Awal Juni lalu saya bersama-sama rekan-rekan pendeta dari berbagai gereja di wilayah Banten berkumpul di Serang untuk berbicara banyak hal tentang relasi gereja-gereja, lembaga gereja-lembaga gereja, gereja-pemerintah dalam Workshop Pemuka Agama Kristen Kanwil Depag Provinsi Banten Tahun 2009.
Di sesi pertengahan saya diminta menyampaikan renungan yang saya ambil dari tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus soal kesatuan tubuh. Dalam renungan yang saya rasakan cukup singkat itu saya menyentuh ada 2 hal utama yang sangat ironis terjadi dalam tubuh gereja sendiri:
1. GEREJA BERSATU KARENA ALASAN TEOLOGIS TETAPI GEREJA MENOLAK UNTUK BERSATU JUGA KARENA ALASAN TEOLOGIS.
Inilah salah satu 'keahlian' gereja masa kini. Kalau ditanya alasan gereja bersatu maka mereka semua akan menyebut ucapan Yesus 'ut omnes unum sint' sebagai landasannya yang kemudian dengan terampil akan mengutip ayat-ayat lain yang makin memperkokoh pikiran oikumenis itu. Kebijakan Zero Growth yang diambil oleh Departemen Agama cq Bimas Kristen Protestan sebenarnya adalah upaya menahan lajunya pertambahan jumlah sinode gereja di Indonesia yang tumbuh bukan karena pertumbuhan tetapi karena perpecahan. Dengan cara ini diharapkan gereja-gereja sealiran dapat bergabung atau merger dengan mencontoh dari Sinode Am GKI. Namun dalam kenyataannya banyak gereja tidak mau bersatu karena alasan: kepemimpinan, keuangan, dan seringkali alasan-alasan teknis tadi dibungkus dengan alasan teologis. Kalau sudah menyentuh wilayah ini saya jadi ingat istilah 'polarisasi', dari Alm. Pdt. Eka Darmaputera, yang bukan saja berada di lapisan lokal tetapi juga merembet sampai ke aras Nasional. Kehadiran PGI di satu sisi maka ada kehadiran PGLII, PGPI, dll. Saya menduga polarisasi terbentuk bukan karena kepemimpinan atau karena faktor material tetapi selalu faktor teologis. Misalnya dalam sebuah dialog imajiner seseorang berkata: "mengapa gereja saya yang belum bersinode ini tidak bisa gabung dengan gereja Advent yang sudah bersinode atau gereja Pentakosta yang juga sudah bersinode?" Maka jawaban yang akan lancar keluar dari mulut pendetanya biasanya adalah: "kami kan berasal dari tradisi teologi yang berbeda". Disitulah letak 'kehebatan' gereja: mengetahui alasan untuk bersatu karena alasan teologis dan alasan untuk tidak bersatu dibuatnya juga karena alasan teologis.
2. GEREJA MASA KINI JAUH LEBIH MAHIR DAN TERAMPIL MEMBERI CONTOH KEPADA DUNIA BAGAIMANA CARANYA MEMECAH DIRI KETIMBANG MENYATUKAN DIRI
Kita tidak bisa menyangkali bahwa gereja-gereja yang di Indonesia juga tidak sedikit yang merupakan perpecahan gereja di luar negeri. Dan tidak juga kita sangkali di tangan kita sendiri gereja-gereja juga pecah menjadi kepingan-kepingan. Bahkan ada yang menyebutnya karena kehendak Tuhan dan karena bisikan Tuhan. Padahal kalau dikaji benar soal 'bisikan' tadi masakan Yesus menentang doa-Nya sendiri. Doa Yesus menjadi monumen yang dapat kita pajang tetapi kehilangan makna. Dunia sulit untuk percaya kepada gereja karena gereja tak mampu menunjukkan jatidirinya yang merupakan utusan Kristus di dunia. Gereja yang semakin terpecah di satu sisi memenuhi keinginan untuk berkespresi tetapi di sisi lain memberi gambaran buruk dari ketidakmampuan menerjemahkan isi beritanya sendiri dalam kata dan perbuatan. Apapun kelihaian kita membungkus upaya perpecahan dengan berbagai dalih baik yang masuk akal maupun tidak, semua itu hanyalah bagian dari keadaan kita yang sebenarnya: "ketidakmauan kita mengakui apa yang tidak mau kita akui". H. Richard Niebuhr pernah mengatakan dalam bukunya The Social Sources of Denominationalism: "kalau denominasi itu adalah kemunafikan yang tidak mau diakui" (an unacknowledged hypocrisy)".
education from womb to tomb
1 komentar:
Siip, kritik yang lugas dan menarik.
Sayang sekali jika gereja semakin tampak seperti panggung politik.
Posting Komentar