Entah kenapa apa yang tertulis di buku itu sedang saya hadapi. Saya tidak menjadi siapapun dalam buku tersebut. Tetapi saya tetap menjadi penonton yang gemas baik dalam dunia nyata maupun dalam dunia baca. Sempat benak saya bertanya apakah ini sebuah kebetulan atau sebuah bagian penetapan ilahi.
Saya cuma bertanya sekarang mengapa kesetiaan menjadi kata yang tak lagi bisa dipertahankan, dan pengkhianatan menjadi kata yang benar dan dimaklumi. Salah apa sih kata tersebut sehingga harus diragukan. Kesetiaan kelihatannya bukan lagi jadi nilai perkawinan tetapi ketidaksetiaan. Ketidaksetiaan mengambil banyak tempat dalam berbagai perkawinan dari segala lapisan. Ketidaksetiaan dilihat sebagai kewajaran walaupun awalnya dicibir dan digunjingkan. Malah bila berbicara tentang ketidaksetiaan dalam pernikahan maka akan ada pertanyaan menggelitik, menggemaskan, dan provokatif: "Siapa yang tidak pernah?"
Kelihatannya mengembalikan kata kesetiaan kembali pada porsinya menuntut banyak pengorbanan dan pengekangan dan salah satunya adalah syahwat. Syahwat seringkali hadir dan menuntut pemenuhan tanpa mengenal norma dan aturan. Syahwat suka berbisik di dalam kepala untuk mengutarakan keinginan liarnya. Syahwat terkadang membuat orang menjadi bodoh. Syahwat terkadang membutakan iman. Harusnya kita mengendalikan syahwat tetapi seringkali malah terjadi sebaliknya. Untuk bisa masuk ke wilayah itu tentunya yang harus mengalami perubahan adalah konsep kita. Orang bila ingin mengendalikan diri ia harus mengenal apa yang disebut konsep penyangkalan diri. Konsep penyangkalan diri sebenarnya bicara mengenai penolakan terhadap sebuah kesenangan karena berorientasi pada kebenaran dan kekudusan. Penyangkalan ini membuahkan sebuah perasaan rugi yang luar biasa. Menekan syahwat merupakan kerugian yang luar biasa, sementara mengikutinya akan membuat manusia bersenang-senang. Sehingga dalam konsep penyangkalan diri prinsip yang paling dasar adalah: Mau Rugi Atau Tidak Demi Sang Pencipta?
Daniel Zacharias
Tidak ada komentar:
Posting Komentar