12 Juni 2009

Gereja dan Pendidikan

Pendidikan memegang posisi dan peranan yang sangat strategis dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Sayangnya dalam posisi dan peran semacam ini, pendidikan di negeri ini belum dapat secara optimal menjadi sebuah jalan yang memadai guna mencapai cita-cita luhur tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena keutuhan yang diharapkan dibentuk dan diwujudkan melalui pendidikan pada kenyataannya malah dikhianati sendiri oleh suatu tradisi pendidikan yang lebih memberi penghargaan hanya kepada siswa atau mahasiswa yang berprestasi tinggi dalam pengetahuan dan berketerampilan baik dalam bidang tertentu saja. Penghargaan yang sifatnya mengarah kepada pendidikan yang melakukan pengembangan nilai-nilai dalam pembentukan karakter manusia seutuhnya malah tidak mendapat tempat. Keutuhan manusia ternyata hanya dilihat sebagian saja di dalam praktek dari sistem pendidikan kita.

Harus kita akui bersama bila Indonesia tidak akan pernah kehilangan atau bahkan kehabisan orang pintar dan terampil. Kita memiliki banyak orang yang terdidik dan terlatih dengan baik dalam bidangnya. Indonesia dibangun oleh orang-orang semacam ini. Namun di sisi lain harus kita akui pula bahwa negeri ini juga dirusak oleh orang-orang cerdas dan terampil yang telah kehilangan atau bahkan sama sekali tidak pernah memiliki nilai-nilai luhur moral dan iman. Satu-persatu pesohor dari berbagai jabatan penting di negeri ini yang pernah mengenyam pendidikan bahkan sampai strata yang tertinggi ternyata harus mengakhiri karirnya di bui. Hal ini disebabkan bukan karena faktor kekurangcerdasan atau karena kekurangterampilan, tetapi hal itu disebabkan karena kurangnya nilai-nilai moral dan imaniah yang membuat kecerdasan dan keterampilan menjadi tak punya makna yang utuh. Media massa melaporkan beberapa caleg yang tidak mendapatkan suara dalam Pemilu Legislatif 2009 dengan tanpa rasa malu menarik semua bantuan yang sudah pernah mereka bagikan kepada masyarakat dalam masa kampanye. Dan yang paling ironis adalah mereka menarik bantuan berupa bahan bangunan dalam rangka pembangunan sebuah rumah ibadah. Kenyataan-kenyataan sejenis muncul dimana-mana yang sedang mempertontonkan kepada kita bila nilai-nilai moral dan imaniah sudah lama tidak mendapat porsi yang proporsional sekalipun mereka beragama dan institusi keagamaan masih tegak berdiri, dan hal ini sekaligus mengkoreksi kualitas pendidikan-pendidikan agama di negeri ini yang belum terlihat berdampak pada perilaku manusia Indonesia secara umum.

Dalam konteks gereja hal ini disebakan oleh dua hal:
Pertama, dalam sumbangan dari konteks kristiani, Gereja, dalam hal ini sebagai agen yang menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam arti memperjuangkan kasih, keadilan, dan kebenaran dalam masyarakat, malah terlihat sama sekali belum berperan atau malah sudah kehilangan perannya sama sekali. Kelihatannya mayoritas pendidikan di dalam gereja dan oleh gereja masih berorientasi pada urusan-urusan internal yang cakupannya sangat terbatas. Bahkan tidak sedikit yang merasa soal-soal tersebut bukanlah urusan gereja dan membiarkan pemerintah mengambil alih urusan ini. Padahal sebenarnya gerejalah yang harus berperan aktif. Mengapa sebenarnya gereja harus terlibat dalam hal ini?

Tatkala Karl Barth memandang gereja sebagai institusi maka ia menjumpai ada 9 (Sembilan) unsur kelembagaan gereja yang salah satunya adalah pendidikan. Dengan kata lain ia sedang mengisyaratkan bahwa pendidikan dan gereja bukanlah hal yang terpisah dan gereja dalam hal ini berfungsi sebagai lembaga yang bertugas untuk mendidik. Dalam hal ini tercermin bahwa gereja tidak dapat melarikan diri dari unsur yang merupakan bagian dari pembentukan jatidirinya. Gereja harus mengambil peran sebagai ‘garam’ dan ‘terang’ dalam dunia pendidikan. Harry Blamires dalam “The Christian Mind” menulis bahwa yang masih ada sekarang ini adalah etika Kristen (orang masih bermoral dan berusaha untuk tidak berbuat hal memalukan) dan spiritualitas Kristen (orang masih beribadah), sedangkan pikiran Kristen (Christian Mind) sudah tidak ada. Pikiran-pikiran yang berkembang dalam benak jemaat seringkali bersandar pada pikiran-pikiran sekuler-humanistik yang egois sekalipun mereka adalah warga gereja dan dibina dalam dan oleh gereja.

Ancaman bagi pendidikan gereja dan oleh gereja bukanlah datang dari agama-agama lain. Malah gereja harus bekerjasama dengan agama lain dalam pembentukan moral dan karakter bangsa menghadapi ‘musuh bersama’ yakni sekularisme. Barth sudah lama melihat bahwa sekularisasi akan merupakan ancaman bagi gereja-gereja di kemudian hari. Ia berujar bila sekularisme itu tidak lain adalah kerasingan yang dialami gereja pada saat ia tidak mau mendengar suara Gembala yang baik, namun malahan mengikuti suara orang asing. Pendidikan yang sekuler-humanistik belakangan ini malah semakin merajalela bahkan ironisnya tidak memberi ruang yang memadai bagi pendidikan agama yang dikerjakan gereja dalam dunia pendidikan atau bahkan oleh agama-agama lainnya. Pendidikan agama kendatipun tetap ada seringkali lebih diarahkan pada pemahaman kognitif agama ketimbang rasa-afeksi atau internalisasi nilai-nilai, atau bahkan hanya sekedar pelengkap sebuah kurikulum yang berketuhanan namun dampaknya sangat kecil bahkan terkesan basa-basi.

Apa yang dikuatirkan Barth masih terasa relevan dengan situasi sekarang dimana pendidikan kita seolah terasing dari pengaruh agama dan lebih berpihak pada kecondongan menciptakan manusia kerja yang cerdas dan terampil namun berwatak serakah, aji mumpung, opurtunistis, sektarian, fanatik, introvert, hedonis, kehilangan rasa hormat, tidak disiplin, lihai bermain kotor, egois, tidak loyal, mudah disuap, tidak berpendirian teguh, mengorbankan nilai-nilai keluarga, acuh tak acuh memandang hukum dan aturan, dan tidak dapat menjadi teladan.

Kini secara konkrit apa yang sebenarnya yang harus gereja kerjakan? Kekristenan melalui gereja mendorong agar dunia pendidikan kembali dipengaruhi oleh pemahaman kristiani tanpa mengabaikan sumbangsih pandangan agama-agama lain, dan tanpa bermaksud mengubah sebuah universitas menajadi sebuah seminari teologi atau mengkristenkan berbagai universitas.
Kekristenan harus menjadi sebuah kekuatan yang bersatu juga dengan penganut agama yang lain untuk menghadapi “musuh” bersama (menurut Louis Berkhof dan Cornelius van Til) dengan prasyarat:

a. Filsafat pendidikan harus didasarkan pada sebuah pengakuan pendidikan dalam bidang apapun memiliki hubungan asasi dengan Tuhan.
b. Kurikulum tidak lagi humanistik tetapi pada sebuah teosentris yang bebas namun bertanggung jawab (bukan kaku atau legalis seperti tunduk pada Taurat).
c. Naradidik merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan yang hanya akan tumbuh dengan benar bila diletakan berhadapan dengan Tuhan dan bukan terhadap dirinya sendiri.

Gereja dan agama-agama lainnya melakukan kaderisasi penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang dengan mengutus, melatih, mendidik, mengirimkan dengan beasiswa semua kader-kader yang dianggap dan diperhitungkan kelak dapat menduduki posisi-posisi penting dalam semua strata pendidikan, sehingga dimungkinkan membawa kembali dunia pendidikan pada pikiran-pikiran yang menggarami dan bukan menyerahkannya pada kesesatan atheistik atau sekularisme-humanistik yang sempit.

Gereja mau terlibat aktif dalam sebuah penelitian, percakapan, bahkan dalam penyebaran pikiran-pikiran kristiani yang kembali ‘menggarami’ pola pikir dan gaya hidup masyarakat yang perlahan dan pasti sedang membusuk karena terlalu sering contoh-contoh buruk dipertontonkan kepada masyarakat.

Kedua, diabaikannya pikiran gereja dari lingkungan pendidikan juga dapat disebabkan oleh karena ketidakrelevanan berita gereja dalam konteks pendidikan bagi generasi muda dan bagi zaman modern karena pola pendekatan yang tidak diperbarui. Lyle Schaller, seorang konsultan gereja Amerika dari United Methodist mengemukakan bahwa gereja harus beradaptasi dengan era baru. Adaptasi di sini tidak berarti substansi pemberitaan Gereja harus diubah, tetapi yang mengalami perubahan adalah cara kita mengemas dan menyampaikan pesan Injil. Gereja seyogyanya harus mengemas isi pendidikannya sedemikian rupa agar mudah ditangkap dan dicerna oleh generasi muda sesuai zamannya. Pemutakhiran literatur pendidikan agama merupakan langkah yang harus dikerjakan gereja sesegera mungkin melalui jejaring gereja yang sudah ada (PGI dan yang sejenis) dengan berkoordinasi dengan berbagai pihak yang memungkinkan terwujudnya maksud tersebut. Namun yang terpenting yang harus disadari gereja adalah bahwa tanggung jawab itu berada di tangan gereja sendiri.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

2 komentar:

Novyan RH Kawilarang mengatakan...

Yang dimaksud Gereja (komunitas) atau gereja (manusia)? Bila yang dimaksud adalah komunitas maka harus introspeksi lebih dalam lagi tentang keutuhan tubuh Yesus.
Mungkin kelak bila tubuh itu sudah dapat bersatu maka perannya akan benar-benar terasa. Sebab kerusakan moral atau keimanan dalam komunitas itu dirusak juga oleh pengelola komunitasnya sendiri.
Begitu aja dulu broer, mari kita benahi gereja kita dahulu.
Terima kasih.

Dapetza mengatakan...

tidak ada waktu untuk kita menunggu sampai "utuh": ... (kalau itu masih mungkin) ... tetapi selama masih menunggu tidak berati kita diam tokh? kebelum utuhan tidak memberikan alasan bagi kita untuk diam dan menunggu ... kalau cuma antara anda dan saya saja mungkin besok juga sudah bisa selesai ...8-)