Markus 11:12-14
12 Keesokan harinya sesudah Yesus dan kedua belas murid-Nya meninggalkan Betania, Yesus merasa lapar. 13 Dan dari jauh Ia melihat pohon ara yang sudah berdaun. Ia mendekatinya untuk melihat kalau-kalau Ia mendapat apa-apa pada pohon itu. Tetapi waktu Ia tiba di situ, Ia tidak mendapat apa-apa selain daun-daun saja, sebab memang bukan musim buah ara. 14 Maka kata-Nya kepada pohon itu: "Jangan lagi seorang pun makan buahmu selama-lamanya!" Dan murid-murid-Nya pun mendengarnya.
Problematika
Perikop ini, khususnya ayat 13, senantiasa menjadi perdebatan. Hal yang menjadi sebab adalah: bila memang Yesus sudah mengetahui bahwa musim pohon ara untuk berbuah belum musimnya lalu mengapa Ia tetap mengutuknya juga? Lalu apakah kisah ini ada hubungannya dengan peristiwa Yesus menyucikan Bait Allah? Sebab kedua bagian ini secara gamblang menggambarkan “kemarahan” Yesus. Dalam dua Injil, Matius dan Markus, kedua bagian saling berdampingan, dan apakah ini berarti ada tema besar yang berkaitan dengan bahan ini?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut sebaiknya kita melihat lebih dahulu kesejajaran pokok-pokok tersebut di dalam bagian Injil lainnya.
Perbandingan Sejajar
Dalam Injil Matius peristiwa pengutukan pohon ara (Mat 21:18-20) terletak setelah peristiwa Yesus menyucikan Bait Allah (Mat 21:12-17). Sedangkan dalam Injil Markus malah terjadi sebaliknya, peristiwa Yesus mengutuk pohon ara terjadi sebelum peristiwa penyucian Bait Allah (Luk 11:15-19).
Bila para penafsir sepakat untuk menyatakan Injil Markus lebih tua dari Injil Matius[1], maka peristiwa asli terjadi pada Markus sedangkan pada Injil Matius mengalami penyusunan kembali berdasarkan kepentingan tema tertentu. Susunan yang bertukar posisi ini sebenarnya tidaklah menjadi masalah besar. Namun hal ini tidak berarti penulis sedang menyedarhanakan masalah, tetapi karena proses pembalikan ini sering terjadi, maka hal itu diterima sebagai pola yang sama sekali tidak mengubah tema sentralnya. Pheme Perkins menyebut tehnik pembalikan ini dengan istilah teknis interkalasi (intercalation technique) dimana Markus memulai dengan sebuah cerita lalu diinterupsi oleh cerita lain dan kemudian cerita semula dilanjutkan kembali.[2] Kisah pengutukan pohon ara (Markus 11:12-14) tiba-tiba diinterupsi kisah Yesus menyucikan Bait Allah (Markus 11:15-19) dan kemudian kisah ini dilanjutkan kembali dengan pohon ara yang ternyata sudah kering (Markus 11:20-26).
Pokok personalan kelihatannya terletak pada ayat 13 yakni pada saat Yesus melihat pohon ara, mendekati pohon ara kalau-kalau Ia mendapat sesuatu dari pohon tersebut. Ternyata Ia tidak mendapatkan apa-apa karena memang bukan musim buah ara. Kalau ditilik secara dogmatis, maka kita semua tahu bahwa Ia adalah Allah. Dan berarti Ia adalah mahatahu, tetapi mengapa pula masih saja Ia tetap mengutuki pohon tersebut.
Kesimpulan awal untuk analisa ini adalah bahwa baik dalam teks Ibrani maupun Yunani sama-sama membedakan ‘ara’ itu untuk nama pohon maupun nama buahnya. Dan dalam kedua bahasa tersebut ada penekanan khusus buat buah yang belum masak. Ia mendekatinya untuk melihat kalau-kalau Ia mendapat apa-apa pada pohon itu. Kata “apa-apa” atau sesuatu ini dalam konteks kisah ini jelas bahwa Yesus sedang mencari buah, dan bukan sesuatu yang lain seperti burung atau yang lainnya.
Bukan musimnya berbuah (Lat. Enim erat tempus ficorum non), merupakan pengisahan yang orientasinya pada waktu musim. Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia menggunakan kata “bukan musimnya”, dan seandainya diterjemahkan “bukan waktunya” tentunya pengertiannya tetap terarah pada pengertian musim. Dan musim yang tepat untuk buarh ara yang pertama kali matang adalah bulan Juni.[3]
Buah ara (Lat. Ficus carica), adalah sebuah pohon buah-buahan yang tumbuh liar tetapi ada juga yang ditanam di daerah sekitar Timur Dekat sejak masa lampau. Buah pohon ini berbentuk bulat seperti buah pir, dan dapat berbuah lebih dari sekali dalam setahun, mengandung kandungan gula yang tinggi dan sangat manis saat sudah matang (merupakan makanan ideal bagi pengembara – I Sam 25:18). Proses pembuahannya bergantung pada seekor lebah kecil, yang membawa serbuk sari ke pusat buah. Dan kalau lebah tidak ada maka dapat dikerjakan dengan bantuan tangan manusia.[4] Tinggi pohon ara bisa mencapai lebih dari 11 meter.[5]
W.M. Christie dalam bukunya Palestine Calling (ia langsung melakukan penelitian di Israel) mengemukakan bahwa menjelang Maret daun-daun mulai bersem dan dalam waktu itu kira-kira satu minggu kemudian penuhlah sudah pohon itu oleh daun. Bersamaan dengan itu, atau kadang-kadang malah lebih awal, munculah kuntum-kuntum buah yang kecil. Ini belum merupakan buah ara yang sesungguhnya tetapi semacam buah pendahulu. Kalau besarnya sudah seperti buah almond hijau, maka buah itu dimakan biasanya oleh petani atau siapa saja yang lapar. Bila buah pendahulu itu sudah mencapai kemasakannya maka buah itu akan rontok dengan sendirinya.[6]
Mengapa masih dikutuk juga?
Pertanyaan ini memancing kita untuk meneliti apa yang terjadi pada ayat 13-14. Bukan Yesus saja yang tahu kalau itu bukan musim ara (artinya untuk mengetahui hal ini tidak membutuhkan sebuah pengetahuan ilahiah tetapi cukup dalam pengetahuan manusiawi), bahkan narator, yang bisa juga langsung sang penulis, sepertinya sudah mengerti situasi yang lazim tersebut. Pengutukan pohon ara member kesan bahwa Yesus justru melawan kelaziman dan bertindak aneh. Atau malah di pandangan orang sekarang terkesan Ia sedang mencari-cari (atau malah kelihatan agak dipaksakan) bahan untuk menyindir orang Farisi dan ahli Taurat. Akhirnya kita sampai pada keheranan bahwa bagaimana kita dapat menuntut sebuah pohon ara yangmemang belum waktunya atau belum musimnya berbuah. Dan mengapa Ia tetap mengutuk juga? Bukankah itu berarti Ia melawan hukum-Nya sendiri dalam pengaturan semesta?
Bertolak dari penelitian W.M. Christie, maka F. F. Bruce menjelaskan dengan rinci masalah tersebut demikian:
“Memang bukan musim ara”, demikian Markus berkata, sebab waktu itu belum Paskah, kira-kira enam minggu sebelum keluar buah ara yang bentuknya sudah penuh. Tatkala daun-daun pohon ara keluar kira-kira pada bulan Maret, maka bersamaan dengannya keluarlah juga putik-putiknya, namanya taqsh, semacam buah pendahulu dari buah ara yang sebenarnya. Taqsh ini dimakan petani dan orang-orang lain kalau mereka sudah lapar. Putik-putik ini gugur sebelum buah ara yang sebenarnya keluar. Tetapi kalau daun-daunnya keluar tanpa disertai taqsh, maka tahun ini tidak akan ada buah ara.[7]
Penjelasan dengan mengandalkan pendekatan geografis dan arkeologis ini menunjukkan titik terang mengapa Yesus tetap berkeras untuk mengutuk pohon ara tersebut sekalipun belum musimnya. Penjelasan Christie dan Bruce sangat membantu kita. Pada ayat 13 digambarkan bila Yesus melihat pohon ara itu dari jauh. Ketika Ia mendekatinya Ia mengharapkan untuk memperoleh ‘sesuatu’ pada pohon itu. Jelas di sini sekarang bahwa Yesus mencari sesuatu bukan yang ditaruh atau hinggap (misalnya burung) tetapi sesuatu yang benar-benar berasal dari pohon itu sendiri. Hal itu berarti buah ara atau bisa juga yang dimaksud adalah taqsh (Christie menggunakan istilah kuntum-kuntum buah yang kecil). Secara logika kita tak mungkin menyangka Yesus mencari ‘sesuatu’ itu adalah buah karena Ia sendiri bukan orang asing di daerah Palestina dan usianya sudah 33 tahun sehingga cukup mengenal kebiasaan alam di lingkungan tersebut. Sudah pasti Yesus mencari taqsh seperti orang lain di zaman itu pada tanggal-tanggal tersebut. Taqsh juga dimakan bahkan lebih berair sehingga menolong orang yang sedang dalam perjalanan jauh.[8] Bahkan dengan adanya taqsh yang tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya daun-daun itu sudah mampu menunjukkan sejak dini apakah pohon tersebut dapat berbuah atau tidak di tahun itu. Dengan tidak dijumpai adanya taqsh maka jangan Yesus, orang-orang di Palestina pun tahu pasti bahwa pohon tersebut tidak menghasilkan buah.
Namun sangat disayangkan bila penulis Injil Markus tidak menjelaskan dengan rinci apa yang dicari Yesus, namun hal tersebut dapat dimengerti karena penulis tidak memaksudkan tulisannya dibaca oleh mereka yang berada di luar tujuannya apalagi berbeda secara geografis dan waktu. Mengenai musim, disini jelas terlihat bahwa kejadian ini terjadi sebelum Paskah orang Yahudi yang diperkirakan jatuh pada bulan Nisan (setelah bulan Nisan, atau seminggu sebelum penyaliban)[9].
Tafsiran Terhadap Tindakan Yesus
Sikap tegas Yesus rupanya sedang digambarkan dalam bentuk simbolik atau perlambangan. Pohon ara yang berdaun lebat seharusnya diiringi dengan tumbuhnya taqsh yang banyak pula (karena idealnya begitu). Kelihatannya perbuatan simbolik bila ditafsirkan secara metaforis maka gambaran ini dipakai untuk menyindiri para agamawan dan teolog zaman itu yang penuh dengan ‘daun-daun aktivitas rohani’ tetapi tidak menghasilkan ‘buah-buah pertobatan’ atau ‘buah-buah rohani’. Orang-orang Yahudi dikenal dengan peraturan dan aktivitas rohani yang ketat dan berat. Namun di mata Yesus itu bukanlah apa-apa bila ternyata kehidupan mereka sama sekali tidak berubah, cenderung munafik, sering membanggakan kerohanian pribadi, menghakimi atau mencari-cari kesalahan orang, mengukur orang lain dengan kebenaran diri sendiri.
Kisah ini dalam Injil Markus disusul dengan peristiwa Penyucian Bait Allah (Mark 11:15-19) yang bukan lagi sebuah perbuatan simbolik dari Kristus tetapi sebagai sebuah perbuatan dengan pengertian langsung yang mencerminkan bagaimana bobroknya moral para agamawan di Bait Suci. Sehingga dapat dikatakan bila bersumber dari Injil Markus maka kisah penyucian Bait Suci adalah tindakan Yesus yang tidak lagi mengandung makna tersirat tetapi peristiwa itu an sich. Bila peristiwa pengutukan pohon ara adalah peringatan maka penyucian Bait Suci adalah perwujudannya.
Aplikasi
Peristiwa pengutukan pohon ara sebenarnya merupakan pencerminan sikap Kristus terhadap orang-orang yang bergerak dalam aktivitas rohani tetapi tidak menghasilkan buah-buah rohani. Aktif dengan segala macam kegiatan rohani tetapi tidak menghasilkan buah-buah rohani. Kekristenan modern tidak boleh tertipu pada kegiatan dan bukan pada buah kegiatan. Keduanya memang tidak dapat diukur. Yesus sendiri walau melihat daun ara tumbuh lebat Ia tidak memakannya sebagai penukar taqsh yang tidak ada itu. Daun tetap daun, dan taqsh tetaplah taqsh! Demikian pula dengan kegiatan rohani yang tumbuh lebat tidak dapat ditukar dengan buahnya tetapi secara simultan menumbuhkan buah rohani yang ranum.
Pdt. Daniel Zacharias, MTh.
[1] Pheme Perkins, Reading the New Testament: An Introduction (New York: Paulist Press, 1980), 3-4. Perkins menyebut tahun penulisan Matius tahun 90 AD, dan penulis Injil Matius memakai Injil Markus dan tradisi lain tentang Yesus untuk menggambarkan-Nya sebagai Mesias dan Guru Sejati dari Taurat. Sedangkan Markus ditulis tahun 70 AD sebagai Injil yang paling awal. Karena isinya yang banyak mengandung referensi dengan masalah penderitaan maka banyak orang memperkirakan Injil Markus ditulis bagi orang Kristen pada masa penyiksaan oleh Nero di Roma. Yesus pada Injil ini digambarkan sebagai Mesias yang menderita. Bnd. Brevard S. Child, Biblical Theology of the Old And New Testament (Minneapolis: Fortress Press, 1992), 270, menulis bahwa Injil Matius secara sederhana dapat disimpulkan sebagai edisi terbaru dari Injil Markus.
[2] Ibid., 197-98.
[3] A. B. Bruce, “The Synoptic Gospels” dalam W. Robertson Nicall (ed.) The Expositor’s Greek Testament (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans, tt), 417.
[4] Harper’s Bible Dictionary (1985), s.v. “fig”.
[5] The Illustrated Bible Dictionary, s.v. “fig”.
[6] W.M. Christie, Palestine Calling (London: 1939), 118-20.
[7] F.F. Bruce, Dokumen-dokumen Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 72.
[8] Ibid.
[9] Journal of Biblical Literature, Vol. LXXXIX (1960), 316-17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar