08 Oktober 2008

Disakiti Tapi Tak Membalas 2: Daud

Sikap iri hati selalu melahirkan kerusuhan dan malapetaka. Apa yang terjadi pada Yusuf adalah karena iri hati saudara-saudaranya maka apa yang terjadi pada Daud juga disebabkan oleh iri hati mertuanya sendiri, Saul. Karena kedengkian amat sangat maka mereka berkejaran dari satu tempat tandus ke tempat tandus lainnya. Iri hati bebas menguasai hati siapa saja mulai dari orang biasa bahkan seorang raja. Saul adalah orang berbadan besar dan berjabatan tinggi tetapi kecil dalam karakter. Kontras dari Saul dan Daud adalah Saul bertubuh besar berjiwa kecil dan Daud bertubuh kecil namun berjiwa besar.

Daud dan orang-orangnya berlindung di antara batu-batu karang dan gua-gua di En-Gedi. Charles R. Swindoll mengambarkan bahwa gua-gua tersebut melubangi tebing-tebing dan merupakan tempat ideal untuk menyamarkan keberadaan mereka. Di dalam pertempuran, lokasi yang lebih tinggi selalu lebih selalu lebih unggul daripada yang lebih rendah, dan di sanalah Daud berada – di tempat yang tinggi. Daud berada pada lokasi dengan persediaan air yang melimpah dan aman terlindung[1].

Saul yang sedang terbakar kebenciannya itu memburu Daud ke berbagai penjuru, dan di tengah-tengah pengejarannya yang penuh dengan dendam kesumat ia harus menjawab panggilan alam untuk membuang hajat di sebuah gua. Dan gua tersebut bukan gua yang sembarangan karena di dalam gua itu ada Daud dan orang-orangnya sedang bersembunyi.

Melihat Saul sedang dalam posisi yang sangat lemah maka orang-orang di sekitar Daud mendorongnya, ”Telah tiba hari yang dikatakan TUHAN kepadamu: Sesungguhnya, Aku menyerahkan musuhmu ke dalam tanganmu, maka perbuatlah kepadanya apa yang kaupandang baik”. Suatu dorongan yang mengatasnamakan Tuhan untuk berbuat ini dan itu. Dorongan itu palsu, karena akhirnya Daud merasa sangat bersalah walau ia hanya memotong punca jubah Saul. Daud berkata: ”Dijauhkan TUHANlah kiranya dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi TUHAN, yakni menjamah dia, sebab dialah orang yang diurapi TUHAN.”

Yang dilakukan oleh Daud bukan analisis kemungkinan terburuk. Apakah analisis kemungkinan terburuk itu? Yaitu, apabila kita membayangkan motif yang paling jelek di balik perbuatan orang yang menyakiti diri kita. Kebalikannya adalah analisis kemungkinan terbaik yaitu dengan mengasumsikan motif terbaik yang mungkin ada di balik suatu perbuatan yang menyakitkan. Patut disayangkan bahwa kita biasanya menerapkan pemikiran kemungkinan terbaik ini hanya dalam pembelaan diri untuk kesalahan-kesalahan kita sendiri[2].

Daud adalah orang yang diurapi Tuhan demikian pula Saul. Daud tidak bersikap arogan sekalipun ia mengetahui kesalahan Saul. Tetapi hal luar biasa yang perlu diperhatikan hamba-hamba Tuhan masa kini adalah bahwa sekalipun Daud tahu: pertama, bahwa Saul telah melakukan kesalahan dimata Tuhan; kedua, bahwa Tuhan telah menolak Saul sebagai raja Israel; ketiga, bahwa Allah telah memilihnya sebagai raja menggantikan Saul, tetapi ia tidak mempergunakan alasan-alasan tersebut untuk membenarkan perbuatannya membunuh Saul. Sesama orang yang diurapi janganlah berbuat jahat, sekalipun orang yang diurapi itu memiliki kejahatan di mata Tuhan dan manusia.

Mungkin akan timbul pertanyaan: apakah ini berarti bahwa pembalasan itu jahat dan bahwa kejahatan tidak boleh dihukum? Sproul menjawab: sekali-kali tidak. Pembalasan jangan dipandang sebagai sesuatu yang pada hakikatnya jahat sebab dengan demikian kita mengaburkan integritas Allah. Allah tidak menentang pembalasan sebagai suatu kejahatan, melainkan menuntutnya sebagai hak-Nya sendiri dengan berfirman, ”Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan” (Roma 12:19).

Yang paling mencolok dalam firman ini sering kali terlewatkan. Ayat ini bukannya mengutuk setiap pembalasan, melainkan mengandung janji ilahi yang jelas dan tegas bahwa pembalasan akan dilaksanakan. Janji ini tak dapat diragukan, “Akulah yang akan menuntut pembalasan.”

Yang penting dalam Firman Allah ini ialah bahwa Ia telah menetapkan peran sebagai pembalas hanya bagi diri-Nya sendiri dan juga bagi orang-orang tertentu pada siapa Ia mendelegasikan tanggung jawab itu. Allah membatasi pembalasan dengan menetapkan batas-batas pelaksanaannya. Adalah hak-Nya dan bukan hak individu untuk membalas dendam atas kejahatan yang diperbuat. Allah mendelegasikan dan menetapkan kewajiban membalas dalam menegakkan keadilan pada sidang pengadilan manusia. Pengadilan bertanggung jawab kepada Allah untuk pelaksanaan tugas itu. Prinsip yang penting disini: individu tidak boleh menjadi pelaksana balas dendamnya sendiri[3]. Verne H. Fletcher, etikus Kristen, mengatakan bahwa etika Kristen bertumpu pada anugerah dan pengampunan ilahi.[4]

Inilah karakter yang serupa dengan Kristus. Walau Daud hanya dapat bernubuat tentang Kristus yang berinkarnasi tetapi sikap Daud telah mencerminkan Kristus dalam dirinya. Ia mengampuni seperti kemudian Kristus mengampuni orang-orang yang menyakiti-Nya dan ketika Ia sendiri memiliki kesempatan untuk membalas mereka. Ia mengampuni mereka yang telah menyakiti-Nya, demikian pula Daud mengampuni Saul sekalipun ia memiliki kesempatan untuk itu. Tidak banyak orang yang memiliki kelembutan untuk menolak dorongan untuk membalas.

Ada pepatah tanpa nama yang berkata: ”Pembalasan terhormat adalah mengampuni”. Sedangkan Benjamin Franklin mengatakan: ”

Dengan mencelakai,
anda menempatkan diri anda di bawah musuh anda
membalas seseorang
bahkan membuat anda sama sepertinya
Dengan mengampuni,
anda menempatkan diri anda di atasnya


[1] Charles R. Swindoll, Daud: Pria Penuh Gairah dan Terpilih (Bandung Cipta Olah Pustaka, 2000).
[2] R. C. Sproul, The Hunger of Significance (Surabaya: Momentum, 2005).
[3] Ibid.
[4] Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia (Jakarta: BPK GM, 2007), 88.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Tidak ada komentar: