06 Oktober 2008

Disakiti Tapi Tak Membalas 1: Yusuf

Kejadian 50:15-21.

Tokoh Yusuf adalah tokoh Perjanjian Lama yang tercatat mulai dari Kej 30:24: ”Maka ia menamai anak itu Yusuf, sambil berkata: ”Mudah-mudahan Tuhan menambah seorang anak laki-laki bagiku.” Arti nama Yusuf adalah: Tuhan telah menambahkan” (Jehovah has added). Kisah kehidupannya terbentang dari Kej 30-50. Dengan kata lain ia termasuk tokoh yang patut diperhitungkan karena sejarah kehidupannya yang begitu rinci dan panjang ditulis oleh penulis kitab Kejadian.

Seorang tokoh seperti Yusuf adalah tokoh yang berjiwa besar. Ia bukanlah orang yang bermental kerdil sehingga ia tidak membiarkan keputusaasaan merayapi dan menjatuhkan dirinya. Perjalanan hidupnya yang mencekam dari satu tangan ke tangan yang lain, bila hanya memandang dari satu episode saja, adalah perjalanan yang memalukan: dibuang saudaranya sendiri, dijual seperti budak, difitnah karena dituduh memperkosa dan dijebloskan ke dalam penjara, dan dilupakan oleh juruminum raja selama dua tahun padahal ia sudah berjanji menolongnya. Namun dari kacamata iman Yusuf berkata: ”Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kej 50:20). Baginya jalan hidupnya yang berkelak-kelok dan menyakitkan justru telah ”direka-rekakan Allah” untuk kebaikan dirinya dan seluruh keluarga dan bangsanya. Itulah perjalanan dari merana ke menara!

Sebenarnya apa yang tertulis di dalam Kej 50 merupakan untuk yang kedua kalinya Yusuf menyatakan pengampunannya kepada saudara-saudaranya. Ia menghadapi dua kali tantangan untuk mengungkit kembali perlakuan tidak adil dari saudara-saudaranya yang dikuasai perasaan iri dan dengki. Dalam pertemuan di Mesir ia sudah mengampuni saudara-saudaranya (Kej 45:3-15), dan kali ini ia kembali dipertanyakan ketulusan pengampunannya. Yang ada di benak saudara-saudaranya adalah seperti yang biasa mereka lakukan ketidaktulusan dalam hal mengampuni. Karena mereka biasa berbuat seperti itu maka mereka berpikir Yusuf akan bertindak sama. Tidak ada keraguan dalam pikiran mereka bahwa kematian ayah mereka dapat berarti hilangnya pengaruh yang mengendalikan amarah saudara mereka secara mendadak. Selama ada Yakub, mereka merasa aman, atau paling tidak lebih aman. Dengan kepergiannya, siapa yang tahu apa yang mungkin terjadi?

Rupanya saudara-saudara Yusuf mengenang kembali dosa masa lalu yang sudah diampuni sama sekali oleh Yusuf, tetapi yang belum dilupakan sama sekali oleh mereka. Sebagai akibatnya, mereka takut kepada Yusuf. Maka mereka mengirim seorang pembawa pesan kepadanya, untuk memberitahukannya bahwa ayah mereka telah meminta agar Yusuf mengampuni mereka atas apa yang telah mereka perbuat.

Sekali lagi respon Yusuf menyatakan karakternya. Ia menangis ketika mereka mengatakan hal ini kepadanya, karena mereka belum sepenuhnya percaya pada apa yang ia katakan sebelumnya. Tetapi Yusuf bukanlah ”pembunuh anugerah” sehingga ia perlu mengulang kembali penjelasan dan pengampunannya buat mereka.[1]

Benar-benar hal ini merupakan sebuah pencerminan dari jiwa yang besar untuk dapat menerima kepahitan tanpa terus terlukai, dan sebuah refleksi bening yang mengais makna diri dari sampah kesuraman masa lalu. Makna diri Yusuf ternyata jauh lebih besar daripada merekam dan menuntut balik semua luka-luka di masa lalunya. Ia tidak akan menemukan makna dirinya bila ia terus berkubang dalam pemaknaan yang salah dari saudara-saudaranya terhadapnya. Ia tidak akan menemukan makna diri dari sebuah dendam kesumat. Ia menemukan makna diri dan kebergunaannya yang lebih luas ketika ia memakai cara pandang Tuhan ("tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan").

Inilah karakter yang serupa dengan Kristus. Walau Yusuf tidak berjumpa dengan Kristus yang berinkarnasi tetapi sikap Yusuf telah mencerminkan Kristus dalam dirinya. Ia mengampuni mereka yang telah menyakiti-Nya demikian pula Yusuf. Jagalah hati kita ketika kita memiliki kuasa untuk menempatkan rasa bersalah pada orang lain. Tolaklah untuk menuntut mereka atas kesalahan yang mereka perbuat. Ingatlah tiga hal: pertama, bagaimana sikap ayah dari Anak Yang Hilang?; kedua, ingatlah Yusuf: ”Jangan takut,” ia menghibur mereka dengan baik. ”Aku akan menanggung kalian dengan anak-anak kalian”[2]; ketiga, Kristus yang berseru di atas kayu salib: ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

[1] Charles R. Swindoll, Yusuf: Seorang Yang Berintegritas dan Pengampunan (Bandung Cipta Olah Pustaka, 2001).
[2] Ibid.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya jadi ingat kotbah Pdt L Rap Rap dulu sekali. Dia bilang Tuhan ingin agar kita cerdik seperti ular tetapi tulus seperti merpati. Menjaga keseimbangan antara si ular dan si merpati ini tidak mudah. Yang sering terjadi dengan org Kristen adalah, si ular menjadi begitu dominan sehingga si merpati ditelannya habis. Yang sisa bukan lagi cerdiknya, tetapi liciknya.