Hidup beriman dan beribadah seringkali dipahami sangat sempit. Beriman dan beribadah kerap disamaartikan dengan kebaktian atau sebuah situasi dalam pengaruh tata cara liturgis (kontemporer maupun tradisionil). Sehingga menurut mereka orang yang disebut beriman dan beribadah bila ia sedang menjalankan atau sedang berada dalam situasi kebaktian liturgis.
Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sangat menekankan pengertian beriman dan beribadah yang luas dan tidak sempit. Dalam Perjanjian Lama misalnya, ketika nabi Amos dipakai Tuhan untuk menghentikan ibadah liturgis mereka, maka pada saat itu Tuhan meminta bangsa itu menunjukkan ibadah sejatinya yang tidak lain tidak bukan menunjukkan keadilan dan kebenaran.
Amos 5:21-24
5:21 "Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu.
5:22 Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang.
5:23 Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar.
5:24 Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir."
Hal di atas terjadi karena bangsa Israel memiliki pandangan tentang beribadah dan beriman yang sangat sempit. Mereka berpikir sekalipun mereka hidup mengkhianati kebenaran dan menciderai keadilan namun ketika mereka beribadah mereka pasti tetap akan diterima Tuhan. Ternyata Tuhan malah bertindak sebaliknya. Allah malah meminta agar ibadah liturgis Israel dihentikan! Allah tidak berkenan kepada korban, perayaan, perkumpulan raya, nyanyian, lagu gambus dalam satu kumpulan liturgi Israel! Inilah pelajaran yang mengingatkan kita bahwa hidup beriman dan beribadah adalah kehidupan yang sejalan dengan hidup itu sendiri dan bukan segmen-segmen dari hidup. Hidup itu adalah ibadah, dan ibadah adalah hidup itu sendiri.
Di Perjanjian Baru, Paulus, mengajarkan bahwa ibadah sejati itu: penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1); dan Yakobus menyebut ibadah itu sebagai pengekangan diri dan mengasihi sesama (Yak 1:26-27).
Terkait dengan penjelasan dari kedua belahan kitab suci ini kita akhirnya menemukan istilah “ortorite” dan “ortovita”. Apakah artinya? Ortorite itu adalah ritus yang benar dan Ortovita adalah hidup yang benar. Ortorite dan ortovita idealnya berjalan berdampingan tetapi faktanya lebih banyak menjadi versus ketika orang memiliki ortorite tetapi tak mampu dan tak mau menunjukkan ortovita.
Orang Farisi zaman Yesus tidak memiliki keseimbangan ortorite dan ortovita. Ortorite mereka begitu sempurna tetapi ortovita mereka dicela Yesus.
Dalam II Timotius 3:5 Paulus menulis: “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!”. Kenyataan ini menunjukkan adanya kebuntuan “ritus yang benar” yang tidak bermuara pada “hidup yang benar”. Ibadah itu bukan hanya seseorang menjadi mengerti firman, tempat berjumpa dengan Allah dan sesama, atau kita minta diberkati, tetapi ibadah adalah waktu dan tempat dimana kita mengalami perubahan hidup yang signifikan dan bersesuaian dengan kegiatan ibada itu sendiri. Dengan kata lain ibadah liturgis harus dapat menunjukkan buah yang luar biasa dalam ibadah yang sejati, dan ibadah yang sejati mendapat kekuatannya dari ibadah liturgis.
Mari kita renungkan sejauhmana ortorite kita telah mendapatkan buah yang signifikan dalam ortovita?
Daniel Zacharias
Tidak ada komentar:
Posting Komentar