I. Pendahuluan
Sejak tahun 50-an gereja-gereja di Indonesia mengenal dua istilah baru, yaitu PAK (Pendidikan Agama Kristen) dan PWG (Pembinaan Warga Gereja). Itu belum berarti bahwa pengertian di balik kedua istilah itu telah dipahami secara benar. Orang cenderung mengasosiasikan PAK dengan Sekolah Minggu, anak kecil atau pelajaran agama di sekolah. Pengertian PWG pun dipahami secara keliru. Orang mengerti bahwa PWG adalah kursus untuk menjadi “pendeta mini” yang pandai memimpin renungan.
Untuk memahami PAK dan PWG serta memahami perbedaan dan persamaannya, baiklah kita menelusuri jejak asal usul PAK dan PWG. Untuk maksud ini kita dapat menoleh ke belakang ke zaman Reformasi abad 16, atau lebih jauh ke zaman Gereja Purba abad 1, atau lebih jauh ke zaman lahirnya sinagoge pada abad 5 SM atau ke zaan lahirnya filsafat pendidikan oleh Sokrates pada abad 4 SM. Tetapi dalam tulisan ini penelusuran jejak akan dimulai dari dekat yaitu dari awal abad 20.
II. Catatan Singkat Perkembangan PAK Abad 20
PAK sebagaimana yang kita kenal sekarang ini mulai mendapat bentuk sistematikanya pada konvensi th. 1903 di Chicago yang melahirkan Religious Education Assocaioation. Duapuluh tahun kemudian menyusullah pembentukan International Council of Religious Education[2].
Sebenarnya pemikiran tentang prinsip-prinsip teori PAK sudah dirintis beberapa puluh tahun sebelumnya oleh Horace Bushnell (1802-1876), pendeta di Hartford yang adalah lulusan Yale.
Pemikiran Bushnell timbul sebagai reaksi terhadap theologia yang sedang dominan di gereja-gereja Puritan di negara-negara bagian New England pada zaman itu yakni theologia yang sangat menekankan transendensi Allah di satu pihak dan antropologi theologis yang pesimis di lain pihak. Mereka membesar-besarkan kekuasaan Allah dan serentak mengecil-ngecilkan potensi manusia. Manusia digambarkan sebagai mahluk yang betul-betul celaka dan tidak mempunyai daya apa-apa kecuali menjadi penerima anugerah Allah yang pasif. Theologia seperti ini sejalan dengan metode yang transmissive seperti kebangunan rohani. Akibatnya pada zaman itu kebangunan rohani menjadi mode di New England. Baik anak kecil maupun orang dewasa ditakut-takuti dengan hukuman Tuhan lalu didesak untuk lahir kembali dan bertobat.[3]
Bushnell menentang pemahaman Injil yang sempit seperti itu, lalu ia mengemukakan sejumlah tesis dalam bukunya Christian Nurture. Ia berkata:
What is the true idea of Christian Education? That the child is to grow up a Christian, and never know himself as being otherwise. In other words, the aim, effort, and expectation should be, not as is commonly assumed, that the child is to grow up in sin to be converted after he comes to a mature age; but that he is to open on the world as one that is spiritually renewed, not remebering the time when he went through a technical experience but seeming rather to have loved what is good from his earliest years.[4]
Tesis lainnya berbunyi: “This is the very idea of Christian Education, that it begin with nurture or cultivation”.[5] Untuk zaman sekarang tesis seperti itu tidak mempunyai keistimewaan. Namun untuk akhir abad yl. Di mana belum dikenal Psikologi Perkembangan, Didaktik serta Metodik yang modern, maka tesis seperti itu adalah suatu terobosan baru.
