Kepemimpinan Kristen yang dipahami pula sebagai kepemimpinan rohani tidak hanya menunjuk pada pribadi seorang pemimpin yang beragama Kristen dan atau berada dalam lingkungan orang-orang Kristen tetapi memuat sarat nilai-nilai kerohanian Alkitabiah baik secara idealis maupun pragmatis. Secara idealis menunjukkan bahwa kepemimpinan rohani itu memiliki prinsip-prinsip filosofis yang esensial dan dalam tataran pragmatis kepemimpinan itu diwujudkan dalam terang prinsip-prinsip filosofis yang bernuansa etis teologis.
Kita menggunakan istilah yang lebih tepat kepada kedua pokok ini saat menyebutnya dalam sebuah kesatuan pemikiran yang disebut dengan istilah praxis. Thomas Groome mendefinisikan kata tersebut sebagai berikut:
For now let it be understood as “reflective action”, that is, a practice that is informed by theoretical reflection, or, conversely, a theoretical reflection that is informed by practice. I use it here in preference to the more common word practice because the latter term very often has the connotation of a skill or a technique, or of something that is done as the application of theory and is thus, in fact, dichotomized from theory. The term praxis attempts to keep theory and practice together as dual and mutually enriching moments of the same intentional human activity. [1]
Dalam konteks kepemimpinan pengertian Groome dalam konteks pendidikan Kristen masih terasa cukup relevan mengingat sekalipun berada dalam bidang telaah yang berbeda keduanya memiliki dua wilayah sebagai titik berangkat yakni: teori dan praktek. Groome yang memilih pengertian praxis karena ia hendak menekankan pengertian teori dan praktek bersama-sama sebagai sesuatu yang peristiwa yang berpengertian rangkap (dwifungsi) dan saling memperkaya dari aktivitas manusia.
1. Definisi
Banyak definisi tentang pemimpin dan kepemimpinan dengan berbagai fokus dan penekanan. Berikut ini kita akan menelusuri beberapa definisi yang terkait dengan kepemimpinan dan aspek-aspek yang terkait dengan pokok tersebut.
Kepemimpinan oleh A. J. Lindgreen didefinisikan sebagai:
Leadership is the process of influencing the actions and behaviour of persons and/or organization through complex interactions toward goal achievment.[2]
Definisi singkat yang padat ini memuat beberapa aspek:
- Kepemimpinan itu adalah proses, ia membutuhkan jangka waktu tertentu dan melalui tahapan tertentu.
- Kepemimpinan itu memiliki kuasa untuk mempengaruhi.
- Pengaruh kepemimpinan terarah pada tindakan dan sikap pribadi-pribadi dan atau organisasi.
- Pengaruh kepemimpinan melewati medium pengaruh timbal balik yang saling mempengaruhi antara yang memimpin dengan yang dipimpin.
- Interaksi yang terjadi kemungkinan akan terasa begitu kompleks mengingat kepemimpinan menyangkut banyak komponen.
- Kepemimpinan memiliki tujuan, arah, dan target.
Berdasarkan uraian dari definisi Lindgreen maka telah sedikit tersingkap bila kepemimpinan bukan pekerjaan atau pokok pembicaraan yang mudah dan sederhana. Namun hal itu tidak berarti kalau kepemimpinan itu sendiri tidak dapat dikerjakan atau dipraktekkan oleh manusia.
H. Siagian melihat kepemimpinan itu sebagai suatu cara atau teknik pimpinan atau manajer untuk mengarahkan dan menyuruh orang lain mau mengerjakan apa yang ditugaskan.[3] Dalam pandangan Siagian kepemimpinan bukan lagi sebuah filosofis, teori, atau prinsip belaka tetapi lebih pada sebuah praxis. Kepemimpinan tanpa teknik maka ia hanyalah sebuah pemikiran. Dengan kata lain kepemimpinan bukan juga semata-mata menjalankan sebuah roda kepemimpinan tetapi ia memiliki tekniknya tersendiri yang mempertimbangkan faktor-faktor interdispliner.
Lindgreen sendiri selain menentukan batas-batas definitif untuk kepemimpinan, ia juga menggambarkan luasnya kepemimpinan yang tidak hanya menyangkut diri pemimpin itu sendiri tetapi juga menyangkut orang yang dipimpin dalam upaya mencapai tujuan:
Leadership does not reside in the person of the leader alone. It involves accomplishing goals through persons. Leaders cannot function without the involvement of members.[4]
Kemudian Lindgreen sendiri menyatakan bahwa tujuan dari kepemimpinan adalah mempengaruhi tingkah laku dan tindakan orang dan atau organisasi. Dari definisi Lindgreen semula maka tampaklah bila tujuan kepemimpinan itu memiliki dwi arah yakni: tujuan yang terkandung dalam sebuah kepemimpinan yakni bisa mempengaruhi orang lain atau organisasi dan tujuan yang dicapai bila seseorang atau organisasi sudah dapat dipengaruhi.
Kepemimpinan adalah hal yang tidak mudah dikerjakan tetapi tidak pula dapat dihindari. Sehubungan dengan tidak mudahnya kepemimpinan dan tidak dapat dihindarinya kepemimpinan maka Eka Darmaputera menulis:
Kepemimpinan yang baik merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan, dan kemajuan kelompok apa pun ... tanpa kepemimpinan yang baik, kelompok apa pun di dunia ini akan rentan konflik serta rawan perpecahan, dan oleh sebab itu sulit bertumbuh atau berkembang. Kalaupun bergerak, geraknya pun sekadar maju-mundur, ke sana kemari, dan tanpa arah ... Disamping vital, kepemimpinan adalah kenyataan yang tak terelakan bagi semua orang. Di mana ada kehidupan bersama, di mana pun di muka bumi ini orang cuma punya dua pilihan: dipimpin atau memimpin.[5]
Apa yang dikemukakan Eka logis sekali penalarannya dalam kaitannya dengan kepemimpinan. Sebuah keteraturan sistem tidak otomatis terjadi. Keteraturan sosiologis dalam sebuah kepemimpinan lahir dari sebuah pengaturan. Keteraturan dan pengaturan membutuhkan seseorang yang dianggap mampu mengatur. Dapat kita bayangkan bila dalam sebuah sistem semua orang turut mengatur maka yang akan timbul adalah sebuah kekacauan. Eka dalam tulisannya ini hendak mengatakan bila kepemimpinan harus diciptakan dan disepakati eksistensinya, sebab itu bukan karena dibuat supaya ada tetapi karena hal itu tak dapat dielakan. Pilihan dipimpin atau memimpin membuat dimensi kepemimpinan semakin jelas walaupun aspek kepemimpinan tidak sesederhana itu. Selanjutnya Eka memaparkan:
Kepemimpinan dalam suatu kehidupan bersama memang tak terhindarkan. Ini sesuatu yang lumrah dan alamiah. Namun, kepemimpinan itu harus mengacu kepada mandat atau penugasan Allah, Sang Pemimpin satu-satunya: untuk mengembangkan kemungkinan saling menolong serta kesepadanan, kesetarafan atau kesetaraan ... mandat kepemimpinan yang diberikan oleh Allah kepada manusia bersumber pada kesegambaran antara manusia dengan Allah ... kepemimpinan manusia haruslah mencerminkan kepemimpinan Allah. Kepemimpinan yang menghidupkan dan menghidupi, bukan menindas. Kepemimpinan yang adil, bukan sewenang-wenang. Kepemimpinan yang kudus, tidak dikotori oleh hawa nafsu “kehendak berkuasa” (will to power) yang destruktif.[6]
Rupanya Eka menyadari benar bila kepemimpinan merupakan salah satu aspek Imago Dei dalam diri manusia. Allah adalah pemimpin yang memberikan mandat kepada manusia untuk memimpin (baca: berkuasa) semesta. Manusia tak hanya menerima mandat untuk memimpin tetapi juga dalam kepemimpinannya mencerminkan kepemimpinan Allah. Eka juga menegaskan bahwa kepemimpinan adalah natur ilahi dalam insani yang tak terhindarkan dari sebuah kesegambaran. Namun kesegambaran yang mendukung hadirnya kepemimpinan tidak serta merta tidak dapat terkontaminasi, faktanya sekalipun kepemimpinan adalah natur Imago Dei ia masih bisa diselewengkan dengan adanya “kehendak berkuasa” yang pada gilirannya tak lagi mencerminkan mandat dan kesegambaran itu.
Telah disebutkan di depan bila interaksi yang terjadi dalam kepemimpinan itu kemungkinan akan terasa begitu kompleks mengingat kepemimpinan menyangkut banyak komponen. Sehubungan dengan itu W. R. Lassey sebagaimana dikutip Lindgreen mengemukakan:
Leadership involves the interaction of a complex set of variable factors that determines its effectivenes.[7]
Lindgreen menambahkan bahwa faktor-faktor variabel itu beragam, untuk itu ia mengutip Douglas McGregor:
Douglas McGregor identifies four key variables of leadership:
(1) The characteristic of the leader, these include such qualities as skill possesed, previous experience in similar situations, skill in comunicating and relating to persons, and the personal feelings of the leader about self confidence, anxiety, acceptance and hostility.
(2) The characteristic of followers or members
(3) The characterstic of the organization or the group
(4) The environmental setting including the social, economic, cultural, and political milieu.[8]
Selain karakteristik pengikut rupanya yang mempengaruhi keefektifan kepemimpinan adalah karakteristik dari pemimpin itu sendiri, karakteristik organisasi atau kelompok yang dipimpinnya, dan kondisi lingkungan tempat ia memimpin dalam berbagai faktornya. Namun tanpa menyepelekan 3 (tiga) faktor lainnya maka dalam penelitian ini fokus yang begitu disorot adalah pada karakter pemimpin itu sendiri. Pertimbangannya adalah bahwa sekalipun ketiga komponen lain selain pemimpin itu sendiri turut menentukan tetapi faktor kunci adalah pemimpin itu sendiri. Pemimpinlah yang menentukan maju mundurnya sebuah perjalanan kelompok atau organisasi.
Ada 3 (tiga) unsur penting menurut Sugiyanyo Wiryoputro dalam kepemimpinan:
1. adanya orang lain yang bersedia mengikuti perintah
2. adanya pengaruh pemimpin kepada orang lain yang selanjutnya menjadi pengikut
3. adanya kuasa atau wewenang pemimpin kepada bawahan.[9]
Dalam pokok yang ketiga kuasa atau wewenang yang dimaksud adalah:
1. Kuasa memberikan balas jasa terhadap apa yang dihasilkan bawahan
2. Kuasa memaksa atau kuasa memberikan dukungan
3. Kuasa formal berdasarkan aturan atau hukum
4. Kuasa agar orang meniru pola perilaku atau kuasa panutan
5. Kuasa berdasarkan pengetahuan atau keahlian[10]
Kepemimpinan tanpa kuasa atau wewenang tidak akan berjalan, atau bila berjalan pun itu dijalankan dengan memakai kuasa mempengaruhi orang lain secara tidak wajar. Kuasa atau wewenang tumbuh karena orang yang memimpin memiliki unsur-unsur yang dapat mengantar seseorang memperolehnya. Kuasa dapat didapat karena kesepakatan, karena kelebihan, karena kharisma, dll.
2. Kepemimpinan Rohani
Pertama-tama persoalan muncul adalah dari perkataan Yesus sendiri dalam Matius 23:10:
Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias
Pengertian yang muncul setelah membaca nas ini adalah tidak mungkin ada pemimpin di dalam kekristenan apalagi pemimpin. Namun di depan telah dibicarakan bahwa pemimpin dan kepemimpinan merupakan sesuatu yang tak dapat ditolak atau dielakkan. Ayat di atas rupanya tidak bermaksud untuk melarang esksistensi pemimpin dan kepemimpinan dalam kekristenan. Fakta biblis yang dipakai untuk mendukung pandangan ini adalah dengan memperhatikan I Tesalonika 5:12:
Kami meminta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegur kamu.
Paulus ternyata secara tersirat mengatakan ada pemimpin dalam jemaat. Tetapi jenis kepemimpinan para pemimpin itu ditandai dan dibatasi dengan “memimpin … dalam Tuhan”. Kepemimpinan yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan rohani.
I Timotius 5:17
Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar.
Paulus juga secara tersirat menyatakan bahwa para pemimpin-pemimpin tersebut memiliki kegiatan khusus pula yakni berkhotbah dan mengajar. Atau dalam bagian lain Paulus menunjukkan pimpinan sebagai karunia:
Roma 12:8
… siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukan dengan rajin; …
I Korintus 12:28
Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk … memimpin …
Yesus melarang adanya pemimpin dalam konteks banyak pemimpin di jaman itu yang tidak memberi teladan yang benar. Jadi yang dikritik oleh Yesus bukan hakikat atau eksistensi pemimpin dan kepemimpinan tetapi pada karakter pemimpin itu sendiri yang kemudian justru merusakan hakikat dan merendahkan wibawa eksistensi dari kepemimpinan.[11] Ia sendiri akhirnya mengatakan
Matius 23:10
Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.
Lukas 22:26
Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.
Perkataan Yesus ini di satu sisi memiliki nuansa pemegang otoritas tetapi di sisi lain adalah pemimpin-hamba yang memiliki simplisitas (servant-leader).
William D. Lawrence menulis:
Christian leadership is different from other kinds of leadership because no Christian leader can assume the position of being “number one,” that is, the leader. This is true because those who believe in Christ know there is only one “Number One,” namely, the Lord Jesus Christ.[12]
Karena perbedaannya itu maka hal dasar yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin ada 2 hal:
First, a leader must have a clearly defined awareness of the Lord’s revealed purposes. He must know what the leader wants. He must be aware of the place God’s Word has in all of life and must be aware that God seeks to accomplish His truth, love, and righteousness in His followers.
Second, this truth, love, and righteousness must be evident in the Christian leader’s character, behavior, and relationships if he is to expect other believers to respond him as their leader. Paradoxically the Christian leader must be ultimate follower, a follower of the Leader Himself.[13]
Sekalipun seorang pemimpin adalah pemimpin di depan orang yang dipimpinnya namun ia tetaplah hamba dari Allah. Ia memimpin sebagaimana Allah memimpinnya. Dan tujuan ia memimpin adalah orang dituntun mengikuti Kristus. Tujuannya harus terus terfokus kepada Kristus dan menunjukkan pada orang lain bagaimana melakukannya.[14]
3 Otoritas Pemimpin
R. J. Arnott dalam Dictionary of Pastoral Care and Counseling menulis tentang otoritas sebagai berikut:
Authority refers to a fundamental relationship between persons, behaviours, organizations, and ideas in which one component has, or is deemed to have, important or legitimate power over the other. The English term is rooted in the Latin, “auctor” meaning “producer of a work, artist, founder of a family, writer, originator of a proposal, author of piece of information or warrant for its truth. “Authority thus refers to a person who is the source, originator of a proposal, expression of approval or assent, authorization, full power, command,” and thus also “influence, authority, whether of a person or of things” … In English “authority” carries many meanings: the power or right to enforce obedience, a doctrine of moral or legal supremacy, the right to command or to give the ultimate decision … authority, however, is not limited to behavior or action, but extends to the inward, subjective dimensions of human life, as in “power over the opinions of others” or the inwardly felt power of conscience in relation to social authority. In theory of organization and government, the word has two meanings: (1) authorization or empowerment and (2) ordering and control.[15]
Adalah tepat jika memilih Yesus Kristus sebagai model kepemimpinan rohani yang berotoritas. Ia memiliki kekayaan teladan sebagai Gembala yang menggembalakan dan memimpin umat-Nya. Jerry C. Wofford menulis:
Lebih dari pemimpin yang lain, Yesus mempunyai otoritas untuk memaksa para pengikut-Nya menaati perintah-Nya. Ia dapat menjalankan pengawasan mutlak, tetapi para murid-Nya mengikuti Yesus karena undangan-Nya. Ketika banyak pengikut-Nya meninggalkan Dia, Yesus menoleh kepada para murid-Nya dan dengan rendah hati bertanya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga” (Yoh 6:67). Bukannya menaklukan Israel, Yesus justru mengasihi dan menderita bagi Israel. Yesus memiliki kekuasaan untuk mendominasi tetapi Ia memilih untuk menghormati kehendak bebas dan pilihan-pilihan orang lain.
Sebagai pemegang otoritas Yesus menggunakannya pada saat yang tepat. Tidak seperti kebanyakan pemimpin di jaman sekarang yang menjalankan kepemimpinannya dengan kekuatan otoritas kekuasaan. Otoritas kekuasaan bukan satu-satunya yang dipakai Yesus dalam memimpin murid-Nya. Tidak dipergunakannya tidak berarti Ia lemah, tetapi Ia tahu menempatkan pada situasi yang lebih tepat.
Lawrence dalam kaitan dengan pokok otoritas mengaitkannya dengan keotentikan:
Leadership requires authenticity and authority. Authenticity of commitment to Christ’s lordship, recognizing Him as “Number One,” enables the leader to carry out one of his major tasks, that of being a model of Christlike maturity for those whom he leads. This authenticity makes the leader a living statement of all God wants His peole to be. Authority is also required and grows out authentic Christian character. Such character means congruence between attitude, word, and action, a congruence that speaks of integrity and serves as a magnet to draw others who listen and respond to the leader. Sanders observes that “Paul never lacked followers. His qualities of character irresistibly lifted him above his colleagues and associates.” What was true of Paul must be true of all Christian leaders.[16]
Otoritas tetap dibutuhkan sekalipun seseorang telah menyebut dirinya seorang pemimpin yang melayani. Namun otoritas yang dimilikinya ditunjukkan dengan cara yang berbeda dengan otoritas para pemimpin sekuler. Lawrence merumuskannya sebagai berikut:
The difference between secular leadership and Christian leadership does not lie in absence of authority but in attitude that motivates authority, the sanctified nature of ambition and motivation, and the holy character mentioned earlier. Servant leaders must exercise authority if Christian churches and organizations are to develop and grow. They are needed to model godliness, make policies, manage finances, give direction, hold the group accountable for its purpose and actions, and provides the human layer of security under Christ which is needed if unity is to be maintained.[17]
Otoritas pada tataran praktek dapat menghancurkan atau menciptakan sesuatu. Otoritas yang menghancurkan menuntut adanya pengaruh yang menguasai, menuntut kendali yang menyeluruh, menghancurkan kepercayaan, menghancurkan dialog, dan menghancurkan integritas. Dibutuhkan otoritas yang membaharui memberi hidup, sukacita, dan damai sejahtera. Otoritas yang memperbaharui memulihkan hubungan dan memberikan karunia keutuhan kepada semua orang. Kuasa yang membaharui adalah otoritas rohani, otoritas yang berasal dari Allah. Kasih adalah ciri dari otoritas rohani. Kasih menuntut bahwa otoritas digunakan untuk kebaikan orang lain. Kerendahan hati adalah otoritas yang dikendalikan.
4. Pemimpin-Hamba
Pemimpin-Hamba adalah suatu paradoks dan hadir secara sempurna dalam diri Yesus (Flp 2). Yesus adalah Allah dan Dia sendiri menyebut diri-Nya sebagai seorang Gembala (Yoh 10). Tetapi di sisi lain menyebut diri-Nya sebagai seorang pelayan karena “melayani” (Mark 10:45). Dalam kaitan dengan pembahasan ini Wofford menulis:
Yesus adalah model pertama tentang pemimpin yang melayani. Dalam proses pengenalan gagasan tentang kepemimpinan yang melayani dalam Markus 10:42-45, Yesus berkata bahwa Ia datang untuk melayani dan memberikan kehidupan-Nya. Yesus datang sebagai hamba yang menderita yang akan “memikul kejahatan mereka” (Yes 53:11). Di setiap akhir hari yang panjang, kita melihat Yesus yang kelelahan karena memberikan sepenuh hidup-Nya untuk memberi makan bagi yang kelaparan, menyembuhkan yang sakit, dan mengajar domba-domba Israel yang terhilang. Walaupun begitu, pelayanan penting dan utuh yang Ia lakukan semasa hidup-Nya tidak dapat dibandingkan dengan pelayanan-Nya di dalam kematian-Nya. Dalam kematian-Nya sebagai korban di kayu salib.[18]
Wofford menegaskan karakter pemimpin-hamba yakni pemimpin yang mengesampingkan minat-minat pribadi mereka demi orang-orang yang dilayani. Teori Kenosis dalam Filipi 2 jelas menggambarkan bagaimana Ia mengorbankan diri-Nya demi keselamatan orang lain.[19] Selanjutnya Wofford menulis tujuh daftar dari kepemimpinan di dalam kerajaan Allah:
- Mereka yang akan menjadi pemimpin harus dipersiapkan untuk menderita (Mat 20:22; Mark 10:38).
- Mereka memang akan menderita (Mat 20;23; Mark 10:39).
- Kepemimpinan di antara orang-orang percaya tidak memakai pendekatan “menguasai” para pengikut maupun menggunakan jenis kekuasaan otoritas yang digunakan oleh pejabat pada masa itu (Mat 20:25-26; Mark 10:42-43; Luk 22:26).
- Para pemimpin beriman Kristen harus menjadi hamba bagi mereka (Mat 20:26-27; Mark 10:43; Luk 22:26).
- Yesus sendiri adalah model kepemimpinan yang melayani (Mat 20;28; Mark 10:45; Luk 22:27).
- Kerendahan hati adalah kualitas utama dari karakter pemimpin Kristen (Mark 9:36-37; Luk 22:26).
Wofford membuat perbandingan antara pelayan dengan pemimpin yang melayani:
Perbandingan Pelayan dan Pemimpin yang Melayani[20]
Pelayan
- Roh rendah hati
- Melayani kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi
- Lebih kepada membangun daripada meruntuhkan
- Menderita dan berkorban untuk orang lain
- Hubungan yang saling memperhatikan
Pemimpin Yang Melayani
- Menyadari dipanggil – Matius 20:23
- Mengenal nilai-nilai yang dimiliki dalam kaitannya dengan Allah – Ibrani 11:26
- Tidak memegahkan diri, tetap sabar – Yakobus 4:6; Roma 12:3-8; Ef 4:32
- Mengetahui bahwa satu-satunya yang perlu adalah sikap merendahkan diri – Yohanes 13:14
- Mengutamakan panggilan lebih dari diri sendiri – Kisah 20:24
- Tidak gila status – Yakobus 1:9
- Melayani orang lain di atas kepentingan pribadi
- Nilai-nilai yang kuat untuk melayani orang lain – Roma 12:5-8
- Visi terfokus pada pelayanan – Roma 1:9-10
- Sikap dan tindakan murah hati – Roma 12:8
- Pelayanan sebagai prioritas – Luk 22:26
- Melayani kebutuhan yang sesungguhnya, bukan keinginan – Roma 12:13
- Lebih kepada membangun daripada meruntuhkan
- Memfasilitasi pertumbuhan rohani dan melayani orang lain – Efesus 4:12-16
- Menginspirasi dan bukannya mengarahkan – Yohanes 13:15; I Kor 11:1; I Pet 2:21
- Para pengikut menyamai sikap dan perilaku pelayanan pemimpin – Yoh 13:15
- Para pengikut menjadi lebih kuat, lebih bijak, lebih bermoral, dan lebih mampu – Efesus 4:12-16
- Para pengikut tidak lagi di bawah perintah tetapi memiliki otonomi di bawah Allah – Matius 20:25-26
- Menderita dan Berkorban untuk orang lain
- Karisma tumbuh dari kasih yang dimanifestasikan dalam pelayanan dan hormat terhadap mereka yang memimpin – Matius 20:28; Efesus 5:1
- Memperhatikan orang lain lebih dari diri sendiri – Filipi 2;4
- Menyamai kepemimpinan yang melayani dari Yesus – Marius 20:28
- Hubungan yang saling memperhatikan
- Mengasihi mereka yang dilayani – Efesus 4:15-16
- Membagi hidup, terbuka, saling mendukung – Efesus 5:19-21
- Mendengarkan, memahami, berempati, bekerjasama – Yakobus 1:19.
Wofford selanjutnya menulis bahwa pelayanan yang dikerjakan oleh pemimpin yang melayani adalah: melayani Allah dan melayani sesama manusia.[21] Dan ciri dari pemimpin yang melayani adalah pengorbanan diri, berbelas kasih, memiliki kesediaan, memberi diri, dan ketekunan.[22]
Model dari pelayanan kehambaan adalah Yesus sendiri. Leighton Ford menyebutkan bahwa Yesus itu bukan cuma Tuhan tetapi Ia sendiri adalah contoh bagi kepemimpinan. Ia bukan hanya mengajarkan kepemimpinan tetapi juga menunjukkan caranya.[23]
5. Simplisitas Hamba
Simplisitas Hamba jauh dari otoritas gembala mengingat peran dan posisinya yang di bawah. Robert Borrong menyebutkan beberapa ciri yang menujukkan simplisitas hamba:
1. Rendah hati
2. Suka mendengar (dengar-dengaran)
3. Responsif atau taat
4. Berani dan penurut
5. Rela berkorban
6. Jujur
7. Kesetiaan dan tanggung jawab
8. Tidak ambisius
9. Murah hati (tidak materialistis dan tidak rakus)[24]
Kepribadian seorang pemimpin sangat menentukan pelaksanaan tugasnya karena kepribadian itu yang selalu mendapat perhatian bawahan baik diikuti maupun diteladani. Maka berbicara tentang karakter kepemimpinan yang bersahaja berbicara tentang pribadi para pemimpin.
Kepemimpinan Kristiani juga sangat menekankan kepribadian sang pemimpin, terutama kehidupan rohaninya. Maka karakter seorang pemimpin Kristen terkait dengan kehidupan rohaninya sebagai pemimpin, yakni memiliki sikap seorang gembala yakni sederhana, penuh perhatian, mengayomi dan selalu siap berkorban untuk orang-orang yang dipimpinnya.[25]
Kepemimpinan Gereja selama ini terlalu mengandalkan pengetahuan dan keterampilan manajerial. Situasi ini harus dirubah. Para pemimpin harus lebih banyak mengandalkan kepribadiannya dan karena itu para pemimpin harus melatih diri untuk menjadi pemimpin yang ideal yang tidak mengandalkan pengetahuan dan keterampilan saja tetapi yang mengandalkan kemurahan dan kebaikan Tuhan di dalam hati, pikiran, dan karyanya.[26]
[1] Thomas H. Groome, Christian Religious Education (San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1980), xvii.
[2] A. J. Lindgreen, s.v. “Leadership and Administration” dalam Rodney J. Hunter (peny). Dictionary of Pastoral Care and Counseling (Nashville: Abingdon Press, 1990), 634.
[3] H. Siagian. Manajemen: Suatu Pengantar (Bandung: Alumni, 1977), 27.
[4] Ibid.
[5] Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab” dalam Kepemimpinan Kristiani: Spiritualitas, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan (Jakarta: STTJ, 2001), 1.
[6] Ibid., 6.
[7] Ibid., 635. Bnd. W. R. Lassey (peny). Leadership and Social Change (1971), 17-25
[8] Ibid.
[9] Sugiyanto Wiryoputro, Dasar-dasar Manajemen Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 17.
[10] Ibid.
[11] Benyamin Abednego. Liku-liku Kepemimpinan Kristen (Surabaya: Yakin, tt), 8.
[12] William D. Lawrence, “Distinctives of Chrisitian Leadership” dalam Roy B. Zuck (peny). dalam Vital Ministry Issues (Michigan, Grand Rapids: Kregel Resources, 1994, 34.
[13] Ibid., 35.
[14] Ibid. 35.
[15] R. J. Arnott, s.v. “Authority, Concept, and Theory of” dalam Rodney J. Hunter (peny). Dictionary of Pastoral Care and Counseling (Nashville: Abingdon Press, 1990), 59.
[16] Ibid., 36.
[17] Ibid. 43.
[18] Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan (Yogyakarta: Yayasan Andi), 24.
[19] Ibid.
[20] Ibid., 180-81.
[21] Ibid., 186-189.
[22] Ibid, 190.
[23] Leighton Ford, Transforming Leadership (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1991), 11.
[24] Robert Borrong, “Etika dan Karakter Kepemimpinan dalam Perspektif Kristiani” dalam Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: STTJ, 2001), 73-81.
[25] Ibid.
[26] Crayg R. Dikstra, Vision and Character (New York: Paulist, 1981), 50.
Daniel Zacharias
education from womb to tomb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar