21 Oktober 2008

Pendidikan Agama Kristen (PAK) Pemuda


A. Pengertian
Pendidikan Agama Kristen (PAK) untuk Pemuda bermaksud sebagai suatu usaha terencana untuk mempertemukan pemuda dengan Kristus melalui Injil, sehingga mereka mampu melihat diri sendiri sebagai pribadi yang sementara berkembang dalam segala hal, sekaligus memiliki tanggung jawab untuk medewasakan iman dan kasih, dan mampu merespon serta mengung-kapkannya dalam relasi dengan Allah dan sesama, maupun dalam keterlibatannya di dalam gereja.[1]

B. Tujuan
PAK Pemuda menolong para pemuda dan pemudi menyadari pengungkapan diri Allah dan mencari kasih dalam Yesus Kristus dan meresponnya dalam iman dan kasih, dan sampai akhirnya maka mereka boleh mengenal siapa mereka dan apa makna situasi kemanusiaan mereka yang bertumbuh sebagai putra-putri Allah yang berakar dalam paguyuban Kristen, hidup dalam Roh Allah dalam segenap hubungan-hubungan, memenuhi tugas kemuridan bersama dalam dunia, serta tinggal dalam pengharapan Kristen.[2]

C. Sasaran
1. Tingkat Usia: 18-25 tahun (Pemuda)
2. Tugas perkembangan dan ciri-ciri yang hendaknya sudah dicapai:

2.a. Perkembangan Jasmani/Fisik [3]

Pada masa ini terjadi perubahan-perubahan fisik dan psikologis pada waktu-waktu yang dapat diramalkan. Dan puncak efesiensi fisik biasanya dicapai pada usia pertengahan dua puluhan. Pada masa ini dapat dikatakan sebagai usia reproduktif.

2.b. Perkembangan Kognitif [4]
Pada tahap Formal Operasional
  • Pada tahap ini perkembangan intelektual pemuda mencapai titik akhir puncaknya. Semua hal yang berikutnya sebenarnya merupakan perluasan, penerapan, dan penghalusan dari pola pemikiran ini.
  • Pemuda sudah mampu memasuki dunia logis yang berlaku secara mutlak dan universal yaitu dunia idealitas paling tinggi.
  • Dan pemuda dalam menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya. Ia sudah mampu mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.
  • Pemuda juga sudah mulai mempelajari bahwa sebuah konstruksi teoritis atau sebuah visi utopis hanya memiliki nilai dari relasi bagaimana hal itu tersusun dalam kenyataan.
  • Pemuda juga sudah mampu menyadari keterbatasan baik yang ada pada dirinya maupun yang berhubungan dengan realitas di lingkungan hidupnya.
  • Pemuda dalam menyelesaikan masalahnya juga memikirkannya terlebih dahulu secara teoretis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisanya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian secara verbal. Yang kemudian mengajukan pendapat-pendapat tertentu yang sering disebut sebagai proporsi, kemudian mencari sintesa dan relasi antara proporsi yang berbeda-beda tadi.

2.c. Perkembangan Psikososial


Pada tahap Keintiman lawan Isolasi [5]

  • Dalam tahap ini pemuda siap dan ingin untuk menyatukan identitasnya dengan orang-orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan intim-akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka harus berkorban.
  • Para pemuda dalam tahap ini untuk pertama kalinya mereka mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan genitalitas seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan mitra yang dicintainya.[6]

2.d. Perkembangan Pengambilan Keputusan Moral[7]


  • Pada tahap ini tindakan benar cenderung dimengerti dari segi-segi hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh masyarakat.
  • Ada kesadaran yang jelas bahwa nilai-nilai dan opini pribadi itu relatif dan oleh karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai kesepakatan bersama.

2.e. Perkembangan Iman

Tahap Individual-reflektif [8]

  • Tahap ini ditandai dengan lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan dan nilai (religius) lama. Pemuda mulai menyadari bahwa seluruh sistem keyakinan, pandangan hidup, nilai dan komitmennya harus ditinjau kembali, diperiksa secara kritis, diganti, atau disusun ulang agar dapat menjadi sebuah sistem pemikiran dan arti relevan yang lebih eksplisit.
  • Pemuda mulai dapat berefleksi dari kesanggupannya sendiri sebagai subyek yang aktif, kritis, dan kreatif. Dengan kata lain otoritas yang awalnya berada di luar dirinya, maka dalam tahap ini justru berada di dalam dirinya sendiri.

D. Lingkungan dan Suasana Pembelajaran
1. Lingkungan
Randolph Crump Miller[9] menyatakan lingkungan pembelajaran PAK adalah:

  • rumah
  • sekolah umum
  • gereja
  • masyarakat

2. Pendidik:[10]

  • orang tua
  • guru
  • jemaat
  • masyarakat

3. Suasana Pembelajaran:

  • Mengingat perkembangan kognitif pemuda menunjukkan adanya kemungkinan mereka membuat suatu analisa kritis dan suatu sintesa, juga secara perkembangan kepercayaan pemuda berani menguji kembali semua keyakinan yang sudah diwariskan, maka dapat disebutkan di sini bahwa suasana belajar yang baik adalah suasana belajar yang kondusif. Artinya suatu suasana yang interaktif. Suasana di mana siswa belajar aktif tanpa didikte oleh guru dan memberikan kesempatan buat siswa untuk berpikir dan menganalisa sendiri.[11]

E. Materi Yang Sesuai
Pada tahap ini Pemuda diajarkan pokok-pokok seperti:

  • "Hakekat hidup Kristiani dan Implikasinya"
  • "Seks dan Pernikahan"
  • "Tritunggal"
  • "Kekudusan Hidup Kristiani"
  • "Kepemimpinan Kristen"
  • "Peranan Pemuda dalam Gereja"
  • "Makna Persahabatan dan Pernikahan"
  • "Mengambil Keputusan Secara Mandiri"
  • "Apakah Mengikut Yesus Adalah Keputusan Yang Benar?"
  • "Apakah Pergi ke Gereja Merupakan Keharusan?"
  • "Jodoh di Tangan Siapa?"
  • "Apakah Iman dan apakah Gereja itu?"
  • "Apakah aku sudah bertumbuh dan berbuah dalam iman?"
  • "Apa wujud pertumbuhan kerohanianku?"
  • "Aku, gereja, dan agama-agama lain"
  • "Aku, gereja, dan gereja-gereja lain".

F. Pilihan Metode-metode
Pada tahap ini Pemuda hampir dapat dikenakan metode-metode yang lebih banyak dari tahap sebelumnya dan hampir semua metode dapat dikenakan pada Pemuda, antara lain:

  • Ceramah
  • Panel
  • Tanya Jawab
  • Simposium
  • Brainstorming
  • Buzz Group
  • Studi Kasus
  • Diskusi
  • Forum
  • Wawancara
  • Peragaan peran
  • Seminar
  • Debat
  • Kelompok Melingkar
  • Induktif
  • Demonstrasi
  • Lokakarya
  • Kunjungan Lapangan
  • Kamp Kerja

G. Hal-hal Lain Yang Juga Perlu Diperhatikan [12]

  • Pelayanan PAK Pemuda harus menjadi salah satu komitmen utama gereja.
  • Pemuda sendiri harus terlibat dalam setting pelayanan dan implementasinya.
  • Pelayanan PAK Pemuda harus didasarkan pada rumusan teologi yang jelas, termasuk sebuah konsep dari hakekat dan tujuan gereja dalam masyarakat kota maupun desa.
  • Pelayanan PAK Pemuda haruslah fleksibel.
  • Pelayanan PAK Pemuda dapat dimungkinkan menjadi sebuah pelayanan yang tersebar: di luar gereja itu sendiri.
  • Gereja harus belajar mendengar lebih dalam dan akurat sebelum bertindak dan berbicara.
  • Respon gereja pada dunia kaum muda terletak pada kemampuannya untuk mengenal kehidupan yang sebenarnya di mana semua manusia dipanggil.
  • Pelayanan PAK bagi Pemuda harus sungguh-sungguh ekumenis.

[1] Lewis Joseph Sherrill, The Struggle of the Soul (New York: The MacMillan Company, 1963), 131-32; lih. David Ng, Youth in the Community of Disciples (Valley Forge, PA: Judson Press, 1984), 21-22; bnd. Allen J. Moore, "The Church's Young Adult Ministry," Marvin J. Taylor, penyunting, An Introduction to Christian Education (New York: Abingdon Press, 1966), 197-98.
[2] "The Objective of Christian Education for Senior High Young People," The National Council of Churches of Christ in the U. S. A., 1958, sebagaimana dikutip dalam David Ng, Youth in the Community of Disciples (Valley Forge, PA: Judson Press, 1984), 21-22.
[3] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1997), 246-53.
[4] Jean Piaget, Antara Tindakan dan Pikiran (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 64-65; bnd. William Crain, Theories of Development ( Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1992), 121, 128-29; lih. F. J. Monks, et al., Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), 224.
[5] Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: Gramedia, 1989), 212-13; Erik H. Erikson, "Youth: Fidelity and Diversity", Erik H. Erikson, penyunting, Youth: Change and Challenge (New York: Basic Books, 1963), 8-9; bnd. Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, Teori-teori Psikodinamik (Klinis) (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 152-53.
[6] Moore, op. cit. 199, Ross Synder sebagaimana dikutip Moore menggu-nakan istilah yang berbeda dengan Erikson. Ia memakai kata Memiliki lawan Isolasi (Belonging vs. Isolation). Baginya istilah ini lebih dalam maknanya dari kata intimitas (Belonging is more than being with another, …"creating a co-personal world").
[7] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 233; Ronald Duska & Mariellen Whelan, Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1982), 61.
[8] James W. Fowler, "Tahap-tahap Kepercayaan Eksistensial", A. Supratiknya, peny. Teori Perkembangan Kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 189-201.
[9] Randolph Crump Miller, Education for Christian Living, edisi kedua (New Jersey: Prentice Hall, 1963), 99-164.
[10] Ibid.
[11] Ali Imron, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996), 38.
[12] Moore, op. cit., 200-01.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Tidak ada komentar: