11 Februari 2009

Pendidikan Yang Berorientasi Kehidupan:

Renungan Terhadap Pendidikan Nilai Kita

Apa sebenarnya arah pendidikan kita? Agar siswa mendapatkan pekerjaan? Agar mereka menjadi duta-duta yang mengharumkan sekolah kita sehingga hal itu akan membuat sekolah kita akan diminati oleh banyak calom mahasiswa di masa yang akan datang? Atau menjadi sekedar kendaraan yang dapat kita pakai dalam rangka membantu pemerintah menampung tenaga kerja di negeri yang sedang langka-langkanya orang mendapatkan pekerjaan yang layak? Atau agar siswa dapat menjalankan kehidupan mereka dengan baik dan mengisinya dengan hal-hal yang bertanggung jawab? Setiap sekolah punya visi dan misi pendidikan namun pertanyaannya apakah visi dan misi itu sendiri sudah sejalan dengan hakikat visi dan misi pendidikan yang sesungguhnya? Dan apakah pelaksanaannya benar-benar tetap berada dalam koridor visi dan misi tersebut?

Jawaban itu bergantung pada sudut pandang dari pelaksana pendidikan itu sendiri. Alangkah baiknya bila kita sekarang kita merenungkan kisah berikut ini:

Ada tiga orang petani yang sedang mengolah sawahnya. Seseorang mendatangi mereka dan menanyai petani pertama,
“Apa yang sedang anda lakukan?”
“Lho, anda tidak melihat jika saya sedang membalik-balik tanah?”
Petani kedua ditanyai hal yang sama,
“Apa yang sedang anda lakukan?”
“Oh, saya sedang mempersiapkan penanaman padi”
Dengan pertanyaan yang sama petani ketiga menjawab,
“saya sedang memberi makan banyak orang”

Tiga petani melakukan hal yang sama namun orientasi jawaban mereka berbeda-beda. Petani pertama sangat pragmatis seolah tanpa tujuan. Tindakannya hanyalah sebuah aktivitas. Petani kedua memiliki tujuan yang realistis namun hanya berorientasi pada aktivitas diri sendiri. Petani ketiga memiliki tujuan yang idealis dan diarahkan kepada kepentingan banyak orang. Bagi saya jika ketiga pandangan tersebut digabung maka ada sebuah orientasi yang lengkap. Mulai dari orientasi yang mendetail dan terbatas sampai dengan membalik tanah sampai orientasi ideal yang cakupannya sangat luas.

Pelaksana pendidikan seringkali begitu berkeinginan untuk sekadar tujuan pragmatis dan realistis yang akibatnya seringkali mereka kehilangan tujuan idealisnya. Pendidikan yang hanya bertujuan membuat siswa cerdas dan trampil hanya membuat mereka secara kognitif dan psikomotorik terasah dengan baik namun segi afeksinya sering dikorbankan.

Disana sini beberapa dosen atau guru dengan otak dan keterampilan cemerlang seringkali dengan semena-mena mengorbankan nilai-nilai yang penuh kehormatan dan dengan naïf menggantinya dengan kekritisan berpikir ala barat yang telah kehilangan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Penghormatan kepada yang lebih tua seringkali telah luntur karena siswa diajarkan untuk menghormati dan menyegani kepada pengajar yang “punya otak” dan “punya keterampilan”. Anak didik kita menjadi begitu cerdas dan trampil tapi tak punya sikap yang baik terhadap orang lain kecuali hanya buat mereka yang dapat memberikan anak-anak kita pekerjaan. Pendidikan kita bukan diarahkan kepada sebuah keutuhan kehidupan tetapi pada orientasi cari kerja, dapat uang, dan selesai. Kemudian kita mengukur keberhasilan pendidikan kita dari berapa banyak lulusan kita yang telah mendapat pekerjaan (alat ukur semacam ini hanya menguntungkan unsur kognitif dan ketrampilan saja tetapi sama sekali tidak mencerminkan keberhasilan mereka memiliki nilai-nilai kehidupan). Kehidupan tidak dilihat dari sekedar dapat kerja atau tidak, berjabatan atau tidak, tetapi juga berperilaku atau tidak.

Diseretnya pejabat-pejabat tinggi negara ke dalam sel karena perilaku buruk sebenarnya sedang memberitahukan kepada kita di masa kini bahwa pendidikan yang telah menggeser pendidikan nilai sedang melahirkan generasi-generasi yang hanya akan mengulang kesalahan orangtuanya.

Pendidikan agama di sekolah atau di kampus seringkali mendapat porsi dan perhatian di berbagai kalangan sebagai pendidikan suplemen yang ada atau tidak sama sekali tidak mempengaruhi. Pendidikan agama yang seharusnya memberi nilai bagi semua isi otak dan perilaku mahasiwa sering tidak dianggap penting. Pendidikan agama akhirnya menjadi sekadar basa-basi kurikulum. Tidak jarang kita jadi ikut-ikutan gaya barat yang atheis dengan menggeser mata kuliah agama dari sekolah atau kampus dengan alasan sekolah atau kampus bukanlah mesjid, gereja, pura, dsb. Mereka keliru besar, pendidikan agama justru membantu mahasiwa atau siswa melihat bidang telaah mereka dengan worldview yang bertanggung jawab dan etis. Cakupan pendidikan agama sebenarnya berangkat dari pemahaman dogma yang bertanggung jawab (ortodoksi) akan mengantarkan siswa kepada sebuah nilai-nilai yang bertanggung jawab (ortopathi) dan akhirnya bermuara pada perilaku yang benar (ortopraksis).

Pendidikan nilai seyogyanya harus berangkat dari pendidikan di dalam rumah (keluarga) sebagai basis pendidikan seseorang. Susahnya banyak orangtua tidak mengerti bahwa pendidikan nilai itu ada dalam rumah dan dia berpikir dengan menyekolahkan anaknya dia bisa terbebas dari tanggung jawab tersebut. Dan bila anaknya berkelakuan buruk maka dengan serta merta dia menyalahkan pihak sekolah sebagai tokoh dibalik kegagalan perilaku anaknya. Padahal anak tersebut belasan tahun berada di tangan orangtuanya dan baru satu dan dua tahun berada di kampus itu pun tidak setiap hari dan hanya beberapa jam. Dan itu semakin diperparah ketika para pengajar di sekolah juga tidak mau tahu soal nilai-nilai perilaku mahasiswa (entah karena tidak peduli atau karena sudah putus asa atau bosan mengingatkan) dan akhirnya lebih mengedepankan nilai-nilai aktual dari hasil evaluasi di atas kertas yang berbunyi A, B+, A- (amin!).

Skema yang baik buat pendidikan sebenarnya harus dimulai dari rumah sebagai lembaga primer pendidikan nilai. Para orangtua harus diingatkan untuk tidak hanya melahirkan anak dan memberi makan tetapi juga mendidik mereka dengan nilai-nilai sosial dan religius yang benar dan bertanggung jawab. Pendidikan di luar rumah adalah suplemen dari pendidikan nilai-nilai dalam rumah. Sehingga pendidikan di luar rumah jangan mengkhianati pendidikan dalam rumah dengan mengabaikan apa yang pernah diajarkan dalam rumah.

Perlu juga pihak sekolah mengamati perilaku para pengajar yang secara obyektif tidak hanya dilihat dari isi otak dan keterampilannya tetapi juga para perilakunya. Para pengajar seringkali memiliki kelemahan di sisi ini dan kemudian menggesernya dan menekankan secara berlebihan pada kepintaran dan keterampilan. Mereka menutupi perilaku tidak terpuji mereka dengan mengedepankan hal-hal yang membuat siswa terkagum-kagum (dan akhirnya tertipu): isi otak mereka yang luar biasa dan keterampilan mereka yang memukau. Prinsip mereka: “mendingan kelakuan buruk tetapi pintar daripada berkelakuan baik tetapi bloon”. Saya pikir prinsip semacam ini adalah sebuah pembodohan sekaligus penyesatan yang berangkat dari ketidakmampuan para cendekiawan mengelola norma yang bertanggung jawab dalam dirinya.

Rasanya sekarang kita menyimak akan kata-kata orang bijak di masa lalu: “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau”.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Tidak ada komentar: