lihat. Kita juga begitu pandai mengkoreksi orang tetapi sulit mengkoreksi diri sendiri.
  • Mereka paling getol menghakimi dan menghukum orang ketimbang mengampuni dan mendoakan orang yang bersalah. Agama mereka tidak cukup mencintai karena hanya habis untuk menghukum dan merajam orang dengan batu. Benarlah apa kata pepatah: Agama kita tidak cukup untuk mengasihi dan memperdulikan orang lain karena telah habis kita serap untuk mengurusi kebencian dan sumpah serapah kutukan.
  • Mereka paling getol menunjukkan kefanatikan mereka. Kebencian mereka terhadap orang dunia membuat mereka tidak pernah bisa memenangkannya tetapi malah semakin menyakitinya. Mereka selalu menghindar dari kerumunan orang-orang yang dianggap orang berdosa. Mungkin kalau di zaman sekarang inilah gambaran dari gereja yang salah tolak: harusnya dosa orang tetapi kadang-kadang terbuang bersama orang-orangnya.
Saya berdoa agar ragi itu tidak terus-menerus ada dalam diri saya dan gereja Tuhan.

Daniel Zacharias
~education from womb to tomb~

23 November 2008

Kepemimpinan Kristen

Dalam tulisan ini pemahaman Kepemimpinan Kristen identik dengan Kepemimpinan Rohani. Patut diakui bila pengertiannya bisa saja tidak sama. Kepemimpinan Kristen bisa saja berbicara tentang Kepemimpinan dalam kumpulan orang-orang Kristen, atau Kepemimpinan dari orang Kristen, yang belum tentu menggambarkan suatu petunjuk yang rohani, namun tesis ini memahami secara ideal kalau pemimpin rohani adala pemimpin Kristen dan pemimpin Kristen haruslah berarti pemimpin yang rohani. Bila ada ketidaksejajaran dalam praktek hal itu tidak merusak definisi tetapi lebih dikatakan sebagai anomali yang perlu mendapat perbaikan.

Kepemimpinan Kristen yang dipahami pula sebagai kepemimpinan rohani tidak hanya menunjuk pada pribadi seorang pemimpin yang beragama Kristen dan atau berada dalam lingkungan orang-orang Kristen tetapi memuat sarat nilai-nilai kerohanian Alkitabiah baik secara idealis maupun pragmatis. Secara idealis menunjukkan bahwa kepemimpinan rohani itu memiliki prinsip-prinsip filosofis yang esensial dan dalam tataran pragmatis kepemimpinan itu diwujudkan dalam terang prinsip-prinsip filosofis yang bernuansa etis teologis.

Kita menggunakan istilah yang lebih tepat kepada kedua pokok ini saat menyebutnya dalam sebuah kesatuan pemikiran yang disebut dengan istilah praxis. Thomas Groome mendefinisikan kata tersebut sebagai berikut:

For now let it be understood as “reflective action”, that is, a practice that is informed by theoretical reflection, or, conversely, a theoretical reflection that is informed by practice. I use it here in preference to the more common word practice because the latter term very often has the connotation of a skill or a technique, or of something that is done as the application of theory and is thus, in fact, dichotomized from theory. The term praxis attempts to keep theory and practice together as dual and mutually enriching moments of the same intentional human activity. [1]

Dalam konteks kepemimpinan pengertian Groome dalam konteks pendidikan Kristen masih terasa cukup relevan mengingat sekalipun berada dalam bidang telaah yang berbeda keduanya memiliki dua wilayah sebagai titik berangkat yakni: teori dan praktek. Groome yang memilih pengertian praxis karena ia hendak menekankan pengertian teori dan praktek bersama-sama sebagai sesuatu yang peristiwa yang berpengertian rangkap (dwifungsi) dan saling memperkaya dari aktivitas manusia.

1. Definisi
Banyak definisi tentang pemimpin dan kepemimpinan dengan berbagai fokus dan penekanan. Berikut ini kita akan menelusuri beberapa definisi yang terkait dengan kepemimpinan dan aspek-aspek yang terkait dengan pokok tersebut.

Kepemimpinan oleh A. J. Lindgreen didefinisikan sebagai:

Leadership is the process of influencing the actions and behaviour of persons and/or organization through complex interactions toward goal achievment.[2]

Definisi singkat yang padat ini memuat beberapa aspek:
  • Kepemimpinan itu adalah proses, ia membutuhkan jangka waktu tertentu dan melalui tahapan tertentu.
  • Kepemimpinan itu memiliki kuasa untuk mempengaruhi.
  • Pengaruh kepemimpinan terarah pada tindakan dan sikap pribadi-pribadi dan atau organisasi.
  • Pengaruh kepemimpinan melewati medium pengaruh timbal balik yang saling mempengaruhi antara yang memimpin dengan yang dipimpin.
  • Interaksi yang terjadi kemungkinan akan terasa begitu kompleks mengingat kepemimpinan menyangkut banyak komponen.
  • Kepemimpinan memiliki tujuan, arah, dan target.

Berdasarkan uraian dari definisi Lindgreen maka telah sedikit tersingkap bila kepemimpinan bukan pekerjaan atau pokok pembicaraan yang mudah dan sederhana. Namun hal itu tidak berarti kalau kepemimpinan itu sendiri tidak dapat dikerjakan atau dipraktekkan oleh manusia.

H. Siagian melihat kepemimpinan itu sebagai suatu cara atau teknik pimpinan atau manajer untuk mengarahkan dan menyuruh orang lain mau mengerjakan apa yang ditugaskan.[3] Dalam pandangan Siagian kepemimpinan bukan lagi sebuah filosofis, teori, atau prinsip belaka tetapi lebih pada sebuah praxis. Kepemimpinan tanpa teknik maka ia hanyalah sebuah pemikiran. Dengan kata lain kepemimpinan bukan juga semata-mata menjalankan sebuah roda kepemimpinan tetapi ia memiliki tekniknya tersendiri yang mempertimbangkan faktor-faktor interdispliner.

Lindgreen sendiri selain menentukan batas-batas definitif untuk kepemimpinan, ia juga menggambarkan luasnya kepemimpinan yang tidak hanya menyangkut diri pemimpin itu sendiri tetapi juga menyangkut orang yang dipimpin dalam upaya mencapai tujuan:

Leadership does not reside in the person of the leader alone. It involves accomplishing goals through persons. Leaders cannot function without the involvement of members.[4]

Kemudian Lindgreen sendiri menyatakan bahwa tujuan dari kepemimpinan adalah mempengaruhi tingkah laku dan tindakan orang dan atau organisasi. Dari definisi Lindgreen semula maka tampaklah bila tujuan kepemimpinan itu memiliki dwi arah yakni: tujuan yang terkandung dalam sebuah kepemimpinan yakni bisa mempengaruhi orang lain atau organisasi dan tujuan yang dicapai bila seseorang atau organisasi sudah dapat dipengaruhi.

Kepemimpinan adalah hal yang tidak mudah dikerjakan tetapi tidak pula dapat dihindari. Sehubungan dengan tidak mudahnya kepemimpinan dan tidak dapat dihindarinya kepemimpinan maka Eka Darmaputera menulis:

Kepemimpinan yang baik merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan, dan kemajuan kelompok apa pun ... tanpa kepemimpinan yang baik, kelompok apa pun di dunia ini akan rentan konflik serta rawan perpecahan, dan oleh sebab itu sulit bertumbuh atau berkembang. Kalaupun bergerak, geraknya pun sekadar maju-mundur, ke sana kemari, dan tanpa arah ... Disamping vital, kepemimpinan adalah kenyataan yang tak terelakan bagi semua orang. Di mana ada kehidupan bersama, di mana pun di muka bumi ini orang cuma punya dua pilihan: dipimpin atau memimpin.[5]

Apa yang dikemukakan Eka logis sekali penalarannya dalam kaitannya dengan kepemimpinan. Sebuah keteraturan sistem tidak otomatis terjadi. Keteraturan sosiologis dalam sebuah kepemimpinan lahir dari sebuah pengaturan. Keteraturan dan pengaturan membutuhkan seseorang yang dianggap mampu mengatur. Dapat kita bayangkan bila dalam sebuah sistem semua orang turut mengatur maka yang akan timbul adalah sebuah kekacauan. Eka dalam tulisannya ini hendak mengatakan bila kepemimpinan harus diciptakan dan disepakati eksistensinya, sebab itu bukan karena dibuat supaya ada tetapi karena hal itu tak dapat dielakan. Pilihan dipimpin atau memimpin membuat dimensi kepemimpinan semakin jelas walaupun aspek kepemimpinan tidak sesederhana itu. Selanjutnya Eka memaparkan:

Kepemimpinan dalam suatu kehidupan bersama memang tak terhindarkan. Ini sesuatu yang lumrah dan alamiah. Namun, kepemimpinan itu harus mengacu kepada mandat atau penugasan Allah, Sang Pemimpin satu-satunya: untuk mengembangkan kemungkinan saling menolong serta kesepadanan, kesetarafan atau kesetaraan ... mandat kepemimpinan yang diberikan oleh Allah kepada manusia bersumber pada kesegambaran antara manusia dengan Allah ... kepemimpinan manusia haruslah mencerminkan kepemimpinan Allah. Kepemimpinan yang menghidupkan dan menghidupi, bukan menindas. Kepemimpinan yang adil, bukan sewenang-wenang. Kepemimpinan yang kudus, tidak dikotori oleh hawa nafsu “kehendak berkuasa” (will to power) yang destruktif.[6]

Rupanya Eka menyadari benar bila kepemimpinan merupakan salah satu aspek Imago Dei dalam diri manusia. Allah adalah pemimpin yang memberikan mandat kepada manusia untuk memimpin (baca: berkuasa) semesta. Manusia tak hanya menerima mandat untuk memimpin tetapi juga dalam kepemimpinannya mencerminkan kepemimpinan Allah. Eka juga menegaskan bahwa kepemimpinan adalah natur ilahi dalam insani yang tak terhindarkan dari sebuah kesegambaran. Namun kesegambaran yang mendukung hadirnya kepemimpinan tidak serta merta tidak dapat terkontaminasi, faktanya sekalipun kepemimpinan adalah natur Imago Dei ia masih bisa diselewengkan dengan adanya “kehendak berkuasa” yang pada gilirannya tak lagi mencerminkan mandat dan kesegambaran itu.

Telah disebutkan di depan bila interaksi yang terjadi dalam kepemimpinan itu kemungkinan akan terasa begitu kompleks mengingat kepemimpinan menyangkut banyak komponen. Sehubungan dengan itu W. R. Lassey sebagaimana dikutip Lindgreen mengemukakan:

Leadership involves the interaction of a complex set of variable factors that determines its effectivenes.[7]

Lindgreen menambahkan bahwa faktor-faktor variabel itu beragam, untuk itu ia mengutip Douglas McGregor:

Douglas McGregor identifies four key variables of leadership:
(1) The characteristic of the leader, these include such qualities as skill possesed, previous experience in similar situations, skill in comunicating and relating to persons, and the personal feelings of the leader about self confidence, anxiety, acceptance and hostility.
(2) The characteristic of followers or members
(3) The characterstic of the organization or the group
(4) The environmental setting including the social, economic, cultural, and political milieu.
[8]

Selain karakteristik pengikut rupanya yang mempengaruhi keefektifan kepemimpinan adalah karakteristik dari pemimpin itu sendiri, karakteristik organisasi atau kelompok yang dipimpinnya, dan kondisi lingkungan tempat ia memimpin dalam berbagai faktornya. Namun tanpa menyepelekan 3 (tiga) faktor lainnya maka dalam penelitian ini fokus yang begitu disorot adalah pada karakter pemimpin itu sendiri. Pertimbangannya adalah bahwa sekalipun ketiga komponen lain selain pemimpin itu sendiri turut menentukan tetapi faktor kunci adalah pemimpin itu sendiri. Pemimpinlah yang menentukan maju mundurnya sebuah perjalanan kelompok atau organisasi.

Ada 3 (tiga) unsur penting menurut Sugiyanyo Wiryoputro dalam kepemimpinan:
1. adanya orang lain yang bersedia mengikuti perintah
2. adanya pengaruh pemimpin kepada orang lain yang selanjutnya menjadi pengikut
3. adanya kuasa atau wewenang pemimpin kepada bawahan.[9]

Dalam pokok yang ketiga kuasa atau wewenang yang dimaksud adalah:
1. Kuasa memberikan balas jasa terhadap apa yang dihasilkan bawahan
2. Kuasa memaksa atau kuasa memberikan dukungan
3. Kuasa formal berdasarkan aturan atau hukum
4. Kuasa agar orang meniru pola perilaku atau kuasa panutan
5. Kuasa berdasarkan pengetahuan atau keahlian[10]

Kepemimpinan tanpa kuasa atau wewenang tidak akan berjalan, atau bila berjalan pun itu dijalankan dengan memakai kuasa mempengaruhi orang lain secara tidak wajar. Kuasa atau wewenang tumbuh karena orang yang memimpin memiliki unsur-unsur yang dapat mengantar seseorang memperolehnya. Kuasa dapat didapat karena kesepakatan, karena kelebihan, karena kharisma, dll.

2. Kepemimpinan Rohani

Pertama-tama persoalan muncul adalah dari perkataan Yesus sendiri dalam Matius 23:10:

Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias

Pengertian yang muncul setelah membaca nas ini adalah tidak mungkin ada pemimpin di dalam kekristenan apalagi pemimpin. Namun di depan telah dibicarakan bahwa pemimpin dan kepemimpinan merupakan sesuatu yang tak dapat ditolak atau dielakkan. Ayat di atas rupanya tidak bermaksud untuk melarang esksistensi pemimpin dan kepemimpinan dalam kekristenan. Fakta biblis yang dipakai untuk mendukung pandangan ini adalah dengan memperhatikan I Tesalonika 5:12:

Kami meminta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegur kamu.

Paulus ternyata secara tersirat mengatakan ada pemimpin dalam jemaat. Tetapi jenis kepemimpinan para pemimpin itu ditandai dan dibatasi dengan “memimpin … dalam Tuhan”. Kepemimpinan yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan rohani.

I Timotius 5:17
Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar.

Paulus juga secara tersirat menyatakan bahwa para pemimpin-pemimpin tersebut memiliki kegiatan khusus pula yakni berkhotbah dan mengajar. Atau dalam bagian lain Paulus menunjukkan pimpinan sebagai karunia:

Roma 12:8
… siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukan dengan rajin; …


I Korintus 12:28
Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk … memimpin …


Yesus melarang adanya pemimpin dalam konteks banyak pemimpin di jaman itu yang tidak memberi teladan yang benar. Jadi yang dikritik oleh Yesus bukan hakikat atau eksistensi pemimpin dan kepemimpinan tetapi pada karakter pemimpin itu sendiri yang kemudian justru merusakan hakikat dan merendahkan wibawa eksistensi dari kepemimpinan.[11] Ia sendiri akhirnya mengatakan

Matius 23:10
Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.

Lukas 22:26
Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.

Perkataan Yesus ini di satu sisi memiliki nuansa pemegang otoritas tetapi di sisi lain adalah pemimpin-hamba yang memiliki simplisitas (servant-leader).

William D. Lawrence menulis:
Christian leadership is different from other kinds of leadership because no Christian leader can assume the position of being “number one,” that is, the leader. This is true because those who believe in Christ know there is only one “Number One,” namely, the Lord Jesus Christ.[12]

Karena perbedaannya itu maka hal dasar yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin ada 2 hal:

First, a leader must have a clearly defined awareness of the Lord’s revealed purposes. He must know what the leader wants. He must be aware of the place God’s Word has in all of life and must be aware that God seeks to accomplish His truth, love, and righteousness in His followers.
Second, this truth, love, and righteousness must be evident in the Christian leader’s character, behavior, and relationships if he is to expect other believers to respond him as their leader. Paradoxically the Christian leader must be ultimate follower, a follower of the Leader Himself.
[13]

Sekalipun seorang pemimpin adalah pemimpin di depan orang yang dipimpinnya namun ia tetaplah hamba dari Allah. Ia memimpin sebagaimana Allah memimpinnya. Dan tujuan ia memimpin adalah orang dituntun mengikuti Kristus. Tujuannya harus terus terfokus kepada Kristus dan menunjukkan pada orang lain bagaimana melakukannya.[14]

3 Otoritas Pemimpin
R. J. Arnott dalam Dictionary of Pastoral Care and Counseling menulis tentang otoritas sebagai berikut:

Authority refers to a fundamental relationship between persons, behaviours, organizations, and ideas in which one component has, or is deemed to have, important or legitimate power over the other. The English term is rooted in the Latin, “auctor” meaning “producer of a work, artist, founder of a family, writer, originator of a proposal, author of piece of information or warrant for its truth. “Authority thus refers to a person who is the source, originator of a proposal, expression of approval or assent, authorization, full power, command,” and thus also “influence, authority, whether of a person or of things” … In English “authority” carries many meanings: the power or right to enforce obedience, a doctrine of moral or legal supremacy, the right to command or to give the ultimate decision … authority, however, is not limited to behavior or action, but extends to the inward, subjective dimensions of human life, as in “power over the opinions of others” or the inwardly felt power of conscience in relation to social authority. In theory of organization and government, the word has two meanings: (1) authorization or empowerment and (2) ordering and control.[15]

Adalah tepat jika memilih Yesus Kristus sebagai model kepemimpinan rohani yang berotoritas. Ia memiliki kekayaan teladan sebagai Gembala yang menggembalakan dan memimpin umat-Nya. Jerry C. Wofford menulis:

Lebih dari pemimpin yang lain, Yesus mempunyai otoritas untuk memaksa para pengikut-Nya menaati perintah-Nya. Ia dapat menjalankan pengawasan mutlak, tetapi para murid-Nya mengikuti Yesus karena undangan-Nya. Ketika banyak pengikut-Nya meninggalkan Dia, Yesus menoleh kepada para murid-Nya dan dengan rendah hati bertanya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga” (Yoh 6:67). Bukannya menaklukan Israel, Yesus justru mengasihi dan menderita bagi Israel. Yesus memiliki kekuasaan untuk mendominasi tetapi Ia memilih untuk menghormati kehendak bebas dan pilihan-pilihan orang lain.

Sebagai pemegang otoritas Yesus menggunakannya pada saat yang tepat. Tidak seperti kebanyakan pemimpin di jaman sekarang yang menjalankan kepemimpinannya dengan kekuatan otoritas kekuasaan. Otoritas kekuasaan bukan satu-satunya yang dipakai Yesus dalam memimpin murid-Nya. Tidak dipergunakannya tidak berarti Ia lemah, tetapi Ia tahu menempatkan pada situasi yang lebih tepat.

Lawrence dalam kaitan dengan pokok otoritas mengaitkannya dengan keotentikan:

Leadership requires authenticity and authority. Authenticity of commitment to Christ’s lordship, recognizing Him as “Number One,” enables the leader to carry out one of his major tasks, that of being a model of Christlike maturity for those whom he leads. This authenticity makes the leader a living statement of all God wants His peole to be. Authority is also required and grows out authentic Christian character. Such character means congruence between attitude, word, and action, a congruence that speaks of integrity and serves as a magnet to draw others who listen and respond to the leader. Sanders observes that “Paul never lacked followers. His qualities of character irresistibly lifted him above his colleagues and associates.” What was true of Paul must be true of all Christian leaders.[16]

Otoritas tetap dibutuhkan sekalipun seseorang telah menyebut dirinya seorang pemimpin yang melayani. Namun otoritas yang dimilikinya ditunjukkan dengan cara yang berbeda dengan otoritas para pemimpin sekuler. Lawrence merumuskannya sebagai berikut:

The difference between secular leadership and Christian leadership does not lie in absence of authority but in attitude that motivates authority, the sanctified nature of ambition and motivation, and the holy character mentioned earlier. Servant leaders must exercise authority if Christian churches and organizations are to develop and grow. They are needed to model godliness, make policies, manage finances, give direction, hold the group accountable for its purpose and actions, and provides the human layer of security under Christ which is needed if unity is to be maintained.[17]

Otoritas pada tataran praktek dapat menghancurkan atau menciptakan sesuatu. Otoritas yang menghancurkan menuntut adanya pengaruh yang menguasai, menuntut kendali yang menyeluruh, menghancurkan kepercayaan, menghancurkan dialog, dan menghancurkan integritas. Dibutuhkan otoritas yang membaharui memberi hidup, sukacita, dan damai sejahtera. Otoritas yang memperbaharui memulihkan hubungan dan memberikan karunia keutuhan kepada semua orang. Kuasa yang membaharui adalah otoritas rohani, otoritas yang berasal dari Allah. Kasih adalah ciri dari otoritas rohani. Kasih menuntut bahwa otoritas digunakan untuk kebaikan orang lain. Kerendahan hati adalah otoritas yang dikendalikan.

4. Pemimpin-Hamba
Pemimpin-Hamba adalah suatu paradoks dan hadir secara sempurna dalam diri Yesus (Flp 2). Yesus adalah Allah dan Dia sendiri menyebut diri-Nya sebagai seorang Gembala (Yoh 10). Tetapi di sisi lain menyebut diri-Nya sebagai seorang pelayan karena “melayani” (Mark 10:45). Dalam kaitan dengan pembahasan ini Wofford menulis:

Yesus adalah model pertama tentang pemimpin yang melayani. Dalam proses pengenalan gagasan tentang kepemimpinan yang melayani dalam Markus 10:42-45, Yesus berkata bahwa Ia datang untuk melayani dan memberikan kehidupan-Nya. Yesus datang sebagai hamba yang menderita yang akan “memikul kejahatan mereka” (Yes 53:11). Di setiap akhir hari yang panjang, kita melihat Yesus yang kelelahan karena memberikan sepenuh hidup-Nya untuk memberi makan bagi yang kelaparan, menyembuhkan yang sakit, dan mengajar domba-domba Israel yang terhilang. Walaupun begitu, pelayanan penting dan utuh yang Ia lakukan semasa hidup-Nya tidak dapat dibandingkan dengan pelayanan-Nya di dalam kematian-Nya. Dalam kematian-Nya sebagai korban di kayu salib.[18]

Wofford menegaskan karakter pemimpin-hamba yakni pemimpin yang mengesampingkan minat-minat pribadi mereka demi orang-orang yang dilayani. Teori Kenosis dalam Filipi 2 jelas menggambarkan bagaimana Ia mengorbankan diri-Nya demi keselamatan orang lain.[19] Selanjutnya Wofford menulis tujuh daftar dari kepemimpinan di dalam kerajaan Allah:

  • Mereka yang akan menjadi pemimpin harus dipersiapkan untuk menderita (Mat 20:22; Mark 10:38).
  • Mereka memang akan menderita (Mat 20;23; Mark 10:39).
  • Kepemimpinan di antara orang-orang percaya tidak memakai pendekatan “menguasai” para pengikut maupun menggunakan jenis kekuasaan otoritas yang digunakan oleh pejabat pada masa itu (Mat 20:25-26; Mark 10:42-43; Luk 22:26).
  • Para pemimpin beriman Kristen harus menjadi hamba bagi mereka (Mat 20:26-27; Mark 10:43; Luk 22:26).
  • Yesus sendiri adalah model kepemimpinan yang melayani (Mat 20;28; Mark 10:45; Luk 22:27).
  • Kerendahan hati adalah kualitas utama dari karakter pemimpin Kristen (Mark 9:36-37; Luk 22:26).

Wofford membuat perbandingan antara pelayan dengan pemimpin yang melayani:
Perbandingan Pelayan dan Pemimpin yang Melayani[20]

Pelayan

  • Roh rendah hati
  • Melayani kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi
  • Lebih kepada membangun daripada meruntuhkan
  • Menderita dan berkorban untuk orang lain
  • Hubungan yang saling memperhatikan

Pemimpin Yang Melayani

  • Menyadari dipanggil – Matius 20:23
  • Mengenal nilai-nilai yang dimiliki dalam kaitannya dengan Allah – Ibrani 11:26
  • Tidak memegahkan diri, tetap sabar – Yakobus 4:6; Roma 12:3-8; Ef 4:32
  • Mengetahui bahwa satu-satunya yang perlu adalah sikap merendahkan diri – Yohanes 13:14
  • Mengutamakan panggilan lebih dari diri sendiri – Kisah 20:24
  • Tidak gila status – Yakobus 1:9
  • Melayani orang lain di atas kepentingan pribadi
  • Nilai-nilai yang kuat untuk melayani orang lain – Roma 12:5-8
  • Visi terfokus pada pelayanan – Roma 1:9-10
  • Sikap dan tindakan murah hati – Roma 12:8
  • Pelayanan sebagai prioritas – Luk 22:26
  • Melayani kebutuhan yang sesungguhnya, bukan keinginan – Roma 12:13
  • Lebih kepada membangun daripada meruntuhkan
  • Memfasilitasi pertumbuhan rohani dan melayani orang lain – Efesus 4:12-16
  • Menginspirasi dan bukannya mengarahkan – Yohanes 13:15; I Kor 11:1; I Pet 2:21
  • Para pengikut menyamai sikap dan perilaku pelayanan pemimpin – Yoh 13:15
  • Para pengikut menjadi lebih kuat, lebih bijak, lebih bermoral, dan lebih mampu – Efesus 4:12-16
  • Para pengikut tidak lagi di bawah perintah tetapi memiliki otonomi di bawah Allah – Matius 20:25-26
  • Menderita dan Berkorban untuk orang lain
  • Karisma tumbuh dari kasih yang dimanifestasikan dalam pelayanan dan hormat terhadap mereka yang memimpin – Matius 20:28; Efesus 5:1
  • Memperhatikan orang lain lebih dari diri sendiri – Filipi 2;4
  • Menyamai kepemimpinan yang melayani dari Yesus – Marius 20:28
  • Hubungan yang saling memperhatikan
  • Mengasihi mereka yang dilayani – Efesus 4:15-16
  • Membagi hidup, terbuka, saling mendukung – Efesus 5:19-21
  • Mendengarkan, memahami, berempati, bekerjasama – Yakobus 1:19.

Wofford selanjutnya menulis bahwa pelayanan yang dikerjakan oleh pemimpin yang melayani adalah: melayani Allah dan melayani sesama manusia.[21] Dan ciri dari pemimpin yang melayani adalah pengorbanan diri, berbelas kasih, memiliki kesediaan, memberi diri, dan ketekunan.[22]

Model dari pelayanan kehambaan adalah Yesus sendiri. Leighton Ford menyebutkan bahwa Yesus itu bukan cuma Tuhan tetapi Ia sendiri adalah contoh bagi kepemimpinan. Ia bukan hanya mengajarkan kepemimpinan tetapi juga menunjukkan caranya.[23]

5. Simplisitas Hamba
Simplisitas Hamba jauh dari otoritas gembala mengingat peran dan posisinya yang di bawah. Robert Borrong menyebutkan beberapa ciri yang menujukkan simplisitas hamba:

1. Rendah hati
2. Suka mendengar (dengar-dengaran)
3. Responsif atau taat
4. Berani dan penurut
5. Rela berkorban
6. Jujur
7. Kesetiaan dan tanggung jawab
8. Tidak ambisius
9. Murah hati (tidak materialistis dan tidak rakus)[24]

Kepribadian seorang pemimpin sangat menentukan pelaksanaan tugasnya karena kepribadian itu yang selalu mendapat perhatian bawahan baik diikuti maupun diteladani. Maka berbicara tentang karakter kepemimpinan yang bersahaja berbicara tentang pribadi para pemimpin.

Kepemimpinan Kristiani juga sangat menekankan kepribadian sang pemimpin, terutama kehidupan rohaninya. Maka karakter seorang pemimpin Kristen terkait dengan kehidupan rohaninya sebagai pemimpin, yakni memiliki sikap seorang gembala yakni sederhana, penuh perhatian, mengayomi dan selalu siap berkorban untuk orang-orang yang dipimpinnya.[25]

Kepemimpinan Gereja selama ini terlalu mengandalkan pengetahuan dan keterampilan manajerial. Situasi ini harus dirubah. Para pemimpin harus lebih banyak mengandalkan kepribadiannya dan karena itu para pemimpin harus melatih diri untuk menjadi pemimpin yang ideal yang tidak mengandalkan pengetahuan dan keterampilan saja tetapi yang mengandalkan kemurahan dan kebaikan Tuhan di dalam hati, pikiran, dan karyanya.[26]


[1] Thomas H. Groome, Christian Religious Education (San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1980), xvii.
[2] A. J. Lindgreen, s.v. “Leadership and Administration” dalam Rodney J. Hunter (peny). Dictionary of Pastoral Care and Counseling (Nashville: Abingdon Press, 1990), 634.
[3] H. Siagian. Manajemen: Suatu Pengantar (Bandung: Alumni, 1977), 27.
[4] Ibid.
[5] Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab” dalam Kepemimpinan Kristiani: Spiritualitas, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan (Jakarta: STTJ, 2001), 1.
[6] Ibid., 6.
[7] Ibid., 635. Bnd. W. R. Lassey (peny). Leadership and Social Change (1971), 17-25
[8] Ibid.
[9] Sugiyanto Wiryoputro, Dasar-dasar Manajemen Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 17.
[10] Ibid.
[11] Benyamin Abednego. Liku-liku Kepemimpinan Kristen (Surabaya: Yakin, tt), 8.
[12] William D. Lawrence, “Distinctives of Chrisitian Leadership” dalam Roy B. Zuck (peny). dalam Vital Ministry Issues (Michigan, Grand Rapids: Kregel Resources, 1994, 34.
[13] Ibid., 35.
[14] Ibid. 35.
[15] R. J. Arnott, s.v. “Authority, Concept, and Theory of” dalam Rodney J. Hunter (peny). Dictionary of Pastoral Care and Counseling (Nashville: Abingdon Press, 1990), 59.
[16] Ibid., 36.
[17] Ibid. 43.
[18] Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan (Yogyakarta: Yayasan Andi), 24.
[19] Ibid.
[20] Ibid., 180-81.
[21] Ibid., 186-189.
[22] Ibid, 190.
[23] Leighton Ford, Transforming Leadership (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1991), 11.
[24] Robert Borrong, “Etika dan Karakter Kepemimpinan dalam Perspektif Kristiani” dalam Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: STTJ, 2001), 73-81.
[25] Ibid.
[26] Crayg R. Dikstra, Vision and Character (New York: Paulist, 1981), 50.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

12 November 2008

Saat Aku Berada Dalam Situasi Yang Buruk

Mazmur 27

Dulu ada lagu yang liriknya begini:

“Tak pernah Dia janji hari s’lalu ‘kan panas,
dan tak pernah Dia janji hari ‘kan s'lalu hujan,
tetapi Dia janjikan memberi kekuatan,
bila badai ganas melandamu”

Pesawat udara yang tiba-tiba memasuki cuaca buruk, maka pilotnya memiliki suatu standar operasional yang harus dijalankan yang dikenal dengan istilah 5-C.

1. Cool down - bersikap tenang
Seorang pilot tidak boleh panik, secara psikologis, ketenangannya merupakan ketenangan seluruh isi pesawat sekalipun para penumpang sudah begitu panik, sebaliknya kepanikannya adalah kepanikan seluruh isi pesawat. Akibatnya usaha untuk berjuang telah hilang ditelan ketakutan yang begitu besar.

2. Check the instrument - memeriksa peralatan
Ketenangan pilot tersebut memungkinkan ia dapat memeriksa semua peralatan pesawat dengan baik, misalnya: apakah radio bekerja dengan baik, apakah baling-baling di sayap berputar dengan baik, apakah seluruh mesin tidak ada yang ‘ngadat’?

3. Contact the tower - Kontak menara pengawas
Setelah dia tenang dan seluruh peralatannya diperiksa memungkinkan ia dapat mengontak petugas di menara pengawas untuk meminta tuntunannya.

4. Communicate & cooperate - komunikasi & bekerja sama
Pada saat komunikasi dengan menara pengawas maka hal itu tidak terjadi bukan kontak sekali dua kali, tetapi terus-menerus. Dan pilot harus mengikuti petunjuk menara pengawas, dia harus bekerja sama dengan petugas di menara.

5. Climbing up - tetap terbang
Pilot harus tetap menjaga pesawatnya tetap terbang dengan keyakinan ia bisa mendaratkan dengan baik, dan tidak terburu-buru atau panik serta putus asa, sehingga ia mendaratkan pesawat di mana saja dengan alasan cuaca yang sangat buruk.

Bagaimana dengan kehidupan orang percaya bila ia memasuki situasi kehidupan yang buruk?

Orang yang memiliki relasi yang baik dengan Allah tidak berarti ia terbebas secara otomatis dari semua problem yang menggelisahkan dan menakutkan dirinya.

1. Cool down - bersikap tenang
Owen Feltham mengatakan bahwa mempercayai Tuhan pada saat kita merasa aman dan pasti adalah hal yang mudah. Tetapi dapatkah kita mempercayai-Nya pada saat jalan yang terbentang di depan kita terlihat begitu suram dan penuh ketidakpastian?

Maz 27:1
Dari Daud. TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?

Ketakutan adalah sesuatu yang sangat manusiawi tetapi ketakutan yang berkepanjangan dan tidak berpengharapan adalah sesuatu yang sangat tidak disukai Allah.

Alkitab mencatat ada beberapa orang yang pernah merasa takut:

Elia ketika diancam Izebel (I Raja-raja 19:1-4)
1 Ketika Ahab memberitahukan kepada Izebel segala yang dilakukan Elia dan perihal Elia membunuh semua nabi itu dengan pedang,
2 maka Izebel menyuruh seorang suruhan mengatakan kepada Elia: "Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu."
3 Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya; dan setelah sampai ke Bersyeba, yang termasuk wilayah Yehuda, ia meninggalkan bujangnya di sana.
4 Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku."

Murid-murid ketika ada di atas perahu yang dilanda badai (Mark 4:36-40)
36 Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. 37 Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. 38 Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" 39 Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. 40 Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?"

Yesus sendiri ketika berdoa di taman Getsemani (Luk 22:44)
44 Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.

Kepanikan hanya mengerjakan ketelodoran dan kecerobohan. Memang benar apa kata pepatah:
"the most useless thing to do ... worry!". Jangan biarkan diri anda melaju dengan kecepatan tinggi namun anda tidak sadar bahwa anda sedang kesasar. Ingat, Tuhan sangat memperhatikan anda. Ia dapat memberikan kepastian dan rasa aman kepada anda, asal anda mau mempercayai-Nya.

Pemazmur menegaskan kepada siapa aku harus takut dan gemetar, atau dengan kata lain: bila Allah ada mengapa saya harus takut? Faktanya Allah ada tetap ada dan ketakutan yang besar itu juga masih tetap ada!

2. Check the instrument - memeriksa peralatan

Maz 27:2
Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya.

Kenapa hati yang merupakan instrumen yang perlu diperiksa?

Amsal 3:23
Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.

Pertanyaan yang patut diajukan bagi diri kita sendiri adalah:
Mengapa aku begitu resah?
Mengapa aku merasa hampa?
Mengapa aku merasa kesepian seolah cuma aku yang mengalami hal berat ini?
Kemana aku bisa memperoleh kelegaan?

Introspeksi terhadap diri sendiri (baca: hati) adalah introspeksi terhadap inti kehidupan (bnd. Mat 5:18-19).

Mat 5:18-19
18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.
19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.

3. Contact the tower - Kontak menara pengawas

Maz 27:7
Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku!

Komunikasi yang tak terputus dengan Allah tidak saja memberi ketenangan batin tetapi juga memberikan kepastian arah dan tindakan dalam pengambilan keputusan.

Yeremia 33:3
3 Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui.

3. Communicate & cooperate - komunikasi & bekerja sama
Maz 27:8
Hatiku mengikuti firman-Mu: "Carilah wajah-Ku"; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN.

Maz 27:11
Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, dan tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku.

Berdoa adalah jalan komunikasi dengan Allah (iman) tetapi mengikuti petunjuk Allah adalah tindakan iman (perbuatan).

Bekerjasama dengan Allah menyelesaikan persoalan tampak dalam Roma 8:26-28:
26 Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.
27 Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.
28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Kata 'membantu' (Yun. synantilambanetai, "mengangkat bersama-sama", seorang memegang ujung lain dari benda yang berat untuk membantu mengangkatnya.

4. Climbing up - tetap terbang

Maz 27:1 4
14 Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!

Pengharapanlah yang membuat orang bertahan (bnd. Ibrani 11:1).
Ibrani 11:1
1 Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Roma 8:24-25
24 Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? 25 Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan

Daniel Zacharias
education from womb to tomb
gambar diunggah dari:

10 November 2008

Tulisan Di Dinding London School - Bagian Satu

Tahun 2006 adalah tahun dimana saya mulai mengajar Religious Instruction di London School of Public Relation (LSPR), yang waktu itu kampus C-nya terletak di sebelah gedung Bimantara di Jl. Kebon Sirih Jakarta Pusat. Ruang dosen tempat para dosen menghabiskan jeda waktu 30 menitnya itu memang tidaklah besar di banding ruang dosen yang sekarang di Sudirman Park. Namun yang menarik bukanlah soal ruang dosennya namun pada tulisan yang tertempel di dindingnya. Ada 3 tulisan di dinding terbingkai dengan baik yang membuat saya senantiasa terinpirasi. Salah satunya yang ingin saya ketengahkan adalah berada di ruang dosen kampus C yang beberapa hari lalu saya lihat juga terpampang di ruang dosen kampus B yang berada dalam satu kompleks yang sama. Kami para dosen berulang kali membahas atau menyinggung tulisan di dinding itu secara positif dan rasanya dari berbagai keyakinan merasa tulisan itu bagai sebuah irisan di antara satu iman dengan iman lainnya.

Tulisan tersebut berjudul:

ONE DAY AT A TIME
The most useless thing to do … Worry
The greatest joy …Giving
The greatest loss … Loss of self-respect
The most satisfying work … Helping others
The ugliest personality trait … Selfishness
The most endangered species … Dedicated leaders
The greatest “shot in the arm” … Encouragement
The greatest problem to overcome … Fear
Most effective sleeping pill … Peace of mind
The most crippling failure disease … Excuses
The most powerful force in life … Love
The most dangerous pariah ... A gossiper
The world’s most incredible computer … The brain!
The worst thing to be without … Hope
The deadliest weapon … The tongue
The two most power-filled words ... “I can”
The greatest asset … Faith
The most worthless emotion … Self pity
The most prized possession … Integrity
The most beautiful attire … A SMILE!
The most powerful channel of communication … Prayer
The most contagious spirit … Enthusiasm
The most important thing in life … GOD

Ingin rasanya menguraikan satu persatu ... coba saja kalau bisa ...

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

06 November 2008

Obama, Anda Menang!

Barrack Hussein Obama adalah seorang pria yang sangat beruntung. Keberuntungannya tentu bukan sebab kelahiran dan keturunannya yang menurut banyak orang malah tidak menguntungkan sama sekali. Keberuntungannya justru terletak pada tangan Yang Maha Kuasa, dan tangan dingin duo "David" (David Plouffe, manajer kampanye dan ahli strategi David Axelrod), serta jangan lupa itu juga datang dari berkah kecerobohan kerja dari beberapa pendahulu yang membuat orang berpaling dari McCain.

Berikut ini transkrip pidato kemenangan Obama yang diambil dari CNN dan dimuatnya di halaman blog ini semata untuk mengenang sebuah hari bersejarah bagi rakyat Amerika (jujur saya juga ikut senang):

Hello, Chicago.

If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible, who still wonders if the dream of our founders is alive in our time, who still questions the power of our democracy, tonight is your answer.

It's the answer told by lines that stretched around schools and churches in numbers this nation has never seen, by people who waited three hours and four hours, many for the first time in their lives, because they believed that this time must be different, that their voices could be that difference.

It's the answer spoken by young and old, rich and poor, Democrat and Republican, black, white, Hispanic, Asian, Native American, gay, straight, disabled and not disabled. Americans who sent a message to the world that we have never been just a collection of individuals or a collection of red states and blue states.

We are, and always will be, the United States of America.

It's the answer that led those who've been told for so long by so many to be cynical and fearful and doubtful about what we can achieve to put their hands on the arc of history and bend it once more toward the hope of a better day.

It's been a long time coming, but tonight, because of what we did on this date in this election at this defining moment change has come to America.

A little bit earlier this evening, I received an extraordinarily gracious call from Sen. McCain.

Sen. McCain fought long and hard in this campaign. And he's fought even longer and harder for the country that he loves. He has endured sacrifices for America that most of us cannot begin to imagine. We are better off for the service rendered by this brave and selfless leader.

I congratulate him; I congratulate Gov. Palin for all that they've achieved. And I look forward to working with them to renew this nation's promise in the months ahead.

I want to thank my partner in this journey, a man who campaigned from his heart, and spoke for the men and women he grew up with on the streets of Scranton and rode with on the train home to Delaware, the vice president-elect of the United States, Joe Biden.

And I would not be standing here tonight without the unyielding support of my best friend for the last 16 years the rock of our family, the love of my life, the nation's next first lady Michelle Obama.

Sasha and Malia I love you both more than you can imagine. And you have earned the new puppy that's coming with us to the new White House.

And while she's no longer with us, I know my grandmother's watching, along with the family that made me who I am. I miss them tonight. I know that my debt to them is beyond measure.

To my sister Maya, my sister Alma, all my other brothers and sisters, thank you so much for all the support that you've given me. I am grateful to them.

And to my campaign manager, David Plouffe, the unsung hero of this campaign, who built the best -- the best political campaign, I think, in the history of the United States of America.

To my chief strategist David Axelrod who's been a partner with me every step of the way.

To the best campaign team ever assembled in the history of politics you made this happen, and I am forever grateful for what you've sacrificed to get it done.

But above all, I will never forget who this victory truly belongs to. It belongs to you. It belongs to you.

I was never the likeliest candidate for this office. We didn't start with much money or many endorsements. Our campaign was not hatched in the halls of Washington. It began in the backyards of Des Moines and the living rooms of Concord and the front porches of Charleston. It was built by working men and women who dug into what little savings they had to give $5 and $10 and $20 to the cause.

It grew strength from the young people who rejected the myth of their generation's apathy who left their homes and their families for jobs that offered little pay and less sleep.

It drew strength from the not-so-young people who braved the bitter cold and scorching heat to knock on doors of perfect strangers, and from the millions of Americans who volunteered and organized and proved that more than two centuries later a government of the people, by the people, and for the people has not perished from the Earth.

This is your victory.

And I know you didn't do this just to win an election. And I know you didn't do it for me.

You did it because you understand the enormity of the task that lies ahead. For even as we celebrate tonight, we know the challenges that tomorrow will bring are the greatest of our lifetime -- two wars, a planet in peril, the worst financial crisis in a century.

Even as we stand here tonight, we know there are brave Americans waking up in the deserts of Iraq and the mountains of Afghanistan to risk their lives for us.

There are mothers and fathers who will lie awake after the children fall asleep and wonder how they'll make the mortgage or pay their doctors' bills or save enough for their child's college education.

There's new energy to harness, new jobs to be created, new schools to build, and threats to meet, alliances to repair.

The road ahead will be long. Our climb will be steep. We may not get there in one year or even in one term. But, America, I have never been more hopeful than I am tonight that we will get there.

I promise you, we as a people will get there.

There will be setbacks and false starts. There are many who won't agree with every decision or policy I make as president. And we know the government can't solve every problem.

But I will always be honest with you about the challenges we face. I will listen to you, especially when we disagree. And, above all, I will ask you to join in the work of remaking this nation, the only way it's been done in America for 221 years -- block by block, brick by brick, calloused hand by calloused hand.

What began 21 months ago in the depths of winter cannot end on this autumn night.

This victory alone is not the change we seek. It is only the chance for us to make that change. And that cannot happen if we go back to the way things were.

It can't happen without you, without a new spirit of service, a new spirit of sacrifice.

So let us summon a new spirit of patriotism, of responsibility, where each of us resolves to pitch in and work harder and look after not only ourselves but each other.

Let us remember that, if this financial crisis taught us anything, it's that we cannot have a thriving Wall Street while Main Street suffers.

In this country, we rise or fall as one nation, as one people. Let's resist the temptation to fall back on the same partisanship and pettiness and immaturity that has poisoned our politics for so long.

Let's remember that it was a man from this state who first carried the banner of the Republican Party to the White House, a party founded on the values of self-reliance and individual liberty and national unity.

Those are values that we all share. And while the Democratic Party has won a great victory tonight, we do so with a measure of humility and determination to heal the divides that have held back our progress.

As Lincoln said to a nation far more divided than ours, we are not enemies but friends. Though passion may have strained, it must not break our bonds of affection.

And to those Americans whose support I have yet to earn, I may not have won your vote tonight, but I hear your voices. I need your help. And I will be your president, too.

And to all those watching tonight from beyond our shores, from parliaments and palaces, to those who are huddled around radios in the forgotten corners of the world, our stories are singular, but our destiny is shared, and a new dawn of American leadership is at hand.

To those -- to those who would tear the world down: We will defeat you. To those who seek peace and security: We support you. And to all those who have wondered if America's beacon still burns as bright: Tonight we proved once more that the true strength of our nation comes not from the might of our arms or the scale of our wealth, but from the enduring power of our ideals: democracy, liberty, opportunity and unyielding hope.

That's the true genius of America: that America can change. Our union can be perfected. What we've already achieved gives us hope for what we can and must achieve tomorrow.

This election had many firsts and many stories that will be told for generations. But one that's on my mind tonight's about a woman who cast her ballot in Atlanta. She's a lot like the millions of others who stood in line to make their voice heard in this election except for one thing: Ann Nixon Cooper is 106 years old.

She was born just a generation past slavery; a time when there were no cars on the road or planes in the sky; when someone like her couldn't vote for two reasons -- because she was a woman and because of the color of her skin.

And tonight, I think about all that she's seen throughout her century in America -- the heartache and the hope; the struggle and the progress; the times we were told that we can't, and the people who pressed on with that American creed: Yes we can.

At a time when women's voices were silenced and their hopes dismissed, she lived to see them stand up and speak out and reach for the ballot. Yes we can.

When there was despair in the dust bowl and depression across the land, she saw a nation conquer fear itself with a New Deal, new jobs, a new sense of common purpose. Yes we can.

When the bombs fell on our harbor and tyranny threatened the world, she was there to witness a generation rise to greatness and a democracy was saved. Yes we can.

She was there for the buses in Montgomery, the hoses in Birmingham, a bridge in Selma, and a preacher from Atlanta who told a people that "We Shall Overcome." Yes we can.

A man touched down on the moon, a wall came down in Berlin, a world was connected by our own science and imagination.

And this year, in this election, she touched her finger to a screen, and cast her vote, because after 106 years in America, through the best of times and the darkest of hours, she knows how America can change.

Yes we can.

America, we have come so far. We have seen so much. But there is so much more to do. So tonight, let us ask ourselves -- if our children should live to see the next century; if my daughters should be so lucky to live as long as Ann Nixon Cooper, what change will they see? What progress will we have made?

This is our chance to answer that call. This is our moment.

This is our time, to put our people back to work and open doors of opportunity for our kids; to restore prosperity and promote the cause of peace; to reclaim the American dream and reaffirm that fundamental truth, that, out of many, we are one; that while we breathe, we hope. And where we are met with cynicism and doubts and those who tell us that we can't, we will respond with that timeless creed that sums up the spirit of a people: Yes, we can.

Thank you. God bless you. And may God bless the United States of America.

Selamat Obama ... lakukan yang terbaik bagi negerimu dan bagi dunia ... kami semua menanti dengan penuh harap!


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

05 November 2008

Mempercayai Bapa

Petrus Abelardus yang hidup di abad pertengahan pernah mengatakan ada 3 cara beriman: “aliud est credere in Deum, aliud credere Deo, aliud credere Deum”[1] (mempercayakan diri kepada Allah, percaya Allah, percaya bahwa Allah ada). Gambaran dari Abelardus ini memang cukup jelas untuk kita cerna.

Mengakui Allah ada (secara ontologis) memang telah menjadi persoalan yang tidak mudah untuk dituntaskan. Penganut Theisme Kristen dengan gegap gempita akan mengakui Allah dengan berbagai dalil pembuktian demikian pula pengakuan dari kelompok Deisme yang hanya mengakui eksistensi Allah tetapi tidak mengakui providensia Allah. Mereka yang terkungkung oleh kesempitan filsafat naturalisme, eksistensialisme, dan nihilisme malah mengatakan Allah tidak memiliki eksistensi[2].

Di sisi lain orang yang mengakui Allah ada tidak berarti ia juga setuju Allah berkuasa. Kelompok Deisme hanya mengakui eksistensi Allah tanpa setujua bahwa Ia terus memelihara manusia. Bagi Deisme kosmos berada dalam sistem tertutup sehingga tidak dimungkinkan sama sekali adanya intervensi dari luar kosmos untuk perbaikan dan pemulihan dunia[3].

Problem ketiga adalah bukan hanya mempercayai adanya Allah dan kemahakuasaan Allah tetapi pada sebuah penyerahan diri untuk mempercayai Dia (trust). Tantangan untuk memasuki wilayah ini merupakan perjuangan berbagai manusia dari berbagai kalangan sepanjang masa. Karena tidak sedikit mereka yang hanya memasukan Allah dalam pemahaman teologis dan filosofis tetapi sama sekali tidak berdampak empiris.

Ketika Yesus berkata, “… apalagi Bapamu yang di sorga!”, maka Ia sedang mengajarkan kepada para pendengar-Nya suatu sikap untuk mempercayai sang Bapa. Perbandingan langsung dengan para bapa di dunia menunjukkan bahwa kualitas keterandalan Bapa di sorga jauh melampaui para bapa di dunia sehingga mempercayai Bapa adalah sebuah tindakan yang tepat.

Frasa “… apalagi Bapamu yang di sorga” juga dapat dilengkapi menjadi: “Bapamu yang di surga jauh lebih tahu memberikan apa yang baik kepada anak-anakmu”. Pengertian dari frasa tadi dapat bermakna:
1. Bapa di surga memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan para bapa di dunia sehingga dapat diandalkan dan dimintai pertolongan;
2. Bapa di surga mengetahui apa yang terbaik bagi anak-anak-Nya.

Dalam dunia yang terus-menerus menggebu-gebu memuja kemajuan dan keunggulan manusia Kristen ditantang untuk memberi jawab apakah mempercayai Allah adalah sebuah tindakan yang masih relevan? Manusia lebih mempercayai dirinya dan semua alat-alat temuannya. Tidak sedikit yang menganggap mempercayai Allah adalah sebuah sikap peninggalan masa lampau dari orang-orang yang tidak berdaya yang tak mau berusaha lebih.

Keserupaan orang percaya dengan Kristus justru terletak pada tindakan mempercayai Bapa atau mempercayakan diri kepada Bapa. Kotbah Yesus didasarkan bukan pada kemampuan Yesus beranalogi secara dialektis antara posisi keilahian sekaligus kemanusiaan-Nya tetapi lebih pada sebuah sikap memercayai Bapa-Nya. Yesus pernah berkata, “Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan” (Yoh 12:49). Yesus tidak hanya mempercayai Bapa tetapi Ia juga tunduk pada-Nya.

Keserupaan orang percaya dengan Kristus sepatutnya terbentuk dengan jelas dalam hal orang percaya mempercayakan dirinya secara sinambung kepada pimpinan Allah. Penyerahan dirinya kepada Allah bukanlah sebuah sikap pelarian melainkan merupakan sebuah fides explicita (iman yang mengetahui isinya dengan baik) dan fides qua creditor (iman sebagai tindakan iman kepercayaan itu sendiri).

[1]Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 20.
[2] James Sire, The Universe Next Door (Surabaya: Momentum).
[3] Ibid.,


Daniel Zacharias
"education from womb to tomb"

01 November 2008

Melakukan Pekerjaan Bapa

“Kita dapat melakukan pekerjaan Bapa seperti Kristus melakukan pekerjaan Bapa”. Kalimat tersebut didapat jika kita merenungkan perkataan Yesus dalam Yohanes 17:18: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia”. Kata “sama seperti” menunjukkan bahwa pengutusan manusia memiliki keserupaan dengan pengutusan Kristus oleh Bapa.

Dalam Yohanes 5:17 malah Yesus menunjukkan keserupaan-Nya dengan Bapa dalam hal mengerjakan pekerjaan Bapa-Nya: “Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga”. Jika Kristus meniru Bapa bekerja; maka kita diajarkan juga untuk meniru Bapa, dan akibatnya kita dan Kristus memiliki keserupaan sehingga dalam tataran ini kita dimungkinkan untuk memanggilnya: “Saudara” atau “Abang” (bnd. Roma 8:29 yang menyatakan “untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara”).

Yesus sendiri menunjuk dengan jelas bahwa pekerjaan-Nya bukan berasal dari dirinya sendiri tetapi dari Bapa: “Maka Yesus menjawab mereka, kata-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak” (Yoh 5:19). Kristus mau berkata kepada pengikut-Nya untuk mengikuti cara-Nya. Ia tidak saja mengajarkan kepada para pengikut-Nya bagaimana membangun relasi dengan Bapa dengan memanggilnya dengan sebutan akrab: “Abba”, tetapi Ia juga mengajarkan bagaimana berelasi dengan sang Abba dengan mengerjakan pekerjaan Bapa-Nya (missio Dei).

Kita meniru Kristus bukan hanya dalam cara memanggil Allah dengan Bapa tetapi juga meniru Yesus dalam mengambil bagian dalam pekerjaan Bapa-Nya. Dan akhirnya ia juga malah mengatakan partisipasi manusia sebagai ajakan untuk bersama-sama mengerjakan pekerjaan Bapa dalam posisi-Nya sebagai yang sulung di antara banyak saudara: “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja” (Yoh 9:4). Yesus menggunakan kata “kita” yang berarti:

  • Kita adalah rekan sekerja-Nya.
  • Kita adalah saudara-Nya dalam menyelesaikan misi Bapa.
  • Kristus dan kita ada dalam pengutusan yang sama dan sinambung baik dari segi sumber, oritentasi, bahkan bobot.
  • Keserupaan dengan Kristus bukan hanya terletak pada karakter tetapi juga pada tindakan (action).

Dengan gereja melakukan pekerjaan Bapa maka hal itu tidak saja menyatakan bahwa kita serupa dengan Kristus tetapi malah kita akan menyatakan (menjadi gambar) Bapa itu sendiri bagi dunia: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat 5:16).


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Karakter Anak dan Guru Sekolah Minggu Yang Serupa Kristus

Tujuan Sekolah Minggu
Apakah Tujuan Sekolah Minggu itu? Siapa yang menentukan? Apakah tujuan Sekolah Minggu di satu gereja berbeda dengan tujuan sekolah minggu di tempat lainnya? Apakah tujuan Komisi SM berbeda dengan tujuan komisi lainnya? Untuk tujuan jangka pendeknya mungkin dapat berbeda dan saling bervariasi, tetapi untuk tujuan akhirnya semua sama. Dan perlu diingat bersama bahwa tujuan yang sama itu jangan pernah dikorbankan dengan tujuan-tujuan jangka pendek dari masing-masing bidang.

Thomas H. Groome dalam bukunya Christian Religious Education mengatakan “I suggest that our metapurpose as Christian religious education is to lead people out to the Kingdom of God in Jesus Christ” (tujuan pendidikan anak adalah menuntun umat memasuki Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus).[1] Dan pemahaman kita tentang Kerajaan Allah harus sesuai dengan pemahaman Yesus, namun dalam penerapannya kita perlu menafsirkan ulang semua simbol dan perumpamaan yang Yesus pergunakan dalam kenyataan kontemporer sekarang dan disini.[2] Dalam mencapai sasaran tersebut Yesus Kristus sendiri mengajarkan murid-murid-Nya untuk melakukan 2 hal sebagai prasyarat:

Pertama, MENYERUPAI KRISTUS DALAM INKARNASINYA
Ia mengajarkan para murid-Nya demikian: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh 15:4). Oleh Yohanes arti “tinggal dalam Kristus”: “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (I Yoh 2:6). Jadi Yohanes menunjuk KESERUPAAN DENGAN KRISTUS YANG BERINKARNASI sebagai prasyarat mutlak hidup dalam Kerajaan Allah. Di bagian lain Paulus mengatakan bahwa semua skenario Allah menuju pada sebuah maksud selama manusia ada di dunia yaitu keserupaan dengan Kristus (Roma 8:29)[3].

Kedua, BERPUSAT PADA DIRI KRISTUS
Rasul Paulus menyatakan dalam Efesus 4:15: “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala”. Kristus menjadi arah pertumbuhan dari setiap orang percaya yang mencakup seluruh aspek hidupnya (“di dalam segala hal”).

Sehingga keterlibatan anak maupun guru di dalam Kerajaan Allah disamping merupakan anugerah Allah juga menjadi tanggung jawab manusia untuk mengembangkan karakter yang ada dalam dua ranah: KESERUPAAN SEPERTI KRISTUS (CHRIST-LIKE) dan KRISTOSENTRIS (CHRISTOCENTRIC).

MENGAPA HARUS SERUPA DAN BERPUSAT PADA KRISTUS?

Mengapa harus serupa Kristus? Mengapa tidak serupa seperti para tokoh inspirasional di dunia ini yang dapat memberi teladan?

Perlu kita ingat bahwa pokok persoalannya bukanlah mencari seorang teladan tetapi lebih pada model yang sejati sehingga manusia menjadi manusia dalam ukuran Allah bukan ukuran manusia. Dalam Roma 8:29 disebutkan di sana bahwa kita dirancang sedemikian rupa agar kita serupa dengan gambaran Kristus sewaktu berinkarnasi. Skenario Allah diarahkan sedemikian agar manusia meneladani Kristus sebagai manusia yang berkenan kepada Allah. Sehingga dengan kata lain, Allah tidak memiliki standar lain bagi manusia selain Kristus. Menjadi serupa Kristus adalah menjadi seperti yang Allah inginkan dan maksudkan.

Jatuhnya manusia ke dalam dosa membuat gambar Allah dalam diri manusia menjadi rusak dan kejatuhan yang dalam(total depravity). Pemulihan gambar Allah hanya terjadi dengan pengorbanan Kristus yang menjadi manusia dan menebus manusia dan memungkinkan kembali manusia untuk memiliki gambaran yang baik. Target Allah bagi manusia sangat jelas: MENJADI SERUPA DENGAN KRISTUS dan HIDUP MEREKA BERPUSAT PADA KRISTUS!

APA ITU KARAKTER?

Rasul Paulus mencatat dalam II Korintus 4:16: “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari”(bagian tebal oleh penulis). Paulus menyebut manusia batiniah mengalami pembaruan dari hari ke sehari sebagai bagian yang antagonis dengan manusia lahiriah. Pembaharuan dalam hal ini menyangkut masalah karakter manusia.

Karakter menurut Tim LaHaye merupakan diri anda yang sebenarnya. Alkitab menunjukkan sebagai “manusia batiniah yang tersembunyi” (I Pet 3:4).[4] Karakter merupakan hasil dari temperamen alami anda yang dimodifikasi oleh pelatihan, pendidikan, pendirian-pendirian dasar, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan motivasi-motivasi masa kanak-kanak. Kadang-kadang karakter ditunjuk sebagai “jiwa” dari seseorang, yang dibentuk oleh pikiran, emosi, dan kehendak. Mungkin dengan gamblang dapat dikatakan bahwa karakter itu adalah seperti apa adanya anda bila tidak ada seorang pun di sekitar anda. Apa yang anda perbuat ketika anda memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang ingin anda lakukan, itu merupakan sebuah ekspresi dari diri anda sendiri. Tim LaHaye selanjutnya menguraikan bahwa kepribadian merupakan ekspresi yang keluar dari pribadi seseorang yang dapat sama atau tidak sama dengan karakter seseorang, tergantung kepada seberapa murni keberadaan orang itu. Dan seringkali kepribadian merupakan bagian depan yang menyenangkan untuk sebuah karakter yang tidak menyenangkan atau sebuah karakter yang lemah[5].

BAGAIMANA CARANYA MEMBENTUK SEBUAH KARAKTER SERUPA KRISTUS?

Yakoep Ezra, mengenai pokok ini, tidak langsung berbicara tentang sebuah pohon yang besar dan rindang tetapi malah berbicara tentang benih yang harus ditumbuhkan[6]. Karakter Kristus tidak tumbuh dalam semalam. Sehingga seperti benih yang tumbuh perlahan menjadi pohon yang lebat. Proses ini menurut Yakoep Ezra[7] meliputi:

1. Tentukan benih apa yang akan ditumbuhkan
Ada sekitar 50-an kualitas karakter yang dapat dipilih sesuai kebutuhan anda dan area kelemahan yang dimiliki. Buatlah prioritas karakter mana yang ingin didahulukan. Karena setiap benih karakter membutuhkan perlakuan, respons, dan penanganan tertentu.
2. Tempatkan benih pada media yang subur
Untuk menumbuhkan benih-benih karakter, maka media yang tepat ialah dengan menjaga sikap hati. Tanah hati yang baik memberikan hasil panen berlipat kali ganda. Berikanlah kesempatan dan peluang seluas-luasnya untuk menyediakan ruang yang cukup bagi pertumbuhan benih-benih karakter kita.
3. Bersihkan benih dari semua penghambat
Beberapa penghambat yang perlu disingkarkan dari diri kita ketika kita menumbuhkan benih karakter serupa Kristus di dalam diri kita antara lain: sikap enggan untuk berubah, kesombongan, kecurigaan, emosional, kemunafikan, acuh atau bahkan bersikap masa bodoh. Suka menghakimi, menyalahkan orang lain atau diri sendiri.
4. Suburkan benih sesuai keadaan
Benih yang ada tidak otomatis tumbuh sehingga memerlukan siraman perhatian dan kebenaran firman Allah.
5. Hargai setiap pertumbuhan sekecil apapun.
Harapkan dengan optimis dan hargai setiap pertumbuhan sekecil apapun. Karena rasa optimis dan apresiasi adalah motivator terbaik untuk diri pribadi.

Dan sesudah ke-5 hal tersebut dijalankan maka kemudian rencanakan kembali penanaman benih yang selanjutnya.

BAGAIMANA MELETAKANNYA DALAM KURIKULUM SEKOLAH MINGGU?

Dalam pendidikan ada pengajar yang berorientasi pada goal oriented tetapi ada pula yang pada kurikulum atau method oriented bahkan ada yang child centred education. Perlu kita ingat bahwa kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri. Sehingga kurikulum yang ada harus benar-benar menolong anak maupun guru mencapi tujuan bersama. Dengan pemahaman tentang tujuan-tujuan PAK di atas maka isi kurikulum PAK mencakup ruang lingkup yang luas untuk dipelajari.

V. Gilbert Beers menjabarkan ada 50 karakter pembentukan karakter serupa Kristus[8]. Dan sikap-sikap tersebut bisa dilatih dan ditumbuhkan pada anak. Bila kita memilih salah satu karakter Kristus yaitu KETAATAN (Ibrani 5:8[9]) maka kita dapat mengajarkannya dengan cara sebagai berikut:
a. Mengajarkan perilaku TAAT.
b. Memberi penguatan positif (reinforce) pada perilaku TAAT.
c. Menolak dengan tegas perilaku yang bertentangan dengan KETAATAN.
d. Membuat suasana yang membantu anak dapat menumbuhkan KETAATAN positif[10].

BAGAIMANA MENGAJARKAN SOAL KETAATAN?

Tujuan PAK: Umat dituntun memasuki KERAJAAN ALLAH DALAM YESUS KRISTUS yang meliputi KESERUPAAN DENGAN KRISTUS sebagai GAYA HIDUP dan BERPUSAT PADA KRISTUS sebagai ORIENTASI HIDUP. Misalkan kita memilih mengajarkan KESERUPAAN DENGAN KRISTUS dan BERPUSAT PADA KRISTUS ini dalam satu tahun maka dalam satu tahun paling sedikit kita dapat mengajarkan 10-12 topik untuk hal tersebut. Dan pokok-pokok yang sekitar 50 topik baru dapat diselesaikan dalam 4 tahun. Misalnya untuk tahun 2009:

Pokok-pokok Bahasan:
Januari – OBEYING
Juli – GENTLENESS
Februari – HONOR
Agustus – FAIRNESS
Maret – SELF CONTROL
September – HONESTY
April – FOLLOWING
Oktober – GENEROSITY
Mei – HOPE
Nopember – PATIENCE
Juni – THANKING
Desember – LOVE

Dalam membahas soal KETAATAN (OBEYING) perlu dilihat keseimbangan muatan dalam penjabarannya kepada naradidik melalui analisis taksonomis Bloom. Taksonomi ini merupakan kriterium yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu tujuannya. Taksonomi itu membagi rata penyebaran pendidikan dalam aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik[11].

Segi Kognitif mencakup: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis. Segi Afektif mencakup: memperhatikan, merespon, menghayati nilai, mengorganisasikan, dan mempribadikan bilai atau seperangkat nilai. Sedangkan segi psikomotorik meliputi: persepsi, set, respon terbimbing, respon mekanistis, dan respon kompleks[12]. Membahas KETAATAN dalam ketiga segi ini akan menjadi:

SEGI KOGNITIF
· Agar naradidik mengetahui tentang ketaatan dengan benar sebagai Karakter Kristus yang perlu dikenakan kepada dirinya.
· Agar naradidik mengetahui cara menerapkan ketaatan itu dalam relasi dengan Tuhan dan Keluarga.
· Agar naradidik mengetahui hal-hal yang dapat merusak dan menghambat munculnya ketaatan.

SEGI AFEKTIF
· Agar naradidik diajar untuk mulai memiliki kemampuan untuk membedakan antara ketidaktaatan dan ketaatan.
· Agar naradidik diajar untuk mengamati dan memperhatikan sikapnya terhadap Tuhan dan orangtua apakah sudah mencerminkan ketaatan atau belum.
· Agar naradidik menghayati nilai-nilai ketaatan dalam relasinya dengan Tuhan dan sesama dan mempribadikan nilai-nilai tersebut dalam dirinya.

SEGI MOTORIK
· Agar naradidik memiliki kesiapan untuk menunjukkan nilai ketaatannya dalam aspek hidup sehari-hari. Melatihnya mulai dari respon terbimbing, respon mekanistis, dan respon kompleks.

Bagaimana dengan Multiple Intelligences (MI)?
MI hanya menolong guru untuk menerapkan nilai-nilai spiritual kepada anak-anak lebih kontekstual sesuai dengan kompetensinya. Misalnya KETAATAN KEPADA BAPA sebagai pokok bahasan.

Mereka yang memiliki Kecerdasan Matematis-Logis [13] diajarkan bagaimana mereka menghitung uang kembalian dagang dengan benar dan mengembalikan dengan tepat. Sehingga kebenaran mereka bukan hanya pada saat mereka menghitung dengan cermat tetapi saat mereka dengan jujur mengembalikan uang yang harus dikembalikan. Dengan mereka diajarkan bertindak jujur dan tepat itu berarti mereka telah menunjukkan sikap ketaatan kepada Bapa.

Kecerdasan Musikal[14] diajarkan untuk menyanyikan atau memainkan lagu-lagu yang memuat konsep ketaatan dan sesudah meminta anak untuk menjelaskan syair lagu tersebut sesuai dengan penghayatannya.

Kecerdasan Kinestetik-Jasmani[15] diajarkan bagaimana menunjukkan sebuah tarian atau pantomim yang menggambarkan soal ketaatan, dan siswa diminta untuk menjelaskan kembali makna gerakannya sebagai pencerminan pemahamannya terhadap ketaatan.

Rahasia di Balik Kurikulum: Pengaruh Rohani (Impartasi)
Guru harus lebih dahulu memiliki karakter Kristus dan hidup berpusat pada Kristus.

Ketaatan guru:
Teladan guru dalam hal ini (baik terlihat maupun tidak memiliki pengaruh):
· Taat kepada Allah dalam hidup sehari-hari.
· Taat kepada orangtua/suami.
· Taat kepada pemimpin rohani (otoritas).
· Taat kepada kesepakatan bersama.

Berpusat Pada Kristus:
· Lebih taat kepada Allah daripada manusia.
· Kehidupannya tidak dikendalikan oleh nilai-nilai yang malah menjauhkan dirinya dari berpusat pada Kristus.


[1]Thomas H. Groome, Christian Religious Education: Sharing Our Story and Vision (San Fransisco: Harper & Row, 1980), hlm. 35.
[2] Ibid., hlm. 45.
[3] “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara”
[4][4] Tim LaHaye, Temperamen Yang Dikendalikan Roh (Bandung: Cipta Olah Pustaka, 2003), 19.
[5] Ibid., hal. 20.
[6] Jakoep Ezra, Success Through Character (Yogyakarta: Andi Offset, 2006), hal. 16.
[7] Ibid., hal. 16-19.
[8] V. Gilbert Beers, I Want To Be Like Jesus (Pennsylvania: SP Ministries), hal. 4-7. Beers mencatat antara lain: Humility, Wisdom, Obeying, Serving, Trust, Sympathy, Self-Control, dll.
[9] “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya”,
[10] Stans Ismail, “Mendidik Cinta Kasih dan Kepedulian” dalam Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan: Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hal. 176-180.
[11] Benjamin S. Bloom, (ed.), Taxonomy of Education Objectives, Handbook I: Cognitif Domain (New York: David McKay, 1956); David R. Kratwohl, Benjamin S. Bloom, & Betram B. Masia, Taxonomy of Educational Objectives, Handbook II: Affective Domain (New York: David McKay, 1964). Bagian ini tidak didalami khusus dengan anggapan bahwa telah dibahas oleh pembicara sebelumnya, yang pokok bahasannya erat kaitannya dengan hal tersebut.
[12] W. James Popham dan Eva L. Baker, Bagaimana Mengajar Secara Sistematis (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 40-43.
[13] Thomas Armstrong, Menerapkan Multiple Intelligences di Sekolah (Bandung: Kaifa, 2002),
[14] Ibid., hal. 11.
[15] Ibid., hal. 10.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb