08 Oktober 2007

Mencari Sosok Berintegritas

Senin, 08 Oktober 2007
KOMPAS - Opini

Rhenald Kasali

"Jika mencurigai seseorang berbohong, berpretensilah seakan-akan memercayainya; Kebohongan akan terungkap dengan sendirinya dan topeng akan terbuka." Arthur Schopenhauer (1788–1860)

Kata-kata mutiara itu mengingatkan pada cara kerja berbagai panitia seleksi yang mencari sosok berintegritas untuk masuk komisi-komisi independen.
Berbagai cara dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, memeriksa, mengendus jejak, hingga mewawancarainya. Wawancaranya pun dilakukan secara terbuka sehingga catatan-catatan negatif setiap calon menjadi tontonan publik.
Orang berintegritas tidak berbohong meski catatan negatifnya bukan masalah kecil. Apa yang diucapkan itu adalah yang dilakukan, begitu pula sebaliknya. Namun, selalu saja ada satu-dua yang berbohong. Kebohongan ini sebenarnya bisa dibaca, tetapi tidak mudah menemukan bukti-bukti. Kalaupun ada, kita hanya menemukan "bukti katanya" dari orang yang mengaku pernah mendengar. Namun, bukti otentik biasanya jarang didapat.
"Bukti-bukti katanya" menjadi masalah besar. Di satu sisi menimbulkan ketidakpercayaan, di sisi lain tidak semua anggota panitia seleksi (pansel) memercayai bukti itu. Itu karena selain bukti negatif, orang-orang itu juga punya catatan positif. Namun, berpretensi baik, seperti kata Arthur Schopenhauer, bisa membuka topeng seseorang. Hanya saja, jarak waktunya tak dalam genggaman waktu yang dimiliki pansel. Semua bisa terjadi setelah mereka terpilih.

Mitos orang baik
Adakah orang yang kita inginkan benar-benar baik? Jika mencari yang berintegritas saja, kiranya kita semua mempunyai calon. Namun, kita tidak mencari orang yang hanya jujur, tetapi juga mempunyai keberanian, mau memberantas korupsi, dan cerdas. Masalahnya, orang- orang cerdas belum tentu mau memberantas korupsi, juga sebaliknya.
Bergulat dengan perubahan, bangsa ini membutuhkan pemimpin. Dia bukan sekadar manajer biasa yang bekerja dengan sistem dan memelihara keseimbangan. Yang dicari adalah orang yang berani membongkar belenggu dan menanamkan nilai-nilai baru. Karena itu, Michael Angelo pernah mengatakan, "every act of creation must be started by the act of destuction".
Orang seperti itu tentu bisa dibaca dari rekam jejaknya. Semakin banyak belenggu dan tradisi yang dibongkar, semakin tidak populer dan banyak musuhnya. Yang pernah belajar leadership tentu ingat kalimat Paul Newan, "If you don’t have enemy, you don’t have character".
Seperti itu pula kita membaca surat-surat bernada amat negatif yang diajukan masyarakat terhadap nama-nama yang lolos uji integritas. Selalu ada orang yang gigih mengajukan bukti-bukti yang terkesan lengkap. Setelah ditelusuri, ada bagian yang dapat diterima, tetapi tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan. Sebagian informasi justru bertentangan. Kiranya seperti itulah pemimpin perubahan, kian berani, kian banyak musuhnya. Prof Komaruddin Hidayat mengatakan, "Hanya mobil yang tak pernah keluar garasilah yang tak ada cacatnya." Namun, pemrotes selalu berkilah, "Kalau sudah banyak yang tidak senang, perannya tidak efektif?"
Ada semacam rasa tidak nyaman bagi sebagian orang saat nama-nama tertentu masuk dalam list. Pansel bisa saja salah memilih, tetapi tidak bisa bekerja dengan persepsi. Jam terbang, pengalaman, dan ilmu pengetahuan berperan besar. Hanya karena kenal, atau mereka menjadi wistleblower, belum berati orang itu mampu menjadi sosok yang dicari.
Pengalaman di dunia bisnis menunjukkan tidak mudah mencari "orang baik". Selalu ada paradoks, antara pemimpin "kuat" (tetapi menyakitkan) dan pemimpin "baik" (tetapi tidak menyumbang keuntungan). Hal ini juga terjadi dalam mencari pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mitos "orang baik" menjadi perdebatan panjang. Seolah dengan membuang yang disangka jahat (koruptor), pasti didapat orang baik (antikorupsi).
Sebenarnya orang baik dan orang jahat selalu ada di mana-mana. Manusia bisa menjadi baik dan jahat karena karakter dan lingkungannya. Namun, orang tidak otomatis menjadi sesuatu karena persepsi. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap persepsi. Ini bukan sekadar komitmen ucapan (say believe), tetapi tindakan (do believe) yang hanya didapat dari ujian. Dan suka atau tidak, ujian tidak ada di tempat bersih, tetapi di lembaga-lembaga kotor. Itulah sebabnya "orang baik" yang berasal dari lingkungan baik-baik hanya mitos. Seperti kata Plato, "hidup yang tidak teruji tidak bernilai." Maka, yang penting bukan hanya prosesnya, tetapi juga rekam jejak dan pelembagaannya.

Rekam jejak
Abraham Lincoln pernah mengatakan, "A man’s character is like a tree and his reputation like it’s shadow; The shadow is what we think of it; The tree is the real thing." Rekam jejak membantu kita memahami the real thing, yaitu pohon atau jati diri seseorang yang terbentuk dari apa yang dilakukan bertahun-tahun.
Sayang, rekam jejak di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan "pohon" seseorang. Penelusurannya belum dapat dilakukan secara terbuka dengan data-data akurat. Terlebih lagi, banyak data diperoleh melalui pihak ketiga dan laporan masyarakat yang bersifat undercover, confidential, dan tidak tertutup datang dari kalangan "sakit hati". Data itu perlu dibaca dengan penuh kehati-hatian.
Alih-alih mendapat pohon (karakter dan leadership), yang diperoleh hanya bayangan (reputasi), yang bentuknya bisa bermacam-macam. Apalagi seorang change maker, kesannya bisa seperti monster. Orang-orang yang terusik akan berupaya mati-matian menimbulkan impresi jahat.
Pengalaman sejarah yang memalukan tidak boleh terulang dalam pemilihan sosok berintegritas. Dalam sejarah kemerdekaan, yang tidak suka dengan tetangganya melaporkan orang itu sebagai pejuang untuk ditahan dan disiksa kompeni (Belanda). Dalam sejarah pembubaran PKI, lagi-lagi banyak fitnah "sakit hati" ditaburkan sehingga terlapor dibinasakan tentara. Kehati-hatian adalah wisdom, bukan "kurang berani". Untuk memilih pemberani, pansel harus punya nyali, termasuk saat diolok-olok. Oleh karena itu, pengecekan silang menjadi penting dan dilakukan berkali-kali. Pengalaman empiris menemukan, amat mungkin topeng integritas satu-dua orang baru terbuka setelah ia terpilih seperti kata Arthur Schopenhauer.
Karena jarak antara cross-check dan pengumuman amat pendek, proses berikut di DPR menjadi amat penting. Meski DPR memakai lensa politik, integritas tidak dapat dijadikan alat tawar-menawar. DPR yang diawasi media tentu punya kemampuan menyaring yang lebih baik. Kalaupun tidak didapat, proses kelembagaan masih bisa menjadi tumpuan.
Kelembagaan antikorupsi
"Mitos orang baik" dalam proses seleksi bisa berakibat buruk jika amat dipercaya. Dalam banyak kasus, mitos ini mengakibatkan manusia lupa membangun institusinya, berakibat "orang baik" menjadi "jahat" karena lembaganya lemah.
Hampir semua komisi independen yang hanya mengandalkan pemimpin hasil seleksi, yang didukung jajaran birokrasi, mengalami guncangan integritas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY) hanya dua contoh. Komisi lainnya tidak berarti terbebas dari masalah. Mereka menghadapi masalah administrasi perkantoran, laporan keuangan, pengawasan, perekrutan pegawai, pengadaan barang, kepemimpinan kolektif, tata nilai (corporate culture), dan sebagainya.
Maka seleksinya tidak sekadar merekrut orang, tetapi membentuk tim yang mutlak harus ada perekat. Dalam bahasa kepemimpinan, kombinasi reptilia (penyerang, penyidik) dengan mamalia (yang memelihara organisasi) perlu menjadi pertimbangan. Setelah terbentuk, agenda pertamanya bukan menangkap penjahat, tetapi membangun dan menata kembali organisasi. Agar tidak terperangkap, manajemen harus diserahkan kepada profesional. Jadikan komisioner sebagai pemimpin perubahan.
Lembaga yang kuat menyumbang lebih dari 75 persen keberhasilan sebuah misi. Pada lembaga yang kuat, orang-orang "jahat" dapat dibentuk menjadi baik. Sebaliknya, pada lembaga yang manajemennya lemah, orang-orang "baik" dapat berubah menjadi "jahat".

Rhenald Kasali Salah Seorang Anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK, 2007

Tidak ada komentar: