12 November 2007

Sindrom KEDEKATAN

Kedekatan kita dengan seseorang senantiasa berwajah dua. Di satu sisi berwajah kekariban dan kekraban yang menyenangkan, di sisi lain malah berwajah sebaliknya jadi “anggap enteng, anggap remeh, dan kurang hormat”. Sisi negatif ini saya sebut SINDROM KENDEKATAN.

Adapun Sindrom Kedekatan ini telah dibuat manusia berulang kali kepada Allah dan kepada sesama. Dalam Kitab Suci kita jumpai kisah tentang Pemberontakan manusia - Kej 3, pemberontakan umat Israel – Bil 14:2-4; Pemberontakan Miryam dan Harun – Bil 12:1-16; dan pemberontakan Korah, Datan, dan Abiram – Bil 16. Hal yang sama kita juga lihat dalam segi lain dari Kejatuhan Saul, Daud, Salomo, juga kejatuhan Simson. Orang-orang besar tersebut punya hubungan yang mesra dengan Allah tetapi ketika sindrom ini datang maka mereka tidak bisa mengatasinya. Sindrom ini bisa muncul dalam diri siapa saja yang tidak bisa menangani “kedekatan” dengan baik.

Para pelayan paling sering mengalami hal ini. Mereka yang tiap hari memiliki relasi dengan Allah dalam berbagai jenis perjumpaan tidak menumbuhkan rasa TAKUT AKAN TUHAN tetapi malah terjungkal masuk terjangkiti sindrom ini. Ada banyak yang kemudian membungkus sindrom ini dengan dalih kemanusiaan padahal manusia lain yang juga masih tetap manusia juga masih tidak sedikit yang tahu diri ketika menempatkan dirinya di hadapan Tuhan dan sesama walau ia memiliki hubungan intenstif dan dinamis dengan-Nya dan sesamanya.

Idealnya kedekatan kita terhadap Allah membuat kita merasa lega dan memiliki keberanian percaya untuk mendekati hadirat-Nya dan semakin membuat kita semakin bertanggung jawab atas hubungan yang terbentuk Sola Gratia itu. Kenyataan yang masih kita jumpai adalah kedekatan dengan Allah membuat manusia bisa semena-mena mengkritisi Dia sampai kehilangan hormat, menanyakan Dia seolah Dia bisa diadili dan digugat, berteriak putus asa seolah Dia salah urus. “Dekat sih dekat tetapi jangan kurang ajar gitulah” adalah nasihat orangtua yang masih relevan bagi kita dalam konteks ini. Bukankah tidak sedikit orang yang bermain-main dengan dosa tetapi mengatakan itulah perjuangan hidup yang berat padahal ia menikmati dosa itu. Sindrom Kedekatan seringkali memunculkan ide purba di kepala kita: kita bisa bermain-main dengan dosa dengan harapan Tuhan pasti mengampuni, kita bisa bermain-main dengan dosa dengan harapan Tuhan pasti begitu mengerti situasi kita, kita bermain-main dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap ketetapan-Nya dengan harapan Tuhan pasti maklum karena tokh kita cuma manusia biasa. Oh?

Takut akan Tuhan bukanlah pekerjaan orang naif, tetapi kalau hal itu pun dianggap kenaifan biarlah kenaifan adalah kenaifan itu di hadapan zaman yang cerdas yang telah kehilangan rasa hormat karena tokh mereka sudah kehilangan kehormatan. Kenaifan itu diterjemahkan oleh Paulus sebagai anggapan bodoh dari dunia. Dan Paulus tidak memperdulikan anggapan bodoh itu, tokh kalau seseorang merasa berhikmat tetapi ia telah kehilangan perkenanan Allah, lalu apa gunanya? Dan kalau merasa Allah tetap berkenan pada kita apa adanya (tanpa mempersoalkan dosa kita), maka rasa-rasanya kotbah-kotbah kita di gereja hanya memberitahu kita bahwa dosa kita ada dan dosa tidak usah dibahas lagi karena Dia pasti tetap terima kita apa adanya, oh my God! Quo vadis suara dan tindakan kenabian ‘sekarang’ dan ‘disini’?

Daniel Zacharias

Tidak ada komentar: