11 Mei 2012

Impartasi Rohani


Problematika Realitas Mimbar Kita
Banyak dari kita mempunyai penga-laman ini: kita mendengar kotbah atau pengajaran – kata-katanya benar dan tepat, bahkan sangat inspiratif, tetapi kita tidak bisa menerima kata-kata yang diucapkan dalam kedalaman hati kita. Pesan yang disampaikan mungkin menggairahkan untuk didengar dan di-renungkan, bahkan dipelajari dan didis-kusikan, tetapi hati kita tidak tergerak. Pengalaman ini sama dengan membaca buku pelajaran, mengikuti kuliah, atau mengikuti instruksi ketika belajar mengemudi. Kita mungkin sudah mencapai suatu tujuan dalam arti suatu argumentasi logis, atau kisah penuh warna, tetapi dalam realita kita tetap duduk di kursi kita, tidak berubah, bisa merasa mendapat dorongan, tetapi juga bisa menjadi bengkak dengan pengetahuan religius tentang Tuhan namun tidak terjadi apa-apa baik dalam diri si pemberita maupun bagi si pendengar.

Mengapa hal itu terjadi? Kata-kata si pembicara tidak dibawa oleh nafas Tuhan, tetapi oleh jiwa dan keinginan baiknya sendiri – atau keangkuhan dan ambisinya sendiri. Sulit untuk mengatakan bahwa mereka diurapi oleh Tuhan karena fakta pelayanan menunjukkan bahwa apa yang mereka taburkan belum banyak berpengaruh pada dirinya sendiri sebagai penyampai apalagi terhadap para jemaat selaku pendengar.

Banyak dari kita mungkin mempunyai pengalaman berbeda ketika mendengar seseorang berkotbah atau mengajar. Mungkin kata-kata mereka biasa saja. Mungkin mereka lupa dengan catatannya. Mungkin mereka bicara dengan gagap bahkan kontradiksi dengan diri mereka! Mungkin mereka hanya membaca satu ayat atau memberi suatu ilustrasi atau mengucapkan sebuah doa sederhana. Mungkin mereka tidak berpendidikan tinggi, kaku, atau tidak berpengalaman – tetapi hati kita tergerak. Hati kita menyala seolah-olah Kristus Sendiri yang berbicara, berdiri di depan kita. Dan memang benar demikian! Tuhan memilih yang bodoh bagi dunia untuk mempermalukan yang berhikmat (1 Korintus1:27). Inilah perbedaan antara melayani dengan urapan Kristus dan berbicara dari kemampuan dan pelatihan alami seseorang.

Apakah Impartasi Rohani Itu?

Pendekatan Etimologis
Kata ‘impartasi’ dijumpai beberapa kali di dalam Perjanjian Baru yang memiliki pengertian yang sama[1]. Kata impartasi adalah kata serapan dari kata bahasa Inggris ‘impart[2]’ Yun. Metadidomi [3]) yang berarti memberikan dalam pemahaman membagikan sesuatu yang bermakna dan rohani.

Pengertian tersirat dari metadidomi , yang terdiri dari dua kata Yunani yaitu meta dan didomi. Meta berarti seperti berjalan bersama orang lain atau menemani. Didomi berarti lebih dari sekedar memberi. Kata ini menunjukkan kelimpahan – memberi sepenuhnya kepada orang lain dengan penuh rasa percaya. Didomi berarti memberi seluruh yang ada pada seseorang. Jadi mengimpartasi berarti memberi dengan melimpah dari kedalaman diri seseorang. Tindakan “melimpahkan” ini sama dengan kata yang dipakai untuk menjelaskan bagaimana lautan “melimpahkan” apa yang tersembunyi di dalamnya. Dari kedalaman Roh Tuhan, melalui roh kita, terjadilah impartasi.

Pendekatan Tekstual
Namun pengertian yang tepat hanya di dapat dalam pemahaman yang terbuka dalam beberapa teks Perjanjian Baru misalnya:

11 For I long to see you, that I may impart to you some spiritual gift to strengthen you, (Rom 1:11 RSV)[4]

Paulus membagikan karunia rohani yang bertujuan menguatkan jemaat. Yang diimpartasi disini adalah karunia rohani. Dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible yang dimaksud dengan ‘karunia rohani’ bukanlah karunia-karunia yang luar biasa dari Roh Kudus tetapi lebih pada sebuah pencerahan spiritual, pengetahuan, perdamaian, dan sukacita, yang diperoleh melalui pelaksanaan karunia pelayanan [5]. Tujuan impartasi disini adalah menguatkan jemaat.

Kerinduan hati rasul Paulus yang paling dalam bukanlah hanya bisa bertemu dengan orang-orang percaya, tetapi juga bisa memberi mereka sesuatu yang dapat menolong mereka dibangun. Sebagai seorang rasul, motivasi hatinya bukanlah hanya mengajar, menanam gereja, melakukan mujizat, atau membangun tatanan apostolik saja – melainkan juga memberi semua yang bisa dia berikan, mengimpartasikan apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya, mengalirkan dengan leluasa semua karunia-karunia rohani, sehingga mereka kuat.

Melakukan impartasi harus menjadi gairah semua orang percaya. Karena keinginan untuk mengimpartasi adalah keinginan hati Tuhan. Dia ingin mencurahkan Diri-Nya kepada seluruh keluarga-Nya, mem-perlengkapi orang percaya untuk melakukan persekutuan dengan Dia maupun untuk pelayanan (Efesus 4:11-12). Semua karunia dan kemampuan hanya datang dari Kristus dan untuk Kristus, jadi kita harus bersukacita menjadi suatu bejana yang bisa membantu orang lain maju dalam panggilan mereka, bukan diri kita sendiri. Tuhan memanggil kita untuk terlebih dahulu membantu orang lain – bukan pelayanan kita sendiri – sehingga bisa melangkah lebih tinggi bersama Tuhan. Kita sekali-kali tidak boleh melupakan prinsip ini: kita telah menerima dengan cuma-cuma, karena itu kita perlu memberi dengan cuma-cuma (Matius 10:8). Tujuan kita adalah menghadirkan Raja dalam kerajaanNya, membantu orang lain menemukan destini yang telah ditetapkan Tuhan bagi mereka, dan mempersiapkan mereka untuk bisa berfungsi lebih baik dalam panggilan mereka (Efesus 1:18).

6 Yet among the mature we do impart wisdom, although it is not a wisdom of this age or of the rulers of this age, who are doomed to pass away.
 7 But we impart a secret and hidden wisdom of God, which God decreed before the ages for our glorification. (1Co 2:6-7 RSV)[6]

13 And we impart this in words not taught by human wisdom but taught by the Spirit, interpreting spiritual truths to those who possess the Spirit. (1Co 2:13 RSV)[7]

Impartasi dalam konteks ini adalah membagikan hikmat yang dalam ayat 7 digambarkan sebagai membagikan ketersingkapan (atau menyingkap) rahasia hikmat Allah bagi dunia (baca: jemaat).

29 Let no evil talk come out of your mouths, but only such as is good for edifying, as fits the occasion, that it may impart grace to those who hear. (Eph 4:29 RSV)[8]

Hal yang perlu diimpartasi dalam ayat di atas adalah kata-kata yang menjadi berkat sehingga orang lain dikuatkan.

8 So, being affectionately desirous of you, we were ready to share with you not only the gospel of God but also our own selves, because you had become very dear to us. (1Th 2:8 RSV)

8 So being affectionately desirous of you, we were willing to have imparted unto you, not the gospel of God only, but also our own souls, because ye were dear unto us. (1Th 2:8 KJV)

Untuk RSV menggunakan kata ‘share with’ atau ‘membagi atau berbagi dengan’ sehingga dalam konteks terlihat Paulus sedang menggambarkan dirinya berbagi dengan jemaat Tesalonika baik dalam firman maupun hidup; sedangkan KJV menggunakan kata ‘imparted’ yang berarti memberi sehingga dalam konteks terlihat bahwa Paulus memberi firman dan memberi diri bagi jemaat.

Prakondisi Impartasi
Yang harus diperhatikan dari impartasi yang indah ini adalah: kita tidak bisa memberikan apa yang tidak kita miliki. Kalau kita ingin mengimpartasi, pertama-tama kita harus mempunyai sesuatu untuk dilepaskan. Untuk bisa mengimpartasi, orang terlebih dahulu harus diurapi dengan apa yang akan diimpartasi. Dua realita spiritual dari impartasi dan pengurapan ini berbeda, tetapi saling berhubungan dan bekerjasama seperti yang dikehendaki Roh. Bagaimana hal ini terjadi? Inilah kebenaran luar biasa dari kerajaan Tuhan: ketika kita berkotbah, mengajar, atau melayani dengan kasih, di dalam Roh Tuhan, kita mengimpartasikan substansi Kristus, bukan sekedar informasi tentang Dia. Yesus meneguhkan janji profetik dari Yesaya 61:1-5:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin .. (bnd. Lukas 4:18)

Menerima pengurapan berarti menerima kemampuan ilahi.  Kemampuan apakah yang dimaksud? Pengurapan itu tidak kurang dari Kristus Sendiri: kata Yunani yang diterjemahkan sebagai mengurapi itu sama dengan akar kata yang berarti Kristus, yaitu chrio. Apa artinya mempunyai chrio atau diurapi? Itu berarti membawa Kristus, Yang Diurapi. Pengurapan yang sama ini menguduskan Raja kita untuk melakukan pelayanan Mesianik dan memberi-Nya kuasa untuk memerintah dalam KerajaanNya. Inilah urapan yang kita terima – Tuhan Yesus Kristus di atas dan di dalam hidup kita, Pribadi Roh Kudus Sendiri. Diurapi adalah diolesi (pengertian literal alegoris) dan dipenuhi dengan Kristus. Dalam bahasa Ibrani, mengurapi atau mashach berarti mengolesi atau menuangkan cairan atau menguduskan. Dengan kata lain, sebagai orang yang percaya Yesus Kristus kita dikuduskan sebagai imam kudus untuk melayani di dalam Nama-Nya, diurapi oleh Dia dan dengan Dia. Dialah urapan itu!

Dari mana urapan dan kuasa yang benar datang? Dari Roh Tuhan! Kita tidak melayani dari kemampuan akademis atau kemampuan manusiawi – tetapi urapan Roh Kudus, yang kemudian kita impartasikan. Inilah pesan Tuhan yang penting dan urgent bagi gerejaNya: kita harus belajar untuk hidup dan bekerja di dalam dan melalui Dia, Yang Diurapi – bukan dengan kemauan dan kekuatan sendiri. Kita harus belajar mengimpartasikan Kristus – urapan, bukan agenda dan ide sendiri.

Setelah mengerti dan belajar menerima urapan-Nya, kita sekarang mengerti apa arti impartasi yang sebenarnya. Kemampuan untuk mengimpartasi bisa dilakukan apabila kita menerima urapan. Kalau kita mempunyai karunia untuk mengimpartasi seperti ini, apapun yang kita katakan atau lakukan di dalam pengurapan akan memberi dampak yang dalam pada mereka yang mendengarkan. Substansi Kristus akan diimpartasikan pada roh mereka yang responsif.

Tuhan ingin memberi kita harta spiritual. Harta yang Dia berikan ini tidak ternilai dan tidak bisa dibandingkan dengan apapun yang kita miliki. Tidak ada gunanya kita membagikan sesuatu kepada mereka yang mendengar kita jika kita belum memiliki harta ini dan tinggal di dalamnya – yaitu Kristus Sendiri – yang kita terima sebagai roti segar setiap hari. Kita harus dipenuhi dengan kehadiran Kristus, sehingga dari dalam diri kita mengalir sungai kehidupan.
Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.
Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. (Yohanes 15:4-5)

Aspek Paling Penting dari Pelayanan Apapun atau Perjumpaan Pribadi Bukanlah Kata-kata Melainkan Impartasi dari “Roh dan Kehidupan”

Kemampuan untuk mengimpartasi ini berhubungan dengan hubungan pribadi yang berkualitas dengan Yesus (“ … mereka yang mencari Aku pagi-pagi …”) – karena Dia telah memberi impartasi kepada kita terlebih dahulu. Perhatikan janji ini: kita akan dipenuhi apabila prioritas tertinggi kita adalah mencari Dia (Matius 6:33). Kita hanya bisa menemukan Dia pada tingkat ini apabila kita mencari dengan sepenuh hati (Yeremia 29:12-13). Dia layak menerima tidak kurang dari itu!

Seorang Kristen yang punya komitmen dan mempunyai karunia untuk mengimpartasi seperti ini akan menonjol di antara orang lain karena dia membawa kemuliaan Tuhan. Tujuan hati kita adalah membawa hadirat Tuhan yang tinggal sedemikian rupa sehingga orang lain bisa merasakan dan mendengar Dia ketika kita melayani. Tujuan kita adalah dipenuhi dengan kemuliaan hadirat Tuhan yang kuat dan pekat. Akan menjadi suatu kesaksian yang indah bila orang berkata bahwa urapan Kristus Sendiri ada di dalam hidup seseorang dan pelayanannya.

Ketika urapan ini aktif, orang ditarik dengan rasa lapar yang kuat. Seringkali apabila seseorang yang memiliki urapan Kristus yang sebenarnya selesai bicara, orang akan berkata, “Tolong teruskan pesannya” atau “Saya bisa mendengarkan anda berjam-jam.” Mengapa orang merespon seperti itu? Mereka merespon bukan karena kedalaman Firman yang disampaikan atau karena urapan luar biasa pada si pembicara, tetapi pada “impartasi” yang mengalir melalui roh. Melalui karunia impartasi, kita menjadi saluran di mana kehidupan Tuhan mengalir pada roh orang lain! Inilah hati dari setiap pelayanan – baik di atas mimbar, di tempat kerja, atau di meja dapur.

Ketika kita melayani, kita bisa melihat apakah orang-orang telah terhubung dengan Roh atau apakah mereka mencoba mengerti secara intelektual. Alangkah indahnya apabila mereka mendapat makanan secara spiritual, bukan secara natural – dan mereka tahu bahwa mereka menerima sesuatu yang luar biasa – substansi ilahi-Nya.

Sekali lagi saya ingin menggaris bawahi bahwa kita tidak bisa memberi apa yang tidak kita miliki: Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. (Yohanes 6:63).

Karunia rohani semacam ini memampukan kita untuk mengatakan suatu pesan. Kemudian, melalui pengurapan itu pesan tersebut bisa diimpartasikan kepada orang lain. Kita harus menyediakan waktu khusus untuk Tuhan agar bisa dipenuhi dengan substansi spiritual-Nya, sehingga bisa mengimpartasikan keberadaanNya (Yeremia 3:15). Kita harus datang di hadapan tahtaNya setiap hari untuk menerima roti segar dari surga untuk memberi makan umatNya (Kisah 20:28).

Bagaimana Mengembangkan Kemampuan untuk Mengimpartasi?

10 For Ezra had set his heart to study the law of the LORD, and to do it, and to teach his statutes and ordinances in Israel. (Ezr 7:10 RSV)

10 Sebab Ezra telah bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel. (TB-LAI)

Dalam analisis struktur tekstual ayat di atas maka dijumpai ada 4 kata kerja aktif dari diri Ezra dalam kaitan:
1.        Bertekad (mempersiapkan hati)/to set his heart
2.       Meneliti (mempelajari)/to study
3.       Melakukan/to do
4.       Mengajar/to teach

Posisi ‘impartasi’ dalam diri Ezra terletak urutan ke-4, ada langkah-langkah awal yang tidak dapat dibolak-balik urutan logisnya. Karena kita tidak mungkin membagikan sesuatu yang tidak kita miliki.

1.     Bertekad
Tekad semacam ini hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang orientasi keinginannya telah diubahkan Roh Kudus yakni mereka: “… yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam …” Maz 1:2) dan “ … orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya …” (Maz 112:1).

2.    Meneliti
Meneliti atau mempelajari Alkitab berarti membaca Alkitab dengan sebuah sikap yang serius dan kerinduan untuk menemukan kebenaran yang mendalam. Pembacaan Alkitab dalam konteks ini tidak mengakomodir pembacaan yang sambil lalu apalagi penafsiran literal ataupun konkordantif. Tetapi bila diberi kesempatan maka mengertinya dalam keseimbangan teks dan konteks.

3.    Melakukan
Berulangkali Yesus menggunakan perumpamaan tentang pelaksanaan Firman Tuhan yang jauh lebih bermakna ketimbang mendengar atau menafsirkannya saja. Yakobus malah dengan tegas mengatakan: “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (Yak 1:25).

Prinsipnya kita membagikan apa yang telah kita hidupi dari Firman Tuhan dalam kehidupan kita.

4.    Mengajar
Inilah impartasi, ketika kita membagikan Firman Tuhan, dan bukan hanya sampai disitu tetapi ketika orang lain dikuatkan atau memberi dampak positif dan nyata bagi orang yang mendengarnya.

Bintaro, 10 Agustus 2010

Disarikan dari berbagai sumber, dan juga dari: http://hegaihadasa-treeoflife.blogspot. com/2010/04/impartasi-dan-pengurapan.html



[1] Roma 1:11; 1 Kor 2:6-7, 13; Ef 4:29 (TB-LAI)
[2] Longman Dictionary of Contemporary English, “impart”: 1. To give a particular quality of something; 2. To give information, knowledge, wisdom, etc to someone.
[3] metadidomi - "to give a share of, impart" (meta, "with"), as distinct from "giving." The Apostle Paul speaks of "sharing" some spiritual gift with Christians at Rome, Rom 1:11, "that I may impart," and exhorts those who minister in things temporal, to do so as "sharing," and that generously, Rom 12:8, "he that giveth;" so in Eph 4:28; Luke 3:11, in 1 Thess 2:8 he speaks of himself and his fellow missionaries as having been well pleased to impart to the converts both God's Gospel and their own souls (i.e., so "sharing" those with them as to spend themselves and spend out their lives for them
[4] Roma 1:11: Sebab aku ingin melihat kamu untuk memberikan karunia rohani kepadamu guna menguatkan kamu,
[5] John Gill’s Exposition of the Entire Bible  - “ … not any extraordinary gift of the Spirit; but spiritual light, knowledge, peace, and comfort, through the exercise of his ministerial gift: whence it may be observed, that that which qualities men for the preaching of the word to the profit of others, is a gift, a gift by grace; a spiritual one, which comes from the Spirit of God, and may be, and is to be imparted to others in the free use and exercise of it …”
Hal senada juga muncul dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible:
“ … Some have understood this as referring to “miraculous gifts,” which it was supposed the apostles had the power of conferring on others. But this interpretation is forced and unnatural. There is no instance where this expression denotes the power of working miracles. Besides, the apostle in the next verse explains his meaning, “That I may be comforted together by the mutual faith,” etc. From this it appears that he desired to be among them to exercise the office of the ministry, to establish them in the gospel and to confirm their hopes. He expected that the preaching of the gospel would be the means of confirming them in the faith; and he desired to be the means of doing it …”
[6] 1 Korintus 2:6-7: 6 Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan. 7 Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita. (TB – LAI)
[7] 1 Korintus 2:13: Dan karena kami menafsirkan hal-hal rohani kepada mereka yang mempunyai Roh, kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh (TB-LAI)
[8]  Ef 4:29: Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia  (TB-LAI)

29 Juli 2010

Setara Institute: Pelanggaran Kebebasan Beragama Meningkat

Mathea N.
Reporter Kristiani Pos

Posted: Jul. 27, 2010 07:52:10 WIB

Laporan Setara Institute mengungkapkan, tahun ini terjadi lonjakan kekerasan khususnya terhadap jemaat Kristiani. Angka kasus kekerasan tahun 2010 sudah melampaui tahun-tahun sebelumnya. Dalam tujuh bulan terakhir, dari Januari sampai Juli 2010, sudah terjadi 28 kasus kekerasan terhadap umat Kristiani di Indonesia.

Kekerasan itu meliputi penyegelan dan penolakan pendirian gereja, ancaman hingga penutupan gereja secara paksa serta penghentian paksa kegiatan ibadah. Jumlah kekerasan ini melampaui yang terjadi pada tahun 2008-2009 yang angka nya tak lebih dari 20 kasus.

Pelakunya beragam, yang terbanyak dilakukan oleh pemerintah daerah, disusul kelompok massa, warga dan ormas Islam seperti Front Pembela Islam FPI.

Hal tersebut diungkapkan dalam hasil kajian Setara Institute tindakan pelarangan dan pelanggaran terhadap kebebasan umat beragama dalam konferensi persnya, Senin (26/7/2010).

Jumlah ini jauh melampaui peristiwa yang terjadi pada tahun 2008 (18 peristiwa) dan tahun 2009 (19 peristiwa). Dari 28 peristiwa itu, kebebasan yang diserang adalah hak untuk bebas beribadah dan hak untuk mendirikan rumah ibadah.

Peristiwa terbanyak terjadi pada bulan Januari (delapan peristiwa), Juni (tujuh peristiwa), dan Februari (lima peristiwa). Data Setara Institute menunjukkan, kasus terbanyak penyerangan gereja terjadi di wilayah Jawa Barat (16 peristiwa), disusul Jakarta (enam peristiwa), Sumatera Utara (dua peristiwa), serta di Riau, Jawa Tengah, dan Lampung masing-masing satu peristiwa.

Menurut Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, tingginya kekerasan di Jawa Barat ini terkait dengan sejarah panjang dari aliran Islam garis keras di Propinsi yang pernah menjadi basis kekuatan Darul Islam.

"Bentuk tindakannya itu beragam, di antaranya penolakan pendirian gereja, penghalangan kegiatan beribadah, perusakan rumah idabah, penyegelan gereja, pembakaran rumah ibadah, pembakaran properti umat, penghentian paksa kegiatan ibadah, penutupan paksa gereja, desakan penutupan gereja, dan ancaman penggerebekan gereja," jelas Bonar di Kantor Setara Institute, Jalan Danau Gelinggang, Jakarta.

Jika ditilik dari pelaku pelanggaran, pemerintah daerah menempati peringkat pertama dengan 12 peristiwa, disusul oleh kelompok massa, warga, dan organisasi masyarakat. Padahal, dikatakan Bonar, ketersediaan rumah ibadah seharusnya menjadi tanggung jawab sosial masyarakat.

"Kewajiban sosial pemerintah untuk menyediakan rumah ibadah. Tetapi, pemerintah justru seolah menutup mata atas peristiwa yang terus terjadi," kata Bonar, seperti diberitakan Kompas.

Dari peristiwa yang terdokumentasi dalam tujuh bulan terakhir, pelanggaran kebebasan beragama dilandasi oleh argumen bahwa keberadaan rumah ibadah telah mengganggu dan meresahkan masyarakat. Selain meresahkan masyarakat, menurut Bonar, pelanggaran juga dijustifikasi oleh alasan bahwa bangunan atau rencana pembangunan tidak sesuai dengan peruntukan atau menyalahi konsep tata ruang.

"Soal izin mendirikan bangunan (IMB) juga menjadi pembenar semua persekusi yang terjadi," kata Bonar.

Komitmen Presiden Dipertanyakan

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk merespons berbagai aksi pelanggaran kebebasan umat beragama.

Dalam catatan Setara, belum sekalipun Presiden memberikan pernyataan terkait tindakan tersebut.

"Presiden lebih malu karena video porno, yang menjadi pemberitaan media luar negeri. Sementara soal pelanggaran dan perusakan rumah ibadah, yang sudah diberitakan media asing berulang kali, tidak ada tindakan apa-apa," kata Bonar.

"Presiden bicara ada tragedi moral, tetapi dia lupa masalah moral sesungguhnya. Yang dasar dilupakan. Mendidik moral itu berawal dari agama. Presiden SBY harus menunjukkan komitmennya. Kami minta pertanggungjawaban Presiden dalam menjaga dan menjamin kerukunan umat beragama di Indonesia," papar Bonar.

Ia memberikan catatan, persyaratan membangun rumah ibadah seharusnya direvisi. Dalam sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, pemerintah dinilai seakan menyamakan pembangunan rumah ibadah dengan pembangunan pusat perbelanjaan.

"Pemerintah selalu samakan rumah ibadah dengan bangunan seperti mal, harus ada IMB. Kemudian, ada syarat 90 umat untuk mendapat izin, mendapat izin 60 orang dari orang yang tinggal di sekitar rumah ibadah, kemudian tanda tangan dari Forum Kebebasan Umat Beragama. Belum lagi dari Kementerian Agama dan pemerintah daerah. Mata rantai birokrasinya sangat panjang," tutur Bonar.

Perhatian pemerintah dinilai penting sebab, dalam beberapa peristiwa, perempuan dan anak-anak menjadi korban. Aksi pelarangan beribadah terhadap umat beragama dikhawatirkan akan menimbulkan trauma kepada anak-anak yang menyaksikannya.

"Tingkat intoleransi ini terjadi secara laten, terlepas dari apa pun agamanya. Ada prejudice terhadap sesama umat beragama.

Bukan mayoritas terhadap minoritas," ujarnya.

Bonar Tigor Naipospos, mengungkapkan alasan pembiaran kekerasan itu oleh pemerintah.

“Pertama kepentingan politik. Pemerintah kota selalu menganggap mereka (ormas) adalah aset atau massa yang penting bagi Pilkada dan dukungan politik. Kedua kepentingan ekonomi, dibalik penghentian ibadah atau penyegelan atau pemindahan gereja selalu ada kepentingan ekonomi berupa pemerasan. Ketiga, memang ada kepentingan ideologi. Ada kelompok - kelompok intoleran yang ingin melihat kelompok yang berbeda aliran atau keyakinan supaya tidak bisa tinggal disitu,” kata Naipospos.

Tidak Konsisten

Salah satu contoh adalah kasus yang menimpa Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah Bekasi Jawa Barat. Menurut Pendeta Luspida Simanjuntak, meski jemaat ini telah terbentuk sejak 15 tahun lalu, namun sampai saat ini, keinginan mereka untuk memiliki gereja yang permanen belum terkabul. Untuk beribadah mereka terpaksa berpindah dari satu rumah ke rumah lain. “Terakhir usaha kami adalah, kami siap membeli satu bangunan, tinggal menandatangani hitam diatas putih, tiba-tiba, sekelompok massa sudah membuat spanduk di bangunan tersebut. Isinya adalah, rumah ini bisa dijual tetapi tidak untuk gereja, tutur Sinamjuntak. Makanya rumah yang dibeli tahun 2007 dipertahankan sampai bulan Juni lalu. Kemudian ada surat dari Pemda untuk melakukan penyegelan.

Di Indonesia, untuk menghindari konflik dengan pemeluk agama lain, pendirian rumah Ibadah diatur dalam peraturan bersama atau Perber Menteri Agama dan Mendagri no 9 tahun 2006. Isinya antara lain, untuk bisa mendapat ijin resmi, maka sebuah rumah ibadah harus punya paling sedikit 90 pengguna dan didukung oleh paling sedikit 60 warga yang tinggal di sekitar rumah ibadah itu.

Tetapi Kasus di Bekasi ini menunjukan betapa sulitnya mendapat ijin pendirian rumah ibadah. Sekretaris Setara Institute Romo Benny Susetyo yang ikut merumuskan Perber tersebut, menyalahkan Pemerintah daerah yang dianggap tidak konsisten menerapkan aturan dalam Perber. Ia menambahkan ketersediaan Rumah Ibadah menjadi tanggung jawab pemerintah. “Kalau tidak terpenuhi 90 orang dalam kelurahan itu bisa gabungan kelurahan, kalau gabungan kelurahan tidak terpenuhi, kecamatan, kalau tidak ditarik Kabupaten sampai tingkat Propinsi," kata Romo Benny seperti dikutip Tribun News.

Ia melanjutkan, dalam keterangan Perber tidak mungkin orang tidak bisa mendirikan rumah Ibadat. Persolannya adalah Walikota-Bupati tidak pernah konsisten dengan Perber. Bahkan disitu juga tertera, kalau 90 anggota jemaat terpenuhi, tapi tidak ada dukungan 60 orang, kewajiban pemerintah lah untuk menyediakan tempat rumah ibadat itu. Lalu ada mekanisme ijin sementara rumah bisa dijadikan tempat ibadat, berlaku dua tahun.

Kekerasan pemeluk agama ini tidak hanya dialami oleh umat Kristiani. Bonar menyebutkan, terdapat gangguan dalam pembangunan Masjid di Denpasar Bali. Demikian juga yang terjadi pada Kuil Budha di Riau dan rencana renovasi Pura Hindu di Nusa Tenggara Barat. Ia khawatir, jika pemerintah tinggal diam, ini akan memicu meluasnya sikap intolerasi beragama di Indonesia.



Daniel Zacharias
education from womb to tomb

16 November 2009

Harapan Warga Gereja Jelang Sidang Raya XV PGI

Sidang Raya PGI XV pada tanggal 17-24 Nopember 2009 di Mamasa Sulawesi Barat yang mengangkat tema: “Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang” dan sub tema: “Bersama-sama seluruh komponen bangsa mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban, inklusif, adil, damai dan demokratis”, tinggal beberapa bulan lagi. Lembaga yang berusia 59 tahun ini terlihat begitu berat melangkah mengingat berbagai tugas yang makin hari semakin berat, menghadapi tumpukan masalah-masalah internal, serta peran kenabiannya yang seringkali masih harus membentur tembok yang besar.

Memasuki masa persidangan kali ini ada beragam reaksi warga jemaat: ada yang berharap melalui persidangan ini melahirkan sesuatu yang akan membawa perubahan sekaligus kemajuan. Ada yang masih pesimis karena beranggapan bahwa selama ini kiprah PGI masih jauh api dari panggangnya bahkan terkesan masih sering berkonsentrasi pada hal-hal sekunder. Bahkan banyak yang apatis karena belum merasakan secara langsung peran PGI, atau masih banyak yang berpikir bahwa kegiatan persidangan ini atau kegiatan PGI lainnya lebih banya melibatkan para klerus yang berhak mengambil keputusan ketimbang para umat. Reaksi beragam ini tentunya tidak langsung dapat dipakai untuk menilai baik buruknya sebuah persidangan atau kiprah PGI secara umum namun setidaknya kita semua menjadi sadar bahwa apa yang diperjuangkan dalam persidangan belum semua dapat menjawab kebutuhan dari gereja-gereja anggota atau pihak-pihak terkait.

Terkait dengan hal tersebut maka ada baiknya melalui tulisan ini diajukan beberapa pandangan yang harapannya mewakili pandangan warga jemaat yang masih memiliki concernterhadap kiprah PGI, antara lain:

1. Visi Yang Masih Jauh Dari Jangkauan

Dalam sejarah PGI, terekam peristiwa 21-28 Mei 1950 dalam sebuah Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia di STT Jakarta, yang dihadiri 21 sinode, yang melahirkan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Secara khusus pada tanggal 25 Mei 1950 dibuatlah sebuah Manifes Pembentoekan DGI yang bunyinya: “Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan Geredja-geredja di Indonesia, jang soedah ditetapkan oleh Sidang pada 25 Mei 1950. Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.” Visi tersebut kemudian disempurnakan pada Sidang Raya X tahun 1984 di Ambon (sekaligus mengubah nama DGI menjadi PGI) menjadi mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa. Keesaan dalam konteks ini tidak dilihat dari segi struktural organisatoris tetapi pada kesepakatan untuk melaksanakan Lima Dokumen Keesaan Gereja bersama-sama maka disitulah keesaan terwujud. Menyikapi hal tersebut maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Dalam laporan Dirjen Birmas Kristen di tahun 2005 bahwa ada 323 Organisasi Gereja (Sinode Gereja) yang telah terdaftar di Ditjen Bimas Kristen (belum termasuk yang sudah terdaftar pada tingkat Kanwil). Berarti hanya ada 88 organisasi gereja (Sinode Gereja) yang merupakan anggota PGI dan sisanya merupakan anggota dari lembaga oikumenis lainnya. Dan sejak tahun 2005 Ditjen Bimas Kristen Protestan mengendalikan laju perkembangbiakan sinode baru tersebut dengan mengeluarkan kebijakan “Zero Growth Induk Organisasi Gereja” yaitu dengan tidak lagi melayani pendaftaran gereja baru dengan maksud menahan lajunya pertambahan dan peningkatan jumlah organisasi induk/Sinode gereja tetapi lebih menekankan pada pemberdayaan/pertumbuhan Gereja yang berkualitas, sejahtera dan bertanggungjawab.

Dalam Sidang Raya kali ini terlihat ada upaya untuk melakukan amandemen terhadap pasal 8.2.b TD PGI soal syarat keanggotaan PGI yang cenderung menaikan angka 2.000 orang menjadi 10.000 yang dampak positifnya secara tidak langsung juga mengarah pada upaya mencegah pendirian sinode baru (atau menampung sinode baru). Tetapi dalam hal ini tidak disebutkan mekanisme apa yang dipakai untuk meneliti kebenaran data dari jumlah anggota gereja-gereja baru tersebut.

Dalam kaitan dengan hal di atas rupanya ada 2 keprihatinan yang tampak jelas dalam fenomena menjamurnya tunas-tunas sinode baru yang lahir bukan disebabkan oleh hasil dari Pekabaran Injil tetapi lahir dari apa yang disebut “The Self Destructive Habits of Churches”, antara lain:

Pertama, Gereja bersatu karena alasan teologis dan menolak untuk bersatu (juga memecah diri) juga karena alasan teologis. Inilah yang merupakan salah satu 'keahlian' gereja masa kini. Alasan banyak gereja bersatu di dunia ini adalah karena mengutip ucapan Yesus 'ut omnes unum sint' (supaya semua menjadi satu) sebagai landasannya. Kemudian Gereja dengan terampil akan mengutip ayat-ayat lain yang makin memperkokoh pikiran ekumenis semacam itu. Namun dalam kenyataannya banyak gereja tidak mau bersatu karena alasan: kepemimpinan dan keuangan, dan kemudian alasan-alasan teknis tersebut dibungkus dengan alasan teologis. Istilah dari Alm. Pdt. Eka Darmaputera untuk fenomena ini adalah 'polarisasi', yang bukan saja berada di lapisan lokal tetapi juga merembet sampai ke aras Nasional. Dalam konteks belakangan ini kelihatannya polarisasi terbentuk bukan hanya karena faktor kepemimpinan atau karena faktor material (asset) tetapi juga faktor teologis.

Dalam sebuah dialog imajiner seseorang berkata kepada yang lain: "mengapa gereja anda yang belum bersinode ini tidak melakukan merger dengan gereja Advent yang sudah bersinode atau gereja Pentakosta yang juga sudah bersinode?" Maka jawaban yang kemudian muncul dari mulut pimpinan gereja tersebut adalah: "Kami berasal dari tradisi teologi yang berbeda". Ketika diminta selanjutnya: “Kalau begitu bergabunglah saja dengan gereja yang tradisi teologinya sama dengan gereja anda!”, “Oh maaf, tetap tidak bisa, karena kami memiliki kekhususan tersendiri.”Inilah gambaran kira-kira dari 'kehebatan' gereja masa kini yang mengetahui mengapa bersatu karena alasan teologis dan mengapa tidak bersatu juga karena alasan teologis.

Kedua, gereja masa kini jauh lebih mahir dan terampil memberi contoh kepada dunia bagaimana caranya memecahkan diri ketimbang menyatukan diri.Kita tidak dapat menyangkali bila gereja-gereja yang ada di Indonesia tidak sedikit merupakan perpecahan gereja dari luar negeri. Dan tidak juga kita sangkali di tangan kita sendiri gereja-gereja juga pecah menjadi kepingan-kepingan. Bahkan ada yang menyebutnya karena kehendak Tuhan atau karena perintah Tuhan. Padahal kalau dikaji benar soal 'kehendak atau perintah Tuhan' tadi maka akan sanggat janggal ketika kita mengetahui bahwa Yesus sedang memberi perintah yang menentang doa-Nya sendiri. Doa Yesus yang indah menjadi monumen gereja yang begitu agung tetapi telah kehilangan makna. Dunia sulit untuk percaya kepada gereja karena gereja tak mampu menunjukkan jatidirinya yang merupakan utusan dan representasi Kristus di dunia. Gereja yang semakin terpecah di satu sisi memenuhi keinginan untuk berkespresi tetapi di sisi lain memberi gambaran buruk dari ketidakmampuan menerjemahkan isi beritanya sendiri dalam kata dan perbuatan. Apapun kelihaian kita membungkus upaya perpecahan dengan berbagai dalih baik yang masuk akal maupun tidak, semua itu hanyalah bagian dari keadaan kita yang sebenarnya: "ketidakmauan kita mengakui apa yang tidak mau kita akui". H. Richard Niebuhr pernah mengatakan dalam bukunya The Social Sources of Denominationalism:"kalau denominasi itu adalah kemunafikan yang tidak mau diakui" (an unacknowledged hypocrisy)".

Tawaran yang ada di depan mata kita untuk mulai menghentikan ‘kebiasaan buruk’ gereja ini adalah dengan mulai mempelajari kembali kenyataan baru yaitu dengan adanya kecenderungan ‘Uniting Church’ yang hadir di dunia Internasional. Misalnya di Australia sejak 1977 yang merupakan gabungan dari the Congregational Union of Australia, the Methodist Church of Australasia and the Presbyterian Church of Australia, juga di Philiphina dengan UCPC-nya yang merupakan merger dari berbagai denominasi gereja di Filipina, dan di beberapa negara lainnya. Kenyataan-kenyataan ini setidaknya membuat kita berpikir ulang apakah penyatuan gereja dalam model ‘mangga’ masih dimungkinkan atau kita terus mempertahankan bentuk ‘manggis’ (atau ‘jeruk’) yang ruasnya makin hari makin banyak dan dapat diperkirakan akan bertambah lagi dalam Sidang Raya kali ini.

Untuk menghadapi kenyataan ini gereja hendaknya tidak memulai dengan sebuah penolakan yang terlampau dini dengan alasan yang dangkal, namun justru Gereja-gereja mau meluangkan waktu dan dana untuk melakukan studi menyeluruh dari kecenderungan baru ini, dan yang pada akhirnya PGI dapat memutuskan untuk menerapkannya atau memilih untuk mencari alternatif lainnya.

Bila PGI dan Ditjen Bimas Kristen memiliki kesamaan dalam memandang persoalan ini mau tidak mau dibutuhkan sebuah hubungan kemitraan yang egaliter antara pemerintah dengan gereja yang sempat mengalami ketegangan sebagaimana termuat dalam laporan sidang MPL PGI tahun 2008. Perlu diingat bersama bahwa Gereja pada fungsinya tak hanya menyuarakan suara kenabian tetapi juga menunjukkan sikap dan tindakan kenabiannya.

2. Asset Yang Terus Tergerus.

Gereja-gereja anggota PGI di saat sekarang ini benar-benar harus memikirkan jalan keluar untuk penyelamatan asset-asset PGI. Tidak sedikit asset PGI yang harus berpindah tangan dengan cara yang tidak sah kepada pihak lain. Penjualan dan pengambil alihan asset secara sepihak terjadi berulangkali dan itu dikerjakan oleh orang-orang dalam PGI sendiri di masa lalu. PGI mulai digerogoti dari dalam berpuluh tahun lamanya. Pada gilirannya PGI akhirnya harus ‘berseteru’ dengan pihak-pihak di luar gereja. Citra PGI sendiri ikut tergerus seiring dengan lenyapnya satu-persatu hak miliknya. Akibatnya PGI harus terus-menerus bertarung di pengadilan dan tidak jarang harus menelan pil pahit kekalahan dan menelan biaya yang tidak sedikit. Sangat disayangkan bila hal ini terus berlangsung.

Kelihatannya mulai harus dipikirkan sejak dini sebuah sistim yang mengatur pengelolaan asset sekaligus menyelamatkan (yang masih ada) dan bila mungkin maka asset-asset yang berada di tangan yang tidak sah dapat diperjuangkan kembali untuk dikembalikan ke tangan PGI.

3. Kepemimpinan Yang Handal

Kepempimpinan merupakan hal yang strategis dalam sebuah organisasi sekuler juga dalam organisasi gereja. Dalam perjalanan PGI lima tahun mendatang diperlukan pemimpin yang bukan saja dilihat dari kemampuan kepemimpinannya tetapi juga dinilai aspek rohani dan moralnya. Setidaknya kita belajar dari 59 tahun PGI memilih para pemimpinnya. Bila Kepempimpinan di dunia pemerintahan masih membutuhkan citra baik yang dapat menarik simpati masyarakat (dunia) maka hal tersebut di gereja justru harus semakin ditekankan. Di kalangan Gereja, Rasul Paulus, menyebut beberapa syaratnya ‘memiliki nama baik di luar jemaat’ dan ‘orang terhormat’ sekaligus ‘pendamai’ (1 Tim 3). Dengan keuntungan positif semacam ini gereja kelak tidak menjadi keranjang sampah caci maki dari pihak lain malah sebaliknya gereja menjadi terang di tengah kegelapan.

Ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian dalam persidangan kali ini:

a. Bila calon pemimpin adalah incumbent, maka perlu dikaji kinerja, moral, dan citranya di mata gereja-gereja anggota, bangsa serta dunia; sejauh mana hal itu memungkinkan yang bersangkutan untuk mencalonkan diri lagi. Pencalonan tanpa melihat kinerja, moral, dan citranya merupakan upaya mendorong sesuatu yang keliru yang menciderai gereja-gereja di masa mendatang.

b. Hal yang sama juga berlaku bagi para calon yang datang dari utusan yang mendapat rekomendasi dari gereja-gereja pengutus. Dilihat kinerja mereka di Sinode masing-masing, juga kehidupan moral dan citranya dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Memilih pemimpin bukan tergantung dari berapa banyak anggota gereja (kuota), gereja lama atau masih baru, timur atau barat, tetapi lebih pada nilai-nilai yang sudah diajukan terdahulu. Bila gereja ingin menjadi sebuah gerakan moral maka gereja juga tidak bermain-main dengan moral para pemimpinnya. Bila gereja ingin berdaya guna maka gereja jangan bermain-main dengan kinerja para pemimpinnya. Bila gereja ingn memiliki citra yang baik maka gereja juga jangan bermain-main dengan citra para pemimpinnya.

(telah dimuat di Majalah Berita Oikoumene September 2009)

Daniel Zacharias


07 Oktober 2009

The Mind of Christ (Pikiran Kristus)

Sifat refleksi macam apakah yang pas untuk dibagikan di saat-saat sulit seperti yang sedang kita jalani kini, dan yang sedang melanda bukan saja kita tetapi seisi dunia? Sesuatu yang bersifat memompa kebanggaankah, bahwa sekian pencapaian telah kita raih karena berjuang bersama dalam anugerah Allah? Atau, sesuatu yang mendorong semangat lebih berkobarkah agar menyemaraki tiap momen istimewa yang sedang kita jelang? Sesudah beberapa waktu tertegun tak berkepastian, akhirnya terkilas dalam benak bahwa suasana doa dalam lagu yang bersumberkan Filipi 2.5 inilah yang perlu kita senandungkan bersama.


May the mind of Christ my Saviour
Live in me from day to day,
By his love and power controlling
All I do and say.

Tidak ada yang lebih diperlukan dalam suasana dunia semakin gelap dan suasana hubungan manusia semakin mengerikan kini, dari memohon agar pikiran Kristus hidup di dalam kita tiap-tiap hari. Supaya, kasih dan kuasa-Nya mengendalikan semua yang kita lakukan dan katakan! Bahkan di antara umat Tuhan sendiri pun, betapa perlunya akal budi Kristus sungguh menerangi seluruh ciri hubungan, kerjasama, dan mutu persekutuan serta pelayanan kita bersama. Lebih lagi, dalam kondisi dunia yang makin terhempas oleh berbagai bentuk tsunami, tsunami moral-spiritual, tsunami ekonomi, tsunami intelektual, kita para pengikut Kristus sungguh makin membenam diri dalam Kristus, agar akal budi-Nya memerintah penuh seluruh gerak kehidupan kita.

Kebanyakan kita cenderung lemah tatkala harus terus menerus berkonfrontasi dengan dunia yang tidak sedikit pun berhasrat untuk taat kepada Allah dan menjalani kehendak-Nya. Kita pasti akan terjepit oleh desakan dan hambatan kuasa-kuasa di udara dan di bumi yang berkonspirasi untuk menjegal kemajuan anak-anak Allah dalam menjalani rencana-Nya, bila kita bergantung hanya pada kekuatan manusiawi kita belaka. Inilah saat kita memohon agar firman Allah mendiami hati kita dengan berlimpah, sepanjang waktu kehidupan kita. Agar, orang melihat bahwa kita berhasil, kita menang, kita lebih dari pahlawan, hanya oleh kuasa-Nya:

May the Word of God dwell richly
In my heart from hour to hour,
So that all may see I triumph
Only through His power.


Siapa dari kita dalam masa sekalut zaman ini yang tidak gelisah, resah, kuatir tentang banyak perkara? Harga-harga membubung, surat berharga dan mata uang anjlok, penyakit aneh-aneh bermunculan dan dalam sekejap berpotensi pandemik, berbagai wujud bahaya tak henti mengintai di tiap persimpangan jalan… siapa yang tak akan sedemikian gelisahnya hingga tak lagi mampu memberikan perhatian kepada sesama sebab seluruh energi telah tersita bagi berbagai kekuatiran hidup? Ooh betapa semua kita perlu damai sejahtera Allah membentengi hati dan pikiran kita sehingga seluruh hidup ini diatur-Nya, dan kita boleh berbagi sejahtera-Nya itu dalam ketenteraman hati kepada mereka yang sakit dan berduka:

May the peace of God my Father
Rule my life in ev’ry thing,
That I may be calm to comfort
Sick and sorrowing.


Apabila Tuhan menganugerahi kita keberhasilan, kemenangan, kejayaan, jangan lupa diri. Jangan kita lalu menjadi sombong, mencuri kemuliaan Allah, menganggap diri kita hebat, berpotensi luar biasa, sampai Allah memilih kita untuk memakai kita. Jangan! Keberhasilan yang sejati, kemenangan yang tulen adalah ketika kasih Yesus sedemikian melimpahi kita seolah air bergulung-gulung memenuhi lautan, membuat kita meninggikan Ia saja dan menenggelamkan diri kita di dalam lautan penghormatan dan pemuliaan bagi-Nya saja!

May the love of Jesus fill me.
As the waters fill the sea;
Him exalting, self-abasing,
This is victory.


Partner Kristus, ingat kita masih harus berlomba lagi. Esok, lusa, sehari sesudah lusa, di tahun 2009, dan tahun-tahun berikutnya. Saat-saat yang dalam rencana-Nya Ia pandang baik untuk masing-masing kita berlomba dalam perlombaan iman kehidupan ini. Harus dengan sikap dan tekad bagaimanakah kita tekuni perlombaan iman yang diharuskan-Nya bagi kita ini? Bukan dengan melihat ke diri sendiri, tidak dengan membiarkan diri dipengaruhi oleh si musuh, tidak dengan berbagi pandang ke dunia, tidak juga dengan sikap bersaing dengan sesama pelomba iman, tetapi dengan terfokus pandang pada Yesus, pemula dan penyempurna iman itu!

May I run the race before me,
Strong and brave to face the foe,
Looking only unto Jesus
As I onward go.


Aspirasi apakah yang harusnya kita kobarkan sepanjang hidup ini? Kerinduan macam apakah yang harusnya menyala-nyala di benak kita terdalam? Hal apakah yang tidak boleh tidak harus ada dalam interaksi kita dengan sesama? Inilah doa yang patut kita desahkan dari waktu ke waktu. Kiranya keindahan Kristus hadir dalam kehidupan kita, sementara kita berusaha menyaksikan sesama yang belum dalam naungan-Nya. Dan, biarlah mereka melupakan kita sang saluran tak layak dari anugerah Allah yang dahsyat itu, supaya hanya Yesus saja yang mereka tatap.

May His beauty rest upon me
As I seek the lost to win,
And may they forget the channel,
Seeing only Him.


(syair-syair dari lagu doa: May the Mind of Christ, oleh: Katie Barclay Wilkinson / A. Cyril Barham-Gould)

Sumber: diadapatasi dari PPA