01 November 2008

Karakter Anak dan Guru Sekolah Minggu Yang Serupa Kristus

Tujuan Sekolah Minggu
Apakah Tujuan Sekolah Minggu itu? Siapa yang menentukan? Apakah tujuan Sekolah Minggu di satu gereja berbeda dengan tujuan sekolah minggu di tempat lainnya? Apakah tujuan Komisi SM berbeda dengan tujuan komisi lainnya? Untuk tujuan jangka pendeknya mungkin dapat berbeda dan saling bervariasi, tetapi untuk tujuan akhirnya semua sama. Dan perlu diingat bersama bahwa tujuan yang sama itu jangan pernah dikorbankan dengan tujuan-tujuan jangka pendek dari masing-masing bidang.

Thomas H. Groome dalam bukunya Christian Religious Education mengatakan “I suggest that our metapurpose as Christian religious education is to lead people out to the Kingdom of God in Jesus Christ” (tujuan pendidikan anak adalah menuntun umat memasuki Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus).[1] Dan pemahaman kita tentang Kerajaan Allah harus sesuai dengan pemahaman Yesus, namun dalam penerapannya kita perlu menafsirkan ulang semua simbol dan perumpamaan yang Yesus pergunakan dalam kenyataan kontemporer sekarang dan disini.[2] Dalam mencapai sasaran tersebut Yesus Kristus sendiri mengajarkan murid-murid-Nya untuk melakukan 2 hal sebagai prasyarat:

Pertama, MENYERUPAI KRISTUS DALAM INKARNASINYA
Ia mengajarkan para murid-Nya demikian: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh 15:4). Oleh Yohanes arti “tinggal dalam Kristus”: “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (I Yoh 2:6). Jadi Yohanes menunjuk KESERUPAAN DENGAN KRISTUS YANG BERINKARNASI sebagai prasyarat mutlak hidup dalam Kerajaan Allah. Di bagian lain Paulus mengatakan bahwa semua skenario Allah menuju pada sebuah maksud selama manusia ada di dunia yaitu keserupaan dengan Kristus (Roma 8:29)[3].

Kedua, BERPUSAT PADA DIRI KRISTUS
Rasul Paulus menyatakan dalam Efesus 4:15: “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala”. Kristus menjadi arah pertumbuhan dari setiap orang percaya yang mencakup seluruh aspek hidupnya (“di dalam segala hal”).

Sehingga keterlibatan anak maupun guru di dalam Kerajaan Allah disamping merupakan anugerah Allah juga menjadi tanggung jawab manusia untuk mengembangkan karakter yang ada dalam dua ranah: KESERUPAAN SEPERTI KRISTUS (CHRIST-LIKE) dan KRISTOSENTRIS (CHRISTOCENTRIC).

MENGAPA HARUS SERUPA DAN BERPUSAT PADA KRISTUS?

Mengapa harus serupa Kristus? Mengapa tidak serupa seperti para tokoh inspirasional di dunia ini yang dapat memberi teladan?

Perlu kita ingat bahwa pokok persoalannya bukanlah mencari seorang teladan tetapi lebih pada model yang sejati sehingga manusia menjadi manusia dalam ukuran Allah bukan ukuran manusia. Dalam Roma 8:29 disebutkan di sana bahwa kita dirancang sedemikian rupa agar kita serupa dengan gambaran Kristus sewaktu berinkarnasi. Skenario Allah diarahkan sedemikian agar manusia meneladani Kristus sebagai manusia yang berkenan kepada Allah. Sehingga dengan kata lain, Allah tidak memiliki standar lain bagi manusia selain Kristus. Menjadi serupa Kristus adalah menjadi seperti yang Allah inginkan dan maksudkan.

Jatuhnya manusia ke dalam dosa membuat gambar Allah dalam diri manusia menjadi rusak dan kejatuhan yang dalam(total depravity). Pemulihan gambar Allah hanya terjadi dengan pengorbanan Kristus yang menjadi manusia dan menebus manusia dan memungkinkan kembali manusia untuk memiliki gambaran yang baik. Target Allah bagi manusia sangat jelas: MENJADI SERUPA DENGAN KRISTUS dan HIDUP MEREKA BERPUSAT PADA KRISTUS!

APA ITU KARAKTER?

Rasul Paulus mencatat dalam II Korintus 4:16: “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari”(bagian tebal oleh penulis). Paulus menyebut manusia batiniah mengalami pembaruan dari hari ke sehari sebagai bagian yang antagonis dengan manusia lahiriah. Pembaharuan dalam hal ini menyangkut masalah karakter manusia.

Karakter menurut Tim LaHaye merupakan diri anda yang sebenarnya. Alkitab menunjukkan sebagai “manusia batiniah yang tersembunyi” (I Pet 3:4).[4] Karakter merupakan hasil dari temperamen alami anda yang dimodifikasi oleh pelatihan, pendidikan, pendirian-pendirian dasar, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan motivasi-motivasi masa kanak-kanak. Kadang-kadang karakter ditunjuk sebagai “jiwa” dari seseorang, yang dibentuk oleh pikiran, emosi, dan kehendak. Mungkin dengan gamblang dapat dikatakan bahwa karakter itu adalah seperti apa adanya anda bila tidak ada seorang pun di sekitar anda. Apa yang anda perbuat ketika anda memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang ingin anda lakukan, itu merupakan sebuah ekspresi dari diri anda sendiri. Tim LaHaye selanjutnya menguraikan bahwa kepribadian merupakan ekspresi yang keluar dari pribadi seseorang yang dapat sama atau tidak sama dengan karakter seseorang, tergantung kepada seberapa murni keberadaan orang itu. Dan seringkali kepribadian merupakan bagian depan yang menyenangkan untuk sebuah karakter yang tidak menyenangkan atau sebuah karakter yang lemah[5].

BAGAIMANA CARANYA MEMBENTUK SEBUAH KARAKTER SERUPA KRISTUS?

Yakoep Ezra, mengenai pokok ini, tidak langsung berbicara tentang sebuah pohon yang besar dan rindang tetapi malah berbicara tentang benih yang harus ditumbuhkan[6]. Karakter Kristus tidak tumbuh dalam semalam. Sehingga seperti benih yang tumbuh perlahan menjadi pohon yang lebat. Proses ini menurut Yakoep Ezra[7] meliputi:

1. Tentukan benih apa yang akan ditumbuhkan
Ada sekitar 50-an kualitas karakter yang dapat dipilih sesuai kebutuhan anda dan area kelemahan yang dimiliki. Buatlah prioritas karakter mana yang ingin didahulukan. Karena setiap benih karakter membutuhkan perlakuan, respons, dan penanganan tertentu.
2. Tempatkan benih pada media yang subur
Untuk menumbuhkan benih-benih karakter, maka media yang tepat ialah dengan menjaga sikap hati. Tanah hati yang baik memberikan hasil panen berlipat kali ganda. Berikanlah kesempatan dan peluang seluas-luasnya untuk menyediakan ruang yang cukup bagi pertumbuhan benih-benih karakter kita.
3. Bersihkan benih dari semua penghambat
Beberapa penghambat yang perlu disingkarkan dari diri kita ketika kita menumbuhkan benih karakter serupa Kristus di dalam diri kita antara lain: sikap enggan untuk berubah, kesombongan, kecurigaan, emosional, kemunafikan, acuh atau bahkan bersikap masa bodoh. Suka menghakimi, menyalahkan orang lain atau diri sendiri.
4. Suburkan benih sesuai keadaan
Benih yang ada tidak otomatis tumbuh sehingga memerlukan siraman perhatian dan kebenaran firman Allah.
5. Hargai setiap pertumbuhan sekecil apapun.
Harapkan dengan optimis dan hargai setiap pertumbuhan sekecil apapun. Karena rasa optimis dan apresiasi adalah motivator terbaik untuk diri pribadi.

Dan sesudah ke-5 hal tersebut dijalankan maka kemudian rencanakan kembali penanaman benih yang selanjutnya.

BAGAIMANA MELETAKANNYA DALAM KURIKULUM SEKOLAH MINGGU?

Dalam pendidikan ada pengajar yang berorientasi pada goal oriented tetapi ada pula yang pada kurikulum atau method oriented bahkan ada yang child centred education. Perlu kita ingat bahwa kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri. Sehingga kurikulum yang ada harus benar-benar menolong anak maupun guru mencapi tujuan bersama. Dengan pemahaman tentang tujuan-tujuan PAK di atas maka isi kurikulum PAK mencakup ruang lingkup yang luas untuk dipelajari.

V. Gilbert Beers menjabarkan ada 50 karakter pembentukan karakter serupa Kristus[8]. Dan sikap-sikap tersebut bisa dilatih dan ditumbuhkan pada anak. Bila kita memilih salah satu karakter Kristus yaitu KETAATAN (Ibrani 5:8[9]) maka kita dapat mengajarkannya dengan cara sebagai berikut:
a. Mengajarkan perilaku TAAT.
b. Memberi penguatan positif (reinforce) pada perilaku TAAT.
c. Menolak dengan tegas perilaku yang bertentangan dengan KETAATAN.
d. Membuat suasana yang membantu anak dapat menumbuhkan KETAATAN positif[10].

BAGAIMANA MENGAJARKAN SOAL KETAATAN?

Tujuan PAK: Umat dituntun memasuki KERAJAAN ALLAH DALAM YESUS KRISTUS yang meliputi KESERUPAAN DENGAN KRISTUS sebagai GAYA HIDUP dan BERPUSAT PADA KRISTUS sebagai ORIENTASI HIDUP. Misalkan kita memilih mengajarkan KESERUPAAN DENGAN KRISTUS dan BERPUSAT PADA KRISTUS ini dalam satu tahun maka dalam satu tahun paling sedikit kita dapat mengajarkan 10-12 topik untuk hal tersebut. Dan pokok-pokok yang sekitar 50 topik baru dapat diselesaikan dalam 4 tahun. Misalnya untuk tahun 2009:

Pokok-pokok Bahasan:
Januari – OBEYING
Juli – GENTLENESS
Februari – HONOR
Agustus – FAIRNESS
Maret – SELF CONTROL
September – HONESTY
April – FOLLOWING
Oktober – GENEROSITY
Mei – HOPE
Nopember – PATIENCE
Juni – THANKING
Desember – LOVE

Dalam membahas soal KETAATAN (OBEYING) perlu dilihat keseimbangan muatan dalam penjabarannya kepada naradidik melalui analisis taksonomis Bloom. Taksonomi ini merupakan kriterium yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu tujuannya. Taksonomi itu membagi rata penyebaran pendidikan dalam aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik[11].

Segi Kognitif mencakup: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis. Segi Afektif mencakup: memperhatikan, merespon, menghayati nilai, mengorganisasikan, dan mempribadikan bilai atau seperangkat nilai. Sedangkan segi psikomotorik meliputi: persepsi, set, respon terbimbing, respon mekanistis, dan respon kompleks[12]. Membahas KETAATAN dalam ketiga segi ini akan menjadi:

SEGI KOGNITIF
· Agar naradidik mengetahui tentang ketaatan dengan benar sebagai Karakter Kristus yang perlu dikenakan kepada dirinya.
· Agar naradidik mengetahui cara menerapkan ketaatan itu dalam relasi dengan Tuhan dan Keluarga.
· Agar naradidik mengetahui hal-hal yang dapat merusak dan menghambat munculnya ketaatan.

SEGI AFEKTIF
· Agar naradidik diajar untuk mulai memiliki kemampuan untuk membedakan antara ketidaktaatan dan ketaatan.
· Agar naradidik diajar untuk mengamati dan memperhatikan sikapnya terhadap Tuhan dan orangtua apakah sudah mencerminkan ketaatan atau belum.
· Agar naradidik menghayati nilai-nilai ketaatan dalam relasinya dengan Tuhan dan sesama dan mempribadikan nilai-nilai tersebut dalam dirinya.

SEGI MOTORIK
· Agar naradidik memiliki kesiapan untuk menunjukkan nilai ketaatannya dalam aspek hidup sehari-hari. Melatihnya mulai dari respon terbimbing, respon mekanistis, dan respon kompleks.

Bagaimana dengan Multiple Intelligences (MI)?
MI hanya menolong guru untuk menerapkan nilai-nilai spiritual kepada anak-anak lebih kontekstual sesuai dengan kompetensinya. Misalnya KETAATAN KEPADA BAPA sebagai pokok bahasan.

Mereka yang memiliki Kecerdasan Matematis-Logis [13] diajarkan bagaimana mereka menghitung uang kembalian dagang dengan benar dan mengembalikan dengan tepat. Sehingga kebenaran mereka bukan hanya pada saat mereka menghitung dengan cermat tetapi saat mereka dengan jujur mengembalikan uang yang harus dikembalikan. Dengan mereka diajarkan bertindak jujur dan tepat itu berarti mereka telah menunjukkan sikap ketaatan kepada Bapa.

Kecerdasan Musikal[14] diajarkan untuk menyanyikan atau memainkan lagu-lagu yang memuat konsep ketaatan dan sesudah meminta anak untuk menjelaskan syair lagu tersebut sesuai dengan penghayatannya.

Kecerdasan Kinestetik-Jasmani[15] diajarkan bagaimana menunjukkan sebuah tarian atau pantomim yang menggambarkan soal ketaatan, dan siswa diminta untuk menjelaskan kembali makna gerakannya sebagai pencerminan pemahamannya terhadap ketaatan.

Rahasia di Balik Kurikulum: Pengaruh Rohani (Impartasi)
Guru harus lebih dahulu memiliki karakter Kristus dan hidup berpusat pada Kristus.

Ketaatan guru:
Teladan guru dalam hal ini (baik terlihat maupun tidak memiliki pengaruh):
· Taat kepada Allah dalam hidup sehari-hari.
· Taat kepada orangtua/suami.
· Taat kepada pemimpin rohani (otoritas).
· Taat kepada kesepakatan bersama.

Berpusat Pada Kristus:
· Lebih taat kepada Allah daripada manusia.
· Kehidupannya tidak dikendalikan oleh nilai-nilai yang malah menjauhkan dirinya dari berpusat pada Kristus.


[1]Thomas H. Groome, Christian Religious Education: Sharing Our Story and Vision (San Fransisco: Harper & Row, 1980), hlm. 35.
[2] Ibid., hlm. 45.
[3] “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara”
[4][4] Tim LaHaye, Temperamen Yang Dikendalikan Roh (Bandung: Cipta Olah Pustaka, 2003), 19.
[5] Ibid., hal. 20.
[6] Jakoep Ezra, Success Through Character (Yogyakarta: Andi Offset, 2006), hal. 16.
[7] Ibid., hal. 16-19.
[8] V. Gilbert Beers, I Want To Be Like Jesus (Pennsylvania: SP Ministries), hal. 4-7. Beers mencatat antara lain: Humility, Wisdom, Obeying, Serving, Trust, Sympathy, Self-Control, dll.
[9] “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya”,
[10] Stans Ismail, “Mendidik Cinta Kasih dan Kepedulian” dalam Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan: Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hal. 176-180.
[11] Benjamin S. Bloom, (ed.), Taxonomy of Education Objectives, Handbook I: Cognitif Domain (New York: David McKay, 1956); David R. Kratwohl, Benjamin S. Bloom, & Betram B. Masia, Taxonomy of Educational Objectives, Handbook II: Affective Domain (New York: David McKay, 1964). Bagian ini tidak didalami khusus dengan anggapan bahwa telah dibahas oleh pembicara sebelumnya, yang pokok bahasannya erat kaitannya dengan hal tersebut.
[12] W. James Popham dan Eva L. Baker, Bagaimana Mengajar Secara Sistematis (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 40-43.
[13] Thomas Armstrong, Menerapkan Multiple Intelligences di Sekolah (Bandung: Kaifa, 2002),
[14] Ibid., hal. 11.
[15] Ibid., hal. 10.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Tidak ada komentar: