03 Oktober 2007

Mengapa Hal Sederhana Dibuat Rumit?

Biasanya langsung ada reaksi untuk judul ini: kalau memang rumit mengapa harus begitu disederhanakan? Soal kita sekarang adalah bolak-balik antara yang teoritis dan pragmatis sebagai bagian kecenderungan manusia diakui atau tidak. Bagi yang teoritis dia tidak akan pernah puas bila tidak membedah dari berbagai segi dan kemungkinan dan merasa akan kehilangan kehebatannya ketika ia ditanya bagaimana prakteknya. Dia bangga banget bila gara-gara kerumitan yang dia ciptakan orang jadi bingung atau malah tersesat. Dengan kata lain dia sedang menunjukkan kehebatannya terhadap lawan bicaranya. Tetapi orang-orang semacam ini biasanya lambat dalam aksi tetapi cepat menyambar dengan komentar mereka yang serba tajam tetapi jelimet. Kutip mengutip (tanpa melakukan verifikasi yang bertanggung jawab terhadap teks yang dikutip tetapi cuma mengikuti alur logika) menjadi budaya dalam pembicaraan minum teh mereka. Banyak kaum akademisi lebih suka memilih sikap ini karena tradisi pembentukan alam pikir mereka sudah begitu.

Sedangkan yang pragmatis cenderung tidak suka berbasa-basi dengan berbagai suguhan teoritis, dia langsung pada penerapananya. Sehingga orang-orang seperti ini cenderung bergerak cepat dan langsung pada sasaran. Mereka lebih percaya akan pengujian lapangan ketimbang kutip-mengutip yang belum tentu pas dengan alam pikir dan alam terap dari bahan-bahan pikiran itu. Rasanya orang-orang semacam ini yang membuat Paulo Freire keluar dari pakem teori pendidikan kebanyakan orang. Karena langsung berurusan dengan lapangan yang sangat kontekstual ia malah menjadi sasaran kutipan. Tetapi tetap saja di ruang kelas gaya Freire jarang diikuti dan kembali ke bentuk konvensional. Freire hanya jadi bahan ajar tidak lebih. Kagum pada Freire tidak berarti melaksanakan teorinya.

Freire membuat pendidikan yang kelihatan rumit menjadi lebih dicerna dan dimanfaatkan rakyat senegerinya. Mengapa yang sederhana terlalu dibuat rumit. Kerumitan terkadang tidak rumit pada dasarnya. Saya jadi ingat kata Andar Ismail, dosen saya, bahwa kita mesti menjadi step down yang menurunkan tegangan 220.000 volt menjadi 22o volt. Bagi Andar buatlah pokok yang sulit menjadi mudah dicerna jangan mempersulit bahkan untuk hal yang sederhana.

Kita tidak menyangkali bahwa banyak hal rumit di dunia bahkan di negeri ini. Tetapi kerumitan itu biasanya dimulai dari berbagai hal sederhana yang diselewengkan yang akhirnya berdampak pada hal-hal kompleks seperti pita kaset kusut. Korupsi misalnya mengapa begitu rumit ditelaah padahal itu merupakan natur manusia berdosa yang tidak pernah puas kalau tidak menjalankan dosanya. Persoalan selalu diarahkan pada peraturan dan undang-undang serta penyadaran moral, padahal urusan natur benang kusut ini adalah urusan ilahi. Membuat sistem tidak menghentikan hanya menghalangi atau memperlambat orang mencuri. Membuat sistem tidak berarti akar natur manusia berdosa dalam diri manusia menjadi terpenjara dan terpasung. Sederhana sekali bahwa dalam keberdosaan manusia Allah menganugerahkan pembebasan melalui karya soteriologis-Nya dalam Kristus. Kemanusiaan Kristus jadi barang debat, tetapi kealahan-Nya tidak membuat Dia relatif bagi dunia sebenarnya. Tetapi masih banyak orang yang ingin merumitkannya, padahal Dia datang dengan berbagai perumpamaan untuk menyerderhanakan yang rumit sebenarnya.

Daniel Zacharias

Tidak ada komentar: