13 Februari 2008

Teologi Di Persimpangan Jalan: Way of Thinking atau Way of Living?

John Stott pernah menulis pemikiran bila teologi itu setidaknya berjalan dalam satu urutan bahwa teologi bukan saja way of thinking tetapi juga adalah way of living.[i] Bagi saya ini sebuah ungkapan kembar yang saling melengkapi, dan tanpa salah satunya teologi tidak dalam kondisi seimbang atau malah disebut pincang. Mengapa?

Tidak sedikit orang yang paradigmanya sudah terjajah dengan konsep pincang ini. Begitu bicara tentang kata ‘teologi’ bagi yang mereka bereaksi ekpresif (kecuali yang apatis) akan muncul dua kemungkinan:

  • Kemungkinan pertama, orang tersebut begitu menentangnya karena dianggap produk akal. Sehingga semua bentuk atau istilah gerejawi yang berbau teologi harap disingkarkan dari hadapan mereka. Mereka memberikan penilaian sedemikian karena mereka kaget ketika harus menghadapi kenyataan bahwa mereka yang memakai akal mereka di dalam gereja justru malah menanamkan kelemahan iman dan lebih percaya kepada pertimbangan dan logika manusiawi.
  • Kemungkinan kedua, orang tersebut malah memujanya, karena ini merupakan tempat sekaligus kesempatan untuk ekspresi dari isi kepala sebagai bagian dari tantang jawab berbagai pertanyaan yang berangkat dari kerinduan mencari kebenaran atau karena didorong rasa penasaran belaka.

Tidak bisa dipungkiri bahwa jemaat kita dijalari sikap-sikap demikian. Dan akibat langsung yang terasa adalah bahwa tidak jarang yang satu akan menuding kutub lainnya tanpa sadar bila apa yang mereka ajukan itu masih dalam jalur yang tidak tepat. Sebab soalnya sebenarnya tidak terletak pada pada teologi sebagai way of thinking (WoT) tetapi pada saat teologi menjadi way of living (WoL). Keprihatian saya justru terletak pada beberapa hal berikut:
1. Ketidakmampuan kita membahas WoT membuatnya tetap seperti itu tanpa mengetahui apa implikasi riilnya dalam hidup umat. Dan kita bilang kepada umat, "ini hal rumit kamu tidak bisa memahaminya". Padahal sebenarnya adalah bahwa kita tidak bisa menerapkannya karena terlalu asyik dengan pesona wacana teologis.
2. WoT sering dianggap final ketika kita bisa membuktikan atau menerangkan sebuah misteri alkitabiah, padahal kemudian umat kebingungan ketika akan menerapkannya dalam keseharian. 3. Adanya jurang pemisah yang begitu lebar antara memahami kebenaran Alkitab dan melakukannya. Seringkali sebuah teologi diterima dan dirasa cukup ketika memiliki referensi ratusan buku, mendapat pengakuan dari berbagai denominasi, atau malah diturunkan dari masa ke masa. Padahal di titik tersebut teologi baru mewujud dalam sebuah pernyataan dan tulisan dan belum operasional dalam hidup umat.
4. Teologi dianggap sebagai bahan perdebatan. Dan mereka yang memenangkan perdebatan merasa memiliki teologi yang benar atau jauh lebih tepat tanpa merasa harus mewujudkan apa yang diyakininya dalam perilaku sehari-hari. Saya melihat bagaimana orang-orang di beberapa milis dengan gagahnya membela kebenaran (yang diyakini) dan dengan gampangnya melecehkan lawan debat atau bicaranya sebagai mereka yang keliru dan tidak berpandangan sejenis mereka.

Saya malah melalui tulisan ini melakukan semacam otokritik:

a. Agar saya berhenti mengkhotbahkan dogma atau barang sejenis yang sarat dengan pengajaran (historis, filosofis, dogmatis) yang pada gilirannya hanya memunculkan doksologi dan anggukan kepala tanpa perubahan mendasar dalam diri.
b. Agar saya berhenti mendebat ajaran yang cuma pada sebuah kepuasan logis atau atas dasar kebenaran apologetis sementara saya tidak mengalami perubahan atau menikmati teologi apologetis itu dalam keseharian. Perdebatan yang terkadang asal bicara dan asal kutip terkadang hanyalah sebuah ketrampilan membaca, menghafal, dan mengutip tetapi tidak tahu cara menafsirkannya.
c. Agar ada semacam kesinambungan antara apa yang saya kotbahkan dengan apa yang lakukan. Tidak sedikit gereja-gereja mengajarkan pengajaran-pengajaran yang luar biasa, misalnya soal persatuan, soal solidaritas, soal kedaulatan Allah, soal manusia gambar Allah, tetapi setelah turun ke lapangan mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka penuh dengan dokumen dan penerjemahan berbagai artikel bahkan buku tetapi tidak melakukan apa-apa. Mereka yang benar-benar membela manusia sebagai Imago Dei dan secara apologetis menghadapi The Origin of Species dari C. Darwin, dalam kenyataannya masih terpancing dan terlibat mempertebal perbedaan suku dan ras dalam komunitas gerejanya. Betapa tidak konsistennya gereja berbuat demikian.
d. Ajaran yang cuma mengandalkan ketebalan karya atau keantikan waktu hanyalah sebuah museum yang cuma menjadi kenang-kenangan tetapi tak dapat memberi jawab dalam kenyataan sehari-hari. Berkiblat di salah satu sumbu Calvinisme atau Arianisme menunjukkan mereka cuma melanjutkan tradisi yang tidak cerdas dan kreatif. Kalau pun memang mereka lebih canggih paling tidak hanyalah dari segi peralatannya namun dari segi paradigmanya hanya berganti sampul saja (apa bedanya dengan bus PPD?).

Bagi saya teologi yang bertanggung jawab adalah teologi yang mengubah pikiran (budi) dan operasional mengubah hidup seseorang dan menghidupi kehidupannya.

Ketika saya pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “Hadirat Allah Tempat Pikiran Seseorang Diubahkan”, maka tidak sedikit mereka yang merasa diberkati tetapi juga ada beberapa gelintir orang yang bersikap nyinyir. Malah menghubungkan perubahan seperti Hitler dan sejenis juga karena ada di hadirat Allah. Betapa naifnya reaksi tersebut, itu terjadi karena mereka yang telah bersikap demikian tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya pengertian itu tidak bisa dipahami sembarangan atau dipukul rata begitu saja. Kenyinyiran dan sikap merendahkan orang lain adalah bentuk dari ketidakkonsistenan antara WoT dan WoL. Kristus sendiri menyuruh orang untuk melihat buahnya bukan akalnya walau Ia memerintahkan kita untuk mengasihi-Nya dengan segenap akal budi kita. Buah itu tak lain dan tak bukan adalah WoL.

Doa:
Ampuni saya Tuhan bila saya sempat terlibat cara-cara rendah seperti itu, biarlah di kemudian hari saya menjadi orang yang memahami teologi dan menerapkannya secara bertanggung jawab dan riil di tengah masyarakat sekarang dan di sini. Dan biarlah di dalam milis ada berbagai orang yang lebih mengedepankan kebenaran perdebatan ketimbang kebenaran praktek hidup sehari-hari.


Daniel Zacharias
Bintaro Jaya
http://dapetza2007.blogspot.com/

[i] John R.W. Stott, “A Theology: A Multidimensional Discipline” dalam Donald Lewis & Alister McGrath, peny., Doing Theology for the People of God (Downers Grove: IVP, 1996).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Kulo nuwun, ....
Tadi mampir ke sini dari tempatnya pak de CB :-)

Wah, post tulisannya berat ya pak.
Maklum, awam. He he, saya ndak pandai dalam teologi dan sebenarnya tidak benar-benar tahu teologi itu sebenarnya apa.

Namun saya tertarik dengan pemikiran bapak kalau :
"Bagi saya teologi yang bertanggung jawab adalah teologi yang mengubah pikiran (budi) dan operasional mengubah hidup seseorang dan menghidupi kehidupannya."

Karena saya paling sedih jika melihat orang yang tampak "religius" dengan pemahaman alkitab yang tampak hebat, namun tidak serta merta mengubah sikap dan pemikirannya tentang orang di sekitarnya.

Berkali-kali saya bilang pada diri sendiri, capailah pikiran jernih dan kerendahan hati. Setan bisa masuk lewat banyak hal kecil atau besar namun tidak dari kerendahan hati.

Tapi ya masih sering gagal, he he.
Susah je.

Dapetza mengatakan...

satuju ... sama-sama berjuang dah kita!

dapetza