11 Juli 2008

Mendatangkan Kebaikan

Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah

Patut kita renungkan bersama bahwa Allah memakai berbagai cara, baik yang menyenangkan ataupun tidak untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Kata “kita” dalam hal ini bukan serta-merta karena kita Kristen tetapi karena kita mengasihi-Nya (mengasihi=menaati dan melakukan perkataan-Nya; bnd. Yoh 14:15, 21, 23).

Allah memakai berbagai peristiwa dan situasi bagi KEBAIKAN kita dan bukan untuk mendatangkan KEUNTUNGAN apalagi KESENANGAN. Memang rasanya akan sama saja bila mengartikan kata KEBAIKAN, KEUNTUNGAN, dan KESENANGAN. Namun bila kita renungkan lebih jauh maka sesuatu yang Allah rancangkan yang mendatangkan KEBAIKAN itu belum tentu MENYENANGKAN apalagi MENGUNTUNGKAN. Pengertian kata KEBAIKAN di sini adalah berdasarkan penilaian Allah dan bukan penilaian subyektif kita.

Kita semua tahu bahwa ayat di atas seringkali mendapatkan perlawanan sinis dari beberapa orang yang mengatakan, “Apa? Kebaikan? Gak salah tuh?” Hal itu muncul karena penilaiannya disandarkan pada cara pandangnya sendiri bukan cara pandang-Nya. Seolah Allah akan atau sedang melakukan malapraktek dalam mengurusi manusia. Memang cara-cara-Nya sangat tidak menguntungkan dan menyenangkan kita, namun hal itu tidak berarti Dia tidak sedang melakukan yang terbaik bagi kita atau tidak mendatangkan hal yang baik bagi kita. Kita sering mendengar orang dengan mudahnya memberi penilaian terhadap apa yang Allah telah perbuat atas kehidupannya. Terkadang pula kita bersikap kurang ajar dengan menyudutkan-Nya dengan penilaian lewat analisis yang sangat buruk. Pertimbangan kita egosentris selalu mengatakan yang TERBAIK adalah yang MENGUNTUNGKAN kita atau yang MENYENANGKAN kita!

Sebagai contoh di dunia kesehatan, demi kebaikan kita, seorang dokter akan melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu kenyamaman kita seperti membersihkan luka, menyuntik, mencabut gigi, atau bahkan terpaksa harus memotong kaki (amputasi), namun semua itu dilakukan demi KEBAIKAN kita. Tindakan dokter tersebut bisa saja membuat kita kehilangan sukacita, dan rasa nyaman kita berubah menjadi cemas dan rasa sakit.

Masihkah kita sekarang menanti kebaikan Allah dengan penilaian subyektif kita?

Allah bisa memakai persoalan, tantangan, dan kepedihan, sakit-penyakit, bencana, bahkan kematian orang yang sangat kita kasihi untuk mendatangkan KEBAIKAN bagi kita dan hal itu sangat tidak menyenangkan kita.

Lalu baik apanya?
Tidak mudah memang untuk mengetahui bila persoalan, tantangan, dan berbagai kesulitan hidup kita terjemahkan sebagai bagian dari cara Allah. Bahkan tidak sedikit mereka yang adalah orang Kristen yang malah tersandung dengan masalah-masalah semacam ini dan kemudian pada akhirnya mundur dari imannya. Hanya orang benar dan beriman yang dapat membaca sesuatu di balik kepedihan yang ia alami. Penderitaan bagi orang benar bukanlah kutuk tetapi adalah bagian dari cara Allah untuk mendatangkan kebaikan.

Kita mungkin bisa saja SEIMAN dengan tetangga kita namun itu tidak berarti tetangga kita adalah orang yang BERIMAN. Dibutuhkan lebih dari sekedar kata SEIMAN untuk memahami cara Allah yaitu kata BERIMAN. Baik Habakuk maupun Rasul Paulus sama-sama mengakui bahwa ORANG BENAR ITU HIDUP OLEH PERCAYANYA (Hab 2:4; Rom 1:17).

Masihkah kita sampai di titik ini berpikir bahwa kebaikan Allah memiliki dasar penilaian yang sama dengan kebaikan kita? Renungkanlah bahwa IA SELALU tahu yang TERBAIK bahkan TERBAIK dari apa yang menurut kita paling baik.

Pdt. Daniel Zacharias, MTh.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hi hi, lama ndak mampir pak dan ternyata mampir di saat yang tepat.

Renungan yang menarik untuk orang yang sering mengeluh kaya saya, he he :D

Dan memang benar ya, kalau Dia itu mungkin ndak selalu memberikan yang kita minta atau kita bayangkan, namun selalu memberikan yang TERBAIK dan berguna.