III. Beberapa Asumsi dan Implikasi Tesis Bushnell
1. PAK berdiri di atas antropologi theologis yang optimis yang berkeyakinan bahwa tiap orang dilahirkan dengan kodrat yang baik dan bahwa kodrat yang baik itu dapat ditumbuhkan terus karena manusia mempunyai potensi untuk berpikir baik dan menghasilkan produk yang baik. George Albert Coe (1862-1951) yang mewarnai theologia dan teori PAK selama 50 tahun dalam abad ini mengatakan bahwa manusia dilahirkan sebagai gambar dan rupa Allah, sebab itu manusia dapat menjadi kandidat untuk karakter yang baik. Tugas PAK adalah mendorong dan menopang pertumbuhan ke arah kemungkinan yang baik itu.[6]
2. PAK berasumsi bahwa kepercayaan yang matang bukan timbul secara mendadak seperti pada akhir suatu kebaktian kebangunan rohani, melainkan tumbuh dalam proses jangka panjang sejalan dengan tumbuhnya perkembangan jiwa orang ybs. Sasaran dalam percaya bukanlah pertobatan melainkan pertumbuhan. Bushnell meletakkan salah satu dasar PAK yaitu bahwa tugas gereja bukanlah menciptakan suasana emosional sehingga orang bertobat di muka umum, melainkan menolong orang bertumbuh dalam sedikit demi sedikit sehingga iman itu berbuah dalam kehidupan. Mengulas tesis Bushnell itu, berkatalah Groome:
The attitude of revivalistis toward Christian formation was that, because of human depravity, children could not grow up as Christians but could only come to the faith by being “born again”. It was on this spesific point that Bushnell began his criticisms of the revival movement and of the whole conversion syndrome.[7]
Menopang tesis Bushnell ini Coe berkata: “… the constant aim of elementary religious education should be to make conversion unnecessary.”[8]
3. PAK berasumsi bahwa iman bisa mandeg berputar-putar di situ juga, atau sebaliknya dapat berkembang ke tahap-tahap yang lebih matang dan lebih luas wawasannya. Asumsi ini digarap oleh William Clayton Bower yang meneliti hubungan antara perkembangan kepribadian dengan perkembangan kepercayaan.[9] Rintisan Bower pada awal abad ini di bidang PAK ternyata sekarang ini dikristalisasi oleh dunia psikologi dengan munculnya teori perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, teori perkembangan moral oleh Lawrence Kohlberg, teori perkembangan kepribadian oleh Erik Erikson dan teori perkembangan kepercayaan oleh James Fowler. Keempat teori itu langsung digunakan oleh didaktik dan metodik PAK.
4. PAK berasumsi bahwa tujuan iman bukanlah hanya untuk keselamatan pribadi nara dirik, melainkan supaya nara didik dalam persekutuan umat percaya berupaya menciptakan tatanan masyarakat yang ciri-cirinya sudah diperlihatkan oleh Yesus Kristus. Di dalam tujuan PAK terkandung suatu idealisme sosial. Coe menyebut idealisme itu “democracy of God”. Ia berkata, “Granted this socisl idealism as the interpretation of the life that now is, the aim of Christian education becomes this: Growth of the young toward and into mature and efficient devotion to the democracy of God, and happy self-realization therein.[10]
5. Pada konvensi 1903 hadir juga John Dewey, filsuf dan teoris pendidikan skuler aliran progresif, sebagai nara sumber yang memberi masukan. Itu menunjukkan bahwa sejak awal PAK terjalin dengan ilmu pendidikan sekuler. Coe berkata, “… both the processes and with those of so-called secular education. The relation is more than intertwining; they are branches of the same tree, they partake of the same sap.[11] Sebab itu hasil-hasil baru yang ditemukan oleh riset Ilmu Pendidikan dan Keguruan abad ini dimanfaatkan oleh PAK, misalnya cara membuat tujuan instruksional berdasarkan taxonomi kognitif, afektif tahun 60-an.[12]
6. PAK bukan berorientasi pada bahan, melainkan pada nara didik. Itu berarti bahwa PAK bukan bermaksud menjejali doktrin agama dan isi Alkitab. Pelajaran agama bukanlah pewarisan sejumlah doktrin kepada generasi berikut sebagai harta mati yang tidak boleh diubah melainkan pembuka kesempatan kepada generasi itu untuk mengembangkan iman yang menjawab persoalan kontemporer.[13] Inti kerugma adalah tetap, yakni bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Penyelamat, namun penjabaran kerugma itu menjadi didache terletak di tangan tiap generasi. Pendidikan agama yang mewariskan agama secara otoriter akan menghasilkan generasi katak beragama di bawah tempurung. Kemungkinan lain adalah bahwa pendidikan agama semacam itu akan menimbulkan effek boomerang, yaitu generasi yang kelak malah akan berbalik dan menolak agama.
IV. Catatan Singkat Perkembangan PWG Abad 20
PWG yang kita kenal sekarang ini di Indonesia mulai dikristalisasi pada th. 1945 di Eropa Barat. Pada Perang Dunia II sejumlah pemikir warga gereja yang ditahan rezim Nazi merasa prihatin bahwa umat Kristen kurang berhasil menjadikan diri relevan di tengah penderitaan manusia. Mereka mempelajari Alkitab dan menyadari bahwa mereka adalah garam dunia, tetapi di manakah garam itu ketika orang membeo dan membebek pemerintah diktatorial dan ketika satu bangsa memusnahkan bangsa lain. Seusai perang warga gereja ini berkumpul. Sebagai hasilnya lahirlah pada tahun 1945 pusat pembinaan warga gereja Institut Kerk en Wareld di Driebergen, Belanda, dbp. Hendrik Kraemer (1888-1965). Beberapa bulan kemudian menyusu pembentukan pusat pembinaan warga gereja Evanglische Akademie Bad Boll di Jerman dbp. Eberhard Muller. Pusat-pusat pembinaan warga gereja itu menghimpunkan kelompok-kelompok warga gereja untuk mendalami suatu masalah tertentu yang aktual dalam masyarakat, menyorotinya dari terang Firman Tuhan, dan mempelajari langkah jalan keluar yang dapat ditempuh oleh warga gereja di jalan hidupnya masing-masing.[14]
Sebenarnya kelahiran pusat-pusat pembinaan warga gereja pada tahun 1945 adalah ibarat telur yang menetas setelah dierami. Telurnya sendiri sudah keluar dua dasawarsa sebelumnya. Tepatnya telur itu keluar dari benak Joseph H. Oldham (1874-1969), warga gereja bukan-pendeta di gereja Anglikan Skotlandia. Bersama dengan Visser 't Hooft ia mempersiapkan konperensi sedunia tentang Church, Community and State di Oxford, Inggris, th. 1937. Dalam rangka persiapan konperensi itu, yang sebenarnya merupakan reaksi menentang munculnya pemerintah-pemerintah totaliter di Eropa, Oldham menulis beberapa tesis tentang warga gereja. Salah satu tesisnya berbunyi:
It is the members of the church, who discharge the responsibilties of the common life in a countless variety of occupations and in an infinite multiplicity of daily acts and decisions, that are the leaven which leaven the lump. In this faithful, silent witness, they are fulfilling the priestly function of the church.[15]
Keunikan tesis Oldham adalah bahwa ia memandang peranan warga gereja bukan untuk pekerjaan di dalam gereja melainkan untuk pekerjaan di luar gereja. Pada waktu itu para pemikir tentang peranan warga gereja, misalnya John Mott, melihat peranan warga gereja hanya sebagai alat untuk kepentingan gereja. Tetapi menurut Oldham pentingnya warga gereja adalah justru untuk kehidupan dan pekerjaannya di tengah masyarakat. Mengenai uniknya tesis Oldham, berkatalah Kraemer:
This approach of Dr. Oldham was quite new, because for the first time it was not the mobilization of active laymen for various purposes considered quite apart from the church, simply for its effectiveness, as Dr. John R. Mott had done in his organizing of Laymen’s Missionary Movements, but a viewing of the laity as an expression of the church and its calling and function in the world.[16]
V. Beberapa Asumsi dan Implikasi Tesis Oldham
1. PWG lahir dari pemahaman ekklesiologis yang secara expressis verbis merumuskan tempat organis warga gereja dalam hakekat dan missi gereja. Oldham memperlihatkan ekklesiologinya ketika berkata bahwa gereja mempunyai aspek ganda. Sebagai aspek pertama gereja adalah “a society organized for the specific purposes of worship, teaching, preaching and pastoral ministry.” Aspek kedua, gereja adalah “a society of men and women who have been given a new understanding of life and have undergone a change which effects their whole outlook and behavior and must color every action of their lives”[17] Oldham lalu mensinyalir bahwa sejauh ini aspek pertamalah yang terlalu dominan. Ia berkata, “It is the first and more restricted of these conceptions which tends to dominate our thinking and consequently to determine and limit our practice. Thus the church has become clericalized in the thinking of both clergy and laity.”[18]
2. PWG berasumsi bahwa ciri-ciri gereja yang sejati sebagaimana dirumuskan oleh Calvin adalah kurang lengkap. Calvin mengatakan bahwa ciri gereja adalah pelayanan Firman secara benar dan pelayanan sakramen secara benar.[19] Kalau hanya itu ciri gereja, maka warga gereja adalah obyek belaka. Warga gereja menjadi subyek kalau notae ecclesiae Calvin itu tidak dilengkapi dengan ciri yang lain, yakni kesaksian melalui perbuatan oleh warga gereja dalam hidup sekulernya. Hal itu diperlukan supaya paham ekklesiologi kita, kata Oldham, jangan mengarah kepada suatu “disastrous ecclesiasticizing of the church, so that it becomes primarly an affair and interest of the clergy … rather than a community of redeemed men and women joyfully serving God in the ordinary concern of the common life.[20]
3. PWG berasumsi bahwa konsepsi yang tinggi tentang warga gereja bukan berarti konsepsi yang rendah tentang jabatan pendeta. Kelahiran PWG bukanlah untuk memperjuangkan status yang lebih tinggi bagi warga gereja lalu mengurangi arti jabatan pendeta. Peranan warga gereja adalah di garis depan, dan untuk itu dibutuhkan pembekalan oleh pendeta dari garis belakang. Keduanya saling menopang. Oldham membayangkan wadah PWG di mana pendeta dan warga gereja saling belajar, bukan di mana pendeta mentransmisikan suatu kebenaran yang otoritatif. Berkatalah Oldham,”It is necessary that Christian ministers should set themselves deliberately to learn as well as to teach. From the laity may be learned lessons of life that find no place in the curriculum of the theological college”.[21] Berbicara tentang konsepsi pendeta dan konsepsi warga gereja, Hans-Ruedi Weber menegaskan, “A high doctrine of the laity does not exclude, but rather demands, a new high doctrine of the clergy.”[22]
4. Adanya PWG bukanlah untuk menghasilkan warga gereja yang banci, yaitu ½ warga gereja biasa dan ½ pendeta. Orang sering mengira bahwa warga gereja yang baik adalah mereka yang banyak meninggalkan pekerjaan duniawinya lalu aktif dalam pekerjaan rohani. Padahal yang dibutuhkan adalah warga gereja yang justru di dalam dan melalui pekerjaan duniawinya bersaksi tentang Tuhan Yesus. Di sini ada lagi salah paham. Orang mengira bahwa bersaksi adalah memberi renungan di kantor tempat kerjanya atau sering menyebut “Puji Tuhan!” Padahal yang diperlukan adalah kesaksian tanpa kata namun penetratif, yaitu bersaksi melalui sikap dan perbuatan misalnya menunjukkan kerja yang bermutu dan jujur, tidak minta disuap dan tidak menerima hadiah yang bersifat menyuap. Warga gereja yang rajin dalam soal rohani tetapi berperilaku tidak kristiani dalam dunia, pekerjaannya termasuk apa yang disebut Hoekendijk sebagai warga gereja yang schizofren. Berkatalah Hoekendijk:
…it betrays something of the layman’s professional disease: schizophrenia. It leads to a split between the world of Sunday and the world during the rest of the week … a clericalized layman is unsuited for the apostolate; he has become a curch-domesticated laymans, tamed and caged by the church – one who has betrayed his own trade and has become unfaithful to the earth.[23]
5. Itu bukan berarti bahwa PWG mengecilkan ari keaktifan warga gereja di dalam kegiatan domestik gereja. PWG pun mempunyai lapangan kerja yang mengkader dan memampukan warga gereja untuk menjadi pelayan pekerjaan gereja. PWG menyadari perlunya keseimbangan antara kesaksian di kehidupan sekuler dan pelayanan di dalam gereja. Tidak ada polarisasi antara keduanya.
VI. Catatan Penutup
Perbedaan yang langsung tampak antara PAK dan PWG adalah golongan usia nara didik yang hendak dijangkau. PAK menjangkau segala golongan usia dari balita hingga manula, karena itu dikenal istilah PAK Pemuda atau PAK Dewasa; sedangkan PWG menjangkau hanya golongan usia dewasa.
a) Walaupun ada beberapa perbedaan antara PAK dan PWG namun yang mencolok adalah persamaannya. Baik PAK maupun PWG adalah usaha pendidikan gereja yang mempunyai kriteria dasar pendidikan yaitu:intensional, berarah tujuan, direncanakan dan disengaja
b) mempunyai nilai-nilai, menolong nara didik mengkoreksi dan meningkatkan nilai-nilai hidup;
c) melibatkan usaha untuk mengetahui dan mengerti, lalu usaha untuk melihat relasi antara apa yang diketahui dan dimengertinya tentang hal yagn satu dengan yang lain;
d) terjadi dalam proses jangka waktu yang panjang;
e) terjadi sebagai hasil interaksi yaitu belajar (interaksi antara pelajar dengan apa yang dipelajari) dan mengajar (interaksi antara pengajar, pelajar dan bahan pelajaran);
f) menyangkut dan menimbulkan hasil positif dalam hubungan dengan dirinya dan hubungan dengan dunia di luar dirinya;
g) menyangkut dimensi kognitif, afektif dan votif;
h) menyangkut pertumbuhan stadium perkembangan jiwa nara didik.[24]
Persamaan lainnya adalah bahwa baik PAK maupun PWG adalah usaha pendidikan gereja yang bertujuan menolong warga gereja bertumbuh dalam iman kristiani sehingga mampu merelasikan iman itu dengan kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Persamaan itu tampak jika kedua rumusan berikut ini dibandingkan:
The objective of Christian education is to help person to be aware of God’s self-disclosure and seeking love in Jesus Christ and to respond in faith and love – to the end that they may know who they are and what their human situation means, grow as children of God rooted in the Christian community, live in the Spirit of God in every relationship, fulfill their common discipleship in the world, and abide in the Christian hope.[25]
Laity formation must help the Christian to know God in relation to his/her daily life, and to understand the world in which he/she lives … equip a Christian to understand his/her faith and his/her worship as related to social, cultured and economic structures … Laity Formation aims not only at the training of the individual lay person, but also at the development and radical renewal of the Christian community for its worship of God and its service to the world.[26]
1. Dari perbandingan yang dilakukan oleh tulisan ini, ditarik kesimpulan bahwa PAK dan PWG adalah ibarat dua binatang yang berasal dari dua tempat yang berbeda dan disebut dengan nama yang berbeda, namun sebenarnya kedua binatang itu sama. PWG adalah indentik dengan PAK Dewasa. Apa yang di Belanda di sebut vormingswek, di Amerika disebut Adult Christian Education atau Continuing Education.
2. PAK dan PWG mempunyai missi yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan lapangan dan zaman. Di Indonesia seakrang ini, PAK dan PWG mempunyai missi menjembatani jurang antara ibadat dengan praktek hidup. Di Indonesia sekarang ini kehidupan beragama tumbuh subur. Tempat ibadat dipenuhi umat. Tetapi kehidupan beragama cenderung hanya bersifat ritual. Di satu pihak orang rajin beribadat, tetapi di lain pihak penyalahgunaan wewenang, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, materialisme dan egoisme belum tersentuh oleh kehidupan beragama. Persepsi keberagamaan lebih menekankan bakti ritual di alam rohani dari pada bakti riil dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Kehidupan beragama lebih berorientasi vertikal dari pada horisontal. Kepekaan spiritual ternyata tidak atau belum disertai kepekaan sosial. Kalau pendidikan agama berjalan ke arah ini, maka pendidikan agama merosot menjadi indoktrinasi belaka dan umat akan menjadi munafik dan fanatik.[27]
3. Pelajaran agama di sekolah hanyalah salah satu bagian kecil dari PAK, namun pelajaran agama di sekolah adalah lapangan kerja PAK yang besar karena ia menjangkau massa yang sangat luas. Dalam jangka waktu panjang pelajaran agama di sekolah dapat membuahkan hasil atau sebaliknya merupakan kegagalan besar. Hal itu bergantung pada para penyunting dan pengarang bahan kurikulum pelajaran agama di sekolah. Apakah mereka memprodusir bahan kurikulum yang menimbulkan minat nara didik sesuai dengan stadium perkembangan jiwa golongan usia, ataukah mereka hanya menjejali satuan pelajaran dengan ayat hafalan. Selanjutnya keberhasilan atau kegagalan itu juga tergantung dari para guru agama yang menggunakan bahan kurikulum itu. Apakah mereka berbekal didaktik dan metodik dan mengajar dengan baik. Guru agama dan bahan pelajaran agama di sekolah bagi banyak nara didik adalah perkenalan yang pertama dengan agama Kristen. Mereka bisa mendapat kesan yang baik dan merasa tertarik dengan kepercayaan Kristen, atau sebaliknya pelajaran agama menjadi momok.
4. Peranan Pendeta dalam PAK/PWG
Keempat kitab Injil menunjukkan bahwa pekerjaan utama Tuhan Yesus bukanlah berkhotbah atau menyembuhkan orang sakit, melainkan mengajar. Sebutan yang paling banyak digunakan untuk Tuhan Yesus adalah didaskalos yaitu guru. Tuhan Yesus sendiri menyebut diri-Nya guru. Tetapi banyak pendeta di gereja setempat kurang merasa dirinya sebagai guru dan kurang mengetahui bagaimana caranya berfungsi sebagai guru. Padahal keberhasilan atau kegagalan PAK/PWG di gereja setempat banyak tergantung dari faktor visi dan kecakapan pendeta ybs. Sebagai guru. Visi dan kecakapan seorang pendeta tentang PAK/PWG dimulai ketika ia masih duduk di bangku sekolah theologia. Karena itu jikalau mata-mata kuliah PAK di STT Jakarta dianggap enteng, maka sudah bisa diduga kelak program PAK/PWG di gereja di mana ia akan menjadi pendeta pun akan mengembang sebagai barang enteng tanpa bobot.
[1] Pidato Dies Natalis ke-55 STT. Jakarta, 27 September 1989, oleh Dr. Andar Ismail, Th.M.,
[2] William Bean Kennedy, “Christian Education Through History”, in An Introduction to Christian Education, ed. Marvin J. Taylor (Nashville: Abingdon, 1980), 28.
[3] Elmer L. Towns, “Horace Bushnell” in A History of Religious Educators, ed. Elmer L. Towns (Grand Rapids: Baker, 1975), 278-287.
[4] Horace Bushnell, Christian Nurture (New Haven: Yale University Press, 1967), 4.
[5] Ibid., 20.
[6] George Albert Coe, Education in Religious and Morals (New York: Revel, 1904), 33-64.
[7] Thomas H. Groome, Christian Religious Education (San Fransisco, 1980), 116.
[8] George Albert Coe, A Social Theory of Religious Education (New York: Arno, 1969), 181.
[9] William Clayton Bower, Moral and Spiritual Values (Lexington: University of Kentucky Press, 1952).
[10] Coe, A Social of Religious Education, 55.
[11] As quoted in Harold William Burgess, An Invitation to Religious Education (Birmingham, Al.: Religious Education Press, 1975), 60.
[12] Benjamin Bloom, ed., Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: Cognitive Domain (New York: David McKAy, 1956) and David R. Kratwohl, Benjamin Bloom and Bertram B. Masia, Taxonomy of Educational Objectives, Handbook II: Affective Domain (New York: David McKay, 1964).
[13] Sophia Lyon Fahs, Today’s Children and Yesterday’s Heritage (Boston: Beacon, 1952), 15-18.
[14] Hans-Ruedi Weber, “A New Movement Begins” in Centres of Renewal for Study and Lay Training (Geneve: WCC, n.d.) 5-7.
[15] Joseph H. Oldham, “The Function of the Church in Society”, in The Church and Its Function in Society, ed. W. Visser 't Hooft and Joseph H. Oldham (London: George Allen and Unwin, 1937), 203.
[16] Hendrik Kramer, A Theology of the Laity (Philadelphia: Westminster, 1958), 33.
[17] Oldham, Ibid., 154-55.
[18] Joseph H. Oldham, The Oxford Conference, Official Report (Chicago: Willet Clerk, 1937), 35.
[19] John Calvin, Institutio, 4.1.9
[20] Oldham, “Functions”, 156.
[21] Ibid., 199.
[22] Hans-Ruedi Weber, Salty Christians (New York: Seabury, 1969), 17.
[23] J.C. Hoekendijk, The Church Inside Out, trans.: Isaac Rottenberg (Philadelphia: Westminster, 1966), 89.
[24] T.T. Ten Have, Vormig Handboek voor Social-Cultureel Vormingswek met Volwassenen (Groningen: Wolters, 1965).
[25] The Objective of Christian Education for Senior High Young People (New York: National Council of Churches, 1958), 14-15.
[26] Laity Formation (Geneva, WCC, 1966), 10.
[27] Bandingkan dengan sinyalemen di tajuk rencana Kompas, 20 Juli 1989.
Daniel Zacharias
education from womb to tomb
education from womb to tomb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar