30 September 2008

Makna Diri


Hidup sebenarnya punya makna. Dan makna itu tidak bisa dipahami begitu saja. Lintasan peristiwa dalam hidup sebenarnya merupakan cara Tuhan bagi kita untuk memetik sesuatu dan menaruhnya dalam hidup sehingga pemaknaan itu terus berjalan. Kita mengerti siapa kita dan bagaimana kita. Mengenang 43 tahun lalu, ketika Jakarta berdarah karena agenda terselubung, kita sebagai bangsa pun masih bisa menarik pelajaran yang terus memberi makna buat kita semua.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama, Yusuf yang pernah dikhianati saudara-saudaranya, memaknai kehidupan masa lalunya yang pahit dengan berujar kepada mereka, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar" (Kej 50:20). Benar-benar merupakan sebuah pencerminan dari jiwa yang besar untuk dapat menerima kepahitan tanpa terus terlukai, dan sebuah refleksi bening yang mengais makna diri dari sampah kesuraman masa lalu. Makna diri Yusuf ternyata jauh lebih besar daripada merekam dan menuntut balik semua luka-luka di masa lalunya. Ia tidak akan menemukan makna dirinya bila ia terus berkubang dalam pemaknaan yang salah dari saudara-saudaranya terhadapnya. Ia tidak akan menemukan makna diri dari sebuah dendam kesumat. Ia menemukan makna diri dan kebergunaannya yang lebih luas ketika ia memakai cara pandang Tuhan ("tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan").

Rasul Paulus memakai I Korintus 10 menjadi cermin buram dari masa lalu agar bangsa Israel memetik pelajaran sehingga mereka tidak jatuh di lubang yang sama. Kita tidak bisa menyalahkan mengapa lubang itu tetap ada di sana, tetapi kita perlu mewaspadai agar lubang itu tidak menyeret kita. Paulus mengingatkan Israel tentang makna diri mereka sehingga dengan demikian mereka berlaku sesuai dengan pemaknaan itu.

Sebuah pariwara perlengkapan bayi di televisi Indonesia memuat kata-kata yang menyentuh. Kata-kata itu memberikan kembali asupan buat makna diri. Kata-kata itu kira-kira berbunyi demikian: "Tidak semua yang penting itu dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung itu penting". Wow!

Makna diri kita seringkali disandarkan pada kepemilikan material. Propaganda itu selalu bernada: "Anda adalah apa yang anda makan", "Anda adalah apa yang anda kenakan", "Anda adalah apa yang anda kendarai". Tetapi sekarang kita perlu terus disadarkan bahwa pemaknaan semacam itu hanyalah mengkerdilkan pemaknaan diri yang lebih dari sekedar apa yang kita makan, pakai, dan kendarai. Yesus sendiri berkata dengan lantang, "Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?" (Mat 6:25b).

Kita perlu mengambil waktu kembali untuk merenungkan kembali kalimat berikut ini: "siapakah saya sebenarnya" dengan mata terpejam dan mengingat akan sang Khalik.

Selamat Lebaran ... yang pasti orang seperti saya akan libur panjang jadinya ....

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

18 September 2008

Mengapa Pendidikan Sering Kurang Berhasil?

Pendidikan (education) adalah penanaman nilai-nilai yang tentunya berbeda dengan pengajaran yang lebih pada hal-hal yang sifatnya rasional dan teknis. Namun kedua-duanya adalah sebuah kesatuan yang tidak kita pisahkan. Kita sadar betul bahwa pertanyaan yang merupakan judul di atas tidak bisa dijawab sekaligus sehingga kita memilih untuk melihat salah satu aspek saja. Salah satu aspek yang kita telusuri adalah aspek pendekatan. Dengan kata lain pendekatan pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan sering menjadi celah bagi gagalnya sebuah pendidikan dan pengajaran.

Pendekatan pendidikan dan pengajaran kita seringkali tidak tuntas walau kita menguasai berbagai teori pendidikan bahkan menguasi pula teknologinya. Sebaiknya pendekatan pendidikan itu harus lengkap dan berkesinambungan. Pendekatan yang dimaksud di sini adalah pendekatan: tahap pertama face to face, kemudian mind to mind, dan heart to heart, serta dan akhirnya action to action. Teori semacam ini bertebaran di berbagai literatur dan jurnal, tetapi prakteknya selalu tidak tuntas dan tanggung.

Langkah Pertama: Face to face
Artinya penanaman nilai yang lebih akurat adalah penanaman yang bersifat pribadi ketimbang perkelompok apalagi perkelas. Kelompok yang terlalu besar atau kelas misalnya terkadang lebih mengedepankan kebersamaan tinimbang individu yang unik dan potensial. Hal ini sama sekali jauh dari pengertian individualistis. Face to face memungkinkan antara pendidik dan naradidik memiliki hubungan yang bersifat pribadi dan memiliki pengenalan yang dalam. Naradidik tidak dilihat dari kehadirannya tetapi dari relasinya dengan pendidik.

Pendidikan jarak jauh bisa-bisa saja terjadi tetapi tetap mengurangi jiwa pendidikan itu. Pendidikan akhirnya hanyalah perpindahan informasi yang gersang tanpa sentuhan emosi manusia yang sarat dengan cinta (baca: kasih) dan marah. Guru bisa mengajar cinta tetapi juga mengajar marah dalam koridor konstruktif dan penuh dengan kendali.

Orangtua seringkali kehilangan kesempatan mendidik karena langkah pertama face to face terabaikan. Face to face tak tergantikan bahkan dengan monitor televisi tercanggih sekalipun. Manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan tanggapan, perhatian, rangkulan dan sentuhan yang konstruktif-eskpresif (istilah yang dipergunakan untuk menghindari rangkulan dan sentuhan yang bersifat destruktif misalnya pelecehan).

Face to face memerlukan harga yang sangat mahal untuk kita bayar. Face to face memerlukan orangtua yang siap untuk hadir buat anak-anaknya. Orangtua yang siap mengorbankan waktunya bahkan zona nyamannya untuk memberi perhatian yang lebih. Atau pendidik yang menghadapi naradidiknya sebagai pribadi bukan sebagai alat bantu untuk mempertahankan profesi dan gaji saja.

Langkah Kedua: Mind to mind
Mendidik tidak saja soal nilai tetapi juga dasar-dasar yang logis dan aplikasi meluas dari nilai-nilai tersebut dalam ruang lingkup keseharian. Mendidik juga pada akhirnya membutuhkan aspek pengajaran yang berisi tentang pengertian dan pengetahuan.

Paulo Freire, pakar pendidikan, soal bagian kedua ini memang tidak bermaksud menjabarkan mind to mind sebagai sekedar sebuah transfer pengetahuan sehingga otak naradidik digambarkan sebagai celengan babi. Pengetahuan dan pengertian yang dimaksud bukanlah sebuah hafalan mati rumus-rumus, daftar obat, petunjuk-petunjuk, nama-nama pengarang buku, tetapi lebih dari itu ada sebuah pemahaman yang mendalam.

Murid-murid mengetahui kalau phi=22/7 atau 3,14 dalam memahami perhitungan sebuah lingakaran. Tetapi mengapa harus 22 dan mengapa harus dibagi 7 seringkali naradidik hanya sampai pada menghafal mati rumus tanpa tahu itu dari mana dan akan jadi apa. Pendidik dan pengajar tidak memberikan pemahaman dari isi kepalanya dan membiarkan anak didik memahami seperdelapan dari apa yang dimiliki sang guru.

Langkah Ketiga: Heart to heart
Ada guru yang bisa menyentuh emosi positif dari anak didiknya tetapi ada guru yang hanya memuaskan otak anak didiknya. Mereka yang berhasil menyentuh emosi anak dan membangun emosi tersebut maka guru tersebut berhasil membawa anak itu jauh lebih dalam tinimbang mengisi otaknya. Mengajar penuh kasih dan menyentuh hati menolong anak didik di bidang apapun akan sangat bersemangat bahkan mengetahui apa yang harus dia lakukan selanjutnya dengan pelajaran yang sedang ia tekuni.

Tidak sedikit pendidik tidak mau capai-capai memasuki wilayah ini. Baginya asal murid menjawab dengan benar maka tugasnya sudahlah selesai. Kalau itu yang ditujunya maka keberhasilan guru itu baru setengah jalan. Bukankah sudah berulang kali kita menyaksikan bagaimana anak-anak yang tinggi nilai agamanya yang berhasil menjawab dengan tepat dan cepat soal-soal agama ternyata terlibat dalam kejahatan dan dekadensi moral? Jangan kita biarkan emosi anak-anak dirasuki nilai-nilai liar yang berdampak sangat buruk. Di satu sisi mereka sangat terdidik tetapi dalam prakteknya mereka seolah tidak terdidik. Ironis!!!

Langkah Keempat: Action to action
Tujuan utama dari sebuah pendidikan dan pengajaran adalah perubahan dalam tindakan. Pendidikan dan pengajaran yang tidak bermuara ke arah ini adalah sebuah kegagalan. Sekolah-sekolah unggulan yang mahal sekarang berdiri dimana-mana. Orang-orangtua bersaing menempatkan anak-anaknya di bangku terdepan karena mendengar para guru berasal dari kalangan ekspatriat atau lulusan sekolah luar. Sama sekali tidak ada pertimbangan kompetensi yang jauh lebih dari itu.

Paulus mengajar Timotius dengan mengatakan “ikutilah teladanku”. Paulus mendidik anak rohaninya lebih dari sebuah acuan referensi dan keterampilan ini itu, ia sampai pada pendidikan yang memberikan teladan.

Wahai para pendidik jangan berhenti pada face to face dan mind to mind tetapi lebih yaitu heart to heart dan action to action.

Tuhan memberkati!

Daniel Zacharias

09 September 2008

Ortorite dan Ortovita

Hidup beriman dan beribadah seringkali dipahami sangat sempit. Beriman dan beribadah kerap disamaartikan dengan kebaktian atau sebuah situasi dalam pengaruh tata cara liturgis (kontemporer maupun tradisionil). Sehingga menurut mereka orang yang disebut beriman dan beribadah bila ia sedang menjalankan atau sedang berada dalam situasi kebaktian liturgis.

Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sangat menekankan pengertian beriman dan beribadah yang luas dan tidak sempit. Dalam Perjanjian Lama misalnya, ketika nabi Amos dipakai Tuhan untuk menghentikan ibadah liturgis mereka, maka pada saat itu Tuhan meminta bangsa itu menunjukkan ibadah sejatinya yang tidak lain tidak bukan menunjukkan keadilan dan kebenaran.

Amos 5:21-24
5:21 "Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu.
5:22 Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang.
5:23 Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar.
5:24 Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir."


Hal di atas terjadi karena bangsa Israel memiliki pandangan tentang beribadah dan beriman yang sangat sempit. Mereka berpikir sekalipun mereka hidup mengkhianati kebenaran dan menciderai keadilan namun ketika mereka beribadah mereka pasti tetap akan diterima Tuhan. Ternyata Tuhan malah bertindak sebaliknya. Allah malah meminta agar ibadah liturgis Israel dihentikan! Allah tidak berkenan kepada korban, perayaan, perkumpulan raya, nyanyian, lagu gambus dalam satu kumpulan liturgi Israel! Inilah pelajaran yang mengingatkan kita bahwa hidup beriman dan beribadah adalah kehidupan yang sejalan dengan hidup itu sendiri dan bukan segmen-segmen dari hidup. Hidup itu adalah ibadah, dan ibadah adalah hidup itu sendiri.

Di Perjanjian Baru, Paulus, mengajarkan bahwa ibadah sejati itu: penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1); dan Yakobus menyebut ibadah itu sebagai pengekangan diri dan mengasihi sesama (Yak 1:26-27).

Terkait dengan penjelasan dari kedua belahan kitab suci ini kita akhirnya menemukan istilah “ortorite” dan “ortovita”. Apakah artinya? Ortorite itu adalah ritus yang benar dan Ortovita adalah hidup yang benar. Ortorite dan ortovita idealnya berjalan berdampingan tetapi faktanya lebih banyak menjadi versus ketika orang memiliki ortorite tetapi tak mampu dan tak mau menunjukkan ortovita.

Orang Farisi zaman Yesus tidak memiliki keseimbangan ortorite dan ortovita. Ortorite mereka begitu sempurna tetapi ortovita mereka dicela Yesus.

Dalam II Timotius 3:5 Paulus menulis: “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!”. Kenyataan ini menunjukkan adanya kebuntuan “ritus yang benar” yang tidak bermuara pada “hidup yang benar”. Ibadah itu bukan hanya seseorang menjadi mengerti firman, tempat berjumpa dengan Allah dan sesama, atau kita minta diberkati, tetapi ibadah adalah waktu dan tempat dimana kita mengalami perubahan hidup yang signifikan dan bersesuaian dengan kegiatan ibada itu sendiri. Dengan kata lain ibadah liturgis harus dapat menunjukkan buah yang luar biasa dalam ibadah yang sejati, dan ibadah yang sejati mendapat kekuatannya dari ibadah liturgis.

Mari kita renungkan sejauhmana ortorite kita telah mendapatkan buah yang signifikan dalam ortovita?

Daniel Zacharias