Ulangan 26:1-11; Maz 92:1-2, 9-16; Roma 10:813; Luk 4:1-13
Mengucap syukur adalah bagian dari keseharian orang percaya. Seyogyanya ucapan syukur bukanlah sebuah barang mewah. Siapapun bisa saja memilikinya atau mengalaminya serta menyatakannya sejauh orang menyadarinya.
Berikut ini kita coba telusuri berbagai alasan mengapa orang bersyukur. Ada berbagai alasan mengapa si Polan dan Dadap menyatakan rasa terima kasih mereka kepada Tuhan. Bisa jadi mereka bersyukur karena hidup mereka berkecukupan; atau karena mereka merasa doa-doa mereka terjawab seperti yang mereka inginkan; atau karena pasangan hidup mereka penuh pengertian dibandingkan dengan pasangan lain di gereja; bisa juga karena pekerjaan mereka baik-baik saja bahkan ada kecenderungan karir mereka akan semakin mengkilap; atau karena faktor keluarga mereka yang sehat-sehat dan rukun-rukun saja. Namun, apakah yang akan terjadi bila tiba-tiba situasi tenang dan nyaman itu tiba-tiba berbalik? Pertanyaannya adalah apakah baik Polan maupun Dadap masih akan terus bersyukur?
Bila mereka berdua tak lagi bersyukur dalam situasi yang bergerak sebaliknya maka hal itu berarti ucapan syukur mereka adalah ucapan yang semata-mata lahir dari situasi baik dan zona nyaman dan belum tentu hal tersebut merupakan ekspresi iman yang kuat. Oh, apakah memamng beda? Ya tentu saja beda, bahkan sangat jauh berbeda. Karena mereka yang ucapan syukurnya disandarkan pada hari-hari atau situasi baik tidak akan bahkan tidak akan pernah mampu mengucap syukur saat mengalami "apa yang buruk dari Tuhan". Dan sebaliknya mereka yang ucapan syukurnya disandarkan pada iman yang sejati, maka bagaimanapun situasi yang berbalik itu hadir, mereka masih sanggup bersyukur pada Allah.
Iman yang sanggup hadir dalam situasi senang maupun dalam situasi yang buruk dapat disebut 'iman amphibi', iman yang bertahan di dua situasi yang dapat berubah kapan saja. Di PL, tokoh Ayub, adalah sosok yang bersyukur tatkala berada di puncak kejayaannya, dan saat semua kejayaannya lenyap hanya dalam satu hari, Ayub merespon: "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah Tuhan" (Ayub 1:26). Melalui kenyataan dan uraian di atas kita seolah ditantang untuk menguji jenis ucapan syukur kita sendiri.
Ulangan 26:1-11 menggambarkan ucapan syukur yang ditunjukkan melalui persembahan. Hal tersebut muncul dari apa yang disebut pengakuan atau penghayatan iman bangsa Israel atas pemeliharaan Allah. Nas ini menegaskan betapa ucapan syukur sesungguhnya merupakan respon iman bukan semata provokasi situasi.
Sementara itu dalam Maz 92:1-2; 9-16 pemazmur menggambarkan bahwa orang yang hidup komit dalam kebenaran masih akan mengalami fitnah, tudingan, tuduhan, tekanan, bahkan ancaman. Nas ini menegaskan bahwa pemazmur bersyukur oleh karena imannya yang mengakui bahwa Allah melindungi orang benar sesulit apapun situasi mereka.
Dalam Roma 10:8-12, Rasul Paulus menaikkan syukur kepada Allah karena keyakinan imannya yang meyakini bila Allah telah mengaruniakan keselamatan hidup yang kekal. Ketiga bacaan, baik Ul 26, Maz 92, maupun Ro 10 sama-sama menggambarkan betapa pengakuan iman yang muncul atas hal-hal yang berbeda pun tetap mendatangkan ucapan syukur.
Kita lanjutkan pembahasan seputar ucapan syukur yang berangkat dari pengakuan iman dengan menelusuri Lukas 4:1-13. Yesus Kristus menjadi teladan bagi manusia yang memegang iman kepada Bapa-Nya ketika Iblis menggempur-Nya sedemikian rupa. Gempuran Iblis adalah gempuran yang ingin menggeser prioritas hidup manusia dari berpusat pada Allah kepada diri mereka sendiri. Strategi Iblis dengan megincar wilayah kebutuhan perut, kebutuhan menguasai, dan kebutuhan dihargai dimaksudkan agar bila manusia kehilangan pengkuan imannya maka ia juga pasti akan kehilangan ucapan syukurnya. Syukurlah ternyata Kristus berjuang dalam kemanusiaan-Nya untuk menolong manusia melihat prioritas dan ke arah mana mereka mempersembahkan rasa hormat dan rasa kagum mereka selain hanya kepada Sang Bapa yang Kekal.
Sekarang persoalan bukan lagi di padang gurun tetapi di dunia modern yang penuh ketandusan iman karena manusia modern justru jatuh bergelimpangan di wilayah-wilayah yang Yesus sudah tunjukkan kemenangan di atasnya. Hal tersebut disebabkan karena manusia modern tidak mau belajar meneladani Kristus yang memiliki fokus vertikal yang tak tergoyahkan dari Bapa-Nya; juga karena iman yang mereka miliki adalah iman benih yang tak pernah mereka ijinkan untuk dilatih ototnya sehingga tidaklah mengherankan bila iman aktual mereka cuma tahan dalam situasi tenang atau tak mampu bertahan dalam krisis.
Akhirul kalam, latihlah iman kita dan tetap jaga fokus vertikal kita pada sang Bapa, sehingga sesulit apapun situasi yang harus kita hadapi kita masih bisa bersyur dan berkata: "Semua baik, semua baik".
Daniel Zacharias
(dikotbahkan di GKI Maleo Raya - Minggu PraPaskah I - di Ibadah pkl. 19.00-20.30 wib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar