07 Agustus 2008

Sakral Di Tengah Dunia Yang Sekuler

Minggu lalu sepulang dari Menado saya membalik-balik kembali buku Dr. Jimmy B. Oentoro, "GEREJA IMPIAN: MEMBANGUN GEREJA DI LANSKAP YANG BARU". Tulisan beliau menginspirasikan saya untuk menulis artikel ini.

I Korintus 10:31
“Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah”.

Kolose 3:17
Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semua itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.

Selaku gereja kita menghadapi dua catatan sejarah yang penting bagi kita saat ini untuk mengingatnya. Pertama, yang baru saja berlalu pada hari Selasa lalu tepatnya tanggal 29 Juli 2008, dimana Sinode GKO berusia 29 tahun.

Dan terhitung 2 minggu kedepan dari sekarang kita selaku bagian dari bangsa ini akan merayakan HUT RI yang ke-63.

Di antara 2 catatan sejarah penting ini setidaknya membuat Gereja dalam hal ini GKO mengkaji ulang kiprahnya di negeri ini.

Sampai detik ini kita selaku gereja masih hidup dalam dua pembedaan (dikotomi) antara yang SEKULER dan yang SAKRAL.

Seseorang bernama Philip A. Clemens, Ketua dan CEO dari Clemens Family Corporation, mengatakan bahwa seringkali mereka yang mengakui Kristus pada hari Minggu tidak pernah membawa Dia ke tempat kerja pada hari Senin. Padahal Allah memanggil kita untuk hidup bagi-Nya dalam segala aspek kehidupan termasuk pekerjaan.

Reihold Niebuhr menyebutnya Christ and Culture in Paradox atau dengan kata lain Kristus dan Budaya dalam paradoks. Di satu sisi dia adalah orang yang sangat rajin ke gereja, namun di dunia kerja dia dapat menjadi apa saja, termasuk menajadi binatang buas buat sesamanya. Prinsipnya urusan di laut jangan di bawa ke darat.

Kenyataannya memang sudah terjadi cukup lama orang memisahkan antara yang “sakral” dan yang “sekuler”. Yang “sakral” maksudnya adalah KEHIDUPAN YANG ROHANI dan KEGIATAN YANG ROHANI yang bisa dilakukan di gereja. Sedangkan yang disebut yang “sekuler” maksudnya adalah kehidupan sehari-hari di dunia kerja dan profesi.

Akibat dari pemisahan ini ada 2:
1. Kesaksian hidup orang percaya di mata orang yang belum percaya menjadi tidak efektif.
2. Tidak terlihat dampak nyata dari umat Tuhan dalam kehidupan sekuler.

Bagaimana Alkitab menilai hal-hal semacam ini?

Dalam I Korintus 10:31:
Jika engkau MAKAN atau MINUM.
MELAKUKAN SESUATU YANG LAIN
Lakukan itu bukan untuk diri sendiri tetapi lakukan itu untuk KEMULIAAN ALLAH. Bagi Paulus tujuan dari semua perbuatan adalah apakah ALLAH DIMULIAKAN atau TIDAK?

Pekerjaanmu walau bukan pekerjaan pendeta atau penatua, tetapi engkau mengerjakan tugasmu dengan jujur, menjunjung tinggi etos kerja, tidak mengerjakan kecurangan, tidak korupsi, tidak membuat celah-celah tercela untuk mendapat keuntungan, maka TANPA SADAR kita sedang MEMULIAKAN ALLAH.

Sebaliknya, walaupun kita berkubang tiap hari di atas tumpukan perkataan-perkataan Firman tetapi kita tidak jujur, curang sana sini, bohong sana sini, fitnah sana sini, jatuhkan orang sana sini, cari celah atau kalau bisa buat celah-celah yang tercela, maka TANPA SADAR kita sedang MELECEHKAN ALLAH DAN HUKUM-HUKUMNYA.

Jika kita mengerti apa yang Paulus maksudkan maka KITA TIDAK AKAN MEMISAHKAN KEHIDUPAN KEROHANIAN DENGAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI.

Dr. Jimmy Oentoro mengatakan: Kita malah memberi arti rohani dan memperjuangkan nilai-nilai kerohanian dalam setiap kehidupan kita: baik itu dalam pekerjaan, karir, keluarga, dll.

ORANG KRISTEN HANYA DAPAT BERPERAN MAKSIMAL BILA ORANG LAIN DAPAT MELIHAT BAHWA MEREKA DAPAT MENGGABUNGKAN YANG ROHANI DAN SEKULER, IMAN DAN PEKERJAAN MEREKA, DI LUAR ITU YANG ADA HANYALAH KETIMPANGAN ATAU KETIDAKMAKSIMALAN.

Dalam Kolose 3:17:
SEGALA SESUATU YANG KAMU LAKUKAN
Bentuk: PERKATAAN atau PERBUATAN.
DALAM NAMA TUHAN YESUS
MENGUCAP SYUKUR

Paulus tidak pernah memisahkan antara yang sakral dan yang sekuler, Paulus hanya membedakan antara perbuatan daging dan perbuatan roh. Tidak selamanya perbuatan daging itu adalah sekuler dan perbuatan roh itu adalah sakral.

Contoh:
Bila saya mengerjakan pelayanan supaya mendapatkan sesuatu termasuk di dalamnya pujian maka sekalipun yang saya kerjakan adalah perbuatan yang sakral tetapi kenyataannya perbuatan itu bersifat kedagingan.

A. W. Tozer berkata: “Bukan apa yang dibuat seseorang menentukan pekerjaannya suci atau sekuler; melainkan alas an mengapa dia melakukannya”.

Kita dapat menjadi hamba Tuhan dimanapun bila kita menyadari bahwa Tuhanlah yang membuka kesempatan bagi kita di tempat tersebut dan menyediakan sumber daya untuk kita kelola bagi kemuliaan-Nya.

Daniel Zacharias

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ya spt yg dibilang Masdar Hilmy, tidak ada kaitan antara ibadah dan moralitas. Seolah-olah saleh beribadah padahal sebetulnya penjahat. Gak heran kalo negri ini penuh carut marut gak keruan shg sering ditimpa bencana. Sedihnya, ada org2x Kristen yg masuk gol itu dan kebetulan jadi "petinggi" di negri ini. Malangnya, org2x spt itu masuk lingk grj dan jadi petinggi pula di grj sekaligus donatur terbesar. Weleh2x, mulai deh membangun power di situ, ngatur sana ngatur sini. Sedihnya lagi, grj meneng wae (kt org jw) krn ada ketergantungan. Padahal duit yg ditrima itu kemungkinan besar hasil korupsi. Wuih, cape deh. But....I'm sure this doesn't happen in GKo BJ, ya toh pak?