31 Maret 2009

Akrab Dengan Allah: Bertindak Maksimal Bagi Allah

Matius 25:14-30

Mendengar tema berbunyi Bertindak Maksimal Bagi Allah maka timbul pertanyaan dalam batin ini: apakah Bertindak Bagi Allah sama artinya dengan Bertindak Maksimal Bagi Allah?

Jawabannya bisa dikatakan "serupa tapi tidak sama". Mengapa dikatakan "serupa"? Karena kedua-duanya merupakan tindakan yang ditujukan bagi Allah. Dan mengapa pula dikatakan "tapi tidak sama?" Karena yang satu hanya disebut "bertindak" saja, sedangkan yang lain disebut "bertindak maksimal". Rupanya kata kunci yang membedakan kedua tindakan tersebut adalah kata 'maksimal'.

Kata 'maksimal' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti:
1. sebanyak-banyaknya
2. setinggi-tingginya
3. mencapai batas tertinggi

Sehingga bertindak maksimal bagi Allah berarti: Bertindak atau melakukan suatu tindakan yang setinggi-tingginya, atau sebanyak-banyaknya, atau mencapai batas tertinggi hanya bagi Allah atau bagi pekerjaan Allah. Perumpamaan tentang talenta akan menunjukkan kepada kita bagaimana hidup dengan tindakan yang maksimal terhadap Allah.

Perumpamaan ini secara singkat mengisahkan bagaimana seorang tuan hendak bepergian ke luar negeri, dan menitipkan modal berupa talenta yang berbeda-beda pada ke-3 Hambanya, dengan urutan: Hamba ke-I diberi 5 talenta, Hamba ke-II diberi 2 talenta, Hamba ke-III diberi 1 talenta. Sekembalinya dari luar negeri ternyata didapatinya: Hamba ke-I memperoleh laba 5 talenta, Hamba ke-II memperoleh laba 2 talenta, Hamba ke-III tidak memperoleh apa-apa.

Dari kisah ini ditarik pemahaman:
Hamba ke-I: adalah gambaran dari orang yang menerima banyak dan tetap bertindak maksimal.
Hamba ke-II: adalah gambaran dari orang yang menerima sedikit dan tetap bertindak maksimal.
Hamba ke-III: adalah gambaran dari orang yang menerima sedikit dan tidak bertindak maksimal.

Dari kisah ini terlihat bahwa "bertindak maksimal" adalah Alkitabiah dan menjadi syarat bagi orang yang bekerja bagi Allah dan yang hidup akrab dengan Allah. Talenta pada masa sekarang ditafsirkan sebagai: Karunia Allah khusus bisa berupa kemampuan, bakat, kepandaian, keahlian, jabatan, harta, dll. Berkaitan dengan talenta maka tindakan yang maksimal memegang peranan yang penting, hal itu terlihat dari beberapa pokok yang kita dapat dari perumpamaan ini, antara lain:

MEMILIKI TALENTA SAJA TAK CUKUP, DIPERLUKAN PULA SUATU TINDAKAN YANG MAKSIMAL


  • Sayang sekali bila orang terlalu bangga dengan talenta-talenta yang ia miliki tetapi tindakan untuk mengembangkan talenta itu tidak ada atau tidak maksimal. Hal ini tercermin dari perbuatan Hamba ke-III.

  • Dalam pelayanan dan kehidupan keseharian tidak sedikit orang percaya yang berprinsip "asal jadi dan terlihat ada" dalam seluruh bentuk pelayanan. Karena itu jelas terlihat bahwa selain talenta diperlukan pula suatu tindakan maksimal yang mencakup Keseriusan, ketelitian, kesungguhan, kesungguhan, kerja keras, serta ketabahan.

YANG TERPENTING ADALAH BUKAN BERAPA BANYAK TALENTA YANG KITA MILIKI TETAPI PADA KEMAKSIMALAN TINDAKAN KITA



  • Hal ini jelas tercermin pada kefrustasian Hamba ke-III dan teladan dari Hamba ke-II. Di mata Hamba ke-II, jumlah talenta yang minim tak menghalanginya untuk bertindak maksimal bagi Allah. Jadi yang maksimal bukan jumlahnya tetapi tindakan terhadap talenta tersebut.

  • Banyak orang yang karena tidak mempunyai kemampuan apa-apa dan cuma bisa berdoa atau membersihkan gereja sering merasa rendah diri dan tak jarang yang kemudian menarik diri dari Gereja.

TINDAKAN MAKSIMAL DISESUAIKAN DENGAN KEMAMPUAN TIAP-TIAP ORANG
Hal utama yang harus dipahami adalah bahwa Allah itu adil (ayat 15). Semakin banyak kita menerima dari Allah maka semakin banyak yang dituntut dari kita. Mungkin semua orang tidak sama kemampuannya tetapi bertindak maksimal tetap berlaku. Alkitab sendiri menunjukkan bahwa tiap-tiap orang diperlengkapi dengan karunia yang berbeda dan yang dituntut dari orang-orang ini adalah ternyata bahwa mereka dapat dipercaya.

Ada sebuah artikel majalah yang dapat kita renungakan bersama: "tugas-tugas besok hanyalah untuk orang yang melakukan tugas-tugas kecil sekarang ini sebaik mungkin sesuai kemampuan yang terbaik".

HASIL YANG MAKSIMAL HANYA DI DAPAT DARI SUATU TINDAKAN YANG MAKSIMAL



  • Hamba ke-I dan yang ke-II adalah hamba-hamba yang bertindak maksimal (bd. kata 'menjalankan' ayat 16). Jangan pernah berharap pelajaran/pendidikan/pekerjaan/pelayanan kita akan maju bila tindakan kita tidak maksimal.

  • Seringkali ketidakmajuan dalam kinerja pelayanan dalam jemaat bukan terletak pada persoalan dana semata-mata tetapi para pelayan sering bertindak tidak maksimal. Hasil maksimal bukan mimpi tetapi merupakan konsekwensi logis dari orang yang bertindak maksimal.

TINDAKAN YANG MAKSIMAL ADALAH CERMINAN DARI KETAATAN, KESETIAAN, SERTA KASIH KITA PADA ALLAH



  • Hamba I dan Hamba II adalah Hamba yang taat dan setia. Perhatikan kata ..."baik sekali" ... hai Hambaku yang baik dan setia (ayat 21). Kebaikan dan kesetiaan kita kepada Allah tampak dalam kemaksimalan yang kita tunjukkan.

  • Orang yang memiliki kasih pada Allah berani bertindak maksimal bagi Allah/bersedia bertindak maksimal. Yakub dalam PL berani yang menanti dan berkorban selama 14 tahun karena cintanya pada Rahel. Yakub bertindak maksimal untuk hasil yang maksimal.

  • Jangan pernah kita berkata bahwa kita adalah Hamba Allah yang taat, setia serta mengasihi Allah bila kita selalu bertindak asal-asalan.

PENGHARGAAN KITA KEPADA ALLAH DAPAT DITUNJUKKAN MELALUI TINDAKAN KITA YANG MAKSIMAL



  • Kadang-kadang sulit sekali meminta teman untuk menggantikan kita berkhotbah. Apalagi menggantikan khotbah yang tempatnya jauh orangnya sedikit serta uang transportnya kecil. Kita sering terpaku pada apa yang kita terima tidak pada apa yang kita kerjakan.

  • Kita menuntut penerimaan yang maksimal tetapi pemberian kita kepada Allahpun ternyata tidak maksimal.

  • Kita salah menilai demikian, karena kita tidak melakukan itu untuk menghargai Allah tetapi agar dihargai manusia.

  • Menyesali talenta yang ada dan tidak menggunakan talenta itupun merupakan suatu tindakan yang tidak menghargai Allah.

  • Persungutan dalam mengerjakan talenta adalah suatu sikap yang tidak menghargai Allah. Apa dan siapa kita, serta apakah kita telah menghargai Allah terlihat dari semua tindakan kita, khususnya dalam mengembangkan talenta kita masing-masing. Hamba ke I dan Hamba ke II tahu menghargai tuannya. Hamba ke III tidak tahu menghargai tuannya.

Allah telah memberikan talenta pada kita masing-masing, kita juga telah menerimanya, sudahkah dan bersediakah kita mengerjakannya maksimal? Yesus yang tergantung di kayu salib bukti bahwa Allah bertindak maksimal bagi manusia.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

22 Maret 2009

Keakraban Dengan Allah Merupakan Syarat Pelayanan

Markus 10:31-45


Semua pelayanan rohani lahir dari kenyataan pengetahuan kita tentang Allah dan kekuatan persekutuan kita dengan Dia maupun Anak-Nya. Sebuah pelayanan yang berbuah dan berhasil tidak terjadi begitu saja--ada harga yang harus dibayarkan. Dan, makin berpengaruh pelayanan itu, makin mahal harganya. Pelayanan tidak dapat dibayar sekaligus; kita membayarnya dengan angsuran yang jumlahnya makin lama makin besar. Tidak ada yang disebut dengan pelayanan yang murah dan berhasil.

Harus dipahami bahwa tidak ada jalan pintas untuk pelayanan yang berpengaruh bagi Allah. Karena didorong oleh keingintahuannya, Yakobus dan Yohanes berupaya mengambil jalan pintas. Mungkin ada jalan-jalan pintas untuk memiliki keunggulan di lingkungan gereja atau wewenang di bidang administratif, tetapi itu tidak menuju pada pelayanan yang rohani. Keakraban yang sejati dengan siapapun, terutama dengan Allah, bukanlah sesuatu yang dapat dijalankan sesuka hati: itu semata-mata karena kita berdiam di hadapan Yang Mahatinggi, dan tinggal tetap di bawah perlindungan El-Shaddai.

Menyangkut Yakobus dan Yohanes, ada sesuatu yang perlu dikatakan. Setidaknya, mereka telah percaya pada kejujuran sang Guru yang berjanji bahwa "pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas tahta untuk menghakimi kedua belas suku Israel" (Mat 19:28). Namun, mereka salah menafsirkan pernyataan itu sebagai suatu peristiwa yang akan terjadi dalam waktu dekat pada waktu itu. Lebih jauh, sikap mereka yang mendekati Yesus secara sembunyi-sembunyi membuktikan bahwa mereka mengambil keuntungan untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka haus untuk menduduki posisi dan mempunyai kuasa berdasarkan tolok ukur dunia. Mereka menginginkan mahkota--tetapi mahkota tanpa duri.

Yesus tidak memiliki satu mahkota kehormatan pun yang ada hanyalah mahkota duri. Dalam menjawab pertanyaan mereka yang ambisius dan bernuansa mementingkan diri sendiri, Yesus memberi tahu mereka,"Tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa itu telah disediakan" (10:40). Posisi-posisi itu tidak secara otomatis diberikan kepada mereka yang telah mempersiapkan diri, sekalipun itu perlu dan layak dilakukan. Prakarsa itu semata-mata berasal dari Allah. Pada hakikatnya, tidak ada layanan pentahbisan yang akan menghasilkan pelayanan rohani. Allah akan memberikan posisi-posisi itu bagi orang yang telah Ia persiapkan (ayat 40).

Yesus terlalu jujur dan terlalu tulus untuk menyembunyikan dari murid-murid-Nya tentang apa yang sering membuat pelayanan rohani itu menjadi mahal. Ia ingin mereka mengikuti Dia, tetapi dengan mata yang terbuka lebar. Maka, Ia menantang mereka, "Kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuterima? (Markus 10:38). Kalau Ia membuka mereka menghadapi kenyataan bahwa ada kemuliaan tatkala mengikuti Dia, hal itu sama sekali bukan kemuliaan. Mereka harus belajar bahwa jika mereka ingin mengenal Dia dengan cara yang lebih akrab, itu harus mencakup persekutuan dengan Dia di dalam penderitaan-Nya. Mereka menjawab dengan fasih, "Kami dapat" (ayat 39), dan ini menunjukkan betapa mereka amat kekurangan pengetahuan serta percaya diri.

Yakobus dan Yohanes menginginkan posisi kepemimpinan yang berpengaruh, tetapi mereka ingin bahwa posisi itu datang dengan mudah. Yesus harus mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan meminum cawan yang harus Dia minum dan akan dibaptis dengan baptisan yang harus Dia terima (ayat 39). Akhirnya Yakobus dipancung, dan Yohanes menghabiskan sisa-sisa hidupnya dalam tempat pembuangan di Pulau Patmos. Pelayanan rohani itu mahal, dan apa yang harus ditempuh oleh sang Tuan harus dialami juga oleh seorang hamba.

Pelajaran yang kita petik ialah, jika rencana kita tidak dapat diubah sehingga kita menolak pelayanan yang biasa-biasa dan ingin memiliki pelayanan yang efektif, ingatlah bahwa akan ada harga mahal yang harus dibayar. Namun, itu akan terbukti bahwa semuanya itu memang sangat layak untuk kita kejar. Kita bahkan akan dan harus mengorbankan segalanya. Sebuah pelajaran penting yang dapat kita petik bila melihat dari tokoh-tokoh Alkitab ialah bahwa di dalam mendidik seseorang untuk pelayanan Tuhan tidak memperpendek masa pendidikan, sebagaimana yang sering kita harapkan, ia menginginkan keakraban yang lama dan mendalam bukan instan. Karena Allah mencari kualitas dalam hidup kita, waktu tidak menjadi masalah bagi-Nya.

Dengan jelas, Yesus mengucapkan prinsip utama yang revolusioner untuk kepemimpinan yang rohani, "Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mark 10:43-45).

Dalam pernyataan-Nya, Yesus menggunakan dua kata berbeda untuk "hamba". Pertama ialah sebuah istilah umum dan mengacu pada aktivitas bukan pada hubungan. Kedua ialah kata untuk "budak", dan seorang budak ialah seseorang yang tidak punya hak apapun atas dirinya sendiri, tetapi ia seutuhnya menjadi milik tuannya.

Berdasarkan hal tadi, timbullah fakta bahwa kriteria yang kita gunakan untuk menilai pelayanan rohani bukanlah jumlah pelayan yang melayani kebutuhan kita, melainkan jumlah orang yang kita layani. Keakraban yang makin berkembang terjadi dengan Dia yang mengatakan, "Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan" (Luk 22:27) akan berarti bahwa kita akan senantiasa mengambil bagian dalam roh pelayanan-Nya.

Yesus tahu bahwa prinsip menjadi hamba sangatlah tidak populer, karena kebanyakan kita tidak begitu bersedia menjadi hamba orang lain. Kendati masyarakat kita kurang menghargai sikap hamba, Tuhan kita yang juga adalah seorang Hamba telah meninggikan konsep itu dan menyetarakannya dengan kebesaran. Ia tidak mematahkan semangat seseorang untuk menjadi besar sepanjang itu diilhami oleh motif yang wajar. Apa yang Ia hakimi adalah ambisi kedagingan untuk menjadi yang terbesar.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

12 Maret 2009

Keakraban Dengan Allah Diperdalam Dengan Disiplin

Ibrani 12:5-11

Salah satu pernyataan Kitab Suci yang menantang dan penuh teka-teki ialah Ibrani 5:8-9, "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya."

Dalam ayat ke 6 tertulis, "Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak". Sebagaimana seorang ayah yang baik akan mendisiplin dan mendidik anaknya dengan penuh kasih, Allah juga akan mendisiplin kita dengan penuh kasih. Kita hidup di dalam sebuah dunia yang penuh misteri dan teka-teki yang membingungkan, jadi tidak mengherankan kalau unsur misteri pasti melanda dunia pendisiplinan ini juga. Kita harus ingat bahwa tangan yang membentuk tanah liat ialah tangan sudah ditusuk paku dan bahwa kedaulatan Allah kita tidak akan pernah berbenturan dengan peran-Nya sebagai Bapa.

Jika kita ingin menikmati keakraban yang mendalam dengan ALLah, secara rohani kita harus menyikapi cara pemeliharaan-Nya, kendati semua itu mungkin tidak dapat kita mengerti. Cara pemeliharaan-Nya bisa terjadi melalui berbagai bentuk, tetapi semuanya direncanakan di dalam kasih, dengan satu tujuan, yaitu untuk memupuk keakraban yang makin dalam dengan Allah. "Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr 12:10).

Disiplin yang mengganggu rasa nyaman
Kita hidup dalam zaman yang sadar akan rasa aman, sehingga kita berupaya menjamin dan melindungi diri dari segala kemungkinan yang tak diharapkan. Masyarakat yang makmur mempersiapkan segala sesuatu agar dapat menikmati hiburan maupun kesenangan. Mereka suka untuk merasa tenang dalam rutinitas yang enak dan menikmati kemapanan itu. Rumah yang bagus, mobil model mutakhir, rekreasi-rekreasi yang menyenangkan, liburan-liburan yang menggembirakan, teman-teman yang baik, semuanya cenderung membuat surga kurang menarik dan akibatnya materialisme menyedot perhatian mereka melebihi kerohanian.

Namun sudah kerap terbukti bahwa kemapanan maupun kenyamanan adalah musuh iman. Kemapanan maupun kenyamanan itu sendiri tidak salah, karena Allah "memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati" (I Tim 6:17). Tetapi, kalau kita tidak mawas diri, semua itu akan menjadi tujuan hidup kita yang utama dan Allah serta kerajaan-Nya secara perlahan-lahan dialihkan ke tempat yang tidak penting. Untuk menghadapi kecenderungan yang berbahaya itu, Bapa kita yang penuh kasih sekali-kali mengusik kemapanan dan kenyamanan kita. Ia memperdulikan kita supaya kita tidak akan kehilangan yang terbaik dalam hidup.

Dalam nyanyia Musa prinsip tersebut digambarkan dengan, "laksana rajawali yang menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-melayang diatas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya menampung seekor, dan mendukungnya diatas kapaknya, demikianlah Tuhan sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menuntun dia" (Ulangan 32:11-12).

Seperti yang dilakukan burung rajawali, demikianlah Tuhan melakukannya juga. Rajawali membangun sarangnya diatas gunung, pertama-tama dengan menggunakan batang dan ranting-ranting kayu, lalu dengan hati-hati ia membentenginya dengan bulu-buluan serta rerumputan. Anak rajawali kecil diteteskan di dalam sebuah sarang yang nyaman dan ideal. Hidup ini indah. Secara teratur, makanan diantarkan kepadanya. Tak ada hal lain yang diinginkannya.

Tetapi, pada suatu hari induk rajawali menunjukan aksinya. Ia merobek pembatas sarang yang lembut itu sambil dahan, ranting, serta duri-duri saja. Anak rajawali yang masih kecil tadi bingung melihat perubahan di dalam diri induknya. Tempat tinggalnya menjadi begitu tidak nyaman lagi sehingga mereka memanjat pinggirannya dan memandangi bebatuan di bawah yang selama ini merupakan daerah terlarang. Tiba-tiba, sang induk mendorong salah satu dari mereka dan anak rajawali yang masih kecil-kecil itu terjungkal jatuh hingga nyaris mati. Akan tetapi, daya tangkap induknya lebih sigap daripada jatuhnya makhluk kecil tersebut. Tetapi pada waktunya, sang induk menukik, menciduk dan meletakkan tubuh anaknya di sayapnya. Ia membawanya dengan aman di atas puncak gunung. Seperti burung rajawali demikian juga Tuhan.

Pada saat mendapat gangguan yang tidak diduga, penulis buku ini menemukan sejumlah kalimat berikut ini dari kotbah Samuel Chadwick: "Hati kita tersentuh oleh perbuatan Tuhan. Yang Mahatahu tidak memberi tahu kita terlebih dahulu. Otoritas-Nya yang tidak terbatas tidak menyisakan ruang untuk kompromi. Kasih yang abadi tidak menyodorkan penjelasan. Tuhan berharap bahwa ia dipercaya. Ia "menunggu" kita menurut kehendak-Nya. Ketetapan manusia tidak diperdulikan, ikatan keluarga diabaikan, tuntutan bisnis dikesampingkan. Kita tidak pernah ditanya apakah itu enak atau tidak bagi kita."

Jika terus dibiarkan tinggal di dalam sarang yang nyaman, sayap-sayap rajawali itu tidak akan kuat untuk terbang tinggi menantang teriknya matahari. Dibiarkan tinggal dalam kondisi nyaman dan berkelimpahan mudah bagi sayap-sayap jiwa kita untuk menjadi kaku, dan kita kehilangan semangat untuk menghadapi peperangan rohani. Pendisiplinan cara ini cocok bagi kita untuk dapat terbang tinggi.

Disiplin melalui kegelapan
Di mana pun, tidak ada orang percaya yang dijanjikan bahwa hidup itu akan serba indah. Ia juga tidak diberi kekebalan, karena ia adalah anak Allah "yang lahir ditengah-tengah kesukaran yang menyakitkan hati". Daratan yang tidak pernah merasakan apa-apa selain sinar sang surya akan menjadi padang gurun. Harus ada awan, badai dan kegelapan jika dataran itu diharapkan menjadi tanah yang subur dan menghasilkan.

Dalam hikmat dan kasih-Nya, Allah kadang-kadang membiarkan kita melewati suatu masa kegelapan yang tidak dapat dihindari, tanpa celah di sela-sela awan itu. Seakan-akan kita berada di dalam lorong yang tanpa ujung. Kadang-kadang kita sadar bahwa itu adalah dampak dari dosa kita, dan untuk itu maka kita dapat melihat bahwa hal itu memang sudah seharusnya. Namun pada saat-saat lain, kita merasa bingung karena kita tidak dapat memberikan alasan mengapa kita mengalami hal seperti itu.

Kendati kegelapan itu mungkin pekat, kita dapat merasa pasti bahwa itu adalah "yang kelam di mana Allah ada" (Keluaran 20:21). Meskipun kita tidak mungkin mampu menemukan wajah-Nya di dalam kegelapan, jika kita mengulurkan tangan iman kita, kita akan merasa genggaman tangan-Nya yang meneguhkan. "Aku ini, TUHAN, ... telah memegang tanganmu" (Yesaya 42:6).

Disiplin dalam kegelapan juga merupakan pengalaman Tuhan kita. Jauh lebih berat daripada pengalaman kegelapan fisik yang menyertai penderitaan-Nya yang sangat berat terdapat kegelapan jiwani yang menguasai Yesus ketika Bapa-Nya memalingkan wajah-Nya saat Ia menghapus dosa-dosa dunia. Ucapan yang menyayat hati keluar dari bibir Yesus_ "ALLAH-KU, ALLAH-KU, MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?" (Matius 27:46). Dalam kegelapan yang tidak dapat ditembus, kendati tidak ada seberkas cahaya pun, iman-Nya tidak goyah. Bapa-Nya tetap menjadi Allah-Nya--Allah-Ku. Apakah dalam kegelapan itu, Ia teringat akan kata-kata Yesaya, "siapa diantaramu yang takut akan Tuhan dan mendengarkan suara hamba-Nya? Jika ia hidup dalam kegelapan dan tidak ada cahaya bersinar baginya, baiklah ia percaya kepada nama Tuhan dan bersandar kepada Allahnya!" (Yes 50:10). Inilah pola pendisiplinan untuk kita. Bila saatnya tiba, celah akan muncul di sela-sela awan, lorongpun akan mempunyai ujung, dan ujian akan diperpendek manakala kita menyikapinya dengan cara yang dewasa. Lalu, kita pun akan bangkit seraya mengenal keakraban dengan Allah dengan cara yang lebih mendalam daripada sebelumnya. Bukankah itu yang dialami ketiga orang laki-laki Ibrani tatkala mereka keluar dari dapur api Nebukadnezar?

Disiplin melalui kekecewaan
Tidak pernah disebutkan bahwa Allah akan memuaskan setiap keinginan kita. Hanya keinginan yang selaras dengan kehendak-Nya dan yang terbaik bagi kita saja. Itulah alasannya mengapa kadang-kadang Ia terlihat tidak bersimpati terhadap sesuatu yang kita anggap baik.. Rahasia ini terasa makin kuat apabila kenginan kita rasanya dapat memuliakan Allah. Kita harus yakin bahwa ada sesuatu yang sudah jelas kebenarannya apabila Allah menahan sesuatu yang kita inginkan. Hal ini dilakukan-Nya karena Ia ingin menganugerahkan sesuatu yang Ia tahu lebih baik.

Banyak orang rindu melakukan sesuatu yang layak bagi Tuhan yang mereka kasihi, dan rancangan mereka kelihatannya begitu tepat. Namun, kerinduan mereka menemukan hambatan. Mereka rindu pergi ke ladang misi, tetapi kesempatan itu hilang karena sakit. Mereka bermaksud memberi banyak untuk pekerjaan Allah, namun ada kekurangan dalam segi keuangan. Mereka berencana mengikuti pelatihan pelayanan Kristen, namun tanggung jawab keluarga muncul dan mambuat rencana itu tidak dapat dijalankan. Mereka justru menjadi tidak aktif, menjadi bisu saat harus berbicara, dan tidak bisa memahami adanya kesempatan lainnya.

Kita harus ingat bahwa untuk setiap "janganlah kamu" yang mengecewakan hati, ada sesuatu "haruslah kamu" yang menyenangkan. Apabila kita menerima disiplin Ilahi dengan sikap dewasa, kita akan menemukan bahwa "ada sesuatu yang lebih baik" menunggu kita di ujung sana.

Disiplin melalui ketidakadilan
"Tindakan Tuhan tidak tepat!" Keluh orang-orang Yahudi dalam era Yehezkiel (Yehezkiel 18:2). Perasaan yang sama digaungkan pada era kita ini. Ada orang yang diperlakukan tidak adil oleh Allah. Kendati mereka tidak pernah mengungkapkannya dengan kata-kata, mereka merasa kecewa dan menyimpannya dari hadapan Tuhan dengan penuh kemarahan. Tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan mengapa ada masalah yang dihambat oleh Allah, dan ada yang tidak, mengapa ada yang di izinkan dan ada yang tidak. Mengapa, Tuhan membiarkan kepala Yakobus dipenggal ketika ia dipenjara, sementara Petrus dibebaskan oleh seorang malaikat dan kemudian membuat persekutuan doa? Jawaban satu-satunya ialah, "engkau tidak tahu apa yang Aku lakukan sekarang, tetapi kelak engkau akan mengerti"--dan, itu cukup memadai bagi iman.

Begitulah yang dialami Asaf, sang pemazmur. Ketika ia melihat bagaimana orang jahat menjadi makmur, sementara orang benar terlihat mengalami lebih banyak ujian dan pencobaan daripada yang selayaknya yang mereka terima, ia nyaris kehilangan iman. Apa gunanya ia berupaya menjalani hidup kudus apabila orang jahat menerima segala kebaikkan? Dengan sangat kecewa, ia menjerit dalam keputusasaan, "Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris akan tergelincir ... sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah ..." (Mazmur 73:2, 17).

Di dalam hadirat Allah, ketika melihat berbagai hal dari sudut pandang ilahi, Asaf memiliki imannya kembali, "dan memperhatikan kesudahan mereka, "atau nasib mereka (ayat 17).

Tujuan akhirlah yang penting, karena ada hidup sesudah kematian, tatkala ketidakadilan akan dipulihkan, tatkala yang jahat menerimia akibat atas perbuatan mereka, dan kebenaran juga mendapatkan upahnya. Masalahnya, kita tidak selalu datang di hadapan Tuhan untuk menyelesaikan persolan kita. Kita menanggapi persoalan dengan cara yang benar hanya ketika kita beralih daripada yang kelihatan sementara pada tujuan akhir yang kekal.

Kita seringkali tidak tahu apa yang tersembunyi di balik semua kesulitan yang kita hadapi. Fokus kita melenceng dari maksud Allah. Kita tidak melihat gambaran besarnya dan terpaku pada aspek-aspek pahit yang Allah pergunakan sebagai "tongkat disiplin. Dan, mungkin kita tidak tahu bahwa ada hal-hal rohani yang sedang dipertaruhkan tatkala kita mengalami pencobaan?

Namun semua orang yang harus mengalami "pembentukan dari Allah" harus melihat gambaran besarnya bahwa persekutuan mereka semakin karib dengan Allah diperdalam dengan semua disiplin rohani yang ia terima. Keakraban Allah-manusia yang digambarkan dalam relasi orang tua-anak tidak mengabaikan adanya upaya sang orang tua untuk mendewasakan si anak agar hubungan dengan orang tuanya diperdalam.

Bila Allah memberikan disiplin pada kita hal itu berarti Ia rindu agar kita lebih mengenal-Nya dapat lebih bergantung pada-Nya, dan lebih dekat dengan-Nya.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

02 Maret 2009

BULUH YANG PATAH TERKULAI TIDAK AKAN DIPUTUSKANNYA

Matius 12:15b-21
15b Banyak orang mengikuti Yesus dan Ia menyembuhkan mereka semuanya. 16 Ia dengan keras melarang mereka memberitahukan siapa Dia, 17 supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: 18 "Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan; Aku akan menaruh roh-Ku ke atas-Nya, dan Ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa. 19 Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak dan orang tidak akan mendengar suara-Nya di jalan-jalan. 20 Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan di-padamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang. 21 Dan pa-da-Nyalah bangsa-bangsa akan berharap."

Walaupun banyak mujizat yang terus Yesus lakukan namun Ia melarang dengan keras agar mereka tidak memberitahukan tentang siapa Dia. Dalam naskah asli Yunani hanya dikatakan: “membuat Dia menjadi nyata”. Boleh jadi Yesus melarang mujizat-Nya diumumkan supaya jangan fungsi-Nya sebagai “tabib ajaib” saja, Yesus tidak mau selalu dikerumuni orang sakit karena hal ini dapat menjadi halangan dalam tugas-Nya yang penting sebagai pengkhotbah dan sebagai pengajar murid-murid-Nya. Kemung-kinan juga ada alasan tambahan bagi Yesus yaitu bahwa pada waktu itu Ia mau sedikit bersembunyi dari musuh-musuh-Nya (ayat 15a). Dalam hal ini kelihatannya Matius mengutip Yesaya 42:1-4 (dalam bentuk yang sedikit lebih bebas) untuk memperlihatkan bahwa cara bekerja Yesus adalah cara yang tenang dan kadang-kadang agak tersembunyi dan hal ini sesuai dengan nubuat dalam PL.

Tetapi Matius mengatakan: “lihatlah, cara Yesus adalah persis sama sama dengan cara hamba Tuhan di Yesaya 42:1-4. Hamba Tuhan itu adalah oknum yang dipilih dan dikasihi oleh Tuhan, dan yang dipenuhi dengan Roh Kudus, sebagaimana halnya pada Yesus; pada pembaptisan di sungai Yordan, Yesus menerima Roh Kudus dan suara dari surga menyebut-Nya orang yang dikasihi Allah.

Dalam Yesaya 42 dikatakan bahwa hamba Tuhan menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa, hamba Tuhan tidak akan berteriak dan memperdengarkan suaranya di jalan, yang berarti bahwa hamba Tuhan tidak akan tampil ke muka dengan kekerasan. Nubuat inilah yang dipenuhi dalam Yesus. Yesus bekerja dengan terang. Ia tidak memakai kekerasan bahkan kadang-kadang menyingkir ka-rena musuh-musuh-Nya (Mat 12:15a). Dan Ia tidak mencari per-bantahan yang hebat dengan orang Farisi.

Dalam Yesaya 42:3 dikatakan bahwa hamba Tuhan akan penuh kasih; Ia tidak akan mematahkan buluh yang patah terkulai dan tidak akan memadamkan sumbu yang pudar nyalanya. Di dunia ini menurut J. J. de Heer orang yang lemah seringkali menyerupai buluh yang patah terkulai dibiarkan saja. Namun nubuat Yesaya digenapi dan dipenuhi secara lengkap di dalam diri Yesus. Betapa besar perhatian dan kasih Yesus terhadap orang yang lemah, orang sakit dan orang yang berdosa, yang sudah seperti “buluh yang patah terkulai”. Sifat itu selalu nyata pada Yesus. Misalnya pada waktu Petrus tiba-tiba diliputi ketakutan dan menyangkal Yesus, tetapi kemudian menangis tersedu-sedu karena menyesal, namun Yesus tidak membuang Petrus melainkan membangunnya. Begitulah sifat Yesus sampai sekarang ini.
Ada satu kenyataan yang tak dapat dipungkiri oleh orang percaya di mana pun, yang berada dibawah kolong langit ini, yakni bahwa mereka masih dapat mengalami berbagai kesulitan dalam hidup mereka. Orang percaya sesaleh apapun suatu saat bisa saja diijinkan Allah mengalami kekurangan, dicurangi orang lain, difitnah, kele-mahan tubuh atau sakit, kehilangan orang yang disayangi, kepahitan, kekecewaan, kuatir, dan kemalangan. Gambaran ini se-jajar dengan apa yang diumpamakan dengan istilah “buluh yang patah terkulai” atau “sumbuh yang pudar nyalanya”.

Di Israel, “buluh” mirip dengan pohon yang batangnya memiliki ruang. Para gembala seringkali mengambil batangnya dan di-buatlah sebuah seruling sederhana yang memberikan penghiburan tatkala mereka kesepian berada di tengahpadang dalam tugas penggembalaannya. Karena batang dari buluh itu tidak begitu kokoh maka dapat saja menjadi patah. Dan ketika patah, gembala tersebut tidak memutuskannya atau membaginya menjadi dua (ada perasaan sayang yang tercipta karena ikatan batin), tetapi malah menyambungnya dengan mengganjalnya menggunakan buluh yang lain. Sumbu pun mengalami hal yang sama. Ketika ia mulai redup, maka ia tidak dipadamkan tetapi terus dipergunakan dengan terus menambahnya dengan ujung sumbu baru.

Pengertian bagian ini sesuai dengan Yes 42:4, dimana dikatakan bahwa Hamba Tuhan tidak akan menjadi pudar, sampai Ia menegakkan hukum di bumi. Hal ini akan dipenuhi dalam Kristus. Walaupun Kristus bekerja dengan tenang, tanpa kehebohan, dan banyak orang berusaha untuk membungkam-Nya, namun pada akhirnya Ia berhasil dan akan menjadikan hukum Allah menang di dunia.

Dalam penerapan terhadap manusia maka nas ini hendak mengatakan kepada kita bahwa “sekalipun kita mengalami kemalangan” seperti nasib “buluh yang patah terkulai” tetapi Allah tidak akan membiarkan kemalangan tersebut “menghancurkan kehidupan orang percaya” sejajar dengan ungkapan “tidak akan diputuskan-Nya”. Memang setiap orang percaya masih memiliki kemungkinan untuk “patah terkulai” tetapi Allah tidak akan membiarkannya sampai “putus” atau “diputuskan”.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb