29 Juli 2010

Setara Institute: Pelanggaran Kebebasan Beragama Meningkat

Mathea N.
Reporter Kristiani Pos

Posted: Jul. 27, 2010 07:52:10 WIB

Laporan Setara Institute mengungkapkan, tahun ini terjadi lonjakan kekerasan khususnya terhadap jemaat Kristiani. Angka kasus kekerasan tahun 2010 sudah melampaui tahun-tahun sebelumnya. Dalam tujuh bulan terakhir, dari Januari sampai Juli 2010, sudah terjadi 28 kasus kekerasan terhadap umat Kristiani di Indonesia.

Kekerasan itu meliputi penyegelan dan penolakan pendirian gereja, ancaman hingga penutupan gereja secara paksa serta penghentian paksa kegiatan ibadah. Jumlah kekerasan ini melampaui yang terjadi pada tahun 2008-2009 yang angka nya tak lebih dari 20 kasus.

Pelakunya beragam, yang terbanyak dilakukan oleh pemerintah daerah, disusul kelompok massa, warga dan ormas Islam seperti Front Pembela Islam FPI.

Hal tersebut diungkapkan dalam hasil kajian Setara Institute tindakan pelarangan dan pelanggaran terhadap kebebasan umat beragama dalam konferensi persnya, Senin (26/7/2010).

Jumlah ini jauh melampaui peristiwa yang terjadi pada tahun 2008 (18 peristiwa) dan tahun 2009 (19 peristiwa). Dari 28 peristiwa itu, kebebasan yang diserang adalah hak untuk bebas beribadah dan hak untuk mendirikan rumah ibadah.

Peristiwa terbanyak terjadi pada bulan Januari (delapan peristiwa), Juni (tujuh peristiwa), dan Februari (lima peristiwa). Data Setara Institute menunjukkan, kasus terbanyak penyerangan gereja terjadi di wilayah Jawa Barat (16 peristiwa), disusul Jakarta (enam peristiwa), Sumatera Utara (dua peristiwa), serta di Riau, Jawa Tengah, dan Lampung masing-masing satu peristiwa.

Menurut Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, tingginya kekerasan di Jawa Barat ini terkait dengan sejarah panjang dari aliran Islam garis keras di Propinsi yang pernah menjadi basis kekuatan Darul Islam.

"Bentuk tindakannya itu beragam, di antaranya penolakan pendirian gereja, penghalangan kegiatan beribadah, perusakan rumah idabah, penyegelan gereja, pembakaran rumah ibadah, pembakaran properti umat, penghentian paksa kegiatan ibadah, penutupan paksa gereja, desakan penutupan gereja, dan ancaman penggerebekan gereja," jelas Bonar di Kantor Setara Institute, Jalan Danau Gelinggang, Jakarta.

Jika ditilik dari pelaku pelanggaran, pemerintah daerah menempati peringkat pertama dengan 12 peristiwa, disusul oleh kelompok massa, warga, dan organisasi masyarakat. Padahal, dikatakan Bonar, ketersediaan rumah ibadah seharusnya menjadi tanggung jawab sosial masyarakat.

"Kewajiban sosial pemerintah untuk menyediakan rumah ibadah. Tetapi, pemerintah justru seolah menutup mata atas peristiwa yang terus terjadi," kata Bonar, seperti diberitakan Kompas.

Dari peristiwa yang terdokumentasi dalam tujuh bulan terakhir, pelanggaran kebebasan beragama dilandasi oleh argumen bahwa keberadaan rumah ibadah telah mengganggu dan meresahkan masyarakat. Selain meresahkan masyarakat, menurut Bonar, pelanggaran juga dijustifikasi oleh alasan bahwa bangunan atau rencana pembangunan tidak sesuai dengan peruntukan atau menyalahi konsep tata ruang.

"Soal izin mendirikan bangunan (IMB) juga menjadi pembenar semua persekusi yang terjadi," kata Bonar.

Komitmen Presiden Dipertanyakan

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk merespons berbagai aksi pelanggaran kebebasan umat beragama.

Dalam catatan Setara, belum sekalipun Presiden memberikan pernyataan terkait tindakan tersebut.

"Presiden lebih malu karena video porno, yang menjadi pemberitaan media luar negeri. Sementara soal pelanggaran dan perusakan rumah ibadah, yang sudah diberitakan media asing berulang kali, tidak ada tindakan apa-apa," kata Bonar.

"Presiden bicara ada tragedi moral, tetapi dia lupa masalah moral sesungguhnya. Yang dasar dilupakan. Mendidik moral itu berawal dari agama. Presiden SBY harus menunjukkan komitmennya. Kami minta pertanggungjawaban Presiden dalam menjaga dan menjamin kerukunan umat beragama di Indonesia," papar Bonar.

Ia memberikan catatan, persyaratan membangun rumah ibadah seharusnya direvisi. Dalam sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, pemerintah dinilai seakan menyamakan pembangunan rumah ibadah dengan pembangunan pusat perbelanjaan.

"Pemerintah selalu samakan rumah ibadah dengan bangunan seperti mal, harus ada IMB. Kemudian, ada syarat 90 umat untuk mendapat izin, mendapat izin 60 orang dari orang yang tinggal di sekitar rumah ibadah, kemudian tanda tangan dari Forum Kebebasan Umat Beragama. Belum lagi dari Kementerian Agama dan pemerintah daerah. Mata rantai birokrasinya sangat panjang," tutur Bonar.

Perhatian pemerintah dinilai penting sebab, dalam beberapa peristiwa, perempuan dan anak-anak menjadi korban. Aksi pelarangan beribadah terhadap umat beragama dikhawatirkan akan menimbulkan trauma kepada anak-anak yang menyaksikannya.

"Tingkat intoleransi ini terjadi secara laten, terlepas dari apa pun agamanya. Ada prejudice terhadap sesama umat beragama.

Bukan mayoritas terhadap minoritas," ujarnya.

Bonar Tigor Naipospos, mengungkapkan alasan pembiaran kekerasan itu oleh pemerintah.

“Pertama kepentingan politik. Pemerintah kota selalu menganggap mereka (ormas) adalah aset atau massa yang penting bagi Pilkada dan dukungan politik. Kedua kepentingan ekonomi, dibalik penghentian ibadah atau penyegelan atau pemindahan gereja selalu ada kepentingan ekonomi berupa pemerasan. Ketiga, memang ada kepentingan ideologi. Ada kelompok - kelompok intoleran yang ingin melihat kelompok yang berbeda aliran atau keyakinan supaya tidak bisa tinggal disitu,” kata Naipospos.

Tidak Konsisten

Salah satu contoh adalah kasus yang menimpa Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah Bekasi Jawa Barat. Menurut Pendeta Luspida Simanjuntak, meski jemaat ini telah terbentuk sejak 15 tahun lalu, namun sampai saat ini, keinginan mereka untuk memiliki gereja yang permanen belum terkabul. Untuk beribadah mereka terpaksa berpindah dari satu rumah ke rumah lain. “Terakhir usaha kami adalah, kami siap membeli satu bangunan, tinggal menandatangani hitam diatas putih, tiba-tiba, sekelompok massa sudah membuat spanduk di bangunan tersebut. Isinya adalah, rumah ini bisa dijual tetapi tidak untuk gereja, tutur Sinamjuntak. Makanya rumah yang dibeli tahun 2007 dipertahankan sampai bulan Juni lalu. Kemudian ada surat dari Pemda untuk melakukan penyegelan.

Di Indonesia, untuk menghindari konflik dengan pemeluk agama lain, pendirian rumah Ibadah diatur dalam peraturan bersama atau Perber Menteri Agama dan Mendagri no 9 tahun 2006. Isinya antara lain, untuk bisa mendapat ijin resmi, maka sebuah rumah ibadah harus punya paling sedikit 90 pengguna dan didukung oleh paling sedikit 60 warga yang tinggal di sekitar rumah ibadah itu.

Tetapi Kasus di Bekasi ini menunjukan betapa sulitnya mendapat ijin pendirian rumah ibadah. Sekretaris Setara Institute Romo Benny Susetyo yang ikut merumuskan Perber tersebut, menyalahkan Pemerintah daerah yang dianggap tidak konsisten menerapkan aturan dalam Perber. Ia menambahkan ketersediaan Rumah Ibadah menjadi tanggung jawab pemerintah. “Kalau tidak terpenuhi 90 orang dalam kelurahan itu bisa gabungan kelurahan, kalau gabungan kelurahan tidak terpenuhi, kecamatan, kalau tidak ditarik Kabupaten sampai tingkat Propinsi," kata Romo Benny seperti dikutip Tribun News.

Ia melanjutkan, dalam keterangan Perber tidak mungkin orang tidak bisa mendirikan rumah Ibadat. Persolannya adalah Walikota-Bupati tidak pernah konsisten dengan Perber. Bahkan disitu juga tertera, kalau 90 anggota jemaat terpenuhi, tapi tidak ada dukungan 60 orang, kewajiban pemerintah lah untuk menyediakan tempat rumah ibadat itu. Lalu ada mekanisme ijin sementara rumah bisa dijadikan tempat ibadat, berlaku dua tahun.

Kekerasan pemeluk agama ini tidak hanya dialami oleh umat Kristiani. Bonar menyebutkan, terdapat gangguan dalam pembangunan Masjid di Denpasar Bali. Demikian juga yang terjadi pada Kuil Budha di Riau dan rencana renovasi Pura Hindu di Nusa Tenggara Barat. Ia khawatir, jika pemerintah tinggal diam, ini akan memicu meluasnya sikap intolerasi beragama di Indonesia.



Daniel Zacharias
education from womb to tomb

16 November 2009

Harapan Warga Gereja Jelang Sidang Raya XV PGI

Sidang Raya PGI XV pada tanggal 17-24 Nopember 2009 di Mamasa Sulawesi Barat yang mengangkat tema: “Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang” dan sub tema: “Bersama-sama seluruh komponen bangsa mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban, inklusif, adil, damai dan demokratis”, tinggal beberapa bulan lagi. Lembaga yang berusia 59 tahun ini terlihat begitu berat melangkah mengingat berbagai tugas yang makin hari semakin berat, menghadapi tumpukan masalah-masalah internal, serta peran kenabiannya yang seringkali masih harus membentur tembok yang besar.

Memasuki masa persidangan kali ini ada beragam reaksi warga jemaat: ada yang berharap melalui persidangan ini melahirkan sesuatu yang akan membawa perubahan sekaligus kemajuan. Ada yang masih pesimis karena beranggapan bahwa selama ini kiprah PGI masih jauh api dari panggangnya bahkan terkesan masih sering berkonsentrasi pada hal-hal sekunder. Bahkan banyak yang apatis karena belum merasakan secara langsung peran PGI, atau masih banyak yang berpikir bahwa kegiatan persidangan ini atau kegiatan PGI lainnya lebih banya melibatkan para klerus yang berhak mengambil keputusan ketimbang para umat. Reaksi beragam ini tentunya tidak langsung dapat dipakai untuk menilai baik buruknya sebuah persidangan atau kiprah PGI secara umum namun setidaknya kita semua menjadi sadar bahwa apa yang diperjuangkan dalam persidangan belum semua dapat menjawab kebutuhan dari gereja-gereja anggota atau pihak-pihak terkait.

Terkait dengan hal tersebut maka ada baiknya melalui tulisan ini diajukan beberapa pandangan yang harapannya mewakili pandangan warga jemaat yang masih memiliki concernterhadap kiprah PGI, antara lain:

1. Visi Yang Masih Jauh Dari Jangkauan

Dalam sejarah PGI, terekam peristiwa 21-28 Mei 1950 dalam sebuah Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia di STT Jakarta, yang dihadiri 21 sinode, yang melahirkan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Secara khusus pada tanggal 25 Mei 1950 dibuatlah sebuah Manifes Pembentoekan DGI yang bunyinya: “Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan Geredja-geredja di Indonesia, jang soedah ditetapkan oleh Sidang pada 25 Mei 1950. Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.” Visi tersebut kemudian disempurnakan pada Sidang Raya X tahun 1984 di Ambon (sekaligus mengubah nama DGI menjadi PGI) menjadi mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa. Keesaan dalam konteks ini tidak dilihat dari segi struktural organisatoris tetapi pada kesepakatan untuk melaksanakan Lima Dokumen Keesaan Gereja bersama-sama maka disitulah keesaan terwujud. Menyikapi hal tersebut maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Dalam laporan Dirjen Birmas Kristen di tahun 2005 bahwa ada 323 Organisasi Gereja (Sinode Gereja) yang telah terdaftar di Ditjen Bimas Kristen (belum termasuk yang sudah terdaftar pada tingkat Kanwil). Berarti hanya ada 88 organisasi gereja (Sinode Gereja) yang merupakan anggota PGI dan sisanya merupakan anggota dari lembaga oikumenis lainnya. Dan sejak tahun 2005 Ditjen Bimas Kristen Protestan mengendalikan laju perkembangbiakan sinode baru tersebut dengan mengeluarkan kebijakan “Zero Growth Induk Organisasi Gereja” yaitu dengan tidak lagi melayani pendaftaran gereja baru dengan maksud menahan lajunya pertambahan dan peningkatan jumlah organisasi induk/Sinode gereja tetapi lebih menekankan pada pemberdayaan/pertumbuhan Gereja yang berkualitas, sejahtera dan bertanggungjawab.

Dalam Sidang Raya kali ini terlihat ada upaya untuk melakukan amandemen terhadap pasal 8.2.b TD PGI soal syarat keanggotaan PGI yang cenderung menaikan angka 2.000 orang menjadi 10.000 yang dampak positifnya secara tidak langsung juga mengarah pada upaya mencegah pendirian sinode baru (atau menampung sinode baru). Tetapi dalam hal ini tidak disebutkan mekanisme apa yang dipakai untuk meneliti kebenaran data dari jumlah anggota gereja-gereja baru tersebut.

Dalam kaitan dengan hal di atas rupanya ada 2 keprihatinan yang tampak jelas dalam fenomena menjamurnya tunas-tunas sinode baru yang lahir bukan disebabkan oleh hasil dari Pekabaran Injil tetapi lahir dari apa yang disebut “The Self Destructive Habits of Churches”, antara lain:

Pertama, Gereja bersatu karena alasan teologis dan menolak untuk bersatu (juga memecah diri) juga karena alasan teologis. Inilah yang merupakan salah satu 'keahlian' gereja masa kini. Alasan banyak gereja bersatu di dunia ini adalah karena mengutip ucapan Yesus 'ut omnes unum sint' (supaya semua menjadi satu) sebagai landasannya. Kemudian Gereja dengan terampil akan mengutip ayat-ayat lain yang makin memperkokoh pikiran ekumenis semacam itu. Namun dalam kenyataannya banyak gereja tidak mau bersatu karena alasan: kepemimpinan dan keuangan, dan kemudian alasan-alasan teknis tersebut dibungkus dengan alasan teologis. Istilah dari Alm. Pdt. Eka Darmaputera untuk fenomena ini adalah 'polarisasi', yang bukan saja berada di lapisan lokal tetapi juga merembet sampai ke aras Nasional. Dalam konteks belakangan ini kelihatannya polarisasi terbentuk bukan hanya karena faktor kepemimpinan atau karena faktor material (asset) tetapi juga faktor teologis.

Dalam sebuah dialog imajiner seseorang berkata kepada yang lain: "mengapa gereja anda yang belum bersinode ini tidak melakukan merger dengan gereja Advent yang sudah bersinode atau gereja Pentakosta yang juga sudah bersinode?" Maka jawaban yang kemudian muncul dari mulut pimpinan gereja tersebut adalah: "Kami berasal dari tradisi teologi yang berbeda". Ketika diminta selanjutnya: “Kalau begitu bergabunglah saja dengan gereja yang tradisi teologinya sama dengan gereja anda!”, “Oh maaf, tetap tidak bisa, karena kami memiliki kekhususan tersendiri.”Inilah gambaran kira-kira dari 'kehebatan' gereja masa kini yang mengetahui mengapa bersatu karena alasan teologis dan mengapa tidak bersatu juga karena alasan teologis.

Kedua, gereja masa kini jauh lebih mahir dan terampil memberi contoh kepada dunia bagaimana caranya memecahkan diri ketimbang menyatukan diri.Kita tidak dapat menyangkali bila gereja-gereja yang ada di Indonesia tidak sedikit merupakan perpecahan gereja dari luar negeri. Dan tidak juga kita sangkali di tangan kita sendiri gereja-gereja juga pecah menjadi kepingan-kepingan. Bahkan ada yang menyebutnya karena kehendak Tuhan atau karena perintah Tuhan. Padahal kalau dikaji benar soal 'kehendak atau perintah Tuhan' tadi maka akan sanggat janggal ketika kita mengetahui bahwa Yesus sedang memberi perintah yang menentang doa-Nya sendiri. Doa Yesus yang indah menjadi monumen gereja yang begitu agung tetapi telah kehilangan makna. Dunia sulit untuk percaya kepada gereja karena gereja tak mampu menunjukkan jatidirinya yang merupakan utusan dan representasi Kristus di dunia. Gereja yang semakin terpecah di satu sisi memenuhi keinginan untuk berkespresi tetapi di sisi lain memberi gambaran buruk dari ketidakmampuan menerjemahkan isi beritanya sendiri dalam kata dan perbuatan. Apapun kelihaian kita membungkus upaya perpecahan dengan berbagai dalih baik yang masuk akal maupun tidak, semua itu hanyalah bagian dari keadaan kita yang sebenarnya: "ketidakmauan kita mengakui apa yang tidak mau kita akui". H. Richard Niebuhr pernah mengatakan dalam bukunya The Social Sources of Denominationalism:"kalau denominasi itu adalah kemunafikan yang tidak mau diakui" (an unacknowledged hypocrisy)".

Tawaran yang ada di depan mata kita untuk mulai menghentikan ‘kebiasaan buruk’ gereja ini adalah dengan mulai mempelajari kembali kenyataan baru yaitu dengan adanya kecenderungan ‘Uniting Church’ yang hadir di dunia Internasional. Misalnya di Australia sejak 1977 yang merupakan gabungan dari the Congregational Union of Australia, the Methodist Church of Australasia and the Presbyterian Church of Australia, juga di Philiphina dengan UCPC-nya yang merupakan merger dari berbagai denominasi gereja di Filipina, dan di beberapa negara lainnya. Kenyataan-kenyataan ini setidaknya membuat kita berpikir ulang apakah penyatuan gereja dalam model ‘mangga’ masih dimungkinkan atau kita terus mempertahankan bentuk ‘manggis’ (atau ‘jeruk’) yang ruasnya makin hari makin banyak dan dapat diperkirakan akan bertambah lagi dalam Sidang Raya kali ini.

Untuk menghadapi kenyataan ini gereja hendaknya tidak memulai dengan sebuah penolakan yang terlampau dini dengan alasan yang dangkal, namun justru Gereja-gereja mau meluangkan waktu dan dana untuk melakukan studi menyeluruh dari kecenderungan baru ini, dan yang pada akhirnya PGI dapat memutuskan untuk menerapkannya atau memilih untuk mencari alternatif lainnya.

Bila PGI dan Ditjen Bimas Kristen memiliki kesamaan dalam memandang persoalan ini mau tidak mau dibutuhkan sebuah hubungan kemitraan yang egaliter antara pemerintah dengan gereja yang sempat mengalami ketegangan sebagaimana termuat dalam laporan sidang MPL PGI tahun 2008. Perlu diingat bersama bahwa Gereja pada fungsinya tak hanya menyuarakan suara kenabian tetapi juga menunjukkan sikap dan tindakan kenabiannya.

2. Asset Yang Terus Tergerus.

Gereja-gereja anggota PGI di saat sekarang ini benar-benar harus memikirkan jalan keluar untuk penyelamatan asset-asset PGI. Tidak sedikit asset PGI yang harus berpindah tangan dengan cara yang tidak sah kepada pihak lain. Penjualan dan pengambil alihan asset secara sepihak terjadi berulangkali dan itu dikerjakan oleh orang-orang dalam PGI sendiri di masa lalu. PGI mulai digerogoti dari dalam berpuluh tahun lamanya. Pada gilirannya PGI akhirnya harus ‘berseteru’ dengan pihak-pihak di luar gereja. Citra PGI sendiri ikut tergerus seiring dengan lenyapnya satu-persatu hak miliknya. Akibatnya PGI harus terus-menerus bertarung di pengadilan dan tidak jarang harus menelan pil pahit kekalahan dan menelan biaya yang tidak sedikit. Sangat disayangkan bila hal ini terus berlangsung.

Kelihatannya mulai harus dipikirkan sejak dini sebuah sistim yang mengatur pengelolaan asset sekaligus menyelamatkan (yang masih ada) dan bila mungkin maka asset-asset yang berada di tangan yang tidak sah dapat diperjuangkan kembali untuk dikembalikan ke tangan PGI.

3. Kepemimpinan Yang Handal

Kepempimpinan merupakan hal yang strategis dalam sebuah organisasi sekuler juga dalam organisasi gereja. Dalam perjalanan PGI lima tahun mendatang diperlukan pemimpin yang bukan saja dilihat dari kemampuan kepemimpinannya tetapi juga dinilai aspek rohani dan moralnya. Setidaknya kita belajar dari 59 tahun PGI memilih para pemimpinnya. Bila Kepempimpinan di dunia pemerintahan masih membutuhkan citra baik yang dapat menarik simpati masyarakat (dunia) maka hal tersebut di gereja justru harus semakin ditekankan. Di kalangan Gereja, Rasul Paulus, menyebut beberapa syaratnya ‘memiliki nama baik di luar jemaat’ dan ‘orang terhormat’ sekaligus ‘pendamai’ (1 Tim 3). Dengan keuntungan positif semacam ini gereja kelak tidak menjadi keranjang sampah caci maki dari pihak lain malah sebaliknya gereja menjadi terang di tengah kegelapan.

Ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian dalam persidangan kali ini:

a. Bila calon pemimpin adalah incumbent, maka perlu dikaji kinerja, moral, dan citranya di mata gereja-gereja anggota, bangsa serta dunia; sejauh mana hal itu memungkinkan yang bersangkutan untuk mencalonkan diri lagi. Pencalonan tanpa melihat kinerja, moral, dan citranya merupakan upaya mendorong sesuatu yang keliru yang menciderai gereja-gereja di masa mendatang.

b. Hal yang sama juga berlaku bagi para calon yang datang dari utusan yang mendapat rekomendasi dari gereja-gereja pengutus. Dilihat kinerja mereka di Sinode masing-masing, juga kehidupan moral dan citranya dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Memilih pemimpin bukan tergantung dari berapa banyak anggota gereja (kuota), gereja lama atau masih baru, timur atau barat, tetapi lebih pada nilai-nilai yang sudah diajukan terdahulu. Bila gereja ingin menjadi sebuah gerakan moral maka gereja juga tidak bermain-main dengan moral para pemimpinnya. Bila gereja ingin berdaya guna maka gereja jangan bermain-main dengan kinerja para pemimpinnya. Bila gereja ingn memiliki citra yang baik maka gereja juga jangan bermain-main dengan citra para pemimpinnya.

(telah dimuat di Majalah Berita Oikoumene September 2009)

Daniel Zacharias


07 Oktober 2009

The Mind of Christ (Pikiran Kristus)

Sifat refleksi macam apakah yang pas untuk dibagikan di saat-saat sulit seperti yang sedang kita jalani kini, dan yang sedang melanda bukan saja kita tetapi seisi dunia? Sesuatu yang bersifat memompa kebanggaankah, bahwa sekian pencapaian telah kita raih karena berjuang bersama dalam anugerah Allah? Atau, sesuatu yang mendorong semangat lebih berkobarkah agar menyemaraki tiap momen istimewa yang sedang kita jelang? Sesudah beberapa waktu tertegun tak berkepastian, akhirnya terkilas dalam benak bahwa suasana doa dalam lagu yang bersumberkan Filipi 2.5 inilah yang perlu kita senandungkan bersama.


May the mind of Christ my Saviour
Live in me from day to day,
By his love and power controlling
All I do and say.

Tidak ada yang lebih diperlukan dalam suasana dunia semakin gelap dan suasana hubungan manusia semakin mengerikan kini, dari memohon agar pikiran Kristus hidup di dalam kita tiap-tiap hari. Supaya, kasih dan kuasa-Nya mengendalikan semua yang kita lakukan dan katakan! Bahkan di antara umat Tuhan sendiri pun, betapa perlunya akal budi Kristus sungguh menerangi seluruh ciri hubungan, kerjasama, dan mutu persekutuan serta pelayanan kita bersama. Lebih lagi, dalam kondisi dunia yang makin terhempas oleh berbagai bentuk tsunami, tsunami moral-spiritual, tsunami ekonomi, tsunami intelektual, kita para pengikut Kristus sungguh makin membenam diri dalam Kristus, agar akal budi-Nya memerintah penuh seluruh gerak kehidupan kita.

Kebanyakan kita cenderung lemah tatkala harus terus menerus berkonfrontasi dengan dunia yang tidak sedikit pun berhasrat untuk taat kepada Allah dan menjalani kehendak-Nya. Kita pasti akan terjepit oleh desakan dan hambatan kuasa-kuasa di udara dan di bumi yang berkonspirasi untuk menjegal kemajuan anak-anak Allah dalam menjalani rencana-Nya, bila kita bergantung hanya pada kekuatan manusiawi kita belaka. Inilah saat kita memohon agar firman Allah mendiami hati kita dengan berlimpah, sepanjang waktu kehidupan kita. Agar, orang melihat bahwa kita berhasil, kita menang, kita lebih dari pahlawan, hanya oleh kuasa-Nya:

May the Word of God dwell richly
In my heart from hour to hour,
So that all may see I triumph
Only through His power.


Siapa dari kita dalam masa sekalut zaman ini yang tidak gelisah, resah, kuatir tentang banyak perkara? Harga-harga membubung, surat berharga dan mata uang anjlok, penyakit aneh-aneh bermunculan dan dalam sekejap berpotensi pandemik, berbagai wujud bahaya tak henti mengintai di tiap persimpangan jalan… siapa yang tak akan sedemikian gelisahnya hingga tak lagi mampu memberikan perhatian kepada sesama sebab seluruh energi telah tersita bagi berbagai kekuatiran hidup? Ooh betapa semua kita perlu damai sejahtera Allah membentengi hati dan pikiran kita sehingga seluruh hidup ini diatur-Nya, dan kita boleh berbagi sejahtera-Nya itu dalam ketenteraman hati kepada mereka yang sakit dan berduka:

May the peace of God my Father
Rule my life in ev’ry thing,
That I may be calm to comfort
Sick and sorrowing.


Apabila Tuhan menganugerahi kita keberhasilan, kemenangan, kejayaan, jangan lupa diri. Jangan kita lalu menjadi sombong, mencuri kemuliaan Allah, menganggap diri kita hebat, berpotensi luar biasa, sampai Allah memilih kita untuk memakai kita. Jangan! Keberhasilan yang sejati, kemenangan yang tulen adalah ketika kasih Yesus sedemikian melimpahi kita seolah air bergulung-gulung memenuhi lautan, membuat kita meninggikan Ia saja dan menenggelamkan diri kita di dalam lautan penghormatan dan pemuliaan bagi-Nya saja!

May the love of Jesus fill me.
As the waters fill the sea;
Him exalting, self-abasing,
This is victory.


Partner Kristus, ingat kita masih harus berlomba lagi. Esok, lusa, sehari sesudah lusa, di tahun 2009, dan tahun-tahun berikutnya. Saat-saat yang dalam rencana-Nya Ia pandang baik untuk masing-masing kita berlomba dalam perlombaan iman kehidupan ini. Harus dengan sikap dan tekad bagaimanakah kita tekuni perlombaan iman yang diharuskan-Nya bagi kita ini? Bukan dengan melihat ke diri sendiri, tidak dengan membiarkan diri dipengaruhi oleh si musuh, tidak dengan berbagi pandang ke dunia, tidak juga dengan sikap bersaing dengan sesama pelomba iman, tetapi dengan terfokus pandang pada Yesus, pemula dan penyempurna iman itu!

May I run the race before me,
Strong and brave to face the foe,
Looking only unto Jesus
As I onward go.


Aspirasi apakah yang harusnya kita kobarkan sepanjang hidup ini? Kerinduan macam apakah yang harusnya menyala-nyala di benak kita terdalam? Hal apakah yang tidak boleh tidak harus ada dalam interaksi kita dengan sesama? Inilah doa yang patut kita desahkan dari waktu ke waktu. Kiranya keindahan Kristus hadir dalam kehidupan kita, sementara kita berusaha menyaksikan sesama yang belum dalam naungan-Nya. Dan, biarlah mereka melupakan kita sang saluran tak layak dari anugerah Allah yang dahsyat itu, supaya hanya Yesus saja yang mereka tatap.

May His beauty rest upon me
As I seek the lost to win,
And may they forget the channel,
Seeing only Him.


(syair-syair dari lagu doa: May the Mind of Christ, oleh: Katie Barclay Wilkinson / A. Cyril Barham-Gould)

Sumber: diadapatasi dari PPA

30 September 2009

Colosseum



Colosseum adalah sebuah bangunan bersejarah berupa gedung pertujukan yang besar atau amphitheatre, yang termasuk satu dari tujuh keajaiban dunia. Nama Colosseum diambil dari Colossus, yaitu nama sebuah patung setinggi 130 kaki atau 40 m. Colosseum ini terletak di Roma, ibukota Italia dengan asli Flavian Amphitheatre. Bangunan ini didirikan oleh Kaisar Vespasianus dan diselesaikan anaknya Titus sekitar tahun 70-82 M, dirancang oleh seorang arsitek Yunani yang namanya tidak terdokumentasi dalam sejarah. Colosseum dibangun berdekatan dengan "Nero's Enermous Place".

Mega stadion yang erat kaitannya dengan sejarah gereja itu bisa menampung 45.000-50.000 orang penonton. Tinggi bangunannya 48 m, panjang 188 m, lebarnya 156 m, dan luas 2,5 ha. Arenanya terbuat dari kayu berukuran 86x54m dan tertutup oleh pasir. Lantai arena ditutupi pasir agar darah korban tidak mengalir kemana-mana. Di gambar inzet, dari luar tampak betapa besar dan luasnya Colosseum itu di bagian dalam khususnya. Terlihat bahwa lantai utamanya hilang, yang justru memperlihatkan ruang-ruang bawah tanah serta kandang-kandang yang berfungsi untuk menyimpan hewan liar serta kurban-kurban manusia sebelum pertunjukan dimulai. Colosseum, secara arsitektur, merupakan karya yang sangat hebat, tempat duduknya saja dibagi menjadi tiga tingkatan yang berbeda: Pertama, podium, tempat yang diduduki oleh Senator Roma, ruang khusus bagi raja, tempat istirahat dan penyimpanan harta. Di tingkat kedua ada maeniaum primum, yaitu tempat khusus bagi bangsawan Roma. Tingkat ketiga dibagi lagi menjadi tiga bagian: bagian paling bawah immum yang digunakan untuk orang kaya, bagian atas summum untuk rakyat jelata, yang terakhir maenianum secundum in legneis, yaitu tempat untuk para wanita rendahan yang menonton dengan posisi berdiri. Beberapa ahli percaya bahwa bangunan ini dibangun dengan biaya yang diperoleh dari hasil merampok Bait Allah di Yerusalem atas suruhan Herodes di tahun 64 M.

Di Colosseum biasa diselenggarakan pertunjukan spektakuler, yaitu pertarungan antara binatang (venetaiones), antara tahanan dan binatang, eskekusi tahanan (noxii), pertarungan air (naumachiae) dengan cara membajiri arena, dan pertarungan antara gladiator (munera). Selama ratusan tahun diperkirakan ribuan orang, umumnya orang Kristen abadi pertama, dan binatang mati di arena pertandingan itu. Dio Cassius, seorang sejarawan mengatakan ada sekitar 9.000 hewan buias yang mati terbunuh di 100 hari acara peresmian Colosseum.

Colosseum menjadi pengingatan bagi kita betapa banyak darah martir yang tercurah demi mempertahankan iman kepada Kristus. Alkitab berkata, anggaplah satu kebahagiaan ketika kita dianiaya oleh karena kebenaran dan nama Yesus, sebab Dia menyediakan upah yang kekal bagi orang-orang yang mempertahankan imannya (Mat 5:10-12).

Colosseum masih digunakan sampai tahun 217, meskipun telah rusak kebakaran karena disambar petir. Colosseum telah diperbaiki di tahun 238 dan permainan gladiator berlanjut sampai umat kristen secara berangsur-angsur menghentikan permainan tersebut karena terlalu banyak memakan korban jiwa.

Bangunan tersebut digunakan untuk menyimpan berbagai macam jenis binatang sampai pada tahun ke 524. Dua gempa bumi di tahun 442 dan 508 menyebabkan kerusakan yang parah pada bangunan tersebut. Di Abad pertengahan, Colosseum mengalami kerusakan yang sangat parah yang disebabkan oleh gempa bumi lagi yakni pada tahun 847 dan 1349 dan dijadikan sebagai benteng dan sebuah gereja juga didirikan disana.

Banyak batu marmer digunakan untuk melapisi dan membangun kembali bagian-bagian Colosseum yang telah rusak karena terbakar. Pada abad 16 dan 17, keluarga-keluarga Romanmenggunakan Colosseum sebagai tempat pengambilan batu marmer untuk konstruksi bangunan St. Peter’s Basilica dan kediaman khusus palazzi, keluarga orang Roma.

Di tahun 1749, ada sebuah bentuk dari pemeliharaan Colosseum. Paus Benediktus XIV melarang untuk menggunakan Colosseum sebagai tempat penambangan. Di tahun 2000 ada sebuah protes keras di Itali dalam rangka menentang penggunaan hukuman mati untuk negara-negara di seluruh dunia (di Italia, hukuman mati dihapuskan pada tahun 1948). Beberapa demonstran memakai tempat di depan Colosseum. Sejak saat itu, sebagai sebuah isyarat menentang hukum kapital tersebut, penduduk lokal mengganti warna Colosseum di malam hari dari putih menjadi emas dengan menggunakan penerangan berupa lilin dan lampu neon sampai pada saat dimana seluruh dunia menghapuskan tindakan penghukuman mati itu.


Sumber: Manna Sorgawi - Maret 2007 dan Wikepedia Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Colosseum)

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

25 September 2009

MEMBACA ITU PENTING (Andrew Ho)

Saya pilih menjadi orang miskin yang tinggal di pondok penuh buku daripada menjadi raja yang tak punya hasrat untuk membaca"- Thomas Babington Macaulay (1800-1859), sejarawan Inggris.

Membaca merupakan aktifitas yang menyenangkan sekaligus mencerahkan. Membaca membantu kita lebih berwawasan, sukses dan hidup lebih baik. Tetapi ternyata kegemaran membaca belum dimiliki mayoritas orang, sebab mereka belum mengerti berjuta manfaat dari membaca. Berikut ini adalah beberapa manfaat dari membaca, yang mungkin dapat menggugah semangat dan kemauan Anda untuk melahap isi buku-buku bacaan.

1. Membaca membangun fondasi yang kuat untuk dapat mempelajari dan memahami berbagai disiplin ilmu sekaligus mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Senang membaca meningkatkan kecerdasan verbal dan lingusitik karena membaca memperkaya kosa kata dan kekuatan kata-kata.
3. Membaca mencegah rabun mata, karena membaca melatih dan mengaktifkan otot-otot mata.
4. Membaca mencegah kepikunan karena melibatkan tingkat konsentrasi lebih besar, mengaktifkan dan menyegarkan pikiran.
5. Kegemaran membaca membantu meningkatkan kecerdasan, serta meningkatkan daya kreatifitas dan imajinasi.
6. Membaca membantu memperbaiki rasa percaya diri, mengembangkan kemampuan memanajemen emosi dan meningkatkan kemampuan melakukan interaksi sosial positif dimanapun dan kapanpun.
7. Membaca membentuk karakter dan kepribadian, sampai-sampai ada pepatah yang mengatakan, “Apa yang kita baca sekarang, seperti itulah kita 20 tahun yang akan datang”.
8. Membaca menjadikan kita lebih dewasa, lebih arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan.

Membaca adalah kegiatan yang sarat manfaat dan sangat penting dalam kehidupan kita. Banyak orang sukses dan cerdas dikarenakan kecintaan mereka membaca buku dan belajar. Oleh sebab itu tingkatkan intensitas membaca terutama di waktu senggang Anda, dan berikut ini adalah beberapa hal menarik untuk membangkitkan semangat membaca.

1. Sesuaikan tingkat bacaan dengan tingkat kosa kata, sebab keengganan meneruskan bacaan seringkali dikarenakan kita sulit memahami arti katanya.
2. Luangkan waktu secara rutin untuk membaca, misalnya setengah jam per hari, karena langkah ini lambat laun akan meningkatkan kemampuan memahami berbagai gaya tulisan dan kosa kata baru.
3. Mencoba menulis tentang apapun yang dianggap menarik, misalnya tentang perasaan, pengalaman, cara memandikan kucing, menanam pohon , memasak kue dan lain sebagainya. Mencoba menulis akan meningkatkan minat membaca.
4. Berusaha menggunakan waktu untuk membaca dengan selalu membawa bahan bacaan dimanapun berada. Simpan buku atau majalah dalam tas, ruang keluarga atau tempat yang sering Anda gunakan, sehingga memungkinkan Anda menjangkau dan membaca.
5. Tentukan berapa banyak buku yang ingin Anda baca dalam kurun waktu tertentu. Mulailah memasang target dengan disiplin tinggi, karena langkah ini melatih kemampuan meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca lebih banyak hal.
6. Buatlah daftar buku yang sudah Anda baca dan catatan isi buku tersebut. Simpanlah catatan tersebut dengan rapi di tempat favorit Anda, misalnya di buku harian, di komputer, di lemari, dan lain sebagainya.
7. Matikan televisi, karena televisi tidak mengajak kita aktif belajar dan berpikir kreatif. Daripada waktu terbuang untuk memindah channel televisi mencari acara televisi yang bagus, bisa jadi waktu tersebut sudah cukup banyak untuk menyelesaikan membaca sebuah buku.
8. Bergabunglah dengan kelompok baca, dimana dalam periode tertentu para anggotanya berkumpul untuk mendiskusikan topik bacaan yang telah sama-sama tentukan sebelumnya. Berkomitmen terhadap kelompok baca memberikan momentum yang lebih besar untuk menyelesaikan bacaan buku, dan menciptakan forum yang luar biasa untuk berdiskusi dan bersosialisasi seputar tema buku.
9. Sering-seringlah mengunjungi toko buku atau perustakaan, karena kesempatan melihat-lihat buku akan melatih mental membaca sebagai kebutuhan dan menginspirasi banyak hal baru yang menarik untuk dibaca.
10. Bangunlah strategi, yaitu dengan menentukan sendiri cara yang baik menurut Anda untuk meningkatkan aktifitas membaca, sehingga Anda semakin rajin membaca dan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari buku yang Anda baca.

Kembangkan terus minat baca Anda, karena membaca dapat meningkatkan kemampuan, terutama kemampuan untuk menjalani kehidupan dengan lebih bijaksana. Tingkatkan intensitas membaca dengan memanfaatkan waktu luang semaksimal mungkin untuk membaca. Membaca merupakan salah satu investasi yang baik dari waktu kita.

*Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best-seller.Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com


Daniel Zacharias
education from womb to tomb