Sebagian orang akan menjawab pertanyaan judul di atas dengan mengatakan bahwa ukurannya adalah terlihat dari dalamnya pemahaman teologi atau pengetahuan rohani. Namun dalam kenyataannya orang yang dalam pemahaman rohaninya ternyata seringkali berespon kekanak-kanakan dalam menghadapi ujian kehidupan. Di mailing list kristiani kita jumpai mereka yang merasa pengetahuannya benar ternyata bersikap 'kasar' dan kekanak-kanakan menanggapi orang yang mengkritik pendapat mereka. Sehingga mungkin perlu ditanyakan kembali apakah pemahamannya yang masih dangkal atau responsnya yang buruk atau merupakan gabungan dari kedua-duanya.
Sebagian lagi mungkin akan mengatakan terukur dari pengalamannya "makan asam garam" dalam dunia pelayanan. Itu pun ternyata masih kurang akurat, karena mereka yang sudah "makan asam garam" dalam pelayanan memasuki masa-masa dimana mereka tidak lagi begitu "dipakai" lagi seperti masa lalu, mereka menjadi murung, apatis, atau malah sering marah-marah, dan menjelekkan para junior dengan ukuran jaya masa lalunya yang tak lagi laku di jual di masa sekarang.
Sebagian lagi memakai ukuran dengan banyaknya karunia yang ia miliki. Seolah dengan banyaknya kharisma yang ada maka itulah ukuran kesehatan dan pertumbuhan iman mereka. Bukankah bukan rahasia lagi mereka yang berkarunia seringkali jatuh karena respon mereka yang salah ketika menanggapi orang yang meragukan karunia mereka. Memiliki perlengkapan dan kemampuan khusus dalam pelayanan tidak membuktikan seseorang sudah dewasa imannya. Itu hanya perlengkapan dan tidak langsung terkait dengan masalah karakter dan pola tanggapan dia terhadap masalah.
Ada juga mereka yang memakai jabatan-jabatan puncak atau keterkenalan dipakai dimana-mana sebagai alat ukur tumbuhnya iman seseorang. Ini juga merupakan suatu kenaifan. Tak jarang orang yang menjabat di posisi bagus memiliki sikap tidak terpuji dan teruji. Bahkan mereka yang semakin terkenal semakin sulit untuk ditemui dan mengurusi orang dalam partai kecil. Urusannya sudah borongan dan kodian tidak lagi melayani eceran. Dengan alasan lebih kepada keberfungsian lebih bukan pada tuntunan Tuhan. Padahal Filipus di Kisah Para Rasul yang barus saja mengurusi KKR di Samaria dilarikan Tuhan untuk mengurusi Sida-sida dari Ethiopia yang seorang diri saja.
Saya setuju dengan banyak orang yang berpendapat bahwa ukuran iman tumbuh dilihat dari bagaimana reaksi, tanggapan atau responnya terhadap berbagai situasi. Situasi senang apakah dia sanggup menghadapinya dengan bijaksana dan tidak mudah larut, dan situasi sulit tidak serta merta langsung membuat dia mundur. Respon kita mencerminkan siapa kita dan seberapa dalam iman kita menjadi ekspresinya. Baik respon terhadap Tuhan, respon terhadap sesama, bahkan respon kita terhadap berbagai peristiwa dan situasi yang kita alami.
Mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat ini. Tetapi bila kita sama-sama kita kaji lebih dalam, bukankah iman itu bukan sebuah keyakinan dalam belaka yang tidak kasat mata tetapi justru menjadi sebuah ekspresi utuh yang semua orang bisa melihat, mendengar, dan merasakannya, bahkan menilainya?
Mari benahi respon kita agar orang melihat Kristus dari cara kita berespon baik terhadap sesama maupun terhadap situasi yang kita alami. Deo volente!
Daniel Zacharias
-yang sedang gencar-gencarnya mempelajari respon orang, baik mereka pendeta junior maupun senior, penatua senior maupun junior, dan mempelajari diri sendiri ketika berespon-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar