08 Mei 2008

Dampak Hidup Beragama

Tuhan Yesus dalam beberapa kotbah-Nya seringkali tidak membedakan antara kehidupan sebagai orang beragama dengan agama itu sendiri. Sebab bagi Yesus agama sebagai wadah dan hidup keagamaan sebagai praktek adalah sebuah satu-kesatuan yang tidak terpisahkan. Ia sendiri tidak mengajarkan agama tetapi itu tidak berarti Ia tidak menghargai agama dan hidup keagamaan itu sendiri. Ia pernah berkata demikian:

"Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga" (Mat 5:20).

Dan kehidupan beragama (atau beriman) menurut Yesus senantiasa memiliki dampak:

"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang" (Mat 5:13)

Perumpaan Yesus mengenai garam bertekanan pada sesuatu yang memberi dampak yang dilukiskan dengan kata "asin" dan "tawar". Artinya, sejauh garam tersebut memberi dampak yang semestinya maka ia tetap berguna, sebaliknya bila tak dapat lagi memberi dampak maka ia dibuang dan diinjak orang. Bagi Kristus bukan pada banyaknya garam tetapi pada kemampuan memberi dampak. Orang percaya di mata Tuhan Yesus adalah orang-orang yang berpotensi memberi dampak yang positif sebagaimana peran garam, dan bila dampak yang diharapkan tidak ada maka orang Kristen tidak diperlukan sama sekali.

Sejarawan Yahudi, Yosephus, pernah mencatat sebuah peristiwa dimana persediaan garam di Bait Allah di Yerusalem pernah disimpan bergudang-gudang dan suatu saat manakala akan dipergunakan ternyata sudah rusak. Lalu Herodes memerintahkan garam-garam tersebut dibuang di pelataran Bait Suci, dan hari itu semua garam yang terhampar di pelataran tersebut diinjak-injak orang.

Kekristen atau gereja hendaknya memberi dampak. Dampak yang muncul tidak melulu dampak rohani tetapi juga dampak bagi keseharian hidup manusia. Dampak garam selain memberi rasa lezat bagi makanan ternyata ia juga memberi dampak lain: menyucikan dan membersihkan korban persembahan (Kel 30:35; Ezr 16:4), mencegah kerusakan atau kebinasaan (II Raja-raja 2:29, dyb).

Bila gereja diharapkan dapat memberi dampak maka dampak yang akan muncul antara lain:

  • DAMPAK KESELAMATAN (pertumbuhan iman) - Dampak vertikal
  • DAMPAK SOSIAL (keadilan dan kesejahteraan) - Dampak horisontal

Dalam banyak catatan sejarah, gereja kurang menghargai dampak horisontal. Gereja seringkali tidak berdaya atau tidak peduli dengan pembusukan dalam masyarakat. Akibatnya tokoh ateis sekaliber Karl Marx merasa muak dengan gereja, bukan karena Tuhan, tetapi karena gereja terlalu asyik dengan dampak keselamatan dan melupakan dampak sosial.

Gereja terkadang hanya mempedulikan ketidakadilan dan pembusukan moral pada sebuah "kepedulian mimbar" dan sama sekali tidak menjadi sebuah "kepedulian lapangan" yang berdampak langsung pada masyarakat. Terlepas dari kecurigaan atau penolakan masyarakat terhadap peranan garam dari orang percaya, yang tetap perlu diperhatikan oleh kita bersama adalah bahwa penolakan dan kecurigaan tersebut sama sekali tidak membatalkan atau menggugurkan fungsi kita sebagai "garam".

Dalam koran Kompas hari ini menyinggung soal peran agama dalam kotbah Idul Fitri di Mesjid Istiqlal pada hari Selasa 25 November beberapa tahun yang lalu oleh Syafii Maarif. Dalam kotbah tersebut ia memiliki pernyataan yang senada dengan pembahasan ini: "Keadilan tidak boleh dipermainkan. Agama yang tidak membela keadilan adalah agama yang sudah layu, agama yang kehilangan semangat (elan vital)".

Pandangan Maarif tidak jauh berbeda dengan apa yang diteriakan Allah melalui nabi Amos di jaman dahulu:

"Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir." (Amos 5:23-24).

Allah, melalui nabi Amos, menegur dengan keras kepedulian umat-Nya yang lumpuh secara horisontal dan memberhentikan kepedulian vertikal yang menurut-Nya sangat terkait. Bagi Allah kepedulian vertikal harus menemui relevansinya dalam kepedulian horisontal. Bagi Allah masalah keadilan bukan masalah sosial dan urusan manusia juga tetapi juga menjadi urusan Sorga.

Jemaat yang kita layani tentunya tidak hanya berharap Yesus dapat menolongnya menyelesaikan urusan-urusan rohani dan keselamatan saja, tetapi juga pada apa yang Yesus dapat lakukan bagi dirinya ketika ia berurusan dengan uang sekolah anak, masalah perkawinan, masalah konflik di tempat kerja, masalah jodoh, masalah adat, dan masalah pembuktian imannya di tengah orang tidak seiman.

Sudah tiba saatnya agama dan hidup keagamaan bukan lagi merupakan sesuatu yang terpisah tetapi sesuatu yang saling terkait dan saling menopang serta mengisi. Dan kepedulian kita pun menyatu dan saling mengisi antara vertikal dan horisontal, walaupun tidak dimaksudkan senantiasa berwajah dikotomi atau dualisme.

Pdt. Daniel Zacharias

Sumber:
Abineno, J.L. Ch. Kotbah di Bukit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).
Ridenour, Fritz. How to be a Christian Without Being Religious (Ventura, California: Gospel Light Publications, 1967).
Sinaga, Martin L. (peny.) Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga (Jakarta: Grasindo, 2000).
Stott, John R. Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1996).
------------------, Kompas, Kamis, 27 November 2003.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Seperti "iman yang hidup" njih pak