Gara-gara film Fitna produksi Geert Wilders, Goenawan Mohamad, wartawan senior Tempo, mengutip satiris Jonathan Swift penulis Gulliver's Travels dari abad ke-17 yang berkata: "Kita punya agama yang cukup untuk membuat kita membenci, tapi tak cukup untuk membuat kita mencintai ...".
Mengapa energi keagamaan kita habis untuk saling membenci dan tidak cukup besar untuk bisa mengampuni apalagi untuk mencintai? Pertanyaan ini setidaknya menyudutkan kita kembali kepada situasi yang secara gamblang telah menelanjangi kita kalau pada kenyataannya agama yang kita yakini hanyalah sebuah identitas yang memperkokoh egoisme kita. Sedih sebenarnya mendengar film The Messiah gaya Iran, Fitna dari Belanda, Satanic Verses, Da Vinci Code, The Gospel of Jude ... apa sih yang mau diharapkan dari hal-hal tersebut? Kebencian? Jika kebencian adalah tujuannya ... yah berarti sang pengarang sudah berhasil dan kaya!!!
Mengapa agama begitu berkuasa dan mengendalikan perilaku manusia? Myles Munroe menjawab dalam Rediscovering The Kingdom: "karena agama bukan sekedar suatu faktor sosial, budaya, atau politik atau ideologi; sebaliknya agama menemukan kekuasaannya dalam ruang-ruang jiwa pribadi seseorang. Dalam jiwa, kita menemukan sumber motivasi pribadi yang membentuk persepsi dan perilaku. Orang lebih bersedia mati demi agamanya daripada demi alasan politik, sosial, atau ideologi apapun."
Saya sedang membaca buku Lihatlah Sang Manusia! karya Verne H. Fletcher yang menulis: "justru tak usah lama-lama berpikir sebelum menjadi sadar bahwa "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" dilampaui oleh tuntutan Yesus "kasihilah musuhmu" ... "dengan cara bagaimanakah Yesus mengasihi sesama-Nya? Seperti Ia mengasihi diri-Nya sendiri? Bukan. Sebaliknya Ia mengasihi sesama-Nya dengan menyerahkan diri dan nyawa-Nya baginya."
Teladan Yesus sebenarnya sudah cukup membuat kita sadar bahwa bila menyakiti orang lain dengan menodai keyakinannya maka itu bukanlah sikap kasih. Kekuatiran Geert Wilders atas pesatnya jumlah imigran muslim di Belanda sebenarnya tidak ditunjukkan dengan bersikap reaktif-destruktif tetapi reaktif-otokritik. Biarkan belanda mengoreksi diri bukan mempersalahkan pihak lain. Kemunduran Belanda soal iman dan kekristenan menjadi ladang subur buat pertumbuhan keyakinan lain yang melihat bahwa sekularisme dan dekadensi moral tumbuh subur di Belanda.
Di lapangan kehidupan kita masih harus diperhadapkan pada sebuah pertanyaan yang kembali membuat muka kita merah: "Mengapa prinsip Ahimsa dan Satyagraha justru dilakukan oleh mereka yang bukan Kristen?"
Daniel Zacharias
1 komentar:
Geert Wilders mungkin maksudnya mau reaktif-otokritik, tapi ternyata jadi destruktif.
Dan yang lebih memalukan, semuanya dilakukan demi utk mempertahankan kebebasan yang rusak banget di Belanda..
Posting Komentar