20 Desember 2007

Efesus, Ketika Ortodoksi Terlalu Mahal

Eka Darmaputera - 2002

KINI yang tampak hanyalah puing yang terpuruk sepanjang enam mil. Tak ada lagi kapal yang bisa merapat ke pantainya. Padahal di abad-abad pertama, Efesus adalah pelabuhan tersibuk di kawasan Asia Kecil. Itu lumrah belaka, bila di antara tujuh jemaat yang disebut-sebut dalam kitab Wahyu, jemaat di kota inilah yang disapa pertama-tama.

Efesus memang bukan ibu kota provinsi. Namun, pamornya jauh lebih berkilau ketimbang Pergamus, ibu kota yang sebenarnya. Ia terkenal dengan julukan ”metropolis pertama dan terbesar di Asia”. Bahkan saking kagumnya, seorang pujangga, menyebutnya ”Lumen Asiae” atau ”Cahaya Asia”.

Sebagai kota pelabuhan terbesar, dan sekaligus titik temu tiga jalur utama perdagangan darat, Efesus adalah salah satu kota niaga terpenting di seluruh kekaisaran Roma juga pintu gerbang antara Asia dan Eropa. Gubernur Roma yang baru akan mulai bertugas harus mendarat dulu di Efesus sebelum ke Pergamus.

Sebaliknya, para saudagar yang akan ke Roma mesti bertolak dari sini. Ketika para martir Kristen diangkut ke Roma untuk dijadikan mangsa singa dan sebagainya, mereka juga diberangkatkan dari sini sehingga Ignatius menyebut Efesus sebagai ”Jalan Raya Para Syuhada”.

DALAM bayangan kita, kota sebesar, sesekular dan sekomersial Efesus pasti membuat kehidupan penduduknya jauh dari sifat religius dan norma-norma moral yang terpuji. Dalam hal moralitas, dugaan Anda benar. Tapi tentang religiositasnya, Anda salah. Kota ini adalah pusat pemujaan Dewi Artemis. Kuilnya dibangun begitu indah sehingga digolongkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Di samping itu, Efesus juga kesohor dengan kuil-kuil pemujaan kaisar serta dewa-dewi lainnya. Singkat kata, Efesus adalah lahan subur bagi agama-agama kafir. Tapi bagaimana religiositas bisa berdampingan dengan imoralitas? O, bisa saja! Ini amat biasa di mana-mana. Juga di masyarakat kita, bukan?

Di Efesus, keduanya terpadu dan menyatu harmonis sekali, melalui kehadiran ratusan gadis cantik jelita yang berfungsi rangkap sebagai imam dan sebagai pelacur suci di kuil-kuil Artemis. Orang-orang Romawi menyatukan diri dengan pujaan mereka dengan cara menyetubuhi pelacur-pelacur ”suci” itu. Di samping sebagai sentra kehidupan seks bebas, Efesus juga merupakan pusat berkumpulnya penjahat-penjahat buronan kelas kakap dari segala penjuru. Di sini konon berlaku aturan, penjahat apa pun yang berhasil mencapai Efesus akan memperoleh suaka, dan bebas dari kejaran hukum. Melihat peri kehidupan moral seperti ini, pantaslah Heraklitus, filsuf Yunani pra-Socrates yang paling terkemuka dikenal sebagai ”The Weeping Philosopher”. Filsuf yang menangis. Ia menangisi kebobrokan dan keborokan kotanya.

SAYA tak akan berbicara lebih panjang lagi mengenai Kota Efesus. Informasi di atas sekadar dimaksudkan agar Anda memperoleh gambaran, bagaimana sulitnya hidup setia sebagai jemaat di tengah-tengah konteks seperti itu. Sulitnya menerapkan ”filsafat ikan” : di dalam air, tapi tidak tenggelam. Tapi justru dalam hal inilah, jemaat ini istimewa. Wahyu Yohanes menjelaskan, jemaat ini memperoleh pujian yang luar biasa. Jarang-jarang Tuhan memuji sebuah jemaat seperti itu. Pertama, karena jemaat ini hidup. Giat, aktif, dan kerja keras. Tuhan suka pada jemaat yang dinamis bukan jemaat yang beku atau suam-suam kuku atau yang mati enggan, hidup pun tak mau. Kedua, karena jemaat ini amat serius dengan imannya. ”Committed” penuh terhadap kemurnian ajaran. Karena itu, mereka sangat mewaspadai pengajar-pengajar sesat dan nabi-nabi palsu. Yohanes menyebut mereka ”tidak sabar terhadap orang-orang jahat”.
Bagi mereka, ajaran iman itu bukan ”nasi rames”, comot sana comot sini asal enak, tak peduli apakah perut akan sakit dibuatnya nanti. Pengetahuan mereka akan ajaran yang benar memampukan mereka menelanjangi para serigala yang berbulu domba, dan ”mendapati mereka pendusta”. Ketiga, jemaat ini dipuji karena keuletan, ketabahan, dan kerelaan mereka untuk menderita dan berkorban demi Kristus. ”Engkau tetap sabar dan menderita oleh karena namaKu; dan engkau tidak mengenal lelah”, kata Tuhan. Sedikit sekali, bukan, jemaat yang seideal ini? Aktif dalam kegiatan, serius dalam ajaran, dan berani dalam berkorban. Saya mengenal banyak jemaat yang aktif, sayang ajarannya amburadul penuh tahayul. Ada lagi yang ajarannya lempang, tapi lalu jadi dingin dan kaku. Sedang yang lain, ramai dengan kegiatan serta serius dalam ajaran, tapi kurang tahan berkorban. Jemaat Efesus tidak!

TOH dalam Alkitab, jarang-jarang kita membaca kecaman Tuhan yang sekeras seperti yang ditujukanNya kepada jemaat yang ”ideal” ini. Jemaat Efesus diingatkan Tuhan, tentang ”betapa dalamnya engkau telah jatuh”. Diserukan, ”Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan”.

Apa gerangan kesalahan fatal jemaat teladan ini? Menurut kitab Wahyu, ”Aku mencela engkau karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula”. ”Meninggalkan kasih yang semula”. Rupa-rupanya yang terjadi adalah begitu fanatiknya jemaat ini memegangi ortodoksi, mereka lalu melihat yang lain sebagai musuh yang harus ditumpas, bukan sebagai domba yang mesti dicari, atau sebagai sesama yang mesti dikasihi. Mereka juga terserang penyakit sombong rohani, merasa diri benar sendiri. Di dalam, saling menuding. Dan ke luar, eksklusif serta menutup diri. Itulah yang terjadi, ketika kasih ditinggalkan.

Komitmen terhadap ortodoksi tentu saja penting. Tuhan memuji jemaat Efesus dalam hal ini. Jemaat yang ”jorok” dalam hal ajaran, artinya apa saja ditelan asal enak, akan menjadi jemaat yang membiarkan diri dipimpin oleh spekulasi dan teori rekaan manusia, bukan lagi oleh kebenaran Firman Tuhan. Yang boleh jadi menarik dan menyenangkan, tapi pasti menyesatkan. Saya melihat gejala mengerikan ini kian mengharu-biru gereja-gereja kita di Indoensia. Waspadalah!

Namun, toh jangan sekali-kali mempertahankan dan memper”tuhan”kan doktrin dengan mengorbankan kasih! Sebab kebenaran tanpa kasih, bukan lagi kebenaran. Lagipula ketika kasih ditinggalkan, apa yang tinggal? Sebagaimana halnya jiwa, walau memang bukan segala-galanya, tapi bila manusia kehilangan jiwa apa lagi yang tersisa?

Kasih tidak berarti mentoleransi kesesatan, apa lagi kebejatan. Bila kebenaran bisa ditegakkan tanpa kasih, kasih tidak dapat diwujudkan tanpa kebenaran. Bedanya adalah kasih berusaha mengoreksi, bukan memvonis mati. Kasih mengampuni, bukan mengutuki. Kasih membawa kembali, bukan mengusir pergi.

Kepedulian utama ortodoksi adalah seperangkat prinsip kebenaran pasti, sedangkan kasih, kepedulian utamanya adalah manusia. Dan tak syak lagi, bagi Tuhan, manusia adalah yang terpenting. Paling sedikit, manusia lebih penting dari prinsip. Bila tidak demikian, itu berarti kita telah membayar terlalu mahal. ”Siapa bertelinga hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan roh kepadanya”.

Sumber:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0203/11/fea01.html

Tidak ada komentar: