29 April 2008

Manusia Itu Terbatas!

Mazmur 103:13-18
15 Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga;
16 apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.
17 Tetapi kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu,
18 bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya.



Ketika Daud menyebutkan bahwa MANUSIA hari-harinya seperti “rumput” atau seperti “bunga di padang”, yang begitu tertiup angin, tidak ada lagi, maka melalui gambaran tersebut sebenarnya Daud ingin memberitahukan kepada kita bahwa manusia itu terbatas. Bukan hanya hari-hari manusia yang terbatas tetapi manusia itu sendirilah yang terbatas.

Sekalipun setelah peristiwa menara Babel, Allah berfirman: “mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana” (Kejadian 11:6), namun itu tidak berarti bahwa manusia kemudian menjadi segala-galanya atau menjadi tidak terbatas.

Manusia dalam berbagai keluarbiasaan pikiran, ciptaan, karya, kemampuan, pada akhirnya harus mengakui keterbatasannya. Keterbatasan manusia bukanlah karena dosa tetapi merupakan hakikat manusia itu sendiri. Dosa membuat keterbatasan manusia menjadi lebih berat.

“Angin yang melintas” bagi Daud merupakan gambaran dari hadirnya kematian, bila kematian melintasi kehidupan seseorang maka manusia itu tidak ada lagi sehebat atau seberkuasa apapun ia ketika masih hidup. Celakalah manusia yang karena sedang berada di puncak kehebatannya menyangkali keterbatasannya.

Mengakui keterbatasan bukan tanda tak beriman, justru sebaliknya merupakan tindakan iman yang sekaligus menunjukkan sikap realistis yang harus selalu kita selaku manusia kembangkan.

Mengakui keterbatasan di satu sisi membuat manusia terus berusaha, tetapi di sisi lain membuat kita tidak memaksa diri dan juga mengakui bahwa ada satu yang tidak terbatas.

Peristiwa kematian mengingatkan kita lagi bahwa kita semua adalah mahluk terbatas sehebat apapun kita sekarang. Ketika manusia hidup ia seperti bunga rumput yang indah di padang, tetapi ketika angin kematian bertiup maka bunga itu lenyap dalam sekejap, demikian pula manusia dalam segala kemegahannya.

Mengakui keterbatasan jangan dipahami dengan cara negatif yang membuat orang tak lagi berusaha dan pesimis menjalani hari-harinya. Mengakui keterbatasan semacam ini justru mengingkari potensi besar yang Tuhan berikan di tengah-tengah keterbatasan manusia.

Mengakui keterbatasan kita justru:

Pertama, membuat kita selalu bergantung pada pertolongan ilahi.

Kedua, membuat kita belajar untuk hidup bukan untuk diri sendiri dan dengan sendiri tetapi juga untuk sesama dan dengan sesama.

Ketiga, membuat kita waspada dan tidak semberono menjalani hidup.

Keempat, menghargai hidup sehingga sayang sekali bila kita akhirnya membuang-buat waktu dan kesempatan dalam hidup demi mengerjakan hal-hal yang tidak penting.

Ketika manusia terbatas maka kasih setia Tuhan justru tidak terbatas bagi orang-orang yang takut akan Tuhan dan berpegang pada firman-Nya.

Kasih setia Tuhanlah yang menolong kita dalam semua keterbatasan kita. Maka patutlah kita yang terbatas senantiasa mencari pertolongan dari Allah yang tak terbatas itu.

Marilah kita yang masih bisa menarik nafas panjang belajar menghargai hidup yang terbatas dan mempergunakan sebaik-baiknya bagi Tuhan dan sesama.


Daniel Zacharias

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mencerahkan pak,
Membuat ita sadar untuk tidak mengandalkan kekuatan sendiri melainkan bersama Tuhan.
Ada pengkotbah yang bilang beberapa minggu lalu, "Bukan mengepalkan tangan dan bilang aku bisa, melainkan bersama Allah aku bisa."