12 Maret 2009

Keakraban Dengan Allah Diperdalam Dengan Disiplin

Ibrani 12:5-11

Salah satu pernyataan Kitab Suci yang menantang dan penuh teka-teki ialah Ibrani 5:8-9, "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya."

Dalam ayat ke 6 tertulis, "Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak". Sebagaimana seorang ayah yang baik akan mendisiplin dan mendidik anaknya dengan penuh kasih, Allah juga akan mendisiplin kita dengan penuh kasih. Kita hidup di dalam sebuah dunia yang penuh misteri dan teka-teki yang membingungkan, jadi tidak mengherankan kalau unsur misteri pasti melanda dunia pendisiplinan ini juga. Kita harus ingat bahwa tangan yang membentuk tanah liat ialah tangan sudah ditusuk paku dan bahwa kedaulatan Allah kita tidak akan pernah berbenturan dengan peran-Nya sebagai Bapa.

Jika kita ingin menikmati keakraban yang mendalam dengan ALLah, secara rohani kita harus menyikapi cara pemeliharaan-Nya, kendati semua itu mungkin tidak dapat kita mengerti. Cara pemeliharaan-Nya bisa terjadi melalui berbagai bentuk, tetapi semuanya direncanakan di dalam kasih, dengan satu tujuan, yaitu untuk memupuk keakraban yang makin dalam dengan Allah. "Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr 12:10).

Disiplin yang mengganggu rasa nyaman
Kita hidup dalam zaman yang sadar akan rasa aman, sehingga kita berupaya menjamin dan melindungi diri dari segala kemungkinan yang tak diharapkan. Masyarakat yang makmur mempersiapkan segala sesuatu agar dapat menikmati hiburan maupun kesenangan. Mereka suka untuk merasa tenang dalam rutinitas yang enak dan menikmati kemapanan itu. Rumah yang bagus, mobil model mutakhir, rekreasi-rekreasi yang menyenangkan, liburan-liburan yang menggembirakan, teman-teman yang baik, semuanya cenderung membuat surga kurang menarik dan akibatnya materialisme menyedot perhatian mereka melebihi kerohanian.

Namun sudah kerap terbukti bahwa kemapanan maupun kenyamanan adalah musuh iman. Kemapanan maupun kenyamanan itu sendiri tidak salah, karena Allah "memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati" (I Tim 6:17). Tetapi, kalau kita tidak mawas diri, semua itu akan menjadi tujuan hidup kita yang utama dan Allah serta kerajaan-Nya secara perlahan-lahan dialihkan ke tempat yang tidak penting. Untuk menghadapi kecenderungan yang berbahaya itu, Bapa kita yang penuh kasih sekali-kali mengusik kemapanan dan kenyamanan kita. Ia memperdulikan kita supaya kita tidak akan kehilangan yang terbaik dalam hidup.

Dalam nyanyia Musa prinsip tersebut digambarkan dengan, "laksana rajawali yang menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-melayang diatas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya menampung seekor, dan mendukungnya diatas kapaknya, demikianlah Tuhan sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menuntun dia" (Ulangan 32:11-12).

Seperti yang dilakukan burung rajawali, demikianlah Tuhan melakukannya juga. Rajawali membangun sarangnya diatas gunung, pertama-tama dengan menggunakan batang dan ranting-ranting kayu, lalu dengan hati-hati ia membentenginya dengan bulu-buluan serta rerumputan. Anak rajawali kecil diteteskan di dalam sebuah sarang yang nyaman dan ideal. Hidup ini indah. Secara teratur, makanan diantarkan kepadanya. Tak ada hal lain yang diinginkannya.

Tetapi, pada suatu hari induk rajawali menunjukan aksinya. Ia merobek pembatas sarang yang lembut itu sambil dahan, ranting, serta duri-duri saja. Anak rajawali yang masih kecil tadi bingung melihat perubahan di dalam diri induknya. Tempat tinggalnya menjadi begitu tidak nyaman lagi sehingga mereka memanjat pinggirannya dan memandangi bebatuan di bawah yang selama ini merupakan daerah terlarang. Tiba-tiba, sang induk mendorong salah satu dari mereka dan anak rajawali yang masih kecil-kecil itu terjungkal jatuh hingga nyaris mati. Akan tetapi, daya tangkap induknya lebih sigap daripada jatuhnya makhluk kecil tersebut. Tetapi pada waktunya, sang induk menukik, menciduk dan meletakkan tubuh anaknya di sayapnya. Ia membawanya dengan aman di atas puncak gunung. Seperti burung rajawali demikian juga Tuhan.

Pada saat mendapat gangguan yang tidak diduga, penulis buku ini menemukan sejumlah kalimat berikut ini dari kotbah Samuel Chadwick: "Hati kita tersentuh oleh perbuatan Tuhan. Yang Mahatahu tidak memberi tahu kita terlebih dahulu. Otoritas-Nya yang tidak terbatas tidak menyisakan ruang untuk kompromi. Kasih yang abadi tidak menyodorkan penjelasan. Tuhan berharap bahwa ia dipercaya. Ia "menunggu" kita menurut kehendak-Nya. Ketetapan manusia tidak diperdulikan, ikatan keluarga diabaikan, tuntutan bisnis dikesampingkan. Kita tidak pernah ditanya apakah itu enak atau tidak bagi kita."

Jika terus dibiarkan tinggal di dalam sarang yang nyaman, sayap-sayap rajawali itu tidak akan kuat untuk terbang tinggi menantang teriknya matahari. Dibiarkan tinggal dalam kondisi nyaman dan berkelimpahan mudah bagi sayap-sayap jiwa kita untuk menjadi kaku, dan kita kehilangan semangat untuk menghadapi peperangan rohani. Pendisiplinan cara ini cocok bagi kita untuk dapat terbang tinggi.

Disiplin melalui kegelapan
Di mana pun, tidak ada orang percaya yang dijanjikan bahwa hidup itu akan serba indah. Ia juga tidak diberi kekebalan, karena ia adalah anak Allah "yang lahir ditengah-tengah kesukaran yang menyakitkan hati". Daratan yang tidak pernah merasakan apa-apa selain sinar sang surya akan menjadi padang gurun. Harus ada awan, badai dan kegelapan jika dataran itu diharapkan menjadi tanah yang subur dan menghasilkan.

Dalam hikmat dan kasih-Nya, Allah kadang-kadang membiarkan kita melewati suatu masa kegelapan yang tidak dapat dihindari, tanpa celah di sela-sela awan itu. Seakan-akan kita berada di dalam lorong yang tanpa ujung. Kadang-kadang kita sadar bahwa itu adalah dampak dari dosa kita, dan untuk itu maka kita dapat melihat bahwa hal itu memang sudah seharusnya. Namun pada saat-saat lain, kita merasa bingung karena kita tidak dapat memberikan alasan mengapa kita mengalami hal seperti itu.

Kendati kegelapan itu mungkin pekat, kita dapat merasa pasti bahwa itu adalah "yang kelam di mana Allah ada" (Keluaran 20:21). Meskipun kita tidak mungkin mampu menemukan wajah-Nya di dalam kegelapan, jika kita mengulurkan tangan iman kita, kita akan merasa genggaman tangan-Nya yang meneguhkan. "Aku ini, TUHAN, ... telah memegang tanganmu" (Yesaya 42:6).

Disiplin dalam kegelapan juga merupakan pengalaman Tuhan kita. Jauh lebih berat daripada pengalaman kegelapan fisik yang menyertai penderitaan-Nya yang sangat berat terdapat kegelapan jiwani yang menguasai Yesus ketika Bapa-Nya memalingkan wajah-Nya saat Ia menghapus dosa-dosa dunia. Ucapan yang menyayat hati keluar dari bibir Yesus_ "ALLAH-KU, ALLAH-KU, MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?" (Matius 27:46). Dalam kegelapan yang tidak dapat ditembus, kendati tidak ada seberkas cahaya pun, iman-Nya tidak goyah. Bapa-Nya tetap menjadi Allah-Nya--Allah-Ku. Apakah dalam kegelapan itu, Ia teringat akan kata-kata Yesaya, "siapa diantaramu yang takut akan Tuhan dan mendengarkan suara hamba-Nya? Jika ia hidup dalam kegelapan dan tidak ada cahaya bersinar baginya, baiklah ia percaya kepada nama Tuhan dan bersandar kepada Allahnya!" (Yes 50:10). Inilah pola pendisiplinan untuk kita. Bila saatnya tiba, celah akan muncul di sela-sela awan, lorongpun akan mempunyai ujung, dan ujian akan diperpendek manakala kita menyikapinya dengan cara yang dewasa. Lalu, kita pun akan bangkit seraya mengenal keakraban dengan Allah dengan cara yang lebih mendalam daripada sebelumnya. Bukankah itu yang dialami ketiga orang laki-laki Ibrani tatkala mereka keluar dari dapur api Nebukadnezar?

Disiplin melalui kekecewaan
Tidak pernah disebutkan bahwa Allah akan memuaskan setiap keinginan kita. Hanya keinginan yang selaras dengan kehendak-Nya dan yang terbaik bagi kita saja. Itulah alasannya mengapa kadang-kadang Ia terlihat tidak bersimpati terhadap sesuatu yang kita anggap baik.. Rahasia ini terasa makin kuat apabila kenginan kita rasanya dapat memuliakan Allah. Kita harus yakin bahwa ada sesuatu yang sudah jelas kebenarannya apabila Allah menahan sesuatu yang kita inginkan. Hal ini dilakukan-Nya karena Ia ingin menganugerahkan sesuatu yang Ia tahu lebih baik.

Banyak orang rindu melakukan sesuatu yang layak bagi Tuhan yang mereka kasihi, dan rancangan mereka kelihatannya begitu tepat. Namun, kerinduan mereka menemukan hambatan. Mereka rindu pergi ke ladang misi, tetapi kesempatan itu hilang karena sakit. Mereka bermaksud memberi banyak untuk pekerjaan Allah, namun ada kekurangan dalam segi keuangan. Mereka berencana mengikuti pelatihan pelayanan Kristen, namun tanggung jawab keluarga muncul dan mambuat rencana itu tidak dapat dijalankan. Mereka justru menjadi tidak aktif, menjadi bisu saat harus berbicara, dan tidak bisa memahami adanya kesempatan lainnya.

Kita harus ingat bahwa untuk setiap "janganlah kamu" yang mengecewakan hati, ada sesuatu "haruslah kamu" yang menyenangkan. Apabila kita menerima disiplin Ilahi dengan sikap dewasa, kita akan menemukan bahwa "ada sesuatu yang lebih baik" menunggu kita di ujung sana.

Disiplin melalui ketidakadilan
"Tindakan Tuhan tidak tepat!" Keluh orang-orang Yahudi dalam era Yehezkiel (Yehezkiel 18:2). Perasaan yang sama digaungkan pada era kita ini. Ada orang yang diperlakukan tidak adil oleh Allah. Kendati mereka tidak pernah mengungkapkannya dengan kata-kata, mereka merasa kecewa dan menyimpannya dari hadapan Tuhan dengan penuh kemarahan. Tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan mengapa ada masalah yang dihambat oleh Allah, dan ada yang tidak, mengapa ada yang di izinkan dan ada yang tidak. Mengapa, Tuhan membiarkan kepala Yakobus dipenggal ketika ia dipenjara, sementara Petrus dibebaskan oleh seorang malaikat dan kemudian membuat persekutuan doa? Jawaban satu-satunya ialah, "engkau tidak tahu apa yang Aku lakukan sekarang, tetapi kelak engkau akan mengerti"--dan, itu cukup memadai bagi iman.

Begitulah yang dialami Asaf, sang pemazmur. Ketika ia melihat bagaimana orang jahat menjadi makmur, sementara orang benar terlihat mengalami lebih banyak ujian dan pencobaan daripada yang selayaknya yang mereka terima, ia nyaris kehilangan iman. Apa gunanya ia berupaya menjalani hidup kudus apabila orang jahat menerima segala kebaikkan? Dengan sangat kecewa, ia menjerit dalam keputusasaan, "Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris akan tergelincir ... sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah ..." (Mazmur 73:2, 17).

Di dalam hadirat Allah, ketika melihat berbagai hal dari sudut pandang ilahi, Asaf memiliki imannya kembali, "dan memperhatikan kesudahan mereka, "atau nasib mereka (ayat 17).

Tujuan akhirlah yang penting, karena ada hidup sesudah kematian, tatkala ketidakadilan akan dipulihkan, tatkala yang jahat menerimia akibat atas perbuatan mereka, dan kebenaran juga mendapatkan upahnya. Masalahnya, kita tidak selalu datang di hadapan Tuhan untuk menyelesaikan persolan kita. Kita menanggapi persoalan dengan cara yang benar hanya ketika kita beralih daripada yang kelihatan sementara pada tujuan akhir yang kekal.

Kita seringkali tidak tahu apa yang tersembunyi di balik semua kesulitan yang kita hadapi. Fokus kita melenceng dari maksud Allah. Kita tidak melihat gambaran besarnya dan terpaku pada aspek-aspek pahit yang Allah pergunakan sebagai "tongkat disiplin. Dan, mungkin kita tidak tahu bahwa ada hal-hal rohani yang sedang dipertaruhkan tatkala kita mengalami pencobaan?

Namun semua orang yang harus mengalami "pembentukan dari Allah" harus melihat gambaran besarnya bahwa persekutuan mereka semakin karib dengan Allah diperdalam dengan semua disiplin rohani yang ia terima. Keakraban Allah-manusia yang digambarkan dalam relasi orang tua-anak tidak mengabaikan adanya upaya sang orang tua untuk mendewasakan si anak agar hubungan dengan orang tuanya diperdalam.

Bila Allah memberikan disiplin pada kita hal itu berarti Ia rindu agar kita lebih mengenal-Nya dapat lebih bergantung pada-Nya, dan lebih dekat dengan-Nya.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

1 komentar:

b l e s s e d mengatakan...

jujur nihh pa'. .

baca blog bapa' agak minder juga. hehhe.
tapi mnrt saya.
disiplin melalui kekecewaan koq yaa yg dampakny lebih besar?

because maybe that's when people feel like they're on their lowest point, and being disciplined in getting closer to GOD, changes their life?

gmn nih pa'?
hehhe.
maav yaa pa' klo insight nya rada2 dangkal :)

*chacca