05 November 2008

Mempercayai Bapa

Petrus Abelardus yang hidup di abad pertengahan pernah mengatakan ada 3 cara beriman: “aliud est credere in Deum, aliud credere Deo, aliud credere Deum”[1] (mempercayakan diri kepada Allah, percaya Allah, percaya bahwa Allah ada). Gambaran dari Abelardus ini memang cukup jelas untuk kita cerna.

Mengakui Allah ada (secara ontologis) memang telah menjadi persoalan yang tidak mudah untuk dituntaskan. Penganut Theisme Kristen dengan gegap gempita akan mengakui Allah dengan berbagai dalil pembuktian demikian pula pengakuan dari kelompok Deisme yang hanya mengakui eksistensi Allah tetapi tidak mengakui providensia Allah. Mereka yang terkungkung oleh kesempitan filsafat naturalisme, eksistensialisme, dan nihilisme malah mengatakan Allah tidak memiliki eksistensi[2].

Di sisi lain orang yang mengakui Allah ada tidak berarti ia juga setuju Allah berkuasa. Kelompok Deisme hanya mengakui eksistensi Allah tanpa setujua bahwa Ia terus memelihara manusia. Bagi Deisme kosmos berada dalam sistem tertutup sehingga tidak dimungkinkan sama sekali adanya intervensi dari luar kosmos untuk perbaikan dan pemulihan dunia[3].

Problem ketiga adalah bukan hanya mempercayai adanya Allah dan kemahakuasaan Allah tetapi pada sebuah penyerahan diri untuk mempercayai Dia (trust). Tantangan untuk memasuki wilayah ini merupakan perjuangan berbagai manusia dari berbagai kalangan sepanjang masa. Karena tidak sedikit mereka yang hanya memasukan Allah dalam pemahaman teologis dan filosofis tetapi sama sekali tidak berdampak empiris.

Ketika Yesus berkata, “… apalagi Bapamu yang di sorga!”, maka Ia sedang mengajarkan kepada para pendengar-Nya suatu sikap untuk mempercayai sang Bapa. Perbandingan langsung dengan para bapa di dunia menunjukkan bahwa kualitas keterandalan Bapa di sorga jauh melampaui para bapa di dunia sehingga mempercayai Bapa adalah sebuah tindakan yang tepat.

Frasa “… apalagi Bapamu yang di sorga” juga dapat dilengkapi menjadi: “Bapamu yang di surga jauh lebih tahu memberikan apa yang baik kepada anak-anakmu”. Pengertian dari frasa tadi dapat bermakna:
1. Bapa di surga memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan para bapa di dunia sehingga dapat diandalkan dan dimintai pertolongan;
2. Bapa di surga mengetahui apa yang terbaik bagi anak-anak-Nya.

Dalam dunia yang terus-menerus menggebu-gebu memuja kemajuan dan keunggulan manusia Kristen ditantang untuk memberi jawab apakah mempercayai Allah adalah sebuah tindakan yang masih relevan? Manusia lebih mempercayai dirinya dan semua alat-alat temuannya. Tidak sedikit yang menganggap mempercayai Allah adalah sebuah sikap peninggalan masa lampau dari orang-orang yang tidak berdaya yang tak mau berusaha lebih.

Keserupaan orang percaya dengan Kristus justru terletak pada tindakan mempercayai Bapa atau mempercayakan diri kepada Bapa. Kotbah Yesus didasarkan bukan pada kemampuan Yesus beranalogi secara dialektis antara posisi keilahian sekaligus kemanusiaan-Nya tetapi lebih pada sebuah sikap memercayai Bapa-Nya. Yesus pernah berkata, “Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan” (Yoh 12:49). Yesus tidak hanya mempercayai Bapa tetapi Ia juga tunduk pada-Nya.

Keserupaan orang percaya dengan Kristus sepatutnya terbentuk dengan jelas dalam hal orang percaya mempercayakan dirinya secara sinambung kepada pimpinan Allah. Penyerahan dirinya kepada Allah bukanlah sebuah sikap pelarian melainkan merupakan sebuah fides explicita (iman yang mengetahui isinya dengan baik) dan fides qua creditor (iman sebagai tindakan iman kepercayaan itu sendiri).

[1]Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 20.
[2] James Sire, The Universe Next Door (Surabaya: Momentum).
[3] Ibid.,


Daniel Zacharias
"education from womb to tomb"

Tidak ada komentar: