Entah pikiran apa yang sedang menggelayut di benak Remy Sylado dalam menciptakan karya yang satu ini. Yang jelas keprihatinannya terhadap kejahatan trafiking perempuan perlu mendapatkan acungan jempol. Karena menurut saya tidak sedikit novel modern yang mau disarati dengan problem-problem sosial.
Sebelumnya saya pernah berkenalan dengan novel Remy yang lain seperti Parijs Van Java yang sekitar tahun 2001 dimuat serial di Koran Tempo dan Kerudung Merah Kermizi yang 600 halaman tetapi berhasil saya taklukan dalam 2 hari. Kelihatannya tidak bisa tidak lari dari kenyataan dan kepedulian sosial dengan sitz im leben sejarah masa lampau atau masa kini.
Kemampuan Remy yang biasanya detail dengan gambaran, kata-kata serapan, kata-kata asing (internasional/daerah), tanggal dan tahun, geografis, kutipan surat kabar tahun 1997-an menunjukkan bahwa ia tidak menulis asal berimajinasi tanpa mengenal dengan baik medannya. Saya benar-benar kagum ketika dalam novel ini ia bersusah payah menampilkan huruf Siam dan menerjemahkannya. Belum lagi mulai dari jalur minyak ilegal sampai dengan nama jalan di Bangkok menunjukkan hal itu bukan sekedar rekaan belaka.
Terlepas dari kepiawaiannya menggandeng semua detail tersebut satu-persatu, terlihat disini banyak sekali dua ajaran-ajaran Alkitab yang dia masukan baik secara tersirat maupun tersurat. Hal itu jelas juga tampak di dalam Novel Parijs van Java. Namun di sisi lain ada kata-kata yang begitu seronok ditampilkan tanpa sensor membuat pembaca seperti saya terkejut luar biasa.
Kisahnya memang berakhir bahagia dan mudah-mudahan novel ini setidaknya membuka cakrawala kita melihat fakta trafiking yang semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.
Novel ini agaknya (bagi saya) seperti sebuah parodi, mudah-mudahan saya salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar