
Untuk bersikap obyektif rasa-rasanya tidaklah mungkin. Sebab keyakinan di dalam diri tidak pernah bersifat obyektif, begitu kata seorang pakar. Sehingga lagi-lagi kita akan kembali kepada keyakinan pribadi tetapi tidak menyerahkannya pada jawaban pribadi. Kita setuju dengan asumsi bahwa kita bertanya kenapa kita ada dan kenapa kita diciptakan bukan kepada diri sendiri tetapi kepada siapa yang menciptakan kita.
Dalam keyakinan saya, saya percaya bahwa belajar bagaimana menjadi manusia harus saya tanyakan kepada Sang Pencipta. Dan saya membaca Kitab Suci sebagai petunjuk-Nya untuk menjadi manusia bukan seperti yang saya inginkan tetapi yang seperti Pencipta saya inginkan.
Yang kemudian terlontar adalah bagaimana mungkin saya menjadi pribadi bukan seperti yang saya inginkan? Bukankah sulit menjadi pribadi seperti yang orang lain inginkan? Rupa-rupanya pertanyaan itu diajukan tanpa memahami bahwa Sang Pencipta bukan manusia yang tidak tahu apa-apa. Ketika Ia menciptakan saya dan anda, Ia sangat tahu bahwa menjadi seperti yang Ia inginkan adalah merupakan pencapaian kehidupan manusia yang sejati. Namun tidak sedikit pencapaian itu dikacaukan dengan nafsu, ambisi, kelemahan, dan keterbatasan manusia.
Pertanyaan mendasar bagi kita sekarang adalah apakah dapat disebut bahwa kita telah menjadi manusia karena kita mengikuti petunjuk-Nya dan kita tidak dapat disebut sebagai manusia saat kita menolak petunjuk-Nya?
Apakah karena kita berwujud dan memiliki eksistensi maka otomatis kita disebut manusia? Apakah karena kita diakui keberadaannya oleh sesama atau memiliki relasi dengan sesama maka kita dapat diakui sebagai manusia?
Menjadi manusia itu persoalan filosofis religius atau eksistensial?
Saya berpikir maka saya ada - Cogito ergo sum?
Lalu bagaimana menjadi manusia yang seharusnya dan yang sebenarnya?
Daniel Zacharias
Tidak ada komentar:
Posting Komentar