II Samuel 11:1-27
Alkitab tidak pernah memuji-muji pahlawan-pahlawannya. Semua pria dan wanita di dalam Kitab Suci memiliki kaki dari tanah liat yang lemah, dan Roh Kudus adalah seniman yang sangat realistis, ketika Ia melukis sebuah gambar mengenai kehidupan mereka. Ia tidak mengabaikan, menyangkal, atau melewati sisi yang gelap dari manusia.
Jika kita mendecakkan lidah atau menggelengkan kepala kita karena malu terhadap perbuatan Daud, maka kita sepenuhnya telah mengabaikan peringatan: "Sebab itu siapa menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (I Korintus 10:12). Berwaspadalah sebab daging Daud dan kita sama-sama lemah. Jika kita tidak berhati-hati maka daging kita akan memimpin kita ke dalam serbuan dosa yang sama, dan konsekuensi dan dukacita kita akan sepahit konsekuensi dan dukacita Daud. Allah memberitahukan kita detil-detil kejatuhan Daud ini supaya setiap orang dapat melihat dengan jelas ke mana nafsu itu memimpin dan apa konsekuensinya.
Daud saat itu berusia kira-kira 50 tahun atau mungkin beberapa tahun lebih tua. Ia telah berada di atas tahta kira-kira 20 tahun. Dan selama itu ia sudah membuktikan dirinya sebagai orang yang karib dengan Allah, seorang penggubah mazmur, sebagai seorang gembala yang setia, sebagai seorang prajurit yang gagah berani di medan pertempuran, dan sebagai seorang pemimpin dari rakyatnya. Maka ketika kita melihat segmen berikutnya di dalam kehidupan Daud, maka mengertilah kita bila kita sedang memeriksa kehidupan seorang ke dalam suatu situasi berdosa dan merusak relasinya dengan Allah. Dosa yang diperbuatnya mengandung konsekuensi yang menghancurkan bagi keluarganya, pemerintahannya, dan negaranya. Rupanya kita belajar pula bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu muda atau bahkan terlalu tua untuk jatuh.
Apa yang terjadi dalam peristiwa kejatuhan Daud ini erat kaitannya dengan kecenderungan-kecenderungan yang ia buat sebelumnya yakni nafsu dan poligaminya yang dengan diam-diam mengikis ketulusan hatinya (II Sam 5:13).
Kejatuhan yang fatal itu terjadi pada "waktu raja-raja itu biasanya maju berperang" (II Samuel 11:1). Seharusnya Daud sedang memimpin pasukannya, tetapi ia mengabaikan tugasnya demi kenikmatan tidur siang yang panjang dan santai. "Sekali peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya" (11:2). Daud memanjakkan dirinya sendiri di luar batas-batas hikmat. Ia mungkin mendorong kembali alas tidurnya, menegakkan tubuhnya, menguap beberapa kali, dan kembali tidur, sampai ia bosan tidur. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan-jalan sehingga ia menggeser tirai-tirai dan melangkah keluar menuju sotoh. Raja-raja Timur seringkali membangun kamar tidur mereka di tingkat dua istana dan mempunyai pintu yang terbuka ke tempat yang disebut sotoh. Seringkali tempat itu diperlengkapi dengan mewah, suatu tempat untuk duduk-duduk bersama keluarganya atau dengan penasihat-penasihatnya. Terletak di luar jangkauan publik dan jauh dari jalan, tempat itu dirahasiakan agar orang-orang tidak dapat melihatnya. Dan di sanalah Daud mendapatkan dirinya pada malam yang tidak terlupakan tersebut.
Tatkala sedang berjalan-jalan di atas sotoh istana, dari kejauhan ia mendengar suara cipratan air dan kemungkinan pula senandung dari bibir wanita yang sangat cantik yang tinggal persis di seberang istana, berada pada jarak pandang yang jelas dari halaman belakangnya sendiri (II Sam 11:2). Daud berhenti. Daud membelalak selama jangka waktu yang tidak ditentukan! Daud melihat seorang perempuan yang sangat elok rupanya sedang mandi. Berkali-kali ia melihat ke arah perempuan itu dan ini menyalakan nafsu birahinya. Di dalam benaknya yang diisi dengan nafsu, ia membayangkan kesenangan seks dengan wanita cantik itu. Daud dengan segala kesalehannya tidak dapat mengatasi dirinya. Daud kehilangan pengendali atas hawa nafsunya.
Tak cukup dengan imajinasi kotornya Daud malah menginginkan wanita itu sekarang dan ia menanyakan hambanya tetapi hambanya berkata: "Itu adalah Batsyeba binti Eliam, isteri Uria orang Het itu", hamba itu agaknya sudah menawarkan peringatan bahwa "wanita itu sudah menikah!" Tetapi Daud tetap menginginkan agar kedagingannya tersalur, dan akhirnya ia berzinah dengan Batsyeba sementara suami perempuan itu berada jauh di medan perang (II Sam 11:4). Sang perkasa telah jatuh dan ketika ia mendengar Batsyeba berkata, "Aku mengandung", Daud bertindak memasuki kehidupan berdosanya lebih jauh lagi dan makin menjauh dari Allahnya.
Perbuatannya itu tentunya sudah cukup serius, namun hamba Allah itu masih menurunkan harkatnya sampai ke tingkat yang paling rendah. Untuk menutupi dosanya, dengan licik ia merancang dan merekayasa kematian salah satu dari bawahannya yang paling setia--suami dari perempuan yang memikat hatinya tersebut. Beberapa kali ia ingin "cuci tangan" dengan membiarkan Uria tidur dengan isterinya agar tidak ketahuan perbuatannya tetapi rencana itu ternyata gagal (II Sam 11:6-13). Rencana Daud yang dibuat dalam kepanikannya pada akhirnya mengandung akibat yang lebih parah yakni pembunuhan atas Uria (II Sam 11:14-21).
Beberapa orang kudus di dalam Alkitab mengalami dan menghayati keakraban yang begitu mendalam seperti Daud. Mazmur-mazmurnya sarat dengan ungkapan penyembahan dan ibadah yang menandai hubungannya yang luar biasa akrab dengan Allah. Hubungan itu bahkan terpelihara di tengah-tengah bahaya maupun kesusahan yang terus-menerus menimpanya. Berkali-kali, ketika dikepung musuh dan hatinya merasa putus asa, kepercayaannya kepada Allah memungkinkan dia untuk menembus awan-awan pengahalang dan ia kembali menikmati sinar surya dan hadirat Allah.
Ketika diselamatkan dari tangan Saul, ia menaikkan lagu pujian dan penyembahan di bawah ini, yang menjadi ungkapan khas mengenai kasih dan kesetiaan kepada Allahnya.
"Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku!
Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!
Terpujilah TUHAN, seruku; maka akupun selamat dari pada musuhku."
(Mazmur 18:2-4)
Tragisnya, karena kecerobohannya yang sesaat, orang yang digambarkan Kitab Suci sebagai "orang yang berkenan di hati-Ku [Allah]" (Kis 13:22), kehilangan keakraban yang berharga dan masuk ke dalam dunia yang gelap sebagai pelaku perzinahan dan pembunuhan. Bagi kita, sebuah perubahan yang yang tiba-tiba dan drastis ini tampak mustahil, tetapi itu terjadi oleh karena kita belum menemukan atau menyadari sisi-sisi serta seluk-beluk hati kita sendiri yang gelap.
Dalam bukunya Temptation, Dietrich Bonhoeffer menulis:
"Di dalam tubuh kita terdapat kecenderungan terhadap hasrat yang sedang tidur, yang sifatnya mendadak dan ganas. Hasrat memegang kekuasaan atas daging, dengan kekuatan yang tidak dapat ditahan ... Pada saat inilah Allah menjadi agak tidak nyata bagi kita [Ingatlah kata-kata tersebut.] Kita kehilangan semua realita, dan hanya hasrat terhadap mahluk itu saja yang nyata. Satu-satunya realita hanyalah si iblis. Pada saat ini setan tidak memenuhi kita dengan kebencian terhadap Allah, tetapi dengan kelupaan terhadap Allah ..."
Dalam satu detik yang fatal, ia kehilangan keakrabannya dengan Allah. Ia tidur dengan Batsyeba. Hanya demi kepuasan sesaat, ia mengorbankan hubungannya dengan Allah. Noda hitam itu merupakan suatu peringatan bagi semua bangsa dari segala lapisan usia bahwa kepribadian mereka bisa ternoda sekalipun mereka sudah dewasa. Dalam sekejap, prestasi yang sudah diraih sepanjang hidupnya menjadi ternoda. Sejarah gereja ditaburi dengan kisah-kisah tragis yang sama. Seandainya Daud mampu melihat lebih dahulu buah pahit yang dihasilkan dari tatapan matanya yang penuh berahi, ia tentunya akan lebih cepat kehilangan tangan kanannya daripada diperbudak oleh daya pikat kedagingan.
Dosa Daud bukan saja meninggalkan bekas yang tidak dapat dihapus dalam hidupnya sendiri, melainkan juga melibatkan keluarga maupun bangsanya. Tidak ada satupun di antara kita yang berdosa sendirian. Yang lebih buruk dari segalanya ialah: karena kecerobohannya, ia kehilangan senyum Allah.
Kita mungkin tidak jatuh ke dalam dosa yang tidak dapat diterima masyarakat umum sebagaimana yang dilakukan Daud itu, tetapi apakah dosa-dosa dan kegagalan kita lebih diterima di mata Tuhan? Semua dosa memutuskan persekutuan dan keakraban dengan Allah, menghasilkan perasaan bersalah, dan membawa orang yang berdosa itu dalam suatu kondisi terhilang, yang memedihkan hati, untuk sementara dan selamanya.
Pelajaran lain yang dapat kita petik adalah bahwa tidak ada yang disebut sebagai dosa sederhana. Dosa selalu kompleks, dan pusaran-pusarannya bergulung-gulung sampai ke laut. Dan semua kejahatan itu timbul dari tatapan mata yang penuh birahi ketika ia bersantai-santai di saat yang tidak semestinya.
Jika kita sedang bermain-main dengan dosa kedagingan, maka kita hidup pada waktu yang singkat sebagai anak Allah. Tidak ada yang lebih berbisa, tidak ada yang lebih terkutuk bagi kehidupan, daripada dosa-dosa tersembunyi dalam daging. Tidak ada yang memberikan amunisi terbesar kepada musuh untuk melancarkan pernyataan-pernyataan hujatan kepada gereja Allah daripada tindakan kompromi yang diam-diam seperti itu. Dan akibat yang paling parah adalah keakraban dengan Allah menjadi hilang.
Basilea Schlink, seorang penulis Kristen, pernah menulis demikian tentang sebuah keakraban yang hilang: "Saya mulai melihat bahwa hubungan dengan Tuhan Yesus Kristus dari tahun ke tahun terkikis, ibarat sebuah perkawinan yang mulai menjemukan. Apa yang saya lakukan manakala saya melihat ada waktu luang pada suatu hari Minggu atau hari libur? Saya tidak sabar untuk berkumpul bersama orang-orang lain--orang-orang yang saya sukai, orang-orang yang mempunyai kesamaan--sehingga kami dapat berbagi gagasan maupun pengalaman. Atau, saya membaca sebuah buku yang seru. Atau, saya pergi menikmati alam. Bahkan, saya membenamkan diri untuk melakukan hal-hal yang untuk mengerjakannya membutuhkan waktu yang lama. Tetapi, untuk datang kepada Yesus--untuk memberi-Nya pengakuan saya yang pertama pada waktu luang saya, itu tidak lagi saya lakukan".
Daniel Zacharias
education from womb to tomb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar