29 Agustus 2008

Menyeimbangkan Antara Tugas Keimaman dan Kenabian Orang Percaya

Kehadiran Kristen di dunia adalah kehadiran yang tidak saja berwajah imam yang mendoakan dan mendampingi tetapi juga berwajah nabi yang menegur kesalahan dan mendidik orang dalam kebenaran. Ketika Yesus berkata bahwa garam yang tidak asin lagi hanya akan dibuang dan diinjak-injak orang itu artinya tugas gereja baik dari segi keimaman atau kenabian atau bahkan kedua-duanya tidak berjalan.

Akhir-akhir ini gereja seringkali menggalang konser doa untuk mendoakan negeri ini. Indonesia memang perlu doa dan didoakan. Indonesia yang sudah 63 tahun ibarat lansia renta yang sakit-sakitan. Dalam tubuh Indonesia yang renta itu bercokol berbagai virus mematikan seperti: korupsi, kolusi, nepotisme negatif, sogok-menyogok, individualistis, ambisi rakus, politik berat sebelah, ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, agama politik, perusak hutan, penegak hukum yang mengkhianati hukum, terorisme, dll. Bayangkan bagaimana negeri ini bisa bertahan?

Ketika gereja berdoa gereja menjalankan fungsi imamnya. Gereja yang bersyafaat meminta Tuhan bertindak dan memulihkan negeri ini. Namun sampai di sini gereja harus sadar bahwa di dalam doanya tidak bisa dia yang mengutus Tuhan untuk membereskan negeri ini, sebaliknya ia menyadari bahwa ia mohon Tuhan memberikan kekuatan buat gereja untuk membereskan negeri ini. Namun seringkali gereja tidak merasa dia berada dalam kapasitas ini. Gereja bermain aman, ia hanya berdoa, berdoa, dan berdoa. Yang menggemparkan adalah peserta doa makin hari makin banyak tetapi keadaan tidak dan belum juga berubah. Rally doa dimana-mana tidak diimbangi dengan aksi berani yang positif untuk menunjukkan terang itu melalui tindakan-tindakannya yang mereformasi bukan demonstrasi. Memang aman kalau kita cukup berdoa saja, dan orang-orang yang menjadi sasaran doa kita akan mengatakan, untunglah mereka hanya berdoa saja. Dan para pendoa mengutip kisah Yosua dan Israel menghancurkan kota Yerikho sebagai acuannya. Bayangkan kemana tugas kenabian kita? Gereja tidak berani mengambil resiko untuk menegur para koruptor, mereka yang mengumbar pornografi, dll. Gereja hanya berdoa dan itu aman!

Gereja harus menjalankan tugas kenabian. Gereja harus berani serentak (bukan hanya berdoa serentak) secara bersama-sama membangun kesadaran kolektif untuk sama-sama memberi contoh bagi orang-orang di negeri ini bagaimana hidup dalam terang Kerajaan Allah itu. Gereja harus berani menunjukkan sebuah budaya tandingan yang benar-benar membuktikan hadirnya Kristus dalam kehidupan gereja.

Gereja dengan kesadaran bersama membangun sebuah gaya hidup yang benar-benar mencerahkan bukan fanatik. Menunjukkan bagaimana hidup sebagai gambar Allah di tengah dunia. Perbedaan itu bukan sebuah kesombongan tetapi harus menjadi daya tarik dan daya jual agar dunia percaya bahwa Yesus Kristus yang mengutus gereja itu adalah Tuhan!

Mari kita bangun secara berimbang tugas kenabian kita dengan memberi gambaran jelas tentang hidup dalam kebenaran, dan jangan takut untuk mengoreksi yang salah, dan memperbaikinya demi kebaikan dan kemajuan negeri ini dan kemuliaan Allah ada di antara orang-orang di negeri tercinta ini.

Daniel Zacharias

21 Agustus 2008

Kekuatan Daya Tahan [1]

Filipi 4:13
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

Uraian
Rasul Paulus memiliki sebuah kualitas daya tahan yang perlu kita teladani. Ia tidak sesumbar, tetapi apa yang dituliskan di dalam kitab Filipi adalah kenyataan yang pernah ia hadapi dan berhasil ia lewati. Apakah rahasia dari kemampuan untuk ‘menanggung’ segala perkara tersebut?

Ternyata apa yang dimiliki oleh Paulus adalah kemampuan untuk mengembangkan daya tahan. Menurut Yakoep Ezra daya tahan adalah kemampuan untuk menanggung kesusahan tanpa menyerah. Untuk tetap teguh dalam penderitaan atau kemalangan dengan tidak bersungut-sungut. Karena rasa kecewa dan persungutan hanya akan memerosotkan motivasi dan kekuatan diri. Jika kita memiliki daya tahan, kita memiliki ketabahan untuk mempertahankan stamina dan keseimbangan fisik, mental, maupun rohani. Ketabahan membawa kita menjadi lebih dekat pada tujuan dan sasaran yang ingin dicapai.

Pada dasarnya daya tahan dibangun dari 4 kemampuan yang terdiri atas:

Satu, Kemampuan Untuk Mengendalikan Masalah
Masalah bagaikan gelombang yang datang bergulung dan menghantam pantai. Namun para penggemar surfing justru mencari tempat-tempat luar biasa di penjuru dunia untuk bisa ‘mengendarai ombak’. Mereka menggunakan keberanian dan keahlian yang dimiliki agar tetap berada di permukaan air.

Sikap reaktif membuat kita sulit mengendalikan masalah, karena dipicu oleh emosi dan asumsi. Tapi dengan bersikap tenang dan mengendalikan diri, kita dapat memilah-milah persoalan secara cermat. Kita sebaiknya tidak mencari-cari kesulitan, namun janganlah lari jika menghadapi masalah. Hadapilah dengan sikap responsif positif dan kondusif.

Dua, kemampuan untuk menemukan Akar Masalah
Sebuah pohon yang ditebang akan kembali tumbuh jika akarnya masih ada. Suatu masalah akan terus timbul jika akarnya tidak ditemukan dan diselesaikan. Masalah bisa bersumber dari internal pribadi atau hal-hal yang sifatnya eksternal.

Namun kecenderungan untuk hanya mempermasalahkan situasi atau orang lain, membuat kita sulit introspeksi diri dan bersifat waspada. Sebaliknya evaluasi diri dan mengakui titik kritis yang dimiliki, membuat kita cepat menyelesaikan masalah.

Tiga, kemampuan untuk Membatasi Jangkauan Pengaruh Masalah
Kita belajar dari lumpur Lapindo. Meskipun belum dapat teratasi secara sempurna, namun tindakan awal yang telah dilakukan adalah menahan luapan lumpur. Tanggul-tanggul dibangun untuk membatasi jangkauan lumpur tersebut.

Demikian pula dengan masalah yang kita hadapi. Soal pribadi jangan melibatkan masalah umum atau kelompok. Masalah kantor sebaiknya tidak terkait dengan urusan keluarga dan sebaliknya. Dengan kemampuan bersikap tegas dengan menitikberatkan pada nilai-nilai, kita mampu membendung pengaruh masalah tersebut.

Empat, kemampuan untuk bertahan dan menanggung masalah
Ada keunikan dari burung bangau. Kakinya sangat kurus dan panjang. Namun jangan diremehkan karena bangau bisa berdiri satu kaki selama berjam-jam. Kita mungkin dengan mudah bisa berdiri dengan kaki sebelah. Tapi, berapa lama?

Adversity tidak hanya dibangun dari seberapa besar masalah yang dihadapi, tapi berapa lama kita sanggup bertahan. Kesabaran dan ketekunan membuat kita lebih tangguh. Sedangkan sahabat, keluarga, dan orang-orang sekitar kita menjadi alat Tuhan untuk menolong dan menghibur serta mendukung kita untuk bersikap tabah menghadapi masalah.

Realita Mengenai Tekanan
(1) Tekanan tidak melebihi kekuatan kita,
(2) Tekanan pasti akan berakhir,
(3) Tekanan menumbuhkan kekuatan,
(4) Tekanan adalah kesempatan untuk mengembangkan diri.


[1] Bahan ini diadaptasi dari artikel teranyar dari Jakoep Ezra, MBA, CBA (Character Specialist) dalam BAHANA, Agustus 2008, vol. 208, hal. 20.

12 Agustus 2008

Mari Belajar Merespon Dengan Benar!

Sebagian orang akan menjawab pertanyaan judul di atas dengan mengatakan bahwa ukurannya adalah terlihat dari dalamnya pemahaman teologi atau pengetahuan rohani. Namun dalam kenyataannya orang yang dalam pemahaman rohaninya ternyata seringkali berespon kekanak-kanakan dalam menghadapi ujian kehidupan. Di mailing list kristiani kita jumpai mereka yang merasa pengetahuannya benar ternyata bersikap 'kasar' dan kekanak-kanakan menanggapi orang yang mengkritik pendapat mereka. Sehingga mungkin perlu ditanyakan kembali apakah pemahamannya yang masih dangkal atau responsnya yang buruk atau merupakan gabungan dari kedua-duanya.

Sebagian lagi mungkin akan mengatakan terukur dari pengalamannya "makan asam garam" dalam dunia pelayanan. Itu pun ternyata masih kurang akurat, karena mereka yang sudah "makan asam garam" dalam pelayanan memasuki masa-masa dimana mereka tidak lagi begitu "dipakai" lagi seperti masa lalu, mereka menjadi murung, apatis, atau malah sering marah-marah, dan menjelekkan para junior dengan ukuran jaya masa lalunya yang tak lagi laku di jual di masa sekarang.

Sebagian lagi memakai ukuran dengan banyaknya karunia yang ia miliki. Seolah dengan banyaknya kharisma yang ada maka itulah ukuran kesehatan dan pertumbuhan iman mereka. Bukankah bukan rahasia lagi mereka yang berkarunia seringkali jatuh karena respon mereka yang salah ketika menanggapi orang yang meragukan karunia mereka. Memiliki perlengkapan dan kemampuan khusus dalam pelayanan tidak membuktikan seseorang sudah dewasa imannya. Itu hanya perlengkapan dan tidak langsung terkait dengan masalah karakter dan pola tanggapan dia terhadap masalah.

Ada juga mereka yang memakai jabatan-jabatan puncak atau keterkenalan dipakai dimana-mana sebagai alat ukur tumbuhnya iman seseorang. Ini juga merupakan suatu kenaifan. Tak jarang orang yang menjabat di posisi bagus memiliki sikap tidak terpuji dan teruji. Bahkan mereka yang semakin terkenal semakin sulit untuk ditemui dan mengurusi orang dalam partai kecil. Urusannya sudah borongan dan kodian tidak lagi melayani eceran. Dengan alasan lebih kepada keberfungsian lebih bukan pada tuntunan Tuhan. Padahal Filipus di Kisah Para Rasul yang barus saja mengurusi KKR di Samaria dilarikan Tuhan untuk mengurusi Sida-sida dari Ethiopia yang seorang diri saja.

Saya setuju dengan banyak orang yang berpendapat bahwa ukuran iman tumbuh dilihat dari bagaimana reaksi, tanggapan atau responnya terhadap berbagai situasi. Situasi senang apakah dia sanggup menghadapinya dengan bijaksana dan tidak mudah larut, dan situasi sulit tidak serta merta langsung membuat dia mundur. Respon kita mencerminkan siapa kita dan seberapa dalam iman kita menjadi ekspresinya. Baik respon terhadap Tuhan, respon terhadap sesama, bahkan respon kita terhadap berbagai peristiwa dan situasi yang kita alami.

Mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat ini. Tetapi bila kita sama-sama kita kaji lebih dalam, bukankah iman itu bukan sebuah keyakinan dalam belaka yang tidak kasat mata tetapi justru menjadi sebuah ekspresi utuh yang semua orang bisa melihat, mendengar, dan merasakannya, bahkan menilainya?

Mari benahi respon kita agar orang melihat Kristus dari cara kita berespon baik terhadap sesama maupun terhadap situasi yang kita alami. Deo volente!

Daniel Zacharias
-yang sedang gencar-gencarnya mempelajari respon orang, baik mereka pendeta junior maupun senior, penatua senior maupun junior, dan mempelajari diri sendiri ketika berespon-

07 Agustus 2008

Sakral Di Tengah Dunia Yang Sekuler

Minggu lalu sepulang dari Menado saya membalik-balik kembali buku Dr. Jimmy B. Oentoro, "GEREJA IMPIAN: MEMBANGUN GEREJA DI LANSKAP YANG BARU". Tulisan beliau menginspirasikan saya untuk menulis artikel ini.

I Korintus 10:31
“Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah”.

Kolose 3:17
Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semua itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.

Selaku gereja kita menghadapi dua catatan sejarah yang penting bagi kita saat ini untuk mengingatnya. Pertama, yang baru saja berlalu pada hari Selasa lalu tepatnya tanggal 29 Juli 2008, dimana Sinode GKO berusia 29 tahun.

Dan terhitung 2 minggu kedepan dari sekarang kita selaku bagian dari bangsa ini akan merayakan HUT RI yang ke-63.

Di antara 2 catatan sejarah penting ini setidaknya membuat Gereja dalam hal ini GKO mengkaji ulang kiprahnya di negeri ini.

Sampai detik ini kita selaku gereja masih hidup dalam dua pembedaan (dikotomi) antara yang SEKULER dan yang SAKRAL.

Seseorang bernama Philip A. Clemens, Ketua dan CEO dari Clemens Family Corporation, mengatakan bahwa seringkali mereka yang mengakui Kristus pada hari Minggu tidak pernah membawa Dia ke tempat kerja pada hari Senin. Padahal Allah memanggil kita untuk hidup bagi-Nya dalam segala aspek kehidupan termasuk pekerjaan.

Reihold Niebuhr menyebutnya Christ and Culture in Paradox atau dengan kata lain Kristus dan Budaya dalam paradoks. Di satu sisi dia adalah orang yang sangat rajin ke gereja, namun di dunia kerja dia dapat menjadi apa saja, termasuk menajadi binatang buas buat sesamanya. Prinsipnya urusan di laut jangan di bawa ke darat.

Kenyataannya memang sudah terjadi cukup lama orang memisahkan antara yang “sakral” dan yang “sekuler”. Yang “sakral” maksudnya adalah KEHIDUPAN YANG ROHANI dan KEGIATAN YANG ROHANI yang bisa dilakukan di gereja. Sedangkan yang disebut yang “sekuler” maksudnya adalah kehidupan sehari-hari di dunia kerja dan profesi.

Akibat dari pemisahan ini ada 2:
1. Kesaksian hidup orang percaya di mata orang yang belum percaya menjadi tidak efektif.
2. Tidak terlihat dampak nyata dari umat Tuhan dalam kehidupan sekuler.

Bagaimana Alkitab menilai hal-hal semacam ini?

Dalam I Korintus 10:31:
Jika engkau MAKAN atau MINUM.
MELAKUKAN SESUATU YANG LAIN
Lakukan itu bukan untuk diri sendiri tetapi lakukan itu untuk KEMULIAAN ALLAH. Bagi Paulus tujuan dari semua perbuatan adalah apakah ALLAH DIMULIAKAN atau TIDAK?

Pekerjaanmu walau bukan pekerjaan pendeta atau penatua, tetapi engkau mengerjakan tugasmu dengan jujur, menjunjung tinggi etos kerja, tidak mengerjakan kecurangan, tidak korupsi, tidak membuat celah-celah tercela untuk mendapat keuntungan, maka TANPA SADAR kita sedang MEMULIAKAN ALLAH.

Sebaliknya, walaupun kita berkubang tiap hari di atas tumpukan perkataan-perkataan Firman tetapi kita tidak jujur, curang sana sini, bohong sana sini, fitnah sana sini, jatuhkan orang sana sini, cari celah atau kalau bisa buat celah-celah yang tercela, maka TANPA SADAR kita sedang MELECEHKAN ALLAH DAN HUKUM-HUKUMNYA.

Jika kita mengerti apa yang Paulus maksudkan maka KITA TIDAK AKAN MEMISAHKAN KEHIDUPAN KEROHANIAN DENGAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI.

Dr. Jimmy Oentoro mengatakan: Kita malah memberi arti rohani dan memperjuangkan nilai-nilai kerohanian dalam setiap kehidupan kita: baik itu dalam pekerjaan, karir, keluarga, dll.

ORANG KRISTEN HANYA DAPAT BERPERAN MAKSIMAL BILA ORANG LAIN DAPAT MELIHAT BAHWA MEREKA DAPAT MENGGABUNGKAN YANG ROHANI DAN SEKULER, IMAN DAN PEKERJAAN MEREKA, DI LUAR ITU YANG ADA HANYALAH KETIMPANGAN ATAU KETIDAKMAKSIMALAN.

Dalam Kolose 3:17:
SEGALA SESUATU YANG KAMU LAKUKAN
Bentuk: PERKATAAN atau PERBUATAN.
DALAM NAMA TUHAN YESUS
MENGUCAP SYUKUR

Paulus tidak pernah memisahkan antara yang sakral dan yang sekuler, Paulus hanya membedakan antara perbuatan daging dan perbuatan roh. Tidak selamanya perbuatan daging itu adalah sekuler dan perbuatan roh itu adalah sakral.

Contoh:
Bila saya mengerjakan pelayanan supaya mendapatkan sesuatu termasuk di dalamnya pujian maka sekalipun yang saya kerjakan adalah perbuatan yang sakral tetapi kenyataannya perbuatan itu bersifat kedagingan.

A. W. Tozer berkata: “Bukan apa yang dibuat seseorang menentukan pekerjaannya suci atau sekuler; melainkan alas an mengapa dia melakukannya”.

Kita dapat menjadi hamba Tuhan dimanapun bila kita menyadari bahwa Tuhanlah yang membuka kesempatan bagi kita di tempat tersebut dan menyediakan sumber daya untuk kita kelola bagi kemuliaan-Nya.

Daniel Zacharias